Plog ... Plog ... Plog ... Plog! Faruq bertepuk tangan dengan senyum bangga.
"Sama sekali aku tidak menyangka, Fahim," ujarnya sambil mengacak rambutku.
Aku bisa melihat matanya menatap aku dengan berbinar-binar. Dengan penuh kekaguman dia terus memainkan rambutku. Dia mengambil gelas berisi air putih dan disodorkannya kepadaku.
"Tuan Muda, bisa lihat sendiri kelakuannya. Sok kuasa, arogan! Kita bertiga bisa membalasnya, tapi ini bukan negara kami, kami takut terlibat masalah hukum, Tuan Muda," ujar Ruby menahan malu karena sedang roboh di lantai.
Aku hanya diam menatap Markamah yang salah tingkah. Sebenarnya aku kasian padanya yang harus jadi pecundang untuk mencari aman. Faruq juga memandang sinis kepada Markamah, tapi dia tidak mengungkapkannya dengan kata-kata.
"Tanganku sakit sekali, Tuan, kalau sampai terjadi cidera aku bisa memenjarakan dia!" hardik Sena sambil mengusap lengannya yang kesakitan.
"Kalian bertiga pantas mendapatkannya,
Faruq terperanjat dengan permintaan Marwa, dia menatap mataku sendu. "Kok diam Faruq, aku tanya kamu bisa usir dia kan? Apa permintaanku berat buat kamu? Bukankah Om Hussein sudah berjanji akan mengusirnya?" Marwa mengingatkannya. "Iya aku tahu, tapi bagaimana dengan Iqbal anakku? Aku bisa kehilangan apa saja tapi bukan Iqbal anakku. Mereka berdua ibu anak yang tidak bisa terpisahkan, Marwa. Beri aku waktu berpikir ya?" kata Faruq sedih sambil menutup teleponnya. Paling sedih adalah diriku, bagaimana aku dipisahkan dari Iqbal? Aku bisa menerima sakit sebesar apapun asal aku tetap bersama Iqbal. Dia adalah sumber kekuatan bagiku, dia adalah nafasku bagaimana aku bisa hidup tanpa dia? "Aku bisa tinggalkan semuanya termasuk Marwa, asal kamu menikah denganku di hari ulang tahunku dua hari lagi," bisik Faruq di telingaku. "Ini tawaran terakhirku, Fahim," lanjutnya berbisik menyentuh daun telingaku membuat aku terbelalak merinding. Aku menatap pungg
Faruq masih penasaran dengan tingkahku yang menurutnya aku banyak menyembunyikan sesuatu. "Berikan ponselnya!" pintanya. "Ponsel apa? Maksudku ponsel siapa?" tanyaku masih nekat berpura-pura. "Kamu semakin berani berbohong ya? Kalau aku bisa menemukan ponsel itu, awas kuhajar kamu, ingat itu!" ancam Faruq. "Kenapa sih Tuan Muda, selalu mengancamku?" tanyaku sedih. "Karena sekarang kamu pembohong dan licik," sahut Faruq. "Apa? Aku?" tanyaku memekik. "Sudah jangan banyak bicara, lusa kamu harus berdandan secantik mungkin, aku akan menikahimu!" gumam Faruq. "Tidak, Tuan Muda, jangan lakukan itu! Bukankah Tuan Muda harus menikahi Nona Marwa," jawabku menolak. "Itu bukan urusanmu, Fahim! Kamu tinggal bilang iya, sulit amat sih!" hardik Faruq. "Maaf Tuan Muda, aku tidak bisa!" jawabku pelan. "Sombong sekali, memangnya aku memberi pilihan kepadamu, mau atau tidak?" hardik Faruq. "Aku orang Indon
Aku dan Priya memasak di dapur. Tuan Hussein request nasi kebuli, yaitu indentik nasi goreng tapi sebenarnya dia nasi yang dimasak dengan daging kambing dengan rempah-rempah lengkap yang terasa sekali. Faruq dan Iqbal request kebab, mereka berdua seleranya sama yaitu kebab. Sebagai kuahnya aku membuatkan sop buntut dengan sayurnya wartel kentang dan lobak serta tomat. Dan yang ini mereka semua suka sekali, masakan andalanku. "Aku tata meja makannya, ya Fahim?" Priya menawarkan. "Iya Priya, aku siapkan dan kamu yang menata meja makan?" usulku. Setelah semua siap aku menarik Priya dan membisikkan di telinganya, "Nanti kalau Tuan Muda menanyakan ponselnya tolong kamu bilang kalau ponselnya sudah kamu buang di tempat sampah, Priya!" pintaku kepada Priya. "Beres, Fahim," jawab Priya. Makan malam sudah siap, semua sudah berkumpul di meja makan. Iqbal masih jelalatan mencari-cari keberadaanku. Aku memang sengaja tidak ingin muncul di
Muzammil masih penasaran dan terus mendesak aku agar menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Aku tidak mungkin mengungkapkan kejelekan Faruq kepada temannya. "Ayolah Fahim, aku penasaran katakan padaku apa yang terjadi sebenarnya? Kamu orang Indonesia kan? Apakah Faruq memperlakukan kamu dengan baik,Fahim? Kenapa kamu memanggil suamimu dengan sebutan tuan? Apa yang terjadi tadi malam, Fahim?" tanyanya menyelidik. "Fahim, kamu tidak percaya kepadaku ya? Kita kan berteman, aku tulus tidak punya niatan jelek kepadamu, Fahim," ujar Muzammil meyakinkan. "Aku percaya, Kak Zammil," sahutku meyakinkannya. "Tapi kita belum pernah bertemu, bahkan Kak Zammil belum pernah melihat wajahku kan?" lanjutku. "Aku sudah melihat matamu yang indah dan tajam, aku pernah melihat bibirmu yang sexi yang sedang terluka," kata Muzammil pelan. "Kapan, bahkan aku selalu pakai cadar saat bertemu orang asing?" sahutku tak percaya. "Kamu lupa ya? Bahkan aku
Tuan dan Nyonya Hussein datang ke kamarku. Betapa terkejutnya mereka melihat Faruq membawa gaun pengantin. "Apa itu, Faruq?" tanya nyonya. "Gaun pengantin Fahim, Umi," jawab Faruq. "Apa maksudmu, Faruq? Kamu menentang Umi sama Abi ya? Sudah kubilang jangan hancurkan hubunganmu dengan Marwa!" hardik nyonya. Aku jadi salah tingkah menghadapi tuan dan nyonya. Aku takut mereka mengira aku yang mendesak Faruq. Aku bahkan segera masuk kamarku. Tuan dan nyonya juga Faruq di depan pintu kamarku. "Bagaimana kalau Marwa tahu, hatinya akan hancur. Kamu tidak boleh menikah dengannya, Faruq! Atau sekarang juga Fahim kuusir dari rumahku!" hardik Tuan Hussein. Aku takut mendengar kemarahan Tuan Hussein. Tapi apalah daya posisiku serba sulit, aku tidak ingin pernikahan ini tapi Faruq memaksanya. Sementara orang tuanya menentangnya dengan keras. Dimanakah kakiku harus berdiri dan berpijak? "Tenang, Abi! Marwa sudah tahu dan mengijinkan. Dengan
Ruby dan Sena masuk ke kamarku. Aku yakin di benaknya dipenuhi pikiran kotor. Ruby dan Sena menatapku dengan tatapan tajam dan licik. "Wah kayak Cinderella aja," ujar Ruby. "Aku tahu kamu tidak menginginkan pernikahan ini, bukan?" tanya Ruby kepadaku. "Apa kamu yakin bisa bahagia hidup dengan Tuan Muda? Apalagi kalau Tuan Muda nanti menikah lagi dengan Non Marwa," tanya Sena mendekatiku. "Dan yang perlu kamu ingat, ancaman Nona Marwa tidak main-main!" Ruby mengingatkan. "Apa yang kalian inginkan sebenarnya?" tanyaku kepada Ruby dan Sena. "Aku ingin membantumu pergi dari istana ini," tawar Sena. "Ini yang kamu inginkan sejak lama kan, aku kalah dan pergi dari Faruq?" gumamku dalam hati. "Aku mengalah bukan karena kalah, demi kebahagiaan Tuan Muda dan Iqbal anakku aku harus pergi," lanjutku. "Apa hatimu masih bebal dengan semua yang kamu alami di sini? Tidak gentar juga?" tanya Sena mengumpat. "Aku capek den
Aku merasa semakin sesak dan mual bahkan pusing yang menggigit. Keringatku terus mengucur membuatku tidak nyaman apalagi dengan baju sebesar ini dan bahkan penuh manik-manik. Kakiku yang terluka, terus keluar darah segar. Saat kuraba ada cairan mengental dan kucoba melihatnya merah dan anyir. Semakin pasrah dan putus asa melihatnya. Tiba-tiba aku merasa lelah dan mengantuk, akhirnya aku tidak ingat lagi. Saat mataku terbuka aku sudah diatas tempat tidur. "Dimanakah aku?" gumamku lirih dan ragu. Lelaki itu membelakangiku, berdiri menutup korden jendela kamar. Aku terperanjat saat mendapati tubuhku yang sudah berganti baju. "Bajuku?" pekikku sambil meraba lenganku. Lelaki itu membalikkan badannya, betapa terkejutnya aku. Hah? Tanganku menutup bibirku yang tertutup cadar. "Kak Zammil!" gumamku lirih. "Kamu sudah sadar? Aku memanggil dokter ke rumah, aku tidak berani membawamu ke rumah sakit. Aku yakin kamu juga
Muzammil penasaran dengan berita di televisi, dia ragu menyalakan televisi sambil menatap mataku. "Fahim, yakin kamu ingin menontonnya?" tanya Muzammil meyakinkan. "Iya Kak Zammil, aku harus tahu," ujarku yakin. Akhirnya Muzammil menyalakan televisi di kamarnya. Betapa terkejutnya di rumah Tuan Hussein ada pembunuhan. Dan tersangka sementara adalah aku. Karena barang bukti berupa pisau ada sidik jariku. Sholikin salah seorang sepupu Faruq tewas terbunuh di kamarku. "Bukan aku pelakunya, Kak Zammil," gumamku menyangkal. "Bukan aku, Kak Zammil!" tangisku sesak menahan takut. "Pemirsa, ini adalah wajah tersangka tunggal. Dia sedang melarikan diri, bagi kalian semua yang melihat wajahnya segera saja menghubungi kantor polisi," seorang reporter televisi sedang siaran langsung dan menunjukkan fotoku terpampang besar di depan kamera. "Tidak, kalian salah dengan menuduh umiku! Hati-hati semua kalian bicara! Aku Iqbal anaknya, aku yang menyuruh