Aku membantu Yuni memasak di dapur. Muzammil olah raga di taman belakang rumah diantara pohon kurma yang sedang berbuah lebat. Sesekali aku mencuri pandang dari jendela dapur. Parasnya memang rupawan, dengan kumis tipis dan janggut dan bulu di rahang tipis dan halus berkilau.
Tak sengaja mata Muzammil menangkap aku yang sedang mengamati dirinya. Aku malu bukan kepalang, apalagi setelah dia melayangkan senyuman manisnya.
Aku segera menarik diriku dan sembunyi di balik dinding dapur.
"Sudah Fahim, kamu istirahat saja!" pinta Yuni.
"Tidak apa-apa aku harus bekerja kalau tidak badanku malah sakit semua," ujarku.
"Dimana Yuli?" tanyaku saat melihat Yuli tidak bersama Yuni.
"Dia lagi bersih-bersih rumah, kita bagi-bagi tugas, aku memasak dan membersihkan dapur," ujar Yuni.
"Enak ya kalau punya teman pengertian, bisa diajak saling berbagi kayak sama saudara sendiri," kataku tersenyum kagum.
"Kita hidup di negara orang ha
Aku sangat kecewa dengan Muzammil. Saat ingin kusandarkan beban berat di bahunya kurasa dia memberikannya tapi ternyata fatamorgana. Muzammil hanya memberi harapan palsu kepadaku juga Iqbal bahkan dia berkhianat. Padahal Iqbal sudah menaruh harapan besar kepada Muzammil untuk menjaga uminya. Aku mengambil dompet dan ponsel di kamar. Aku mengendap-endap bak pencuri takut ketahuan tuan rumah. Dengan clingukan memeriksa ke penjuru ruangan takut ada orang yang melihat kepergianku. Kini aku sudah berada di halaman depan yang sangat luas. Sama seperti rumah Faruq. Hanya saja pembantu Muzammil hanya dua orang wanita Indonesia dan tiga pembantu lelaki dari pribumi. Ada dua orang penjaga pintu gerbang, aku harus mencari akal untuk mengelabuhi mereka. Aku mengenakan baju yang dipinjamkan Yuni, begitu juga sandal. Muzammil berjanji akan membelikan baju dari butik langganannya dan baru siang ini akan diantar. Aku berpura-pura tenang agar penjaga tidak curiga. "Se
Aku tidak mengira akan tidur diantara ratusan orang bahkan tidak saling mengenal. Aku berpenampilan sedekil mungkin untuk menjauhkan para lelaki hidung belang agar tidak mendekatiku. Aku mulai punya teman dekat sependeritaan. Dia begitu ikhlas menolongku. Kami saling mendukung dan saling membutuhkan. "Fahim, besuk pagi aku part time, kamu hati-hati ya? Kamu punya uang tidak untuk beli makanan besuk?" tanya Hermin. "Ada Kok," kataku tidak enak hati merepotkan Hermin. "Coba kulihat!" ujarnya sambil merebut dompetku. "Waduh ini cuma cukup untuk sarapan, ini aku tambahi uang untuk beli makan siang ya? Makan malam nanti aku yang belikan," kata Hermin sambil memasukkan beberapa lembar uang ke dompetku. "Aku jadi merepotkan kamu, Hermin," kataku tidak enak hati. "Nggak usah sungkan, Fahim, siapa tahu suatu saat ganti aku yang merepotkan kamu," ujar Hermin tersenyum. "Terima kasih, Hermin," ucapku. "Oh ya, kamu punya ka
Aku kembali ke markas para gelandangan di bawah jembatan. Polisi sudah mengobrak-abrik persinggahan mereka. Bahkan menyapu bersih barang-barang mereka dan diangkut ke truk. Banyak TKI yang tertangkap dan dibawa paksa masuk bus. Mereka yang ditangkap dan dikumpulkan di lapangan serupa padang pasir di dekat jembatan. Ada seratus orang lebih tertangkap. "Akan dibawa kemana mereka, Diah?" tanyaku pada wanita yang mengajakku sembunyi, dia bernama Diah. "Dipenjara Fahim, sebelum mereka akhirnya dideportasi. Kemarin temanku ada yang tertangkap akhirnya dia dipenjara. Di situ dia dilecehkan sama polisi-polisi gila," cerita Diah. Sontak aku merinding, membayangkannya saja tidak bisa. Aku sudah mengalami tindakan seperti itu bertahun-tahun. Tapi aku merasa ini lebih ngeri lagi. Bagaimana kalau mereka tidak hanya seorang saja bahkan beramai-ramai? "Makanya kita harus hati-hati, kalau kita mau pulang ke Indonesia pasti mengalami masuk penjara. Ada juga sih
Wajahku terpampang di mana-mana, bahkan selebaran-selebaran yang terpasang di tembok-tembok. Mereka memajang wajahku saat bercadar dan tidak. Ini membuatku semakin tidak leluasa bergerak. "Fahim, ini sangat tidak aman buat kamu. Alangkah baiknya bila kamu mencari majikan saja dan kamu tinggal di rumahnya," usul Hermin. ”Iya aku tahu, Hermin," jawabku sedih. Aku merasa semakin terpojok dengan berita dimana-mana sebagai buronan. Bahkan Tuan Hussein mengadakan sayembara dengan bayaran yang menggiyurkan. Ini membuat orang semakin tertantang. Mungkin selain Hermin pasti sudah berkhianat. Dia akan memilih uang ketimbang pertemanan. "Tempat ini sudah tidak aman lagi buatmu, Fahim. Kita harus berpikir lagi kemana kita harus pergi. Atau kita bisa cari kontrakan saja, Gimana menurutmu, Fahim?" usul Hermin. "Aku setuju Hermin," jawabku pasrah. "Aku tidak bisa berpikir jernih lagi," kataku sedih. Dret ... Dret ... Dret ...! Ponsel Faruq yang kupeg
Seorang lelaki bertubuh besar dan tinggi itu berjalan mengendap-endap mendekatiku. Perlahan dia menarik selimut yang menutupi tubuhku juga Hermin. Dust! Aku kentut, tak kuat menahan perutku yang teramat sakit karena masuk angin dan menahan BAB. Sontak bau busuk menyeruak ke udara setelah selimut itu dibuka. Ough ... Ough ... Ough! Tak heran dia mau muntah-muntah tak tahan mencium aroma itu. Aku sendiri yang kentut saja mau muntah juga. Aku melihat Hermin menahan nafas sambil menutup hidungnya. "Kurang ajar, udah wajahnya jelek jorok pisan! Makanannya bangkai tikus kali" umpat lelaki itu bergumam lirih. Sepertinya dia orang Indonesia, dia menggunakan logat bahasa daerahnya. Dia berjalan menjauhiku sambil membekap hidung dan mulutnya. Lelaki itu melanjutkan memeriksa satu persatu orang yang tidur. "Cari apa bang?" tanya salah seorang yang terbangun saat melihat ada cahaya ke wajahnya. "Cari buronan pembunuhan, jangan-jang
Aku berlari terseok-seok di tengah padang pasir yang terik dengan angin penuh debu. Beberapa orang berseragam dan bersenjata mengejarku beramai-ramai. Dengan menahan sakit, aku terus berlari berharap menemukan apapun sekedar menyembunyikan bayanganku. Nafasku tersengal-sengal bagai di ujung kerongkongan. "Ayo kejar terus, jangan sampai lepas! Jangan beri ampun dia!" teriak pemimpin mereka dengan keras. Suara itu sangat familier dan tidak asing bagiku. Dor! Suara tembakan itu mengagetkanku, membuatku salah langkah, gugup dan takut. Akhirnya aku jatuh berguling-guling ke lembah berdebu. Luka di paha kembali mengucur darah segar penuh pasir, demikian juga dengan lukaku di lengan. "Kejar, jangan sampai lepas!" teriaknya makin emosi. Mataku penuh dengan debu, ditambah lagi dengan kepalaku yang pusing menggigit. Terdengar ringkikan suara kuda dengan derap langkah kakinya yang samar terdengar. Mataku yang masih kelilipan debu berusaha k
Aku menguping pembicaraan Hermin dengan seseorang yang dia panggil pangeran muda. Seorang majikan part time mempekerjakannya setiap Sabtu dan Minggu. "Berarti Pangeran Muda butuh seorang lagi untuk dipekerjakan di apartemen?" tanya Hermin. (...) "Siap, ada kok pangeran hari ini saya antar dia ke tempat pangeran." (...) "Saya tunggu di depan Kantor Konsulat Indonesia, ya Pangeran?" ujar Hermin. (...) "Baik Pangeran, Waalaikum salam." Hermin menutup telepon dengan tersenyum lega. Dia menatap wajahku perlahan dan menghampiriku. Kemudian memelukku menangis bahagia. "Ada apa Hermin, kamu bahagia sekali," tanyaku kepo. "Fahim, kamu dapat majikan, pangeran muda membutuhkan pembantu untuk bekerja di apartemennya, bukan sebagai part time," ujar Hermin sambil melepaskan pelukannya. "Aku yang ke sana, Hermin?" tanyaku meyakinkan. "Iya Fahim, kamu buronan, tempat itu lebih aman buat kamu. Kalau kamu
Hermin membantu mengenalkan aku dengan lingkungan pekerjaanku yang baru. "Mungkin di majikanmu yang dulu kamu hanya bertugas memasak, tapi di sini semua pekerjaan kamu sendiri yang menyelesaikannya," ujat Hermin. "Iya aku faham, Hermin," jawabku. "Fahim, kalau kamu butuh bantuanku jangan sungkan-sungkan bilang saja!" pesan Fattah yang tiba-tiba muncul. "Oh iya, Pak Fattah, terima kasih!" jawabku ragu. Aku dan Hermin saling berpandangan, aku yakin apa yang dipikirkan Hermin sama dengan apa yang sedang kupikirkan. Hermin lupa memperkenalkan aku sebagai orang Fahim. Fattah satu-satunya orang yang tahu kalau aku adalah Fahim. "Pak Fattah, mau kopi biar dibuatkan Rosa?" tanya Hermin. Dia sengaja memanggil aku dengan nama Rosa sekalian ingin mengklarifikasi kepada Fattah. "Siapa Rosa?" tanya Fattah bingung. "Oh iya dia Rosa," kata Hermin. "Bukannya Fahim?" tanya Fattah bingung. "Bukan, saya yang