Zaweel mengajak semuanya singgah di Freshrock Caffe untuk mengisi perut dulu karena sudah memasuki waktu makan siang.
"Pesan yang banyak, Ziya biar kuat!" seru Anis.
"Iya, Kak, kenapa cuma pesan dua menu saja. Pesan lain juga biar Kakak punya tenaga, buktikan pada mereka kalau Kakak bisa baik-baik saja setelah terlepas dari lelaki itu," imbuh Lidya, dia tidak suka melihat kakaknya bersedih berkelanjutan apalagi jika menangisi lelaki macam Shabir. Buang-buang waktu saja.
"Sudah cukup, Dek," kata Haziya, tetapi Miska malah langsung menulis menu tambahan untuk Haziya."
"Miska, hapus saja daripada mubazir," usul Haziya, tetapi Lidya malah melarangnya.
"Mbak, ini ya jangan lama," ujar Miska seraya menyerahkan buku menu kepada pelayan cafe.
"Baik, ditunggu dulu ya, Dik," tandasnya sebelum berlalu menuju pantry.
"Mereka benar, Nak, kamu harus makan yang banyak," tutur ayahnya yang disetujui oleh sang ibu.
"Anak ibu
"Bang, katakan tadi nelpon siapa?" tanya Miska tiba-tiba ketika Zaweel mulai menginjak pedal gas menjauh dari depan rumah Haziya."Papa," jawab Zaweel singkat, Miska semakin curiga sesuatu hal besar sedang terjadi karena ekspresi wajah Zaweel ketika berbicara dengan Om Zacky di restoran tadi mengundang penasaran."Ada apa? Abang disuruh balik ke Jakarta?" tebak Miska sangat tepat sasaran. Biasanya dua saudara ini tidak pernah seserius ini mengobrol, apalagi Miska yang terkesan ikut campur.Namun, Miska mencemaskan sesuatu jika dugaannya benar. Keluarga Zaweel tidak terlalu setuju jika dia ke Aceh, meskipun mereka tidak sepenuhnya mengetahui tujuan Zaweel ke mari. Karena Zaweel hanya beralasan untuk menjenguk saudaranya di kampung dan berliburan. Meskipun sekarang papa dan mamanya sudah mengetahui alasan utama putra mereka rela terbang ke Aceh, meninggalkan pekerjaannya di sana sebagai pengacara dengan bayaran termahal.***"Mama enggak
Haziya dan Lidya singgah dulu di waroeng makan yang terkenal dengan menu sate Apaleh. Kuah kacang khas aroma menghidu aroma penciuman keduanya ketika melewati jalan protokol Banda-Medan itu. Beberapa kilometer sebelum sampai kota Lhokseumawe.Puluhan warung kupi berjejeran dengan dua muka setiap toko diisi oleh satu rak sate. Para pekerja memakai batik khas Aceh yang berbeda setiap warungnya. Selain sate, juga ada Abang penjual mie goreng Aceh yang tak kalah sedap memanjakan lidah para wisatawan. Mereka bahkan ada yang sengaja pergi dari Banda Aceh ke Lhokseumawe hanya untuk mencicipi sate Apaleh ini.Perjalanan enam jam lebih terbayarkan ketika kelezatan daging sapi yang diolah menjadi sate membuat mereka ingin berkunjung kembali nantinya."Pakai nasi dua ya, Bang sama es teh manis," pesan Lidya ketika Abang penjual sate menanyakan pesanan mereka."Baik, silakan ditunggu dulu ya, Dik."Keduanya duduk di salah satu kursi yang dise
Zaweel tidak mau membuang waktu meski beberapa menit saja untuk istirahat setelah sampai di Jakarta. Dia langsung ke kantor mememui papa untuk membahas soal pekerjaan, dibandingkan pulang ke rumah hanya sekadar makan ataupun mandi. "Mas Zaweel, apa kabar Mas?" sapa asisten pribadinya yang sudah lama tidak melihat lelaki berkarismatik itu menginjakkan kaki ke perusahaan. Meskipun sebelumnya Zaweel juga sangat jarang ke kantor karena dia sibuk dengan pekerjaannya sebagai pengacara, tetapi tetap saja Safia selalu mengharapkan kedatangan bos tampan ini dan sangat merindukannya untuk waktu yang lama tidak melihat Zaweel. "Alhamdulillah, baik. Papa ada di ruangannya?" Zaweel belum menghubungi sang papa untuk memberitahu kalau dia sudah sampai di sini, bukan karena niatnya untuk memberikan kejutan, tetapi dia merasa tidak terlalu penting jika sekadar mengabari posisinya sekarang. "Ada, baru saja selesai rapat. Mas Zaweel mau dibuatkan kopi sep
"Zaweelku!" Mama menyambut Zaweel di teras, dia langsung memeluk putranya seolah baru saja pulang dari sekolah."Kamu kehilangan berapa kilo berat badan?" Mama menilik penampilan anaknya dari atas hingga bawah."Jangan bilang karena kamu terlalu memikirkan kasus si janda itu, kamu--""Ma, aku mau mandi dulu abis ini makan. Lapar banget, mama masakin apa?" Zaweel sengaja memotong ucapan sang mama, dia tidak ingin mereka berdebat hal tidak penting di teras."Ayo, mama sudah masakin banyak makanan kesukaanmu. Kamu mandi dulu, mama hangatkan sebentar."Zaweel menaiki tangga, dia tidak membenci mamanya yang bersikap berlebihan dan kurang menyukai Haziya padahal belum mengenal perempuan itu secara formal. Mamanya bukan orang jahat, bahkan begitu menyayanginya karena itu Zaweel sangat menghormati perempuan yang telah melahirkannya itu.Dia mencoba
Zaweel mengecek ponselnya ketika dia merebahkan badan di tempat tidur. Namun, dia merasa aneh dengan pesan yang belum dibalas oleh Haziya. Bahkan sekadar dibaca pun belum.Apakah terjadi sesuatu dengan Haziya?Zaweel mencoba untuk tidak berpikiran buruk, mungkin saja Haziya sedang sibuk menikmati liburannya sehingga tidak sempat membalas pesan."Bang ..."Jarang sekali Miska mengirim chat menggantung seperti itu, biasanya dia selalu langsung to the point jika ada hal penting."Iya, ada apa?" Zaweel segera membalas, perasaannya sedikit deg-degan menunggu pesan lanjutan Miska."Kangen enggak? Wkwk."Miska mengirimkan foto Haziya tersenyum memandang lautan sedang berdiri di tepi pantai yang diambil gambarnya oleh Lidya.Zaweel menghela napas lega setelah melihat Haziya baik-baik saja. 
"Aku pulang ke Jakarta tadi pagi."Saat membaca pesan terakhir dari Zaweel, Haziya merasakan desiran aneh di dada. Bahkan dia tidak langsung membalas, matanya terasa berat oleh genangan embun.Mengapa Haziya mendadak didesak oleh perasaan tak menentu? Hatinya terasa nyeri membaca kalimat itu.Haziya sadar dia hanyalah klien bagi Zaweel, tidak punya hak mengatur kapan lelaki itu kembali ke kotanya lagi. Namun, mengapa tidak ada salam pamitan sejak kemarin? Setidaknya Zaweel memberitahukan soal keberangkatan tadi pagi itu kepadanya, sekadar basa-basi?Seketika Haziya sadar, jika hubungan mereka tidak lebih dari antara klien dan pengacara. Dia tidak punya hak untuk menuntut Zaweel dengan kekecewaan diterimanya kini. Lelaki itu bebas ke mana pun, bahkan jika tidak kembali lagi ke Aceh untuk melanjutkan status seorang pengacara baginya sah-sah saja.Dia tidak tahu al
30*Safia menyapa Zaweel saat melihat bosnya memasuki ruangan kerja. Dia baru saja mengantarkan segelas kopi susu untuk Zaweel."Selamat pagi, Mas Zaweel.""Pagi," balas Zaweel, dia berjalan menuju meja kerja."Setengah jam lagi kita rapat, aku sudah menyiapkan semua berkasnya.""Baik, terima kasih," ucapnya seraya tersenyum simpul. Safia mengangguk kecil, tetapi tidak juga beranjak dari tempatnya berdiri."Ada apa, Safia?" tanya Zaweel melihat tatapan ragu-ragu Safia. "Kamu ingin mengatakan sesuatu? Katakan saja."Zaweel bisa membaca jelas raut wajah merona Safia, perempuan itu memang cantik tapi sayangnya belum mampu menarik hatinya."Aku ... hanya ingin mengingatkan Mas, tentang undangan makan malam nanti di rumah."Safia menggigit bibir merahnya yang ranum, lelaki mana yang tidak tergoda melihat seorang perempuan berpenampilan cantik dan modis seperti Safia kini. Namun, Zaweel sudah biasa melihat pe
Jam sudah menunjukkan pukul enam petang, Zaweel masih di meja kerja. Dia masih berkutit dengan berkas-berkas dan dokumen penting lainnya.Sesuai rencananya, dia ingin segera membereskan kekacauan di kantor supaya bisa segera kembali ke Serambi Mekkah untuk menjadi pengacara bagi Haziya. Menuntaskan janjinya pada Miska untuk menolong sahabat saudaranya itu. Dan, tentu saja agar bisa makan masakan Haziya.Zaweel bahkan sudah tidak menerima tawaran kasus apa pun, meskipun diiming-imingi dengan banyak fee. Karena jika dia mengambil satu kasus saja, bakal menghabiskan beberapa hari."Kamu langsung pulang saja, besok lanjutkan lagi. Jangan lupa nanti malam makan malam di rumah Safia."Papanya mengingatkan ketika rapat usai tadi siang. Namun, Zaweel tidak menghiraukan karena dia lebih mementingkan untuk menyelesaikan pekerjaannya dibanding harus bersiap-siap berjam-jam demi makan malam yang membosankan. Apalagi jika dia pasangan orang tua akan