"Tapi aku sudah berusaha menjadi ibu rumah tangga yang baik, Bu," kata Farida.
"Menjadi ibu rumah tangga yang baik? Baik apanya." Nadia menarik ujung bibirnya dengan begitu sengit.
"Ibu rumah tangga yang baik itu nggak pernah ngerepotin," lanjut Nadia.
"Maksud ibu apa? Aku ini istrinya Mas Adam, Bu. Aku hanya meminta hak ku saja sebagai istri tidak lebih." Farida menyelesaikan nada suaranya yang bergetar.
"Sudahlah nggak usah drama pake nangis segala," Adam terlihat tak peduli dengan perasaan Farida yang sudah hancur, sehancur-hancurnya.
Nadia menggeleng melihat Farida yang menunduk menahan air matanya agar tak sampai jatuh. Sepertinya ada rasa heran yang teramat sangat di dalam hati Nadia pada Farida yang tidak bisa dia ucapkan secara langsung.
"Farida, harusnya kamu itu mikir. Adam nggak kerja tapi aku masih bisa menghidupi kamu dan juga anakmu tapi coba kamu lihat dirimu sendiri. Apa kamu bisa nggak merepotkan suamimu terus. Kamu itu masih punya orang tua, mbok minta sama dia. Jangan hanya menuntut suamimu terus." Nadia mendengus kesal.
"Sudahlah Bu. Percuma juga ibu marahin dia. Dia akan tetap seperti itu," kata Adam.
"Hmmm kamu benar juga," ucap Nadia membenarkan kata-kata anaknya.
"Yasudah sekarang kamu ikut ibu ke rumah, nanti ibu kasih beras dan lauk-pauk juga," kata Nadia.
"Makasih ya, Bu." Adam tersenyum pada Nadia.
"Iya, Dam. Pokoknya kamu nggak perlu pikirin apa kata istrimu ini ya. Kamu nggak perlu cari kerja kalo emang belum ada." Nadia mengusap pundak Adam.
"Ya Allah, beginikah cara ibu mendidik dan mendewasakan Mas Adam selama ini," batin Farida terheran melihat Nadia yang sama sekali tidak mengingatkan Adam untuk segera mencari pekerjaan.
***
Setelah Nadia pulang ke rumah, Farida pun kemudian menyusulnya seperti perintah Nadia yang memintanya agar datang ke rumahnya untuk mengambil beras lagi.
Sebenarnya Farida tak ingin lagi meminta-minta dan bergantung pada mertuanya, tapi nyatanya gak segampang itu. Lagi-lagi dirinya menengadahkan tangan meminta mertuanya membantu keluarganya.
Meski menahan malu dan juga rasa sakit di dalam hatinya. Nyatanya Farida masih memiliki muka untuk datang ke rumah Nadia dengan tangan kosong.
"Assalamualaikum," ucap Farida mengucapkan salam.
Tak ada sahutan dari Nadia maupun suaminya. Tapi tak lama, datang bapak mertuanya yang hanya memakai sarung dan kaos oblong.
Tatapannya terlihat tajam memperhatikannya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Tanpa ragu, Farida langsung mengulurkan tangannya untuk bersalaman.
"Mau apa kamu ke sini? Mau minta beras lagi, ya?" tanya bapak mertuanya yang seperti sudah hafal dengan kebiasaannya.
"I-iya, Pak. Tadi ibu meminta saya ke sini untuk mengambil beras," jawab Farida dengan nada pelan.
"Hmmm sudah aku duga sih. Kamu dan Adam pasti akan kembali ke sini untuk meminta bantuan kami," ucap bapak mertuanya yang masih menggenggam tangan Farida.
Farida hanya tersenyum kecut menanggapi perkataan bapak mertuanya. Ia sendiri sebenarnya sudah malu, tapi mau bagaimana lagi.
Farida menarik tangannya yang masih digenggam oleh bapak mertuanya saat bersalaman, namun tiba-tiba tangan bapak mertuanya menahan tangannya membuat Farida mendongak menatap wajah bapak mertuanya.
"Ya Tuhan, kenapa bapak menahan tanganku," batin Farida sudah ketakutan. Ia berusaha menarik tangannya meski tanpa kata keluar dari mulutnya.
Farida melirik ke arah wajah bapak mertuanya yang tampak tersenyum genit padanya sembari menahan tangannya.
"Pak, lepaskan tanganku," pinta Farida akhirnya memberanikan diri mengatakan kalimat itu.
"Kalau dilihat-lihat kamu cantik juga, ya," ujar bapak mertuanya menjawab perkataan Farida dengan tangan yang masih memegang erat tangan Farida.
Dua bulan kemudian.Sudah 2 bulan semenjak kepergian Farida, keadaan Tasya semakin memburuk. Tubuhnya semakin kurus dan pucat bahkan Tasya sering kesulitan untuk menekan makanan membuatnya semakin tamoak kurus."Ma, bagaimana ini. Keadaan Tasya semakin memburuk. Kita harus bagaimana sekarang?" tanya Adam yang saat itu tengah duduk di samping Nadia."Sudahlah, Dam! Kamu jangan bikin Mama jadi tambah bingung. Sekarang kita udah nggak punya apa-apa lagi.!perkebunan juga udah kita jual dan rumah juga sudah digadai. Semua habis untuk biaya pengobatan Tasya yang sampai sekarang nggak sembuh-sembuh juga. Kita udah nggak punya apa-apa, Dam," ucap Nadia."Berikan saja Tasya pada Farida, biar dia yang mengurusnya," ucap Nadia ketus."Tapi kan kita nggak tahu keberadaan Farida sekarang, Ma.""Kamu benar, juga. Pokoknya kamu harus cari saja dia sampai ketemu dan berikan Tasya padanya. Biar dia yang gantian mengurus Tasya," ucap Nadia yang wajahnya tampak sangat kusut.Setelah obrolan keduanya, Na
Sudah dia hati Farida dan Feri mencari Tasya dan Adam namun mereka masih belum menemukannya."Mas, bagaimana ini? Besok aku sudah harus berangkat tapi sampai sekarang kita masih belum menemukan Tasya. Aku takut benar-benar tidak bisa bertemu dengan Tasya sebelum aku berangkat," ucap Farida sembari terisak.Sementara langkah kaki keduanya masih terus menyusuri jalanan yang tampak lengang karena mendung."Apa kamu benar-benar harus pergi, Farida? Kamu bisa tetap tinggal di sini kalau kamu mau," ucap Feri."Tapi aku ingin mengambil Tasya dari mas Adam suatu saat, Mas. Aku yakin jika aku sudah punya banyak uang dan bisa menghidupi Tasya, pasti mas Adam tidak punya alasan lagi untuk menahan Tasya dariku.""Kamu kan punya aku, Farida. Aku bisa menghidupi kamu dan juga Tasya saat kita sudah menikah nanti.""Tidak, Mas. Aku tidak ingin merepotkan kamu. Kamu adalah orang baru yang tidak seharusnya merasakan semua itu. Aku yakin bisa membuktikan pada semua orang bahwa aku bisa menghidupi Tasya
Tok... Tok... Tok.Suara gedoran pintu yang cukup keras dari arah luar membuat Nadia yang sudah tidur harus tebangun.Dengan sedikit malas Nadia berjalan keluar dari kamar dan menghampiri pintu."Siapa sih malam-malam begini bertamu. Nggak punya sopan santun banget," umpat Nadia sembari berjalan menghampiri pintu.Saat pintu dibuka, Nadia langsung membulatkan kedua matanya melihat anak dan cucunya yang ternyata pulang tengah malam."Loh Dam, kamu kok malam-malam begini ke sini?" tanya Nadia sembari melirik ke arah Tasya yang digendong oleh Adam sementara kedua tangannya menjunjung taa besar.Seketika perasaan Nadia pun mulai tak enak dan menerka-nerka penyebab kedatangan Adam yang tiba-tiba.Nadia pun mempersilahkan Adam masuk. Setelah menidurkan Tasya di kamarnya, Adam kembali keluar menhampiri Nadia yang tengah duduk di sofa ruang tamu sembari meminum air putih yang ia pegang di tangan kanannya."Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kamu kembali ke rumah ini?" tanya Nadia tanpa basa-
Tiba-tiba saja Gladis bersimpuh di kaki Adam membuatnya semakin bingung."Maafkan aku, Mas. Aku minta maaf," ucap Gladis sembari menangis sesenggukan.Adam yang merasa belum puas dengan jawaban dari Gladis, segera meminta penjelasan yang lebih akurat."Hentikan nak Adam! Tespek itu memang milik Gladis," ucap Erna. Akhirnya Erna memberanikan diri angkat bicara mewakili Gladis yang saat itu hanya bisa menangis sesenggukan."Itu memang milik Gladis dan saat ini dia sedang hamil," ucap Erna lagi sembari melangkah kakinya menghampiri Gladis dan membangunkannya.Adam mengernyitkan keningnya tak mengerti. "Apa! H-hamil? Bagaimana bisa Gladis hamil sementara aku sendiri belum menyentuhnya," ucap Adam masih tak mengerti. Namun, dalam hatinya mulai berpikir yang tidak baik mengenai Gladis dan keluarganya.Hendaryo pun akhirnya menjelaskan semuanya pada Adam selagi Erna membawa Gladis kembali ke sisi mereka dan menenangkannya."Apa! Jadi kalian sudah menipu ku!" Adam tampak sangat marah setelah m
Setelah makan malam, Adam dan Gladis masuk ke dalam kamar dan duduk di pinggiran ranjang. Adam tampak ragu-ragu untuk mulai membahas apa yang dikatakan Nadia tadi di telpon."Emmm Gladis, Mas mau bicara sesuatu, " ucap Adam ragu-ragu.Gladis menatap ke arah Adam. "Ada apa, Mas? Mas mau bicara apa? Apa Ada sesuatu?" tanya Gladis.Adam terdiam sejenak memikirkan tentang apa yang akan ia katakan pada Gladis saat itu. Ia menimbang-nimbang dalam hatinya."Mas mau bicara apa? Bicara saja, tidak apa-apa kok," ucap Gladis meyakinkan.Adam yang tersadar mendengar kata-kata Gladis, langsung menoleh ke arahnya."Emmm b-begini, Gladis. Sebenarnya aku ingin menanyakan tentang dana yang akan keluarga kamu berikan untuk membantu perkebunan ku yang sedang memburuk," ucap Adam sedikit terbata.Gladis mengernyitkan keningnya mendengar apa yang dikatakan Adam saat itu."Mas, kamu ini bagaimana, sih. Sekarang kan Tasya sedang sakit tapi kok kamu memikirkan perkebunan! Seharusnya kamu memikirkan kesembuha
Hari-hari terus berlalu. Gladis dengan setia menemani Adam menjaga Tasya yang sakitnya semakin parah.Tasya membutuhkan pendonor namun masih belum mereka dapatkan sehingga sakitnya Tasya semakin parah.Gladis dan Adam bahkan belum melakukan malam pertama karena sibuk mengurus Tasya yang kondisinya terus memburuk.Dengan penuh kasih sayang, Gladis menyeka tubuh Tasya dengan air hangat yang ia siapkan sendiri."Terima kasih ya, Gladis. Aku benar-benar tidak menyangka kamu akan sesayang ini sama Tasya," ucap Adam mengusap lembut pundak Gladis lalu mengecupnya sekilas.Gladis pun menghentikan tangannya yang tengah menyapu tubuh Tasya. Ia menoleh ke arah Adam yang berdiri di sampingnya."Iya, Mas, sama-sama. Aku senang bisa melakukan ini semua," jawab Gladis lembut."Maaf ya karena sampai saat ini aku masih belum melakukan kewajiban ku sebagai seorang suami.""Nggak apa-apa, Mas. Aku mengerti kondisi kamu sekarang. Ya sudah katanya kamu mau pergi ke apotek untuk memberi obat. Lebih baik ka