Mendapat ancaman dari Evan, tak elak membuat nyali Aditama menciut karena saat ini ia tak takut dengan ancaman ... dari ... siapa pun itu! Setelah berkata, Evan berbalik dan pergi dari sana dengan menahan malu. Sementara dua satpam yang sedari tadi menundukan kepala, mematung di tempat, tiba-tiba wajahnya berubah pucat saat melihat Clara yang tengah menatap ke arah mereka. Apa yang akan dilakukan Clara kepada mereka? Setelah apa yang barusan dia lakukan kepada Evan? Lalu, Clara tampak melangkahkan kakinya menghampiri mereka, berdiri di hadapan mereka dengan tatapan dingin sambil menyilangkan tangan di depan dada. "Hari ini adalah hari terakhir kalian berdua bekerja di sini!" Tegas Clara kepada dua satpam tersebut. Sontak, kedua satpam itu pun terkejut. "Apa?!" Mereka tercengang, saling pandang satu sama lain, mencerna ucapan Clara dalam sepersekian detik. Mendengar hal itu, Vania terpelongo. Ia tak mempercayai apa yang barusan ia dengar dari mulut Clara yang memecat dua s
"Aku ingin cepat beristirahat, Tam!"Mendengar hal itu, Aditama menoleh ke arah Vania. "Baik lah. Setelah ini, kita akan langsung menuju ke unit kita. Tapi, sebelum itu, aku perlu berbicara dengan Bu Clara du --" "Aku tidak tahu letak unitnya! Aku juga ... tidak mau ke sana seorang diri!" Sambar Vania memotong ucapan Aditama dengan ekspresi wajah murung.Apa yang hendak Aditama bicarakan dengan Clara? Bukan kah urusannya sudah selesai?Mendadak, Vania langsung berpikir yang tidak-tidak. Seketika mata Vania melebar. Jangan-jangan ... mereka berdua hendak membicarakan hal lain diluar urusan apartemen ini?! Sementara Aditama mengerjap begitu mendapati Vania bersikap demikian. "Aku ... tidak menyuruh kamu untuk ke sana seorang diri, Van dan tak akan aku biarkan hal itu terjadi. Tentu saja kamu akan ke sana bersamaku. Tapi setelah aku bicara dengan Bu Clara dulu. Sebentar ya ... tak akan lam --" "Tak bisa kah lain kali saja?!" Lagi dan lagi, Vania memotong ucapan Aditama dengan sua
Esok paginya, Vania tampak gelisah, mondar-mandir di dalam kamar sehabis mandi. Bagimana tidak gelisah?Ia harus segera pergi ke kantor, tapi masalahnya ia tidak punya baju sama sekali. Vania merutuki dirinya karena kemarin tidak ada pikiran untuk mengambil baju terlebih dahulu di rumah Kakeknya.Akan tetapi, setelah dipikir-pikir lagi ... mana mungkin sempat?Kemarin, perasannya tengah kacau balau, campur aduk karena rumah tangganya nyaris saja diambang perceraian dan ia juga diusir oleh Kakeknya. Disaat itu, Aditama muncul --masuk ke dalam kamar. Melihat istrinya yang hanya mengenakan handuk ditubuhnya, dililitkan sebatas dada, membuatnya membeku. Tiba-tiba terbit senyum tipis di bibir Aditama. Aditama menatap Vania untuk beberapa saat tanpa berkedip, tak mau melewatkan tubuh indah istrinya yang tengah terpapang jelas di depan matanya. Kapan lagi ia bisa memandangnya? Kalau bukan sekarang? Namun tiba-tiba Aditama teringat sesuatu. Kenapa barusan Vania mondar mandir? Terlih
Vania masih tampak kebingungan sekaligus penasaran, belum puas mendengar penjelasan Aditama. Kepalanya masih terasa berat, ia hendak bertanya, mengintrogasi sang suami lebih lanjut. Akan tetapi, ketika ia menyadari jika ia harus segera berangkat ke kantor, ia pun mengurungkan niatnya. Lagi pula, ia sudah tidak bingung lagi soal pakaian, kini sudah ada banyak pakaian didepan mata dan itu memang diperuntukan untuknya. Akhirnya, tanpa mempedulikan apa pun lagi, Vania bangkit dari kasur, berjalan menuju ke arah lemari dan menarik salah satu pakaian dari dalam sana untuk ia kenakan. **Setelah selesai berganti baju dan sarapan, Vania dan Aditama pun bersiap hendak berangkat. "Yuk kita berangkat sekarang, Tam ... aku sudah agak telat nih." Ucap Vania seraya melangkahkan kakinya, mendahului Aditama. "Vania ..." Aditama berseru, menahan Vania. Mendengar seruan Aditama, membuat Vania menghentikan langkah. Lalu, ia berbalik dan menatap Aditama kembali. "Ada apa, Tam?" Tanya Vania den
Evan menatap Aditama dengan tangan terlipat di depan dada. "Bagimana, Aditama?" Tanyanya dengan senyum licik menghiasi bibirnya.Dia kemudian menambahkan. "Itu konsekuensi yang harus kau terima jika kau tetap ingin mengundurkan diri." Aditama terdiam di tempatnya. Ia tak ingin keputusannya itu akan berdampak buruk kepada teman-teman kulinya. Akan tetapi, di sisi lain, ia tak mau terus-terus san ditindas oleh orang-orang yang memiliki uang dan kekuasaan seperti Evan dan Chris. Seketika Aditama berpikir dengan keras.Tiba-tiba matanya melebar tatkala teringat Panji.Ah! Mudah saja bukan? ia bisa meminta bantuan Panji untuk mengurus hal ini! Selagi Aditama terdiam di tempat, semua orang kompak menatap Aditama, menunggu keputusan pria itu.Sementara Evan dan Chris juga menatap Aditama dengan senyum penuh kemenangan. Mereka telah menduga jika Aditama pasti akan mengurungkan niatnya.Aditama menghela napas pelan. Akhirnya, setelah terdiam sesaat, ia pun berkata. "Baik. Aku setuju." Ujar
"Kami tak percaya padamu, Tam ... kau itu kuli sama seperti kami! Punya kuasa apa sampai kau bisa membuat mandor Evan dan Pak Chris dipecat?" Seru salah satu kuli yang langsung dibenarkan oleh yang lain. Melihat Aditama dipojokan, Evan angkat bicara. "Benar apa yang dikatakan oleh mereka ... kau itu tak bisa berbuat apa-apa, Tam."Sindirnya sinis. "Makanya, jangan mencoba cari masalah denganku. Sekarang ... terima akibatnya!" Evan dan Chris lalu saling pandang, tersenyum penuh kemenangan. Aditama tak menghiraukan Evan dan Chris. Dia kemudian kembali menatap para kuli bangunan satu persatu. "Tunggu ...jika setelah ini tidak ada kabar pemecatan dari mereka berdua ... maka ... aku tidak jadi mengundurkan diri dan tetap bekerja di sini!" Ujar Aditama, mencoba meyakinkan para kuli. Mendengar hal itu, membuat semua orang terdiam, saling pandang, memikirkan omongan Aditama yang sepertinya bisa dipegang.Melihat para kuli bangunan yang mulai terpengaruh dengan ucapan Aditama, Evan pun
Dalam langkahnya menuju ruangan kerjanya, Vania merasa diperhatikan oleh para karyawan kantor sambil terlihat kasak-kusuk. Ia merasa tengah dibicarakan oleh mereka. Akan tetapi, Vania menggeleng cepat, menghalau prasangkanya. Mungkin hanya perasaanya saja. Semua akan tetap berjalan normal seperti biasa walau ia telah diusir dan dikucilkan dari keluarga Hermanto. Semua akan baik-baik saja. Namun ketika Vania tiba di ruangan kerjanya, ia dibuat heran tatkala mendapati ruangan kerjanya sedang dibersihkan oleh cleaning service. Meja kerjanya juga tampak bersih. Papan namanya sudah tidak ada di atas sana, juga berkas-berkas dan barang-barang miliknya.Vania mengedar pandangan ke sekeliling, mengamati ruangan kerjanya sesaat. Menyadari kedatangan Vania, cleaning service terkejut, seketika menghentikan kegiatannya. Bertanya-tanya, Vania pun berjalan mendekat dan berkata. "Kenapa meja saya jadi bersih begini? Ke mana berkas-berkas dan barang-barang saya di atas meja?!" Tanya Vania dengan
Bastian berdiri di hadapan Vania dengan senyum meremehkan sambil memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana. "Sudah jelas, bukan?" ucapnya. Dia kemudian menambahkan. "Kamu dan Aditama itu sudah diusir dari keluarga Hermanto!" Vania memasang wajah buruk begitu mendengar perkataan Bastian. "Aku benar-benar kecewa kepada kalian semua! Kalian semua begitu tega kepadaku!" Vania berseru tertahan dengan tangan terkepal. Namun Bastian tampak tidak peduli dengan kekecewaan Vania. "Heh, Vania ... kamu tau?" ucapnya dengan alis bertaut. Wajahnya lalu mengeras. "Gara-gara kamu dan Aditama ... penyakit jantung Kakek jadi kambuh dan sekarang ... Kakek harus dirawat dirumah sakit!"Sontak, Vania terbelalak. Apa!? Jantung Kakeknya kambuh? Dan sekarang sang Kakek dirawat di rumah sakit?Vania tidak menyangka jika kejadian di hotel itu menyebabkan penyakit jantung Kakeknya kambuh. Mendadak, Vania merasa cemas.Walau pun ia masih kecewa berat, marah dan juga benci kepada Kakeknya itu, nam