Bastian, Susan dan Mario benar-benar kecewa berat dengan Kakek Hermanto yang kini telah berubah.Jika dulu, setiap mereka mempunyai masalah dengan Aditama, pasti ia akan selalu berpihak pada mereka, tidak peduli mereka benar atau salah sekali pun. Tapi sekarang ... sudah tidak lagi! Mereka bertiga sengaja tidak memenuhi panggilan dari kepolisian karena Bastian sedang menunggu orang-orang suruhanya yang ia tugaskan untuk mencari bukti-bukti hubungan gelap antara Jauhar dengan Vania. Mereka sepenuhnya sadar dan tahu jika hal itu membuat para polisi nantinya akan mendatangi dan menjemput mereka secara paksa. Jika hal itu terjadi, maka, mereka akan malu. Oleh karena itu, Bastian menginginkan orang-orang suruhanya harus sudah menemukan bukti-bukti sebelum polisi menjemput secara paksa. Pada saat Bastian, Susan dan Mario fokus pada hal tersebut, mereka lupa sesuatu jika mereka telah membawa-bawa nama salah satu orang berpengaruh di kota Ferandia. Siapa lagi kalau bukan Jauhar—w
Sehari sebelumnya ... Aditama melihat dua orang tengah terduduk dengan keadaan tubuh terikat pada kursi selagi ia berjalan mendekat di sebuah gedung tak terpakai. Di kanan kirinya, dua laki-laki terlihat seperti sedang mengintrogasi dua orang itu. Mereka adalah tukang pukul Aditama. Menyadari kedatangan Tuan Mudanya, dua tukang pukul buru-buru menguasai diri untuk menyambutnya. Tiba di hadapan mereka, dua tukang pukul itu langsung menundukan badan masing-masing. Lalu, keduanya menegapkan tubuhnya lagi dan berkata. "Maafkan kami, Tuan. Kami belum berhasil membuat mereka berdua untuk buka mulut." Kata salah satu tukang pukul, menatap Aditama dengan perasaan bersalah bercampur takut seraya menunjuk-nunjuk dua orang yang dimaksud yang dibalas anggukan kepala oleh tukang pukul satunya. Aditama mengangkat tangan sambil mengangguk pelan, menandakan jika ia tidak mempermasalahkan hal itu.Seketika dua tukang pukul itu pun merasa lega. Pandangan Aditama lalu terfokus pada dua orang yang
Hermanto menjadi penasaran setelah melihat Bastian tampak begitu terkejut setelah mengecek sesuatu di tab milik Jauhar.Ia ingin bertanya mengapa putranya bersikap demikian, tapi akhirnya ia mengurungkan niat, memutuskan menunggu saja. Selagi Bastian terdiam shock, Jauhar angkat suara. "Dua orang itu ... adalah suruhan Anda, bukan, Pak Bastian? Yang Anda perintahkan untuk mengikuti saya dan Nona Vania?" Pertanyaan itu membuat Bastian tersadar. Sedangkan Hermanto mengerjap. Di saat ini, pria tua itu langsung teringat dengan perkataan Bastian tadi sewaktu di mobil yang mengatakan jika dia sedang mencari bukti. Kala memikirkan hal itu, Hermanto seketika memasang ekspresi wajah tak berdaya. Tentu saja mudah bagi Jauhar meringkus orang-orang suruhan Bastian tersebut.Di sisi lain, ia geram dengan apa yang dilakukan Bastian terhadap Jauhar dan Vania. Jauhar lanjut berkata. "Apa yang ingin Anda cari, Pak Bastian? Anda ingin mencari bukti-bukti jika saya dan Nona Vania memiliki hubungan
"Ternyata dua orang yang mengikutimu akhir-akhir ini adalah orang suruhanya Paman Bastian, sayang." Jelas Aditama kepada sang istri. Seketika Vania menghadap Aditama.Pasangan suami istri itu kini sedang duduk bersebelahan di sofa ruang bersantai. Aditama baru saja pulang dari kantor. Sedangkan Vania pulang lebih awal. Jadi, ia bisa menyambut kepulangan sang suami. Vania mendecakan lidah seraya menggeleng mendengarnya. Dia kemudian berkata. "Ya ampun ... sebegitu yakinya Paman jika aku dan Pak Jauhar memiliki hubungan?!" Wajah Vania mengernyit. Pun kesal. Ia tidak habis pikir dengan sang Paman, sepertinya rasa iri telah membutakan mata dan pikiranya.Aditama lanjut berkata. "Tapi kamu tak perlu khawatir, sayang ... karena orang-orang suruhan Paman Bastian itu sudah aku bereskan." Kemudian, rahangnya mengeras. "Jadi, mereka tidak akan bisa mengganggumu lagi!" Seketika terbit senyum di bibir Vania. "Terima kasih, Tama," Kemudian, matanya menyipit. "Aku jadi tidak takut lagi kalau p
Tiba di ruang tamu, Bastian, Susan dan Mario kompak terkejut melihat Aditama dan Vania sudah duduk di sana.Mereka pikir keduanya belum sampai, ternyata sudah sampai lebih dulu. Melihat kedatangan mereka bertiga, Aditama, Vania dan Hermanto kompak menoleh menatap mereka bertiga dengan dingin. Menginginkan segera mendapat simpati dari Vania dan Aditama, Susan buru-buru memasang ekspresi wajah sendu."Vania ... Aditama ... " panggil Susan, menatap keduanya bergantian selagi berjalan mendekat dan duduk di sofa dekat mereka. "Sudah lama kalian sampai di sini?" "Belum terlalu lama, Bi." Jawab Vania dingin, balik menatap sang Bibi. Sedangkan Aditama hanya diam saja. "Vania ... Aditama ... " sambung Bastian selagi berjalan mendekat dan duduk di samping istrinya. Diikuti Mario setelahnya yang kemudian duduk di sampingnya. "Paman benar-benar sangat menyesal—" "Santai saja dulu, Paman," sergah Aditama menyela perkataan Bastian yang membuat Bastian gelagapan sebelum akhirnya mengangguk pela
Akhirnya, setelah terdiam beberapa saat, Hermanto membuka mata dan berkata. "Sekarang, Aditama sudah tidak bisa kalian anggap remeh lagi karena dia ... " Hermanto menggantungkan kalimatnya. Kemudian, dia menggelengkan kepala. "Bukan pria miskin lagi!" Mendengar itu, Bastian, Susan dan Mario secara perlahan mengangkat muka—beralih menatap Hermanto dengan kening berkerut. Apa maksud Hermanto mengatakan jika Aditama bukan orang miskin lagi? Sementara Aditama, Vania dan Stephanie tengah saling pandang satu sama lain dan saling melempar senyum. Mereka menduga jika Kakek Hermanto akan menyinggung soal Aditama yang mendapatkan warisan kepada mereka bertiga. Aditama sendiri tidak mempermasalahkan hal itu. Lagi pula, sebelumnya sang kakek sudah ijin padanya untuk mengatakan hal itu kepada mereka bertiga dan ia memperbolehkanya. Memang sudah seharusnya mereka mengetahui hal tersebut supaya mereka tidak menganggap dirinya hanya menumpang hidup di keluarga Hermanto saja. Selagi mereka ber
Belum sepenuhnya tersadar dari keterkejutan hebat yang tengah melanda diri mereka bertiga masing-masing karena baru saja melihat nominal saldo sebesar 800 miliar di rekening Aditama, mereka bertiga harus dibuat terkejut lagi dengan sesuatu yang tengah diperlihatkan Vania. Setelah meletakan surat-surat di atas meja—di hadapan mereka bertiga—Vania kembali menghempaskan punggung ke sandaran kursi dan berujar. "Itu adalah sertifikat kepemilikan unit apartemen yang dibeli suamiku yang sekarang telah resmi menjadi milik kami, serta surat-surat bukti kepemilikan mobil BMW kami." Ekspresi wajahnya dingin kala mengatakan hal tersebut. Seketika pandangan mereka bertiga jatuh pada beberapa surat-surat yang kini berada di atas meja.Selagi mereka bertiga terdiam tengah memandangi surat-surat itu, Vania angkat suara lagi. "Silahkan bisa kalian cek sendiri sertifikat dan surat-suratnya." Titahnya dengan mempertahankan ekspresi wajah dan nada dinginya. Akhirnya, setelah terdiam beberapa saat,
Vania menghela napas pelan. "Aku tidak tahu ... apakah kabar yang akan aku sampaikan ini akan menjadi kabar bahagia bagi kalian atau tidak," Vania menghentikan kalimatnya sejenak. Lipatan di kening mereka bertiga semakin bertambah. Apa sebenarnya yang akan Vania sampaikan? Vania lanjut berkata. "Mengingat ... apa yang telah kalian lakukan kepadaku ... kalian merasa iri dengan keberhasilanku mewujudkan perusahaan kita bekerja sama dengan Gandara corporation ... apalagi ... setelah aku dan Aditama melaporkan kalian ke polisi ... pasti ... kalian menjadi marah dan kecewa kepada kami berdua, bukan?" Mendengar ucapan Vania, Bastian, Susan dan Mario saling pandang satu sama lain, kemudian saling memberikan kode atas perkataan Vania barusan. Akhirnya, setelah melalukan hal itu beberapa saat, mereka bertiga kembali menatap Vania dan menggeleng pelan. Seakan ingin memberitahu jika mereka bertiga tidak marah dan kecewa seperti apa yang Vania pikirkan. Tiba-tiba Susan menyipi