Share

Bab 3 - Gunakan untuk Balas Dendam!

"Maaf, Kek. Tapi istriku bukan barang yang bisa diperjualbelikan. Demikian, aku tidak akan menceraikannya untuk uang!" ucap Aditama penuh keyakinan.

Semua orang terbelalak, begitu pula dengan Vania. Tidak pernah dia melihat sang suami bersikap begitu keras!

Sebelumnya, setiap kali direndahkan dan diremehkan, Aditama tak pernah melawan. Namun, ketika hubungan mereka dipertaruhkan, ternyata Aditama bisa mengambil sikap yang pantas!

Sementara itu, para anggota lain keluarga Hermanto menjadi marah karena balasan Aditama.

"Dasar tidak tahu diri! Dikasih hati malah minta jantung."

"Cuma disuruh menceraikan dan melepaskan Vania saja kok susah! Demi dua miliar dan nyawa ibunya loh?!"

"Sekarang menolak, nanti dia yang akan kembali sambil bersujud untuk uang itu!"

Mendengar komentar-komentar keji itu, Aditama menatap satu persatu anggota keluarga Hermanto dengan saksama. Sampai akhirnya, pandangannya berhenti pada Kakek Hermanto.

"Karena tidak bisa menerima bantuan, aku pamit terlebih dahulu, Kek. Permisi."

Tanpa mempedulikan apa pun lagi, Aditama balik badan dan melangkah pergi!

"Tama! Tunggu!"

Tiba-tiba terdengar seruan dari Vania. Semua orang kompak menoleh.

Sedari tadi, Vania telah memperhatikan semuanya; bagaimana Aditama memilih mempertahankan rumah tangga mereka dan mencari sendiri biaya pengobatan ibunya.

Padahal sebagai istri, Vania tidak pernah sepenuhnya memperlakukan Aditama sebagai suami. Ranjang mereka terpisah, bahkan keduanya tak pernah sekalipun melakukan hubungan selama hampir empat tahun menikah. Berbicara pun seadanya, seperti ketika Aditama selesai menyiapkan makanan, membangunkannya sebelum ke kantor, atau menyambutnya setelah pulang kerja.

Semua hal itu karena Vania sendiri awalnya tidak setuju dengan perjodohan sang ayah dan memperingati Aditama untuk menjaga jarak!

Akan tetapi, Aditama baik hati dan lembut padanya. Sebagai suami, pria itu tidak pernah sekalipun menyakitinya. Demikian, Vania tidak membencinya.

Terlebih tadi, ketika Aditama menolak bercerai dengannya karena merasa dirinya bukan barang, Vania merasa ada perasaan tak menentu dalam hatinya!

Melihat Aditama menghentikan langkah dan membalikkan badannya terkejut, Vania langsung berucap, "Aku ikut untuk menemui ibumu!"

Aditama tersenyum dan menganggukkan kepala. "Oke." Dia bersiap meraih tangan sang istri, tapi mendadak sebuah seruan terdengar.

"Lancang!" teriak Kakek Hermanto selagi menunjuk-nunjuk Vania. "Berani kamu melangkah keluar dari kediaman ini!?"

Vania berbalik menatap sang kakek. "Apa salahnya aku menemui ibu mertuaku, Kek?! Beliau dalam kondisi kritis!"

"Kau kira aku peduli!? Kembali sekarang atau namamu akan aku coret dari keluarga besar Hermanto!" ancam kakek Hermanto, membuat Vania mematung di tempat.

Sebegitu benci dan teganya sang kakek kepada Aditama dan ibunya?!

Di sisi lain, Aditama menatap Vania dengan tenang. Tidak ada sedikit pun kebencian di matanya kala menatap sang istri yang terjerat dilema.

"Vania, dengarkan kakekmu dan tetaplah di sini."

Vania balik menatap Aditama, dia merasa begitu bersalah. Sebagai istri dan menantu, dia merasa harus melakukan sesuatu. Alhasil, ia mengeluarkan kartu ATM dari sakunya.

"Di sini, ada uang tabunganku. Gunakan itu untuk operasi ibumu ...."

"Tunggu! Siapa bilang laki-laki sampah itu boleh menggunakan uangmu, Vania?"

Tiba-tiba Stephanie, ibu Vania, berteriak selagi datang menghampiri wanita itu dan Aditama.

“Uangmu dihasilkan dari perusahaan keluarga Hermanto, jadi uang itu adalah uang keluarga Hermanto!” ucap sang ibu. "Tidak berhak kamu memberikannya kepada pria tak berguna itu!"

Vania memasang wajah tak berdaya. "Ma ... tapi--"

"Tutup mulutmu! Turuti omongan Mama atau kamu sungguh tak Mama aku sebagai anak lagi!"

Sontak, Vania kembali membeku. Dia menatap Aditama. Akan tetapi, suaminya itu hanya menggelengkan kepala.

"Aku akan mengurus semuanya sendiri," ucap Aditama. Dia tersenyum tipis kepada sang istri. "Aku pergi."

Kepergian Aditama diiringi tawa mencemooh menyakitkan dari para anggota keluarga Hermanto. Sampai kapan pun, Aditama akan ingat hinaan mereka hari ini!

Setelah berjalan cukup jauh dari kediaman keluarga Hermanto, Aditama yang frustasi tiba-tiba dikejutkan dengan panggilan telepon.

“Selamat malam, benar ini dengan Tuan Aditama?”

“Iya, dengan saya sendiri. Siapa ini?”

“Tuan, saya dari pihak rumah sakit ingin mengonfirmasi bahwa operasi ibu Anda telah dijadwalkan untuk besok siang.”

Kening Aditama berkerut. "Tapi ... saya belum melunasi pembayarannya?"

Selama sesaat, pegawai rumah sakit terdengar bingung dan berbicara dengan seseorang. Kemudian, dia kembali bersuara, "Ah, pembayaran Anda telah dilunasi kerabat Anda."

Lunas?!

"Maaf, siapa kerabat saya yang Anda maksud?"

Pegawai rumah sakit menjawab, "Saya kurang tahu, Tuan. Akan tetapi, beliau tadi berpesan akan menunggu Bapak di sini."

Mendengar hal tersebut, Aditama mengerutkan keningnya. Sepertinya, dia tahu siapa yang telah melakukan pelunasan!

**

Tiba di depan kamar rawat inap sang Ibu, Aditama mendapati seorang pria tengah duduk di kursi lorong rumah sakit.

Menyadari kedatangan Aditama, pria itu pun langsung bangkit dan membungkuk hormat.

"Kenapa kau membayar biaya operasi Ibu?!" tanya Aditama dengan muka mengeras. "Bukankah sudah kukatakan untuk tidak mengganggu kami lagi!"

Ya, pria yang sedang Aditama bentak itu tidak lain dan tidak bukan adalah Panji.

Panji menegapkan tubuhnya. "Saya hanya melaksanakan perintah tuan besar, Tuan Muda." Tidak sedikit pun dia merasa tersinggung akan bentakan Aditama.

Aditama mengepalkan tangannya. Ia tidak sudi menerima bantuan dari Ayahnya. Namun, ia juga tidak mampu mengembalikan uang yang sudah dibayarkan oleh ayahnya itu. Rumah sakit juga jelas tidak akan membatalkan transaksi yang sudah terjadi!

"Pak Aditama!"

Aditama seketika menoleh ke sumber suara. Tampak suster perawat yang selama ini bertanggung jawab atas ibunya datang menghampiri.

"Kami perlu Anda menandatangani beberapa berkas untuk keperluan operasi ibu anda."

Aditama mematung. Apa dia akan menyetujui operasi yang terjadi dengan uang ayahnya ini?

Namun, dipikir-pikir, apa lagi yang bisa Aditama lakukan? Dia telah gagal mendapatkan pinjaman uang dari keluarga istrinya. Sedangkan pihak rumah sakit mengatakan kecil kemungkinan ibunya bertahan tanpa operasi itu!

Di saat itu, Aditama mendengar Panji berujar, "Tuan, jangan biarkan ego menguasai Anda. Apa Anda rela membiarkan Ibu Anda mati hanya karena itu?"

Aditama menggertakkan gigi. Dia tahu sang ibu tidak akan memaafkannya karena telah melakukan ini, tapi ...

"Berikan dokumennya," ucap Aditama pada akhirnya, langsung menandatangani dokumen yang diberikan sang suster.

Setelah suster pergi, Panji tersenyum dan berkata, "Keputusan yang bijak, Tuan Muda."

Aditama mendelik ke arah Panji. "Jangan anggap tindakanku ini akan mengubah keputusanku perihal ahli waris ...."

Panji menatap lembut tuan mudanya itu. "Saya tahu, Tuan Muda." Dia kemudian menambahkan, "Tapi, pikirkanlah dengan baik. Dibandingkan bersikeras menolak dan berpegang pada harga diri, kenapa tidak membalas Tuan Besar dengan mempergunakan segala yang bisa dia berikan?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status