"Maaf, Kek. Tapi istriku bukan barang yang bisa diperjualbelikan. Demikian, aku tidak akan menceraikannya untuk uang!" ucap Aditama penuh keyakinan.
Semua orang terbelalak, begitu pula dengan Vania. Tidak pernah dia melihat sang suami bersikap begitu keras!Sebelumnya, setiap kali direndahkan dan diremehkan, Aditama tak pernah melawan. Namun, ketika hubungan mereka dipertaruhkan, ternyata Aditama bisa mengambil sikap yang pantas!Sementara itu, para anggota lain keluarga Hermanto menjadi marah karena balasan Aditama."Dasar tidak tahu diri! Dikasih hati malah minta jantung.""Cuma disuruh menceraikan dan melepaskan Vania saja kok susah! Demi dua miliar dan nyawa ibunya loh?!""Sekarang menolak, nanti dia yang akan kembali sambil bersujud untuk uang itu!"Mendengar komentar-komentar keji itu, Aditama menatap satu persatu anggota keluarga Hermanto dengan saksama. Sampai akhirnya, pandangannya berhenti pada Kakek Hermanto."Karena tidak bisa menerima bantuan, aku pamit terlebih dahulu, Kek. Permisi."Tanpa mempedulikan apa pun lagi, Aditama balik badan dan melangkah pergi!"Tama! Tunggu!"Tiba-tiba terdengar seruan dari Vania. Semua orang kompak menoleh.Sedari tadi, Vania telah memperhatikan semuanya; bagaimana Aditama memilih mempertahankan rumah tangga mereka dan mencari sendiri biaya pengobatan ibunya.Padahal sebagai istri, Vania tidak pernah sepenuhnya memperlakukan Aditama sebagai suami. Ranjang mereka terpisah, bahkan keduanya tak pernah sekalipun melakukan hubungan selama hampir empat tahun menikah. Berbicara pun seadanya, seperti ketika Aditama selesai menyiapkan makanan, membangunkannya sebelum ke kantor, atau menyambutnya setelah pulang kerja.Semua hal itu karena Vania sendiri awalnya tidak setuju dengan perjodohan sang ayah dan memperingati Aditama untuk menjaga jarak!Akan tetapi, Aditama baik hati dan lembut padanya. Sebagai suami, pria itu tidak pernah sekalipun menyakitinya. Demikian, Vania tidak membencinya.Terlebih tadi, ketika Aditama menolak bercerai dengannya karena merasa dirinya bukan barang, Vania merasa ada perasaan tak menentu dalam hatinya!Melihat Aditama menghentikan langkah dan membalikkan badannya terkejut, Vania langsung berucap, "Aku ikut untuk menemui ibumu!"Aditama tersenyum dan menganggukkan kepala. "Oke." Dia bersiap meraih tangan sang istri, tapi mendadak sebuah seruan terdengar."Lancang!" teriak Kakek Hermanto selagi menunjuk-nunjuk Vania. "Berani kamu melangkah keluar dari kediaman ini!?"Vania berbalik menatap sang kakek. "Apa salahnya aku menemui ibu mertuaku, Kek?! Beliau dalam kondisi kritis!""Kau kira aku peduli!? Kembali sekarang atau namamu akan aku coret dari keluarga besar Hermanto!" ancam kakek Hermanto, membuat Vania mematung di tempat.Sebegitu benci dan teganya sang kakek kepada Aditama dan ibunya?!Di sisi lain, Aditama menatap Vania dengan tenang. Tidak ada sedikit pun kebencian di matanya kala menatap sang istri yang terjerat dilema."Vania, dengarkan kakekmu dan tetaplah di sini."Vania balik menatap Aditama, dia merasa begitu bersalah. Sebagai istri dan menantu, dia merasa harus melakukan sesuatu. Alhasil, ia mengeluarkan kartu ATM dari sakunya."Di sini, ada uang tabunganku. Gunakan itu untuk operasi ibumu ....""Tunggu! Siapa bilang laki-laki sampah itu boleh menggunakan uangmu, Vania?"Tiba-tiba Stephanie, ibu Vania, berteriak selagi datang menghampiri wanita itu dan Aditama.“Uangmu dihasilkan dari perusahaan keluarga Hermanto, jadi uang itu adalah uang keluarga Hermanto!” ucap sang ibu. "Tidak berhak kamu memberikannya kepada pria tak berguna itu!"Vania memasang wajah tak berdaya. "Ma ... tapi--""Tutup mulutmu! Turuti omongan Mama atau kamu sungguh tak Mama aku sebagai anak lagi!"Sontak, Vania kembali membeku. Dia menatap Aditama. Akan tetapi, suaminya itu hanya menggelengkan kepala."Aku akan mengurus semuanya sendiri," ucap Aditama. Dia tersenyum tipis kepada sang istri. "Aku pergi."Kepergian Aditama diiringi tawa mencemooh menyakitkan dari para anggota keluarga Hermanto. Sampai kapan pun, Aditama akan ingat hinaan mereka hari ini!Setelah berjalan cukup jauh dari kediaman keluarga Hermanto, Aditama yang frustasi tiba-tiba dikejutkan dengan panggilan telepon.“Selamat malam, benar ini dengan Tuan Aditama?”“Iya, dengan saya sendiri. Siapa ini?”“Tuan, saya dari pihak rumah sakit ingin mengonfirmasi bahwa operasi ibu Anda telah dijadwalkan untuk besok siang.”Kening Aditama berkerut. "Tapi ... saya belum melunasi pembayarannya?"Selama sesaat, pegawai rumah sakit terdengar bingung dan berbicara dengan seseorang. Kemudian, dia kembali bersuara, "Ah, pembayaran Anda telah dilunasi kerabat Anda."Lunas?!"Maaf, siapa kerabat saya yang Anda maksud?"Pegawai rumah sakit menjawab, "Saya kurang tahu, Tuan. Akan tetapi, beliau tadi berpesan akan menunggu Bapak di sini."Mendengar hal tersebut, Aditama mengerutkan keningnya. Sepertinya, dia tahu siapa yang telah melakukan pelunasan!**Tiba di depan kamar rawat inap sang Ibu, Aditama mendapati seorang pria tengah duduk di kursi lorong rumah sakit.Menyadari kedatangan Aditama, pria itu pun langsung bangkit dan membungkuk hormat."Kenapa kau membayar biaya operasi Ibu?!" tanya Aditama dengan muka mengeras. "Bukankah sudah kukatakan untuk tidak mengganggu kami lagi!"Ya, pria yang sedang Aditama bentak itu tidak lain dan tidak bukan adalah Panji.Panji menegapkan tubuhnya. "Saya hanya melaksanakan perintah tuan besar, Tuan Muda." Tidak sedikit pun dia merasa tersinggung akan bentakan Aditama.Aditama mengepalkan tangannya. Ia tidak sudi menerima bantuan dari Ayahnya. Namun, ia juga tidak mampu mengembalikan uang yang sudah dibayarkan oleh ayahnya itu. Rumah sakit juga jelas tidak akan membatalkan transaksi yang sudah terjadi!"Pak Aditama!"Aditama seketika menoleh ke sumber suara. Tampak suster perawat yang selama ini bertanggung jawab atas ibunya datang menghampiri."Kami perlu Anda menandatangani beberapa berkas untuk keperluan operasi ibu anda."Aditama mematung. Apa dia akan menyetujui operasi yang terjadi dengan uang ayahnya ini?Namun, dipikir-pikir, apa lagi yang bisa Aditama lakukan? Dia telah gagal mendapatkan pinjaman uang dari keluarga istrinya. Sedangkan pihak rumah sakit mengatakan kecil kemungkinan ibunya bertahan tanpa operasi itu!Di saat itu, Aditama mendengar Panji berujar, "Tuan, jangan biarkan ego menguasai Anda. Apa Anda rela membiarkan Ibu Anda mati hanya karena itu?"Aditama menggertakkan gigi. Dia tahu sang ibu tidak akan memaafkannya karena telah melakukan ini, tapi ..."Berikan dokumennya," ucap Aditama pada akhirnya, langsung menandatangani dokumen yang diberikan sang suster.Setelah suster pergi, Panji tersenyum dan berkata, "Keputusan yang bijak, Tuan Muda."Aditama mendelik ke arah Panji. "Jangan anggap tindakanku ini akan mengubah keputusanku perihal ahli waris ...."Panji menatap lembut tuan mudanya itu. "Saya tahu, Tuan Muda." Dia kemudian menambahkan, "Tapi, pikirkanlah dengan baik. Dibandingkan bersikeras menolak dan berpegang pada harga diri, kenapa tidak membalas Tuan Besar dengan mempergunakan segala yang bisa dia berikan?"Ucapan Panji membuat Aditama terkejut. Dia menautkan alis. "Bukankah kamu berada di pihak ayahku? Kenapa kamu memberikan saran seperti itu padaku?"Mata Panji menutup seiring dia menggelengkan kepala. Dia kemudian berkata, "Saya adalah kepala urusan rumah tangga keluarga Gandara. Saya hanya memikirkan yang terbaik untuk keluarga Gandara."Aditama memicingkan matanya, lalu mendengus dingin. "Gila." Dia berbalik, lalu pergi meninggalkan Panji.**Keesokan harinya, setelah operasi selesai dan berjalan lancar. Aditama tampak tengah memegang tangan sang ibu yang masih tertidur lelap. Wajah wanita paruh baya itu tampak jelas membaik.Mencium tangan ibundanya, Aditama berkata, "Ibu, cepatlah sembuh ...." Kemudian, wajahnya berubah sedikit murung. "Maafkan putramu yang tidak berguna dan harus menggunakan uang pria itu ...."Selagi Aditama tengah memandangi wajah sang ibu, tiba-tiba ponselnya bergetar. Dia segera mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celana dan melihat nama sang istri terpamp
Di ruangan private sebuah hotel mewah, sedang diadakan pertemuan antara keluarga Hermanto dengan Edward.Beberapa anggota keluarga Hermanto tengah saling bercengkrama dan tertawa, kecuali Vania yang duduk dengan kepala menunduk, tampak tidak nyaman berada di tempat itu."Vania ...."Panggilan itu membuat Vania menoleh. "Kak Bella," panggilnya dengan lesu. "Habis dari mana?"Bella terdiam. "Menghubungi seseorang," ucapnya. Dia memegang tangan sang sepupu. "Kamu serius akan menceraikan Aditama?"Vania tersenyum. "Aku tak punya pilihan. Ini yang terbaik untuk kami berdua."Di sebelah Vania, Edward Bintoro mendengar percakapan kedua wanita itu dan berkata dengan wajah menggoda penuh nafsu. "Apa kamu menyesal, Van?" Dia menambahkan, "Apa kamu tidak senang kita akan menikah?"Vania tersentak saat Edward menyentuh tangannya. Dia menarik diri dan berkata, "Walau kita dijodohkan, tapi kita belum menikah. Jadi, tolong jaga sikapmu." Wajahnya tampak tegas.Edward mendengus mengejek. Dia menggeng
Mata semua orang melebar!Menantu tak berguna itu sudah gila!"Aditama! Berani sekali kau melukai Edward?!" Kakek Hermanto berseru marah seraya bangkit dari kursinya. "Menyentuh istriku, tentu saja aku harus memukulnya!" ujar Aditama yang sekarang berada di hadapan Vania, memisahkan wanita itu dari Edward dan keluarga Hermanto yang lain."Pria tidak berguna, apa kamu tahu Edward itu siapa?!" sambung ayah Bella, Bastian, yang juga secara refleks ikutan berdiri."Siapa dirinya, aku tidak peduli! Yang jelas, dia tidak pantas menyentuh istriku!" balas Aditama dengan tegas. "Menyentuh wanita bersuami, apa pria ini masih ada harga diri!?"Walau merasa pukulan Aditama sekeras baja, Edward yang sudut bibirnya berdarah langsung berdiri saat dihina. "Bajingan! Apa kau kira aku akan diam saja!? Keluarga Bintoro tidak akan melepaskanmu!"Aditama mendengus dingin. "Tidak peduli dirimu berasal dari keluarga Bintoro atau keluarga lain, aku tidak takut menghadapimu!"Seisi ruangan terbelalak dengan
"Maksud saya, anda, Tuan Edward!" ucap Joseph menyela Edward dengan cepat.Apa?!Mendengar namanya disebut, Edward gelagapan dan menatap Joseph, diikuti tatapan keterkejutan anggota keluarga Hermanto lainnya.Sementara Vania yang awalnya begitu ketakutan Aditama akan mendapat masalah besar, melebarkan matanya."Tunggu... Pak Joseph tidak salah orang kan?! Pria sampah itu yang seharusnya anda usir! Anda tahu ayah saya kan, keluarga Bintoro yang kaya itu?!" elak Edward tak terima."Betul Pak Joseph, seharusnya bukan Edward yang diusir! Pria ini justru yang tiba-tiba masuk dan mengacau acara kami!" ucap Bastian berusaha menahan Joseph.Seluruh anggota keluarga Hermanto berusaha mendukung Edward dengan segala cara.Jika Edward sampai diusir, maka perjanjian bisnis antara keluarga Hermanto dan keluarga Bintoro akan gagal.Tentu saja hal itu akan membuat keluarga Hermanto sangat dirugikan di sini!"Anda mempertanyakan keputusan saya?! Saya manajer di hotel ini! Ketertiban hotel adalah tangg
Mendengar hal tersebut, Vania terbelalak. "Apa?!" pekiknya seraya menatap sang suami untuk beberapa saat. "K-kamu mendapatkan apartemen untuk tempat tinggal kita?!” Aditama mengangguk seraya tersenyum. Vania terbengong, mencerna perkataan sang suami. "Bagimana mungkin kamu bisa mendapatkan apartemen?" tanyanya setelah terdiam sesaat. "Dari kenalanku yang telah melunasi biaya operasi Ibuku juga, Van. Kebetulan, apartemennya tidak ditinggali dan disewakan kepadaku dengan harga yang murah," jelas Aditama. "Lalu, bagimana caranya kita akan membayarnya, Tam? Gaji kamu itu kecil, Tam. Pasti tidak akan cukup!" "Kamu tidak perlu memikirkan hal itu, Van. Biar aku yang memikirkannya. Untuk sekarang yang terpenting adalah kita sudah mendapatkan tempat tinggal."Vania terdiam, tidak tahu harus berkata apa lagi.Di detik berikutnya, kepalanya mendadak terasa nyut-nyutan.Rasa-rasanya, dia masih belum bisa mempercayai apa yang dikatakan oleh suaminya itu. Namun tiba-tiba Vania tersadar dan m
Aditama dan Vania tiba-tiba terhenti, lalu menoleh ke arah suara tersebut.Ternyata, seorang satpam bertampang garang mendatangi mereka berdua. Dari mata mereka terpancar perasaan jijik ketika menatap Aditama."Kami penghuni baru di apartemen ini!" ucap Aditama dingin.Vania yang kebingungan mengernyitkan dahinya. Dilihat dari pakaian yang mereka kenakan, mereka memang terlihat agak lusuh. Tapi dipanggil pengemis? Sepertinya itu berlebihan."Penghuni? Saya belum pernah melihat penghuni apartemen mengenakan pakain lusuh seperti yang anda kenakan!" cibir salah satu satpam."Apa apartemen ini juga mengatur cara berpakaian penghuninya? Ini apartemen apa penjara?!" Aditama menatap satpam itu dengan tajam."Apa kau bilang?! Lancang sekali gembel sepertimu berkata seperti itu!"Di saat yang sama, seorang pria dengan pakaian rapi kebetulan melewati keributan itu.Bukannya pria itu Aditama? Sedang apa dia di sini? Pikir pria itu. Ternyata pria itu bernama Evan. Dia adalah mandor di tempat Adi
"Menyedihkan sekali kau, Tam. Ah, aku tahu ... kau pasti melakukan hal ini karena kau sudah lama menginginkan tinggal di hunian elit, tapi sampai sekarang tak pernah terwujud." Ejek Evan. "Makanya kau membual seperti ini, bermimpi tinggal di sebuah apartemen!" "Apa kau bilang?!" Ulang Aditama. Dia kemudian menambahkan seraya tergelak. "Jika dulu memang iya. Aku hanya bisa bermimpi jika menginginkan sesuatu, tapi, untuk sekarang, hal itu sudah tidak berlaku lagi bagiku dan aku sama sekali tidak membual sebagai penghuni baru di apartemen ini! Aku dan istriku memang akan menempati salah satu unit yang ada apartemen ini!" "Memang ya kau itu sudah tak waras, Tam!" Balas Evan dengan gigi gemeretak. Melihat sikap Aditama yang menjengkelkan, dua satpam itu segera bertindak, hendak menggelandang Aditama supaya pergi dari sana.Dua satpam itu lalu mencengkram lengan Aditama dan menyeretnya keluar dengan paksa.Mata Aditama seketika melebar.Apa-apaan ini? Aditama langsung mencoba melep
Kesabaran Aditama sudah habis, Evan harus dikasih paham detik ini juga! Sebenarnya, Evan memiliki dendam kesumat pada Aditama. Pasalnya, dulu semasa ia menjadi mandor, Aditama lah yang membongkar siasat busuknya karena telah menggelapkan dana proyek, termasuk uang makan para pekerjanya. Namun Aditama menyadarinya, ia lalu melaporkan hal itu pada pimpinan proyek dan membuat gajimya pada saat itu dipotong. Semenjak itu, Evan bertekad untuk membuat Aditama menderita. "Kau pasti masih dendam kepadaku karena dulu aku melaporkan perbuatan busukmu itu pada pimpinan proyek kita, kan?!" Ucap Aditama tegas dengan suara tinggi dan wajah mengeras. "Dan seharusnya ... saat itu kau sudah dipecat!" Mendengar ucapan Aditama, Evan langsung mendelik ke arah pria itu. "Apa yang kau katakan, hah!" Evan tiba-tiba gelagapan, pandangannya langsung mengedar ke sekitar. "Berani-beraninya kau mengungkit hal itu di sini!" Sontak saja, para penghuni apartemen yang lain mengerutkan kening, kasak-kusuk me