Di ruangan private sebuah hotel mewah, sedang diadakan pertemuan antara keluarga Hermanto dengan Edward.
Beberapa anggota keluarga Hermanto tengah saling bercengkrama dan tertawa, kecuali Vania yang duduk dengan kepala menunduk, tampak tidak nyaman berada di tempat itu."Vania ...."Panggilan itu membuat Vania menoleh. "Kak Bella," panggilnya dengan lesu. "Habis dari mana?"Bella terdiam. "Menghubungi seseorang," ucapnya. Dia memegang tangan sang sepupu. "Kamu serius akan menceraikan Aditama?"Vania tersenyum. "Aku tak punya pilihan. Ini yang terbaik untuk kami berdua."Di sebelah Vania, Edward Bintoro mendengar percakapan kedua wanita itu dan berkata dengan wajah menggoda penuh nafsu. "Apa kamu menyesal, Van?" Dia menambahkan, "Apa kamu tidak senang kita akan menikah?"Vania tersentak saat Edward menyentuh tangannya. Dia menarik diri dan berkata, "Walau kita dijodohkan, tapi kita belum menikah. Jadi, tolong jaga sikapmu." Wajahnya tampak tegas.Edward mendengus mengejek. Dia menggenggam tangan Vania dengan paksa, membuat wanita itu terkesiap."Vania, jangan bersikap begitu dingin. Kamu harus tahu betapa aku mencintaimu!" Edward meletakkan tangan Vania di dadanya, membuat wanita itu mengernyitkan wajah, merasa pria itu mulai kurang ajar. "Menikah denganku, kamu akan jauh lebih bahagia dibandingkan dengan laki-laki miskin itu!""Lepaskan tanganku!" sergah Vania yang kemudian mengangkat tangan, bersiap menampar Edward."Vania, jaga sikapmu!" Sebuah bentakan membuat Vania membeku, dia melihat ke arah sang ibu. "Harusnya kamu bersyukur Edward bersedia menikahimu, bukan bersikap begitu tidak tahu diri!"Susan, ibu dari Bella yang juga hadir di tempat itu menganggukkan kepala. "Ibumu benar, Vania. Edward mencintaimu dari lama dan kalian akan segera menikah. Hanya memegang tanganmu saja, kenapa tidak boleh!?"Vania tetap menarik tangannya lepas dari genggaman Edward dan berdiri dari kursi. "Sampai aku bercerai, aku masih berstatus sebagai istri Aditama!" tegas wanita itu, merasa jijik karena keluarganya dengan begitu terbuka mempersembahkannya kepada Edward!PLAK!Mendadak, sebuah tamparan diterima Vania sampai dia terhuyung mundur dan ditangkap oleh Bella. Dia menoleh, mendapati bahwa orang yang menamparnya adalah sang kakek."Cucu kurang ajar, apa kamu lupa janjimu padaku!?"Mata Vania membulat. Dia menggertakkan gigi.Kakeknya benar, dia masih ada janji kepada pria itu dan harus bersikap baik pada Edward. Semua demi mendapatkan uang dua miliar untuk operasi ibu Aditama!"Cepat minta maaf!" titah sang kakek kepada Vania.Dengan tubuh bergetar, Vania berujar, "Aku ... minta maaf, Edward." Dia berusaha keras menahan tangis walau merasa sangat hina saat ini.Edward tersenyum lebar, merasa sangat puas. "Bukan masalah, Sayang." Dia mulai dengan berani melingkarkan tangan di pundak Vania. "Satu kesalahan kecil, tidak akan kupermasalahkan."Melihat hal tersebut, keluarga Hermanto menghela napas lega. Beruntung Edward tidak tersinggung dengan sikap Vania tadi.Di saat ini, Kakek Hermanto berkata, "Edward, Kakek dengar keluargamu memiliki hubungan dengan Gandara Group."Gandara Group, perusahaan konglomerat multinasional di Indonusa dengan aset triliunan. Bisa bekerja sama dengan perusahaan ini adalah impian Kakek Hermanto! Itulah alasannya menjodohkan Vania dengan Edward!Mendengar ucapan Kakek Hermanto, Edward pun tersenyum miring. "Karena Vania akan menjadi istriku, sebagai salah satu hadiah pernikahan, aku akan menghubungkan kalian dengan Gandara Group."Senyuman lebar menghiasi wajah Kakek Hermanto. Dia merasa begitu bahagia!"Edward, apa kau serius!? Kau bisa melakukan itu!?" tanya Kakek Hermanto memastikan.Edward memandang remeh kebahagiaan kakek tua itu. "Tentu saja, untuk apa aku berbohong? Lagi pula, aku sangat mengenal ahli waris keluarga Gandara," jawab Edward dengan santai.Walau tidak tahu bagaimana cara Edward bisa melakukan itu, tapi Kakek Hermanto senang sekali. Yang penting, kekayaan dan derajat keluarganya bisa semakin meningkat!Sementara itu, Vania meremas roknya, merasa kalau dirinya benar-benar tidak akan lagi bisa lepas dari jerat Edward. Dia menutup matanya, paling tidak ... Aditama tidak akan terkena masalah lagi setelah ini.Tiba-tiba...Brak!Perhatian semua orang yang ada di situ harus teralihkan dengan kemunculan sosok laki-laki dengan wajah memerah marah dari balik pintu."Aditama!?"Aditama, dengan wajah memerah marah, menatap Edward yang merangkul istrinya dengan begitu mesra!"Singkirkan tanganmu dari pundak istriku, bajingan!"BUGH!Mata semua orang melebar!Menantu tak berguna itu sudah gila!"Aditama! Berani sekali kau melukai Edward?!" Kakek Hermanto berseru marah seraya bangkit dari kursinya. "Menyentuh istriku, tentu saja aku harus memukulnya!" ujar Aditama yang sekarang berada di hadapan Vania, memisahkan wanita itu dari Edward dan keluarga Hermanto yang lain."Pria tidak berguna, apa kamu tahu Edward itu siapa?!" sambung ayah Bella, Bastian, yang juga secara refleks ikutan berdiri."Siapa dirinya, aku tidak peduli! Yang jelas, dia tidak pantas menyentuh istriku!" balas Aditama dengan tegas. "Menyentuh wanita bersuami, apa pria ini masih ada harga diri!?"Walau merasa pukulan Aditama sekeras baja, Edward yang sudut bibirnya berdarah langsung berdiri saat dihina. "Bajingan! Apa kau kira aku akan diam saja!? Keluarga Bintoro tidak akan melepaskanmu!"Aditama mendengus dingin. "Tidak peduli dirimu berasal dari keluarga Bintoro atau keluarga lain, aku tidak takut menghadapimu!"Seisi ruangan terbelalak dengan
"Maksud saya, anda, Tuan Edward!" ucap Joseph menyela Edward dengan cepat.Apa?!Mendengar namanya disebut, Edward gelagapan dan menatap Joseph, diikuti tatapan keterkejutan anggota keluarga Hermanto lainnya.Sementara Vania yang awalnya begitu ketakutan Aditama akan mendapat masalah besar, melebarkan matanya."Tunggu... Pak Joseph tidak salah orang kan?! Pria sampah itu yang seharusnya anda usir! Anda tahu ayah saya kan, keluarga Bintoro yang kaya itu?!" elak Edward tak terima."Betul Pak Joseph, seharusnya bukan Edward yang diusir! Pria ini justru yang tiba-tiba masuk dan mengacau acara kami!" ucap Bastian berusaha menahan Joseph.Seluruh anggota keluarga Hermanto berusaha mendukung Edward dengan segala cara.Jika Edward sampai diusir, maka perjanjian bisnis antara keluarga Hermanto dan keluarga Bintoro akan gagal.Tentu saja hal itu akan membuat keluarga Hermanto sangat dirugikan di sini!"Anda mempertanyakan keputusan saya?! Saya manajer di hotel ini! Ketertiban hotel adalah tangg
Mendengar hal tersebut, Vania terbelalak. "Apa?!" pekiknya seraya menatap sang suami untuk beberapa saat. "K-kamu mendapatkan apartemen untuk tempat tinggal kita?!” Aditama mengangguk seraya tersenyum. Vania terbengong, mencerna perkataan sang suami. "Bagimana mungkin kamu bisa mendapatkan apartemen?" tanyanya setelah terdiam sesaat. "Dari kenalanku yang telah melunasi biaya operasi Ibuku juga, Van. Kebetulan, apartemennya tidak ditinggali dan disewakan kepadaku dengan harga yang murah," jelas Aditama. "Lalu, bagimana caranya kita akan membayarnya, Tam? Gaji kamu itu kecil, Tam. Pasti tidak akan cukup!" "Kamu tidak perlu memikirkan hal itu, Van. Biar aku yang memikirkannya. Untuk sekarang yang terpenting adalah kita sudah mendapatkan tempat tinggal."Vania terdiam, tidak tahu harus berkata apa lagi.Di detik berikutnya, kepalanya mendadak terasa nyut-nyutan.Rasa-rasanya, dia masih belum bisa mempercayai apa yang dikatakan oleh suaminya itu. Namun tiba-tiba Vania tersadar dan m
Aditama dan Vania tiba-tiba terhenti, lalu menoleh ke arah suara tersebut.Ternyata, seorang satpam bertampang garang mendatangi mereka berdua. Dari mata mereka terpancar perasaan jijik ketika menatap Aditama."Kami penghuni baru di apartemen ini!" ucap Aditama dingin.Vania yang kebingungan mengernyitkan dahinya. Dilihat dari pakaian yang mereka kenakan, mereka memang terlihat agak lusuh. Tapi dipanggil pengemis? Sepertinya itu berlebihan."Penghuni? Saya belum pernah melihat penghuni apartemen mengenakan pakain lusuh seperti yang anda kenakan!" cibir salah satu satpam."Apa apartemen ini juga mengatur cara berpakaian penghuninya? Ini apartemen apa penjara?!" Aditama menatap satpam itu dengan tajam."Apa kau bilang?! Lancang sekali gembel sepertimu berkata seperti itu!"Di saat yang sama, seorang pria dengan pakaian rapi kebetulan melewati keributan itu.Bukannya pria itu Aditama? Sedang apa dia di sini? Pikir pria itu. Ternyata pria itu bernama Evan. Dia adalah mandor di tempat Adi
"Menyedihkan sekali kau, Tam. Ah, aku tahu ... kau pasti melakukan hal ini karena kau sudah lama menginginkan tinggal di hunian elit, tapi sampai sekarang tak pernah terwujud." Ejek Evan. "Makanya kau membual seperti ini, bermimpi tinggal di sebuah apartemen!" "Apa kau bilang?!" Ulang Aditama. Dia kemudian menambahkan seraya tergelak. "Jika dulu memang iya. Aku hanya bisa bermimpi jika menginginkan sesuatu, tapi, untuk sekarang, hal itu sudah tidak berlaku lagi bagiku dan aku sama sekali tidak membual sebagai penghuni baru di apartemen ini! Aku dan istriku memang akan menempati salah satu unit yang ada apartemen ini!" "Memang ya kau itu sudah tak waras, Tam!" Balas Evan dengan gigi gemeretak. Melihat sikap Aditama yang menjengkelkan, dua satpam itu segera bertindak, hendak menggelandang Aditama supaya pergi dari sana.Dua satpam itu lalu mencengkram lengan Aditama dan menyeretnya keluar dengan paksa.Mata Aditama seketika melebar.Apa-apaan ini? Aditama langsung mencoba melep
Kesabaran Aditama sudah habis, Evan harus dikasih paham detik ini juga! Sebenarnya, Evan memiliki dendam kesumat pada Aditama. Pasalnya, dulu semasa ia menjadi mandor, Aditama lah yang membongkar siasat busuknya karena telah menggelapkan dana proyek, termasuk uang makan para pekerjanya. Namun Aditama menyadarinya, ia lalu melaporkan hal itu pada pimpinan proyek dan membuat gajimya pada saat itu dipotong. Semenjak itu, Evan bertekad untuk membuat Aditama menderita. "Kau pasti masih dendam kepadaku karena dulu aku melaporkan perbuatan busukmu itu pada pimpinan proyek kita, kan?!" Ucap Aditama tegas dengan suara tinggi dan wajah mengeras. "Dan seharusnya ... saat itu kau sudah dipecat!" Mendengar ucapan Aditama, Evan langsung mendelik ke arah pria itu. "Apa yang kau katakan, hah!" Evan tiba-tiba gelagapan, pandangannya langsung mengedar ke sekitar. "Berani-beraninya kau mengungkit hal itu di sini!" Sontak saja, para penghuni apartemen yang lain mengerutkan kening, kasak-kusuk me
Clara menatap Aditama dengan tubuh gemetar. Ia masih memproses nama 'Panji' yang barusan dikatakan oleh Aditama. "Apakah ... Anda yang bernama ... Aditama?" Tanya Clara dengan nada hati-hati. Aditama mengangguk. Sontak saja, Clara membeku di tempat.Jadi ... Dia adalah tamu yang amat sangat penting yang sedang aku tunggu kedatangannya?Beberapa detik kemudian, Clara buru-buru mengubah ekspresi wajahnya. Tiba-tiba Clara teringat dengan pesan Panji untuk tidak membocorkan identitas Aditama yang sebenarnya dan memperlakukannya seperti orang biasa.Lalu, Clara menatap semua orang yang ada di situ satu persatu, hingga pandangannya jatuh pada Evan dan kedua satpam tersebut. Clara menggeleng-gelengkan kepala mendapati sikap mereka. Apa yang mereka lakukan kepada Aditama? Apa mereka tidak tahu ... siapa orang yang hendak mereka gelandang itu?Seketika terbit seulas senyum tipis di bibir Aditama melihat Clara bersikap demikian.Ia berharap Clara bisa mengontrol emosinya dan ingat denga
Mendapat ancaman dari Evan, tak elak membuat nyali Aditama menciut karena saat ini ia tak takut dengan ancaman ... dari ... siapa pun itu! Setelah berkata, Evan berbalik dan pergi dari sana dengan menahan malu. Sementara dua satpam yang sedari tadi menundukan kepala, mematung di tempat, tiba-tiba wajahnya berubah pucat saat melihat Clara yang tengah menatap ke arah mereka. Apa yang akan dilakukan Clara kepada mereka? Setelah apa yang barusan dia lakukan kepada Evan? Lalu, Clara tampak melangkahkan kakinya menghampiri mereka, berdiri di hadapan mereka dengan tatapan dingin sambil menyilangkan tangan di depan dada. "Hari ini adalah hari terakhir kalian berdua bekerja di sini!" Tegas Clara kepada dua satpam tersebut. Sontak, kedua satpam itu pun terkejut. "Apa?!" Mereka tercengang, saling pandang satu sama lain, mencerna ucapan Clara dalam sepersekian detik. Mendengar hal itu, Vania terpelongo. Ia tak mempercayai apa yang barusan ia dengar dari mulut Clara yang memecat dua s