Barbara sudah terbiasa dengan keadaan yang menyulitkan dirinya saat ini. Rundungan ibu tiri, tatapan sinis dan merendahkan dari teman teman kampus, dan bahkan kesulitan untuk menegakkan punggungnya disaat berjalan. Dengan susah payah, ia akhirnya menuruti permintaan ayahnya.
"Ya, berhentilah merepotkan orang lain," batin Barbara pedih.
Perempuan itu menyeret tongkat penyangga tubuhnya memasuki rumah dan menjalani aktivitas tanpa suara.
*****
Dengan usaha ekstra, Barbara akhirnya berhasil memasuki ruang kelas. Tak ada senyuman di wajah gadis itu. Ia tetap menjadi sosok yang tak pernah ramah kecuali pada orang orang tertentu saja. Rasa kecewa dikhianati sahabatnya sendiri membuatnya semakin tak mempercayai siapapun saat ini.
"Barbara..." sebuah suara yang cukup dikenalnya membuatnya menghentikan langkahnya. Akan tetapi ia menahan diri untuk menoleh. "Kau... sendirian?"
Barbara tak menjawab, lalu melanjutkan langkahnya lagi. Hanya saja pria itu mengiringi langkahnya yang payah. Saat ini ia akan menuju ruangan dosen untuk menyerahkan lembaran tugas.
"Kalau kau mau, aku bisa membantumu menyerahkan ke Pak Cipto."
Barbara masih diam, hingga pria itu menghadang di depannya.
"Kau masih marah denganku, Barbara?" kata Leo menatap kedua bola mata Barbara yang selalu dipujinya dulu.
"Marah? Haruskah? Aku malah bersyukur kau ketahuan sifat aslimu sebelum kita di jenjang pernikahan. Bagaimana aku bisa marah?" katanya dengan tegas dan raut wajah sedikit meremehkan.
"Tapi, kau tak menyahut waktu aku menyapamu tadi."
"Benarkah? Kenapa memangnya? Aku punya hak untuk berbuat sesuka aku. Bisakah kau pergi dari hadapanku? Kau juga tak perlu sok akrab begitu," katanya lagi dan mengarahkan tubuhnya menghindari hadangan Leo.
"Ayolah, aku minta maaf, bisakah kau memaafkanku, Barbara?" Leo masih berusaha mendapatkan perhatian Barbara.
"Leo, ini semua sudah basi. Aku sudah tak menganggap apapun yang pernah terjadi. Sepertinya kau lupa, bahwa aku baru saja berterima kasih karena menunjukkan sifat aslimu segera. Jadi, tak ada yang perlu dimaafkan, oke?!" Barbara menegaskan dengan wajah tanpa ekspresi.
"Tapi..."
Tiba-tiba seseorang mendekati mereka dengan senyuman.
"Barbara, mau ketemu dosen ya? Ayok, sama aku," kata Ovan sambil mengambil kertas yang dibawa Barbara.
"Ovan, iya, aku mau ketemu Pak Cipto. Sebenarnya, sudah kutunggu dari tadi, kenapa baru kelihatan?" katanya sedikit berbohong, dan ia mengedipkan sebelah mata pada Ovan memberikan isyarat.
"Ooh, maaf. Tadi ada temen minta dianterin ke apotek, jadi telat datang ke kampus."
Leo hanya melihat kedua insan di hadapannya yang terlihat sangat akrab. Leo bahkan tak pernah tahu bagaimana Barbara bisa akrab dengan seseorang seperti yang dilihatnya sekarang, menurutnya itu sebuah kemajuan besar.
"Leo, kau nggak punya kerjaan lain ya. Pergilah, kenapa kau menghalangiku?"
Leo tersadar karena terlalu menikmati pemandangan barusan, lalu iapun bergeser untuk memberikan jalan pada Barbara. Ia sungguh penasaran dengan keakraban mereka berdua.
"Mantan kamu ya?" tanya Ovan kemudian saat mereka berlalu.
"Hemm. Terburuk dari yang terburuk. Untung, dia bukanlah jodohku di masa depan."
"Terus, seperti apa yang masa depan untukmu?"
"Hmmm, seperti apa ya... Yah, aku sih yang penting punya suami yang terima aku apa adanya sih. Kau tahu kan aku cuma penyandang disabilitas seperti ini."
"Tapi kau kaya, cantik dan juga pintar," canda Ovan.
"Kaya, aku tak pernah menghasilkan apapun kecuali sejak lahir aku sudah mendompleng hidup dengan ayahku. Cantik, sepertinya itu bukan patokan sebagai wanita yang didambakan seorang pria. Aku lebih positif kalau pria mencari pasangan hidup bukan dari sisi kecantikan saja, ini cuma soal takdir seseorang."
"Jadi, cantik atau tidak itu bagian dari takdir?"
Mendengar itu, Barbara rasanya ingin tertawa. "Iya, kebetulan saja, tapi bukan orientasi utama seseorang untuk bahagia pada akhirnya."
"Dari kata-katamu, kau memang pintar ternyata."
"Aku nggak sehebat itu, pintar atau tidak adalah bagaimana seseorang bisa mengendalikan hidupnya dengan baik sesuai keadaan yang dibutuhkan."
Ovan mencoba mencerna penjelasan Barbara tapi ia masih belum memahaminya. "Aku masih tak mengerti."
"Aku mengagumi seorang penjual siomay di gerbang kampus kita."
"Ouh... benarkah?" tanya Ovan penasaran.
"Setiap hari, ia tersenyum menjual siomay dagangannya. Jadi aku bertanya kenapa dia bertingkah seperti itu."
"Lalu?"
"Dia bilang, anak kampus di sini suka dengan dagangannya, dan itu membuatnya tersenyum selalu. Dan pertanyaan semacam itu selalu dijawab dengan jawaban yang sama kepada siapapun di kampus ini. Dan ternyata, aku mendapatinya mengatakan hal yang sangat serupa di kampus seberang jalan itu. Dia bilang, anak kampus seberang adalah pelanggan paling istimewa dan sangat menyukai siomay miliknya," kata Barbara panjang lebar.
"Hah, propaganda rupanya?" Ovan tampak begitu terkejut.
"Betul. Bukankah dia orang yang pintar menghadapi hidup ini?"
Ovan tertawa atas penjelasan Barbara. Seolah-olah Barbara telah melupakan pertemuannya dengan Leo barusan, Barbara benar benar menganggap Leo bukan apa-apa.
"Barbara, bagaimana kalau nanti malam aku ke rumahmu?"
"Hmm, bukankah nanti malam Minggu? Pacarmu pasti lagi nungguin kamu."
"Aku sungguh sudah bilang kalau nggak punya pacar bukan? Dan aku juga nggak niat pacaran, Barbara. Aku lagi cari calon istri."
Barbara sedikit terkesima. Kesan Ovan seolah memberikan harapan untuknya? Ah, gadis seperti dirinya, masihkah punya mimpi untuk berpacaran dengan pria tampan seperti Ovan ini, apalagi menjadi calon istrinya? Dasar bodoh! Rutuknya pada diri sendiri.
"Hmm, terserah deh kalau begitu.""Kamu mau?" tanya Ovan serius.
Deg!
"Gi..gila kamu, ya!" balas Barbara terbata-bata.
"Apakah kisah kita juga termasuk yang unik?" kali ini Risa berkata sambil senyum-senyum."Kita? Apa kau sungguh mencintaiku?""Jawab saja pertanyaanku!"Drett dreett dreett!Ponsel Dave berdering dan pria itu lalu mengambil ponsel di sakunya.["Halo, ada apa?"]["Kenapa galak begitu? Aku mengganggumu?"]["Tidak, tapi kau merusak aktifitasku."]["Oh sayangku, tapi hari ini kau harus segera datang karena ini sangat penting, Dave."]["Barbara, kau selalu saja menganggap penting masalahmu. Kau bisa bilang dari sekarang, ada apa dan kenapa kami harus datang?"]["Terserah, kau harus datang! Titik!"]Klep!"Siapa?" Risa bertanya."Siapa lagi kalau bukan saudara perempuanku yang bawel itu, heh?" kata Dave, tapi dia malah tersenyum. "Bersiaplah, kita harus datang ke rumah mereka."Tak ada jawaban, Risa hanya bergegas sesuai kata Dave. Di rumah Anton Bagaskara, mereka berkumpul dengan aneka macam hidangan. Mereka dengan sengaja mengundang Dave dan Risa dan juga Veina.Anton Bagaskara terlihat
Pagi mulai merayap memancarkan sinarnya. Dari setiap asa yang terbersit, selalu ada cara untuk menempuh harapan yang ingin ia wujudkan.Harapan terbesar yang hampir ingin dicapai manusia adalah mereka ingin menikmati bahagia di hari ini.Doa dilantunkan, dipanjatkan demi mengharapkan takdir yang baik untuk dirinya dan orang yang dicintainya.Siapa yang tak ingin bahagia?Mustahil bagi manusia untuk berharap tidak bahagia.Akan tetapi pada sebagian hidup yang ia jalani, ia harus menempuh ujian sampai ia akan tahu di akhir ujian itulah kebahagiaan yang sebenarnya.Bahagia itu relatif, demikian kata sebagian orang.Seorang yang membutuhkan uang, ia akan bahagia saat mendapatkan uang yang ia inginkan.Seorang yang membutuhkan kasih sayang, maka ia akan mengharapkan kasih sayang dan cinta dan ia akan bahagia karenanya.Sebagian orang memilih untuk tidak perduli dengan pencapaian orang lain, ia merasa cukup dengan apa yang ada pada dirinya, bersyukur dengan apa yang ia miliki.Ia menutup ma
"Maafkan Ceila, Bu. Dia sedikit takut," kata Risa dengan memeluknya."Takut? Apa ini? Kenapa dia harus takut denganku?" heran Veina."Mom, kau memang menakutkan, Ceila kan belum mengenalmu, jadi wajar kalau dia takut dengan wajah seram Mommy," kata Dave kemudian, dia berbicara dengan sedikit mengulas senyum."Apa apaan, kau omong kosong ya?"Risa ikut tersenyum karena kelakuan Dave yang menggoda ibunya."Masalah ini sedikit rumit menjelaskannya, Bu. Yang jelas Ceila tahu Ibu baru di penjara seperti ibunya."Veina merenungkannya, Risa mungkin sedang mengatakan kalau Ceila memiliki traumatis bahkan saat bertemu dirinya."Baiklah, aku bisa mengerti. Padahal aku sangat ingin memeluk cucu Perempuanku, eh, kenapa sampai takut begitu...ufh," keluhnya. "Tapi, cepatlah berkumpul bersama Barbara, kita harus punya foto kenangan yang bagus, oke?""Baik, Bu."Risa akhirnya membujuk Ceila untuk berkumpul bersama keluarga dan mengatakan bahwa Selen tidak mungkin ada di tempat pesta tersebut. Ia sung
"Anu...kamu sekarang...""Ya, tentu saja aku harus ada di sini, ini adalah pernikahan putriku. Bagaimana kabar kalian, apakah semua baik?""Iya... tentu saja kami baik. Dan kamu, apakah menetap di sini sekarang? Aku dengar kamu ada di Belanda.""Benar, aku memang di Belanda kemarin, tapi sekarang aku akan menetap di sini.""Di rumah ini?" kata salah seorang menyahut."Tidak. Sekarang aku masih dalam masa tahanan, tapi kalau sudah bebas nanti, aku mungkin akan membeli rumah di sekitar sini.""Apa maksudmu dalam masa tahanan? Apa kau.... melakukan kejahatan?" tanya salah satunya ragu, sementara yang lain saling melihat. Mereka makin memperhatikan penampilan Veina yang sangat mewah dan mencolok, memangnya kejahatan apa yang dia perbuat?Pandangan mata mereka mulai berubah canggung, sepertinya ada sedikit rasa takut pada Veina."Jangan kuatir, aku bukan pembunuh kecuali dengan terpaksa," kata Veina dengan tersenyum yang membuat para wanita itu semakin gugup.Saat itu Lena juga ikut mendek
Warna bahagia meliputi suasana sebuah aula pertemuan milik Anton Bagaskara. Gedung megah itu memiliki kesibukan yang tak biasa pada hari itu.Penjagaan ketat di berbagai tempat samasekali tidak menghilangkan suasana rileks dan bersahabat menyambut siapapun yang hadir dalam undangan pernikahan Ovan dan Barbara.Bahkan saat mereka melihat semakin ke dalam, maka mereka akan menyaksikan lebih banyak keindahan dan suasana bahagia yang semakin kentara."Aku merasa gaun ini menonjolkan bentuk perutku yang semakin besar, suamiku. Apa ini masih enak dilihat? Jangan salah faham, aku bukan malu karena hamil, tapi aku kasihan kalau sampai desainer pakaian ini kecewa saat melihatku dalam bentuk tubuh seperti ini," katanya.Ovan hanya tersenyum geli karena Barbara malah sangat gugup dengan bentuk tubuhnya."Kau memang sangat jelek sekarang ini. Tapi itu sih bukan salahku."Mendengar jawaban Ovan yang tak memiliki beban itu Barbara jadi sangat kesal."Kau bilang tak bersalah? Baiklah, aku akan memba
Persidangan berjalan sangat lancar. Sebab, tidak ada bantahan baik itu Selen atau Leo dalam menanggapi dakwaan hakim. Mereka hanya pasrah dan menunduk dalam atas semua yang mereka dengar.Percuma saja melawan, toh semuanya sudah ketahuan."Dengan ini, maka pengadilan hukum pidana memutuskan untuk Nyonya Selen mendapatkan hukuman pidana selama dua belas tahun karena percobaan pembunuhan terhadap sahabatnya sendiri, dan denda senilai lima ratus juta rupiah atas kerusakan yang telah ditimbulkan."Tok Tok Tok!Suara riuh menggema di dalam ruangan tersebut. Mereka senang dengan keputusan hakim atas Selen."Selain itu, kami juga memutuskan untuk menjatuhkan hukuman kepada Saudara Leo selama sepuluh tahun penjara karena telah menyembunyikan bukti dan percobaan pelecehan kepada saudara Barbara."Tok Tok Tok!Kembali suara riuh ruangan itu menggema atas apa yang mereka dengar dari keputusan hakim.Tidak ada lagi keberatan yang akan mereka, Leo dan Selen sampaikan kecuali pasrah dengan putusan
Dave sedikit terkesima, ia melupakan sosok kecil putrinya yang mungkin akan terluka saat melihat Selen mendapatkan hujatan di pengadilan nanti. Ia tak seharusnya membiarkan Ceila menyaksikan hal itu."Kau benar, kurasa kita tidak perlu datang dan mengikuti jalannya pengadilan. Lebih baik kita pergi bersama ke suatu tempat untuk rekreasi. Aku akan mengatakan hal ini pada Barbara dan meminta maaf.""Atau sebaiknya kau saja yang datang? Aku akan menjaga Ceila dan tidak menyinggung hal ini. Jangan sampai Ceila sedih karenanya."Dave berpikir sebentar, ia juga penasaran soal jalannya pengadilan, tapi juga ingin menghabiskan waktu bersama Risa dan Ceila alih-alih melihat mantan kekasihnya yang menyedihkan."Dave, kau melamun?""Eh, bukan begitu. Aku sedang berpikir kalau Ceila sampai melihat hal semacam itu, pastilah akan menjadi traumatis di hari akan datang."***Keesokan harinya, mereka memang sudah sangat ramai berkumpul di pengadilan. Antusias kerabat Barbara terlihat memenuhi teras pe
"Wow, kenapa kalian tidak memanggil kami? Kami bisa saja datang ke sana dan membalas perbuatan mereka.""Hentikan omong kosong kamu Dave! Ovan sudah menyerahkan semuanya pada polisi, nggak perlu repot-repot. Kau hanya perlu mengangkat semua tas itu, oke?"***"Baik, karena semua sudah berkumpul, mari kita melanjutkan pembicaraan kita soal pesta pernikahan Barbara dan Ovan.. Aku ingin pesta pernikahan ini dibuat sangat meriah dan berkesan.""Tunggu! kenapa pernikahan ini diselenggarakan tanpa keluarga Ovan? Ini sangat tak biasa," protes bibi Barbara. "Bukan tak percaya, tapi ..""Bibi, mereka punya tempat tinggal yang sangat jauh. Mereka sangat kesulitan. Toh orang tua Ovan telah tiada, untuk apa memaksakan diri?" jawab Barbara sedikit berbohong. "Barbara, apakah semua baik-baik saja? Sepertinya ada sesuatu yang terjadi di sana?"Barbara menarik tangan Lena dan membawanya ke kamar miliknya."Bu, aku tidak bisa menceritakan semuanya sekarang ini. Akan tetapi aku pasti akan menceritakan
Ovan yang sudah kembali dengan banyak makanan di kantong belanjanya melihat Barbara terlihat sangat pucat."Sayang, apa kau baik-baik saja? Kau terlihat sangat pucat. Ada apa?"Barbara tak menjawab, ia hanya memberikan isyarat untuk Ovan melihatnya dengan menunjuk ke arah Laptop."Apa yang terjadi?"Pria itupun masuk ke mobil dan melihat laptopnya.Ovan sangat terkejut karena melihat serombongan orang menyusup ke dalam rumahnya. Bukan satu atau dua orang, tapi ada sekitar tujuh orang pria. Mereka sungguh mengincar apa yang ia miliki. Terlihat beberapa orang berjaga dan yang lainnya memeriksa kotak perhiasan. Mereka sungguh perampok dengan persenjataan lengkap berupa senapan dan senjata tajam. Semua fenomena itu, persis seperti apa yang ia takutkan.Itulah sebabnya ia tidak mau mengambil resiko nyawa, tidak akan!"Kau sudah melihatnya bukan? Kau bisa melihat betapa kejamnya mereka ini. Bahkan dengan apa yang mereka lakukan itu tidak seorangpun yang bisa melarangnya. Aku sangat yakin me