Begitu pintu rumah terbuka, udara yang lebih sejuk dan tenang menyambut Aria. Tidak ada kehadiran Aditya di sini. Tidak ada bayang-bayangnya, tidak ada tatapan tajamnya yang selalu membuatnya merasa kecil. Hanya ada dia dan keheningan rumah ini.Langkahnya pelan, memasuki ruang tamu yang sederhana. Rumah ini satu lantai, tidak megah seperti penthouse yang Aditya sediakan untuknya. Tapi di sinilah tempat yang dulu ia bangun dengan harapan—harapan untuk hidup bersama Aditya, untuk memiliki kehidupan pernikahan yang hangat dan penuh kebahagiaan.Dulu, setiap kali dia duduk di sofa ini, dia selalu menunggu suara mobil Aditya di depan rumah. Setiap kali dia berdiri di dapur, dia selalu membayangkan memasak sesuatu untuk pria itu. Namun, bertahun-tahun berlalu, Aditya tidak pernah benar-benar pulang. Dia hanya meninggalkan bayangannya—sebuah kehadiran kosong yang selalu membuat Aria merasa sendirian, bahkan ketika mereka masih berstatus suami istri.Dan sekarang … sekarang dia ada di sini l
Langit siang terasa begitu menyilaukan.Aria berjalan tanpa arah. Dia tidak tahu harus ke mana—dia bahkan tidak yakin kenapa dia pergi. Tapi setiap sudut penthouse itu, setiap tatapan Aditya, setiap perhatian yang diberikan pria itu … semuanya terasa seperti pisau yang menusuk hatinya.Bukan cinta. Bukan keinginan. Hanya kasihan.Aria menyeberang jalan tanpa memperhatikan lampu lalu lintas. Tiba-tiba, klakson mobil terdengar nyaring di telinganya.Tiinn …!Langkahnya terhenti. Dia berdiri di tengah jalan, dikelilingi mobil-mobil yang berhenti mendadak. Suara orang-orang meneriakinya terdengar samar. Pandangannya berputar. Dunia terasa bergoyang di bawah kakinya.Lalu, hangat.Cairan panas mengalir dari hidungnya. Aria menurunkan pandangannya, melihat tetes-tetes merah jatuh ke aspal.Da rah.Jantungnya berdegup kencang. Nafasnya semakin pendek. Tubuhnya terasa semakin lemas.Dia sekarat. Dia benar-benar akan mati di sini.Tapi sebelum pikirannya bisa meresapi kepanikan itu, suara deru
Aditya masih menatap kemeja itu, diam. Tidak ada ekspresi yang bisa dibaca dari wajahnya.Aria mulai merasa tidak enak. Mungkin ini ide buruk. Mungkin dia seharusnya tidak memberikan sesuatu yang begitu berantakan seperti ini.Dia hendak menarik kembali kemeja itu, tetapi sebelum ia sempat melakukannya, Aditya membuka mulutnya."Kau menjahit ini untukku?"Aria mengangguk pelan. "Ya."Aditya menatapnya lama. Ada sesuatu dalam tatapannya, sesuatu yang sulit dijelaskan.Lalu, tiba-tiba dia menurunkan kemeja itu ke pangkuannya. Dengan satu tangan, dia mulai meraba permukaannya, merasakan tekstur kainnya di antara jemarinya.Dan kemudian, dengan suara yang lebih pelan dari biasanya, dia berkata:"Kau melakukannya dengan baik. Terima kasih. Aku menyukainya.” Hanya itu.Namun, bagi Aria, kata-kata sederhana itu terasa lebih hangat daripada apa pun yang pernah ia terima selama tiga tahun terakhir."Norton, tolong ambilkan obat untuknya yang harus ia minum sekarang."Nada suara Aditya tenang,
Aditya sesekali meliriknya, memastikan bahwa dia benar-benar makan, bukan sekadar menyentuh makanan tanpa selera.Hening menyelimuti meja makan, hanya terdengar suara peralatan makan yang saling beradu pelan. Namun, di tengah suapan, gerakan tangan Aria tiba-tiba melambat.Sendok yang dipegangnya mulai terasa berat, dan jari-jarinya yang ramping kehilangan koordinasi. Saat dia mencoba menggenggamnya lebih erat, jemarinya justru melemah.Sendok itu terlepas, jatuh ke piring dengan bunyi pelan.Aditya langsung menoleh. Dahinya mengernyit melihat Aria yang menatap tangannya sendiri dengan kebingungan. Jemari tangan kanannya sedikit menegang, seolah kehilangan kemampuan untuk menggenggam dengan benar.Aria mencoba mengambil sendoknya kembali, tapi tangannya masih terasa kaku. Wajahnya terlihat frustrasi, tapi dia berusaha menyembunyikannya.Aditya mengulurkan tangan, mengambil sendok itu lebih dulu sebelum Aria sempat mencoba lagi. Dia menggenggam pergelangan tangan Aria dengan hati-hati,
Aria menarik kursinya pelan dan duduk. Norton, yang berdiri tak jauh, memperhatikannya dengan ekspresi sabar dan sopan, membiarkan Aria menyesuaikan diri.“Tuan akan kembali setelah ini. Jangan terlalu khawatir, Nyonya,” katanya dengan nada merayu. “Mungkin ada urusan yang belum diselesaikan. Meski ini akhir pekan, tidak jarang Tuan memiliki sesuatu untuk diurus.”Aria mengangguk. Ekspresinya tenang. Dia merasa keberadaan Aditya yang kosong seperti tidak memiliki pengaruh. Dia hanya tidak sabar memberikan kemeja yang ia jahit sendiri untuk pria itu saja.Dengan gerakan lambat, Aria mengambil sendok dan mencoba menyendok sedikit sup. Dia meniupnya perlahan sebelum menyesapnya. Hangat ... tapi hambar.Tidak ada rasa kuat yang meledak di lidahnya. Tidak seperti mi instan yang kuahnya penuh MSG dan rempah buatan, yang begitu menggigit dan memberi sensasi nikmat seketika.Aria mencoba sesuap nasi dan ikan panggang. Dagingnya lembut, tapi rasanya terlalu ringan. Tumisan sayur pun sama saja.
“Kenapa hanya melihatku saja? Makanlah! Kau tidak lapar? Apa kau sudah sarapan di rumah?’ Davis bertanya sembari mengunyah makanan di mulutnya.Di hadapannya, Yessy hanya memainkan alat makannya dengan malas, sama sekali tidak seperti memiliki keinginan untuk makan. Sementara pandangannya tidak bergerak, mengamati wajah Davis yang sedang lahap.Sampai berlalu beberapa detik, Yessy baru membuka mulut. Suaranya rendah dan hati-hati. “Davis, kau … baik-baik saja? Apa ada masalah?”Davis menghentikan semua gerakannya. Perlahan dia mengangkat kepala, melihat Yessy yang masih menatapnya serius. “Sama sekali tidak, dan aku baik. Kenapa kau bertanya seperti itu?”“Meskipun ini pertama kalinya aku kembali, tapi kita sudah sering bertemu dan berteman sejak lama. Ada sesuatu yang berbeda denganmu, dan aku bisa melihatnya.”“Aku merasa tidak ada yang berbeda.”“Ya, kau berbeda, dan kau terus menyangkalnya. Jika ini kau yang biasa, kau pasti akan mendorongku pada Aditya dengan alasan apa pun. Tapi