LOGINKarena mereka menolak, Aria juga tidak bisa memaksa.Aria pergi ke dapur, mengambil air sambil memikirkannya.Dari belakang, suara Milan terdengar rendah, “Apa … kau dan Ava bertengkar?”Kening Aria terlipat.Lihat? Bahkan Milan bisa melihat keganjalan mereka dengannya. Meski dia tidak tahu apa, tapi dia bisa merasakannya. Dan itu bukan hanya perasangkanya saja.“Tidak. Kenapa kau berpikir seperti itu?”Milan menghela napas, menyandar di meja. “Kalian sudah tinggal bersama selama tiga tahun. Tapi aku melihat Ava memandangmu seperti … seperti ada kecewa dan kemarahan.”Aria meletakkan gelasnya, menghembuskan napas. “Aku juga tidak mengerti. Sebenarnya aku juga merasakan itu, tapi … aku juga tidak tahu kenapa. Padahal baru beberapa jam yang lalu kita mengobrol.”“Kalau begitu kau harus membicarakannya dengan Ava.”“En. Aku akan melihatnya kalau dia sudah baik nanti.”“Jadi kau akan makan malam di sini?” Milan menatapnya antusias. “Ayolah … kau baru kembali, tapi kau bahkan tidak mampir
Sore itu, barang-barang yang dipesan Aria mulai berdatangan. Dari kebutuhan butik, sampai hiasan untuk mempercantik tokonya.Aria dengan semangat mengatur semuanya, sampai akhirnya suara Milan yang tiba-tiba muncul menyebar ke seluruh ruangan.“Luar biasa ….” Milan bahkan bertepuk tangan. “Nyonya Muda Wiguna, kau baru kembali dari luar negeri dalam beberapa hari, dan statusmu langsung berubah menjadi bos?”Milan menggeleng, berdecak dengan ekspresi kagum. “Kau benar-benar tahu cara memanfaatkan suami baik dan kaya raya.”“Kalau begitu, kau perlu belajar padaku bagaimana cara memanfaatkan uang suamimu dengan baik di masa depan.” Aria terkekeh bangga, lalu mendekat dan menarik Milan masuk. “Bagaimana menurutmu?”“Sempurna!” Milan melipat tangannya di dada, mengamati seluruh ruangan seperti juri kontes. “Sepertinya kau perlu membuka ini lebih cepat. Semakin cepat, semakin baik, karena aku tidak sabar mengoleksi baju diskon.”“Kau tahu, selain aku tahu cara memanfaatkan uang suamiku, aku
Kantor Aditya masih lengang ketika pintu itu terbuka.Aditya yang baru saja menandatangani beberapa berkas mengangkat kepala. Alisnya berkerut tipis saat melihat tiga sosok berdiri di ambang pintu—Gustav, Isla, dan Ava.“Kalian?” katanya pelan sambil bangkit dari kursinya. Tatapannya berhenti sedikit lebih lama pada Ava. “Ada apa datang bersama-sama ke sini?”Gustav melangkah lebih dulu. Wajah pria paruh baya itu tenang, terlalu tenang untuk sebuah kunjungan mendadak.“Hanya ingin mengobrol. Kau punya waktu sebentar?”Aditya mengangguk. Ia berjalan ke arah sofa, duduk di kursi tunggal, lalu mempersilakan mereka dengan satu gerakan tangan.“Tentu. Ada apa?”Gustav menarik napas dalam. Suaranya rendah saat ia berkata, “Mengenai malam itu.”Alis Aditya semakin mengernyit. “Malam apa?”Untuk sesaat, Gustav, Isla, dan Ava saling memandang. Tidak satu pun dari mereka menyangka bahwa setelah semua ini, Aditya masih tampak … benar-benar tidak tahu.Seluruh ekspresinya menyatakan kebingungan y
“Terlalu banyak mata,” kata Aditya sambil bangkit, menarik tangan Aria juga bersamanya.Tanpa aba-aba, Aditya mengangkat tubuh istrinya, menggendongnya dengan sekali gerakan.Aria tertawa renyah, menikmati perlakukan dimanja seperti ini.Pintu kamar ditutup dengan kaki oleh Aditya sebelum bergerak ke ranjang, meletakkan Aria hati-hati di atas sana.Aria masih menahan tawa di bibirnya saat dia bertanya dengan menggoda, “Apa kau sudah tidak tahan?”“Ya, sangat tidak tahan. Bersiaplah, aku mungkin akan menghabisi tubuhmu mala mini.”Aditya tidak memberi jeda lagi saat dia melepas pakaian Aria satu persatu. Bahkan saking tidak sabarnya, gerakan yang menurut dia biasa saja hampir mengoyak celana dalam Aria.Satu persatu pakaian dari keduanya berjatuhan di lantai.Sprei yang tadinya tertata rapi kini mulai kusut, seperti tertarik di satu pusaran.Desahan yang tadinya pelan, semakin lama semakin meningkat ketika Aditya yang mulai menggila dengan semua kelakuannya.Malam kembali menjadi menye
Ketika suasana mulai melunak dan percakapan mengalir lebih santai, permintaan itu muncul tiba-tiba,“Aku boleh menginap di sini?” tanya Ava, suaranya terdengar ringan, nyaris manja. “Rumah kalian indah sekali! Jauh berbeda dengan rumah keluarga kakek. Aku ingin merasakannya … walau sebentar. Ini seperti berlibur di hotel berbintang. Bahkan jauh lebih keren!”Aria menoleh. Ia menangkap sorot mata Ava yang penuh harap—tatapan yang begitu ia kenal. Selama tiga tahun terakhir, mereka bukan hanya sepupu. Mereka saling berbagi ruang, waktu, dan gossip yang sama. Menolak terasa mustahil.“Kau mau menginap?” Aria mengulang pelan, lalu tersenyum kecil. “Tentu saja boleh.”Senyum Ava merekah cepat, hampir terlalu cepat. “Terima kasih, Aria.”“Bagaimana denganmu, Bi?”Isla segera menimpali dengan nada tenang dan terukur. “Aku akan tinggal di rumah keluarga kakek kalian saja. Aku hanya menemani Ava berlibur di sini, dan aku tidak perlu menemaninya tidur juga, kan?”Aria mengangguk, sama sekali ti
Beberapa hari setelah percakapan itu, Aditya benar-benar membuktikan ucapannya.Sore itu, ia membawa Aria keluar tanpa banyak penjelasan. Mobil berhenti di sebuah gang yang tidak terlalu lebar, namun bersih dan tertata rapi. Deretan toko berjajar di kiri dan kanan—tidak mencolok, tapi jelas hidup. Ada kafe kecil dengan jendela besar, galeri seni dengan pintu kayu tua, dan beberapa butik dengan etalase minimalis yang elegan.Aria menatap sekeliling begitu turun dari mobil. “Ini …tempatnya?”Katanya Aditya ingin membawa dia ke suatu tempat, tapi juga tidak mengatakan tempat apa tujuan mereka.Bukannya menjawab, Aditya hanya tersenyum tipis.Ia berjalan beberapa langkah ke depan, lalu berhenti di depan sebuah toko dengan pintu kaca bening. Etalasenya masih kosong, hanya ada satu manekin tanpa busana, berdiri di tengah ruangan yang terang oleh cahaya sore.Di atas pintu, belum ada papan nama.Aditya membuka pintu itu dan memberi isyarat pada Aria.“Masuk.”Begitu Aria melangkah ke dalam,







