Share

Bab 2

Penulis: C_heline
last update Terakhir Diperbarui: 2024-09-23 22:08:54

Bola mataku langsung saja membesar sebesar-besarnya kala mendapati sosok jangkung yang berdiri menjulang di ambang pintu di depan sana. Tanpa pikir dua kali, aku langsung melompat, menghabur menghampirinya. 

Tunggu, bukan hanya aku, kan yang terkejut? Pasti semua orang di sini juga demikian sampai-sampai rumah yang tadinya berisik mendadak hening. 

"Mas Abri!" pekikku, tak sabar ingin segera melepaskan rindu. Dadaku bergemuruh ria, emosional seketika. 

Tetapi, alih-alih dia menyambut reaksi antusiasku untuk memeluknya, dia malah mengelak. Dia mundur dariku. Jelas saja diwajah ini tersirat keheranan, dan tentunya dengan cepat mengumpulkan tebakan demi tebakan jahat dikepala. 

"Mas," ucapku, agak lemah. Aku harap sikapnya ini tidaklah menunjukkan kalau kedatangannya hanya memberikan kabar duka padaku alih-alih bahagia. 

"Sa–maksudnya, aku baru pulang dari tempat jauh. Agak kotor. Takut kamu nanti kena bakteri atau kuman. Sebaiknya jangan sentuh aku dulu," katanya, menjelaskan. 

Alih-alih memahami maksudnya, aku justru salah fokus pada nada bicaranya. Apa perasaanku saja kalau dia terdengar formal sekali padaku? Apa karena efek merantau ya? Seperti terbawa arus lingkungannya makanya dia jadi punya nada bicara yang demikian? 

Kuenyahkan semua perasaan buruk itu. Tidak penting lagi semuanya. Bagiku yang terpenting saat ini adalah kepulangan suamiku. Ternyata dia masih menjadi milikku. Dia masih ingat janjinya yang akan pulang segera. 

Aku menyeka air mata, jadi terharu. "Kenapa Mas nggak ada kabar selama ini? Aku takut Mas kenapa-kenapa di rantau sana," aduku, kini sudah punya tempat pulang. 

Dia tersenyum agak tipis. "Maaf. Aku terlalu sibuk di tanah orang sana. Jadi lupa mengabarimu." 

"Nggak apa-apa, Mas. Yang penting saat ini Mas udah pulang." 

Lagi-lagi dia hanya memberikan senyumannya. Aneh sekali. Setelah lama tak bersua, harusnya dia pun antusias sama sepertiku. Tapi kenapa aku merasa kalau sikap Mas Abri jadi agak dingin? Apa dia tidak merindukan istrinya ini? Dan ... apa perasaanku saja ya, kalau dia tampak berbeda? 

Tapi kalau dilihat lagi, yang berbeda darinya hanyalah potongan rambut. Gaya busana. Juga kulit yang agak lebih cerah dan segar. Lebih dari itu, suamiku tetap seperti suamiku yang dulu. Tidak berubah. Walau sekarang agak berisi. 

"Abri? Udah pulang kamu? Dari mana aja selama ini? Tiga tahun bukannya ngabarin orang, malah hilang nggak jelas kamu," cecar Ibu sambil berdiri menghampiri. 

"Maafkan saya, Bu. Saya benar-benar merasa bersalah. Tapi saya akan coba menebus kesalahan saya pada kalian semua," sahut Mas Abri, sopan sekali. 

Ralat! Bukan sopan lagi, tapi sangat sopan dan sangat formal. Sikapnya ini bukanlah sikap suamiku yang lebih suka gaya bicara yang bebas. Apalagi kalau dengan Ibu. Mas Abri cenderung suka bercanda walau Ibu tidak suka. Semua itu dia lakukan hanya untuk mencairkan hati Ibu karena gagal menepati janji untuk membawaku hidup lebih enak. 

Tapi hari ini sangat jauh berbeda. Dia seperti bukan dia yang dulu. Malah terlihat seperti orang asing yang memakai wajah suamiku. 

"Halah! Kamu mulut aja yang manis. Tingkah kamu busuk," cebik Ibu kembali. 

"Saya nggak berniat begitu, Bu. Tolong maafkan saya."

"Mas, udahlah. Nggak usah terlalu diladeni apa kata Ibuk. Kayak nggak tahu aja," ucapku, mencoba menenangkannya. 

Lagi-lagi aku seperti tak diinginkan, ketika aku hendak memegangi lengannya dia malah menjauhkannya dariku. Kerutan dahiku semakin tercetak sempurna, benar-benar aneh dengan sikapnya ini. 

"Karena saya sudah pulang, tolong hentikan acara ini, Bu. Airin nggak bisa dijodohkan begini. Biarkan saya bawa dia lagi. Saya janji akan menjaganya," tambah Mas Abri lagi, yang membuat hati kecilku langsung tersentuh.

"Hei, hei! Jangan seenaknya ya kamu! Aku dan Airin akan bertunangan hari ini. Siapa kamu bisa membatalkan seenaknya?" sembur Pak Agung, marah-marah tak terima. 

Jujur saja, melihat wajahnya sudah membuatku muak. Pun, apa haknya melarang suamiku membawaku pergi? Jelas-jelas aku ini hanya dipaksa mau menerimanya. Kalau dari hati yang paling kecil mah, idih-idih amit-amit deh punya suami kayak kacang rebus itu. 

Sudahlah bantet, gosong pula! Ihhh. 

"Maaf, tapi Airin ini istri saya. Saya berhak membatalkan acara ini!" tegas Mas Abri kembali.  

"Enak saja! Aku sudah lama menunggunya. Lagi pula, kamu itu sudah lama nggak ada kabarnya. Siapa yang tahu niatmu datang ke sini itu baik atau buruk. Atau jangan-jangan kamu berniat membawa Airin ke tanah rantau sana dan menjualnya di sana. Kan sekarang banyak kasus semacam itu," tuding Pak Agung, tak tanggung-tanggung. 

"Ibu setuju!" timpa ibu. Katanya dia sependapat dengan omong kosong lelaki pilihannya. "Sebelum kamu kasih bukti ke kami kenapa selama ini kamu nggak kasih kabar, saya juga nggak akan biarin kamu bawa Airin lagi. Dia udah jadi janda sekarang!"

"Siapa yang bilang?" tantang Mas Abri. Kulihat dia merogoh sakunya mengeluarkan dompet. "Sebagai ucapan terima kasih saya ke Ibuk karena sudah menjaga anak dan istri saya, saya kasih imbalan untuk itu. Terima lah, Buk. Nggak banyak. Cuma dua ratus juta." 

Sontak saja kami semua tercengang mendengar pengakuannya barusan. Jangankan aku, Ibu saja langsung ternganga apalagi melihat sebuah kartu kredit yang diberikan Mas Abri.

"What! Dua ratus juta?" pekik Amy yang sejak tadi hanya menyimak. "Buset, Mas Abri. Kerja apa di rantau sana? Kok udah punya banyak duit aja?" 

"Alhamdulillah, kerjanya lancar. Makanya saya jarang kasih kabar," jawab lelakiku itu dengan nada tenang. 

"Ini beneran isinya segitu? Nggak bohong, kan kamu?" ujar Ibu sembari menarik kartu dengan chip emas ditangan Mas Abri.

Lihatlah bola mata Ibuku itu, sudah hampir mau keluar. Benar-benar secinta itu dirinya dengan yang namanya uang. Sampai-sampai dia lupa kalau dia sangat mengutuk Mas Abri sebab tak memberikan kabar. 

"Benar, Buk. Ibuk bisa cek secara manual, atau bisa juga lewat m-bankingnya." 

Tak butuh waktu lama, akhirnya ibu pun angkat suara. "Bubar-bubar! Ngapain kalian semua ke rumah saya. Sana keluar. Menantu saya sudah pulang. Anak saya juga bukan perempuan tanpa status lagi! Suaminya sudah kembali. Punya banyak uang lagi! Jadi, saya nggak takut lagi sama lisan-lisan kotor kalian yang terus mengatai anak saya! Pergi sana!" usirnya tak segan-segan. 

Aku jadi bergidik lucu sendiri. Benar-benar Ibuku yang aneh. Moodnya gampang sekali berubah. Tapi paling mujarab mengubah suasana hatinya, tentulah karena uang. 

Detik itu pula semua tamu-tamu yang kebanyakan para tetangga ini langsung menghamburan keluar. Ada yang kesal, ada yang masih tercengang, ada pula yang ikut terlihat senang. 

Terserahlah apa yang terjadi. Pokoknya hari ini aku bebas. Entah itu bebas dari hinaan, bebas dari omelam Ibu, dan juga bebas dari prasangka burukku tentang suamiku. 

"Mas, ayo ke kamar. Bersihin tubuh kamu. Aku kangen banget, Mas. Pengen pelukk," bisikku, manja. Sungguh, aku memang benar-benar merindukannya. 

"Kita langsung pulang saja. Aku sudah menyiapkan rumah untukmu dan anak kamu. Baiknya langsung ditempati," jawabnya sekenanya. 

"Anak kamu? Kayak bukan anak sendiri aja," sindirku, sinis. 

Dari banyak hal yang dia katakan, kalimat konyol ini yang membuatku sedikit merasa aneh. Apa maksudnya cuma bilang anak kamu, bukannya seharusnya 'anak kita'.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Suamiku Sudah Wafat    END

    Kulihat dia sedang berpikir untuk menjawabnya. Apa jangan-jangan dia memang menyadari kalau aku ini bukanlah Abri? Tapi, apa itu mungkin. Aku dan Abri kembar seiras. Hampir sulit dibedakan. Apalagi kami yang sudah lama tak bersua pun tak ada orang yang tahu kalau kami kembar. Apa mungkin ada yang menyadari perbedaan itu di antara kami? "Mas Abri yang dulu, yang sekarang, atau sepuluh tahun ke depan pun, aku akan terus mencintainya," jawabnya pada akhirnya. Kontan saja sudut bibirku terangkat membentuk senyuman. Senang sekali rasanya. "Kalau gitu, aku yang nanya sama, Mas Abri. Mas masih cinta sama aku nggak? Atau jangan-jangan ada wanita lain yang Mas suka selama di tanah rantau sana?" Mata menyipit menerangkan pertanyaan itu seperti mengancam jawabanku nanti. Alih-alih aku merasa terancam, aku justru semakin gemas padanya. Pandai sekali dia mengacak-acak pertahanan hatiku yang terkenal dingin ini. Kunyamankan topangan daguku untuk menatapnya, lalu menggeleng pelan. "Kurasa aku sud

  • Suamiku Sudah Wafat    Bab 52

    POV LibraMakin hari aku semakin pusing saja mencari kebenaran siapa agaknya yang sudah melukai saudara kembarku, Abri. Sudah banyak kulakukan penyisiran pada musuh-musuhku yang memang bukan lagi hanya satu atau dua. Maklum, aku ini seorang pengacat. Tidak asing lagi jika aku punya banyak musuh di mana-mana. Tatkala sibuk dengan layar laptopku, atensiku seketika lepas tatkala mendapati pintu kamarku terbuka. Seketika saja bulu-bulu halus yang menyelimuti kulitku berdiri semuanya tatkala sepasang mataku mendapatinya muncul dari ambang pintu sana. Siapa lagi kalau bukan Airin, adik iparku. Istrinya saudara kembarku yang sudah tiada. Aku meneguk ludah seiring dia berjalan mendekat. Kupaksa diriku untuk mengabaikannya, walau nyatanya sangat sulit. Bisa gila aku jika begini terus. Tiba-tiba auranya jadi panas sekali. Aku kegerahan."Mas lagi ngapain?" tanya sambil merayap ke atas tempat tidur, mulai mendekatiku. Sial! Aku jadi gagal fokus. Tadinya aku sedang mengumpulkan banyak teori,

  • Suamiku Sudah Wafat    Bab 51

    "Devita, sudahlah. Jangan ganggu aku dulu." Kurasakan juga kalau nada bicara Libra tak suka.Entah kenapa aku merasa menang jadinya.Devita terlihat frustrasi terlihat bagaimana dia menatapku semakin tajam. Aku tak tahu apa kaitannya perempuan ini dengan Libra. Yang pastinya, aku merasa lega karena pada faktanya ternyata dia bukan sepenting itu."Keluarlah, Devita. Kamu sudah tahu kita nggak ada hubungan apa-apa lagi? Jangan pura-pura bodoh apalagi harus mengemis di depanku. Kamu tahu, kan aku nggak suka perempuan yang cerewet!" kata Libra mengusir keberadaan Devita.Alih-alih Devita, entah kenapa justru aku yang merasa tersinggung. Kalimatnya ini sudah sangat banyak kudapati sejak dia menjadi Mas Libra kemarin. Jadi, dia memang tak suka pada perempuan yang banyak bicara? Termasuk aku?Jika memang begitu adanya, lantas kenapa dia terlihat sangat meyakinkan saya mengatakan kalau dia mencintaiku? Dia seperti mengemis dan akan melaksanakan apa pun yang akan kukatakan padanya asalkan aku

  • Suamiku Sudah Wafat    Bab 50

    Damn! Sungguh, rasanya aku seperti ada di alam mimpi. Semua kalimat yang kubaca dengan kedua mataku ini sangat-sangat ampuh membelah pertahanan diri. Sesuatu yang sangat mujarab untuk menghilangkan jiwa dari ragaku. Bagaimana bisa? Bagaimana bisa surat yang kubaca baru saja disampaikan oleh suamiku, Mas Abri. Aku tidak akan salah mengenali tulisan tangan ini. Tidak akan aku salah lagi. Ini sudah jelas tulisan Mas Abri, suamiku. Tapi apa maksudnya? Apa yang dia katakan di dalam suratnya ini? Bagaimana bisa dia mengatakan hal seperti itu? Apa maksudnya! Tanpa sadar air mataku mengucur deras lagi-lagi membasahi pipi yang kering saja belum juga. Tanpa sadar pula, amarahku memuncak hingga ubun-ubun yang langsung kuluapkan pada secarik kertas yang kugenggam! Apa katanya? Sebenarnya dia tidak pernah merantau untuk mencari pekerjaan, melainkan ingin mencari saudaranya? Dan juga, dia yang mengirimkan Libra padaku seolah-olah Libra itu adalah dia yang pergi dengan segenap janji yang dia

  • Suamiku Sudah Wafat    Bab 49

    Belum siap aku memberikan reaksi atas kisah yang dijabarkan padaku, aku sudah kembali dikejutkan dengan suara sirine yang terdengar begitu dekat.Putriku sampai memelukku erat, ketakutan.Sementara itu, Rangga langsung menghambur keluar kamar mungkin langsung memeriksa apa kira-kira yang sedang terjadi.Dan aku? Aku hanya bisa diam entah kenapa. Aku tak tahu harus apa. Aku tak mengerti ada disituasi apa aku saat ini. Apalagi saat mengingat tentang cerita yang dikisahkan pria tadi membuatku semakin linglung dan sulit berpikir logis.Suara sirine itu terus saja memekik ditelingaku. Tak bisa diam saja, aku pun lantas menarik langkahku pelan-pelan mencari tahu apa sebenarnya yang telah terjadi di bawah sana.Begitu aku keluar kamar, dari anak tangga yang masih cukup jauh, aku membeliak tatkala mendapati banyak aparat kepolisian di rumahku. Suara sirine itu berasal dari mobil mereka. Tapi tunggu!Kenapa ada ambulans? Apa yang sudah terjadi sampai harus mendatangkan beberapa perawat terliha

  • Suamiku Sudah Wafat    Bab 48

    "Airin, jangan!" Aku menepis tangannya serta tak kupedulikan suaranya yang melarangku menghampiri putriku. Bagaimana mungkin aku diam saja saat buah hatiku hendak disakiti begitu saja? Hati ibu mana yang tidak akan terluka jika sudah begitu? Tanpa berpikir dua kali, langsung kurebut Aila dari dekap pria itu sampai aku tidak sadar kalau pisau kecil yang dia pegang menggores pelan pergelangan tanganku. "Mama," lirih Aila. Aku langsung saja memeluknya erat, tak akan kubiarkan dia terluka atau apa pun. "Mama di sini, Sayang. Nggak apa-apa. Jangan nangis ya?" Aku memenangkannya terus mengusap punggungnya. Ketakutanku langsung bertambah tatkala kudengar kembali suara tawa pria yang kini berdiri di depanku. Dia memalang tubuhku dari tatap Libra. "Ini yang di namakan satu kali dayung dua pulau terlampaui," ucapnya. Tak henti-hentinya aku menahan ketakutan ketika dia kembali menodong pisau kecilnya tepat ke leherku manakala melihat Libra hendak mendekati."Jangan, jangan! Jangan lakuka

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status