Share

Bab 1

Author: C_heline
last update Last Updated: 2024-09-23 22:08:23

Ibuku memang ada-ada saja. Demi mengelak dari yang namanya bisik-bisik tetangga, aku malah dipaksa menerima tawaran pernikahan dari pria lain. Padahal jelas-jelas aku ini masih sah jadi istrinya Mas Abri. Apa katanya jika sekiranya dia pulang dan melihatku sudah menikah lagi? 

Bagaimana bisa aku menatap matanya nanti? 

Sudah berjalan satu pekan setelah keputusan ibu waktu itu padaku. Dan selama itu pula, aku terus berdoa dan terus berharap ada kabar dari suamiku. Walau hanya sebatas surat, atau apalah itu, yang penting dia memberikan sebuah informasi kalau sebenarnya dia masih menganggapku istrinya dan akan pulang dengan janji-janjinya dulu. 

"Gimana, udah ada kabar dari Abri?" tukas ibu membuatku terkesiap dari lamunan. Dengan lemah aku menggeleng, menjawabnya. Mengatakan tidak ada. 

"Tuh, kan! Apa Ibuk bilang, Airin. Nggak akan ada kabar darinya!" semburnya kemudian. "Sudah, Ibu udah nggak bisa biarin kamu gini terus. Besok, kita terima lamaran Pak Agung itu.  Ibuk bakalan bilang sama Amy buat nyiapin kamu. Kamu masih cantik, lho. Masih segar lagi. Masa harus jadi perempuan tanpa status gini! Rugi dong!"

Sontak saja aku terbeliak mendengar keputusan Ibu yang semakin mengada-ada. "Lho, apaan sih, Buk? Ibuk nggak bisa maksain kehendak Airin dong. Airin nggak mau, Buk. Airin yakin, Mas Abri bakalan pulang. Mas Abri sendiri kok yang janji," tolakku, mati-matian. 

Terlepas dari kenyataan suamiku yang hilang tanpa kabar, aku pun ogah menerima laki-laki tua itu. Terlihat sekali niatnya minta enak doang. Hidupku sudah rumit dan sakit begini, masa aku harus terjun lagi ke dalam jurang yang lebih dalam. 

"Cukup ya, Airin! Ibuk capek sama kamu!" tegas Ibu dengan mata menatap tajam. "Ini udah tiga tahun. Kamu masih terus nungguin yang nggak pasti! Ibu nggak mau tahu, besok kamu udah harus tunangan sama Pak Agung. Jangan nolak, atau sekolah Aila Ibuk putus!" lanjutnya mengancamku tak habis-habis. 

"Astaga, Buk. Tolonglah, Buk. Jangan seperti ini." Aku gegas memelas. Kutahan tangan Ibu yang hendak menjauh dariku. "Airin nolak juga bukan semata-mata karena Airin mau tetap nungguin Mas Abri, Buk. Tapi Airin nggak suka sama dia. Masa Airin harus mengabdikan diri pada pria itu, pun dia duda anak tiga. Ogah, Buk!"

"Heh!" tukas ibu sambil menarik tangannya dari genggamanku. "Walau pun dia duda, kebun sawitnya lebar. Dia juga juragan kontrakan, Airin. Ibuk bisa jamin, hidupmu bakal tenang, tentram sampai tujuh turunan. Kenapa sih kamu ini? Jadi perempuan kok bodohnya kebangetan? Dikasih hidup enak malah milih melarat!" 

"Tapi, Buk-"

"Udah ah!" Ibu mengibaskan tangannya didepanku. "Ibuk malas ngadepin kamu yang terus kayak gini. Itu udah keputusan final. Jangan coba-coba buat Ibuk marah ya, Airin. Sudah cukup selama tiga tahun ini Ibuk berjuang buat kamu dan anak kamu. Awas kalau sampai kamu buat hal macam-macam!" 

Kepergian ibu berbarengan dengan luruhnya air mataku. Rasanya lemas. Kakiku hampir tak bisa lagi menopang tubuh saking tidak kuatnya menahan kenyataan ini. 

Ya Tuhan, apa yang akan terjadi nanti? Bagaimana bisa aku menerima lamaran pria lain sementara aku masih jadi istri orang? 

Jujur saja, aku juga sudah mulai meragu pada janji Mas Abri yang katanya akan pulang. Berangsur-angsur pula rasa dendamku tercetak padanya. Kalau begini ceritanya, kenapa dulu dia harus berjanji? Kenapa pula dia harus menghilang tanpa kabar? Kenapa harus menggantungku tanpa status seperti ini? 

Kalau memang benar dia sudah menikah lagi di tanah rantau sana, harusnya kabari aku. Harusnya katakan padaku. Walau mungkin aku akan merasakan kecewa, tapi setidaknya statusku jelas. Tidak di awang-awang seperti ini. 

***

Walau mungkin mustahil, tapi aku masih terus berharap Mas Abri datang. Setidaknya sebuah pesan singkat atau surat yang membuat acara lamaran ini ditunda atau mungkin lebih baik dibatalkan saja. Karena bagaimana pun, apa pun alasannya, mau dia punya sawit atau tambang emas sekali pun, aku tidak pernah sudi mau menjadi istrinya. 

Sungguh tidak rela!

Rumah Ibu sudah mulai ramai. Sudah kudengar samar-samar suara lelaki yang terus menjawab pertanyaan Ibu. Mereka seperti berbincang-bincang ceria ditengah hatiku yang kalut. 

Tak lama, Amy pun muncul. Dia sempat tercengang melihatku yang kembali dibalut gaun indah seperti aku tiga tahun lalu. "O may god! Sejak kapan ada bidadari di rumah kami ini?" ujarnya, entah sungguh-sungguh terkesima dengan penampilanku atau hanya membuat suasana hatiku cair saja. 

Aku memutar bola mata, malas. "My, tolongin Mbak, ya. Tolong batalin rencana konyol ini. Mbak nggak mau nikah sama duda tua itu. Tolong Mbak, My!" Aku memelas sambil mengusap-usap tangan adikku, berharap dia mau membantu. 

"Ya ampun, Mbak. Kenapa ditolak sih? Udah bagus itu nikah sama Pak Agung. Mbak tahu nggak, dia itu punya banyak uang. Kebun sawitnya gede banget. Nanti Mbak bisa nyonya. Kan enak tuh, tiap hari nggak perlu pusing lagi buat mikir hari ini mau makan apa." Alih-alih menurut, dia malah membayangkan yang tidak-tidak. 

Ck! Saking malasnya, aku jadi melepaskan tangannya lantas memasang wajah semakin tak tenang. "Udahlah, My. Kamu sama Ibuk sama aja. Matrenya kebangetan. Giliran liat orang kaya dikit mau aja langsung tunduk," cibirku. 

"Heh, Mbak. Jaman sekarang mah kalau nggak punya uang, ya nggak makan. Nggak narik diri apa selama ini? Mbak nikah sama Mas Abri, alih-alih idup enak malah makin melarat. 

"Ingat nggak dulu Mbak mau lahiran aja uangnya harus minjam sana minjam sini? Belum lagi Aila yang nggak punya baju bayi yang baru. Selalu aja bekas dari tetangga. Udah susah gitu, Mbak masih mau nungguin dia? Kalau aku sih ogah. Mending nikah sama duda kaya, walau pun nggak ganteng-ganteng amat, tapi setidaknya bisa buat hati tenang dengan uang banyak." 

Adikku ini memang sudah terkontaminasi oleh gaya pikiran Ibu. Lihatlah dia. Dengan gampangnya dia menceramahiku tentang pernikahan yang isinya hanya uang, uang dan uang. Makin pusing rasanya kepalaku ini. 

"Udah ah! Malah ngelamun lu!" tukasnya sembari menepuk bahuku. "Ayok keluar. Pangeranmu udah nungguin tuh!" lanjutnya. 

Mataku mengerling tajam ke arahnya. "Sarkas banget kedengarannya!" 

Dia malah terkekeh kecil. Kelihatan sekali kalau dia senang melihatku menderita begini. 

Tak lama, aku pun bisa menatap orang-orang ramai di ruang tengah. Dan juga, aku bisa melihat sosok yang katanya si pemilik kebun sawit yang sudah menatapku dengan senyumnya yang ... sedikit menyeramkan. 

Oh Tuhan! Ujian apalagi ini? 

"Ini putri kami, namanya Airin Rachmicahayu. Cantikkan?" ucap Ibu memperkenalkanku usai aku duduk ditengah-tengah mereka. 

Aku hanya tersenyum singkat sambil menunduk. Aku terus berdoa dalam hati, semoga hari ini terjadi bencana apa pun yang bisa membuat acara tunangan ini batal. 

"Baiklah, Buk. Saya terima Airin apa adanya. Walau pun nggak secantik yang saya bayangkan, tapi lumayanlah. Asal hatinya cantik," ucap pria itu seenaknya. 

Tentu aku langsung mendongak dengan wajah misuh-misuh. Kurang ajar! Lancang sekali mulutnya itu berkata demikian? Mentang-mentang punya banyak uang dia lantas bisa bicara seenaknya? 

"Nggak perlu diperlambat lagi, Buk. Kita mulai saja acaranya," tambahnya kemudian. 

Kian berdebar hati ini, tak terima. Hendak mengulurkan tanganku untuk disematkan cincin pertunangan, suara yang tak asing tiba-tiba datang melerai, 

"Hentikan! Pertunangan ini harus dibatalkan!" 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suamiku Sudah Wafat    END

    Kulihat dia sedang berpikir untuk menjawabnya. Apa jangan-jangan dia memang menyadari kalau aku ini bukanlah Abri? Tapi, apa itu mungkin. Aku dan Abri kembar seiras. Hampir sulit dibedakan. Apalagi kami yang sudah lama tak bersua pun tak ada orang yang tahu kalau kami kembar. Apa mungkin ada yang menyadari perbedaan itu di antara kami? "Mas Abri yang dulu, yang sekarang, atau sepuluh tahun ke depan pun, aku akan terus mencintainya," jawabnya pada akhirnya. Kontan saja sudut bibirku terangkat membentuk senyuman. Senang sekali rasanya. "Kalau gitu, aku yang nanya sama, Mas Abri. Mas masih cinta sama aku nggak? Atau jangan-jangan ada wanita lain yang Mas suka selama di tanah rantau sana?" Mata menyipit menerangkan pertanyaan itu seperti mengancam jawabanku nanti. Alih-alih aku merasa terancam, aku justru semakin gemas padanya. Pandai sekali dia mengacak-acak pertahanan hatiku yang terkenal dingin ini. Kunyamankan topangan daguku untuk menatapnya, lalu menggeleng pelan. "Kurasa aku sud

  • Suamiku Sudah Wafat    Bab 52

    POV LibraMakin hari aku semakin pusing saja mencari kebenaran siapa agaknya yang sudah melukai saudara kembarku, Abri. Sudah banyak kulakukan penyisiran pada musuh-musuhku yang memang bukan lagi hanya satu atau dua. Maklum, aku ini seorang pengacat. Tidak asing lagi jika aku punya banyak musuh di mana-mana. Tatkala sibuk dengan layar laptopku, atensiku seketika lepas tatkala mendapati pintu kamarku terbuka. Seketika saja bulu-bulu halus yang menyelimuti kulitku berdiri semuanya tatkala sepasang mataku mendapatinya muncul dari ambang pintu sana. Siapa lagi kalau bukan Airin, adik iparku. Istrinya saudara kembarku yang sudah tiada. Aku meneguk ludah seiring dia berjalan mendekat. Kupaksa diriku untuk mengabaikannya, walau nyatanya sangat sulit. Bisa gila aku jika begini terus. Tiba-tiba auranya jadi panas sekali. Aku kegerahan."Mas lagi ngapain?" tanya sambil merayap ke atas tempat tidur, mulai mendekatiku. Sial! Aku jadi gagal fokus. Tadinya aku sedang mengumpulkan banyak teori,

  • Suamiku Sudah Wafat    Bab 51

    "Devita, sudahlah. Jangan ganggu aku dulu." Kurasakan juga kalau nada bicara Libra tak suka.Entah kenapa aku merasa menang jadinya.Devita terlihat frustrasi terlihat bagaimana dia menatapku semakin tajam. Aku tak tahu apa kaitannya perempuan ini dengan Libra. Yang pastinya, aku merasa lega karena pada faktanya ternyata dia bukan sepenting itu."Keluarlah, Devita. Kamu sudah tahu kita nggak ada hubungan apa-apa lagi? Jangan pura-pura bodoh apalagi harus mengemis di depanku. Kamu tahu, kan aku nggak suka perempuan yang cerewet!" kata Libra mengusir keberadaan Devita.Alih-alih Devita, entah kenapa justru aku yang merasa tersinggung. Kalimatnya ini sudah sangat banyak kudapati sejak dia menjadi Mas Libra kemarin. Jadi, dia memang tak suka pada perempuan yang banyak bicara? Termasuk aku?Jika memang begitu adanya, lantas kenapa dia terlihat sangat meyakinkan saya mengatakan kalau dia mencintaiku? Dia seperti mengemis dan akan melaksanakan apa pun yang akan kukatakan padanya asalkan aku

  • Suamiku Sudah Wafat    Bab 50

    Damn! Sungguh, rasanya aku seperti ada di alam mimpi. Semua kalimat yang kubaca dengan kedua mataku ini sangat-sangat ampuh membelah pertahanan diri. Sesuatu yang sangat mujarab untuk menghilangkan jiwa dari ragaku. Bagaimana bisa? Bagaimana bisa surat yang kubaca baru saja disampaikan oleh suamiku, Mas Abri. Aku tidak akan salah mengenali tulisan tangan ini. Tidak akan aku salah lagi. Ini sudah jelas tulisan Mas Abri, suamiku. Tapi apa maksudnya? Apa yang dia katakan di dalam suratnya ini? Bagaimana bisa dia mengatakan hal seperti itu? Apa maksudnya! Tanpa sadar air mataku mengucur deras lagi-lagi membasahi pipi yang kering saja belum juga. Tanpa sadar pula, amarahku memuncak hingga ubun-ubun yang langsung kuluapkan pada secarik kertas yang kugenggam! Apa katanya? Sebenarnya dia tidak pernah merantau untuk mencari pekerjaan, melainkan ingin mencari saudaranya? Dan juga, dia yang mengirimkan Libra padaku seolah-olah Libra itu adalah dia yang pergi dengan segenap janji yang dia

  • Suamiku Sudah Wafat    Bab 49

    Belum siap aku memberikan reaksi atas kisah yang dijabarkan padaku, aku sudah kembali dikejutkan dengan suara sirine yang terdengar begitu dekat.Putriku sampai memelukku erat, ketakutan.Sementara itu, Rangga langsung menghambur keluar kamar mungkin langsung memeriksa apa kira-kira yang sedang terjadi.Dan aku? Aku hanya bisa diam entah kenapa. Aku tak tahu harus apa. Aku tak mengerti ada disituasi apa aku saat ini. Apalagi saat mengingat tentang cerita yang dikisahkan pria tadi membuatku semakin linglung dan sulit berpikir logis.Suara sirine itu terus saja memekik ditelingaku. Tak bisa diam saja, aku pun lantas menarik langkahku pelan-pelan mencari tahu apa sebenarnya yang telah terjadi di bawah sana.Begitu aku keluar kamar, dari anak tangga yang masih cukup jauh, aku membeliak tatkala mendapati banyak aparat kepolisian di rumahku. Suara sirine itu berasal dari mobil mereka. Tapi tunggu!Kenapa ada ambulans? Apa yang sudah terjadi sampai harus mendatangkan beberapa perawat terliha

  • Suamiku Sudah Wafat    Bab 48

    "Airin, jangan!" Aku menepis tangannya serta tak kupedulikan suaranya yang melarangku menghampiri putriku. Bagaimana mungkin aku diam saja saat buah hatiku hendak disakiti begitu saja? Hati ibu mana yang tidak akan terluka jika sudah begitu? Tanpa berpikir dua kali, langsung kurebut Aila dari dekap pria itu sampai aku tidak sadar kalau pisau kecil yang dia pegang menggores pelan pergelangan tanganku. "Mama," lirih Aila. Aku langsung saja memeluknya erat, tak akan kubiarkan dia terluka atau apa pun. "Mama di sini, Sayang. Nggak apa-apa. Jangan nangis ya?" Aku memenangkannya terus mengusap punggungnya. Ketakutanku langsung bertambah tatkala kudengar kembali suara tawa pria yang kini berdiri di depanku. Dia memalang tubuhku dari tatap Libra. "Ini yang di namakan satu kali dayung dua pulau terlampaui," ucapnya. Tak henti-hentinya aku menahan ketakutan ketika dia kembali menodong pisau kecilnya tepat ke leherku manakala melihat Libra hendak mendekati."Jangan, jangan! Jangan lakuka

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status