Bab 6

Tak mau kalah, aku lantas mengekori Mas Abri, masih penasaran sejauh apa dia bertahan. Dan, ada apa sih dengan pria itu? Kenapa mendadak sikapnya berubah? Seperti aku ini tidak halal dia sentuh. Padahal sudah jelas-jelas selama tiga tahun kami tidak berhubungan. Apa tidak ada terlintas dibenaknya tentang itu? Apa mungkin dia juga tidak menginginkannya? 

Ah, mustahil. 

Penelitian saja pernah bilang, kalau laki-laki paling kuat menahan diri cuma satu sampai dua pekan. Masa suamiku yang laki-laki tulen ini bisa tahan sampai tiga tahun? Itu gila namanya. 

Apa mungkin dia sudah jajan diluar? 

Karena asumsi itu, aku jadi meringis sendiri. Ngeri-ngeri sedap membayangkan hal itu. Tapi, bukankah semua itu tidak menutup kemungkinan? Karena memang pada dasarnya, manusia itu makhluk biologis. Mana bisa tahan kalau sudah begini. 

Dari ambang pintu kamar, kulihat Mas Abri sudah mulai menata sofa untuk dia tiduri. Lihatlah dia. Sangat gencar sekali menjauhiku. Bahkan sampai rela tidur di sofa segala. 

Ya Tuhan! Benar-benar pria itu! 

"Mas, ngapain sih tidur di sini? Ayok ke kamar," rengekku sambil berjalan. 

Spontan saja dia kaget dan lebih parahnya, langsung menutup tubuhnya dengan selimut tebal. Dia hanya menyisakan kepalanya saja. "Tidurlah di sana. Aku di sini saja, Airin. Nanti takut kamu kesempitan kalau aku tidur di kamar," kilahnya, sangat tidak masuk akal sekali alasan itu. 

"Emang aku segendut apa, Mas? Masa ranjang ukuran king size itu aku bisa kesempitan. Aku harap itu bukan penghinaan ya, Mas!" cebikku. 

"Bukan begitu, Airin. Kan begini enak tidurnya. Jadi kamu pun punya privasi kalau sendirian." 

"Bodo amat sama privasi!" sergahku, sebal. Dia semakin mengeratkan kain tebal ditubuhnya ketika aku sudah datang mendekat. "Aku udah tidur sendirian selama tiga tahun, Mas! Lagian masa suami istri ada privasi sih? Itu pasangan atau musuhan? Aneh." 

"Ariiiin," tekannya, saat aku menjatuhkan tubuh ke arahnya. Walau cuma merasakan hangatnya selimut tebal ini, tapi lumayan juga menghilangkan rasa rinduku padanya. "Airin pergilah. Jangan seperti ini. Kamu kayak anak kecil saja." 

Semakin dia menolak, aku akan semakin gencar. Ingat kata pepatah, 'larangan adalah perintah'! 

"Mau anak kecil atau anak monyet sekali pun, bodo amatlah, Mas! Yang penting aku bisa tidur sama suamiku malam ini." Aku mengedipkan sebelah mata. 

Kulihat dia meneguk ludah. Seperti dia terperangkap jerat sendiri. Siapa suruh malah membalut diri begitu? Kan jadi mudah aku menahannya agar tak pergi-pergi lagi. 

Seperti saat ini. Aku memeluknya erat yang mana posisiku ada di sisi kirinya. Disela kesempatan, kucoba cari-cari ujung selimut agar tanganku bisa masuk ke dalam sana. 

"Airin jangan macam-macam kamu!" tegurnya dengan mata membulat. Sepertinya dia menyadari jemariku yang sempat menyentuh lengannya. 

"Kenapa sih, Mas?" Aku kembali melakukan aksiku. 

"Airin tolonglah, jangan seperti ini!" Dia malah memelas. 

"Harusnya aku yang bilang gitu sama kamu, Mas. Jangan kayak gini dong. Kamu jadi bikin aku ngerasa ada yang aneh tau nggak!" 

Dia menggeleng-geleng, upaya membebaskan selimut dari wajahnya. Karena tak mau melihat dia ribet sendiri, aku jadi membantunya menurunkan selimut tersebut sampai dada. 

"Stop!" tegurnya. "Stop, Airin! Ini nggak benar!" 

"Nggak benar apa sih, Mas? Apa yang salah?" Kedua alisku tertaut tajam, jadi ikut sebal. 

Dia lantas membebaskan diri dari selimutnya, lalu berdiri menjulang di depanku dengan tatap mengintimidasi. "Pergi ke kamar kamu. Tolong menurutlah. Kenapa kamu banyak sekali tingkahnya?"

Mendengar itu, aku mendadak merasa tersinggung. Tiba-tiba saja mataku memanas, siap-siap embun di sana akan mencair. Bagaimana mungkin aku tidak tersinggung jika Mas Abri tetap saja menolakku. Bahkan katanya aku banyak tingkah. Dia juga terdengar membentak. 

Kesal, aku pun ikut berdiri lantas menatapnya dengan tatapan tajam. "Mas Abri yang banyak tingkahnya! Kenapa sih, Mas? Kenapa kayaknya Mas nggak mau nyentuh aku? Kenapa Mas nggak mau aku dekat-dekat? Apa yang terjadi? Jujur aja, Mas. Apa sebenarnya Mas udah nggak cinta sama aku?"

"Bukan begitu–"

"Terus apa? Sejak Mas kembali, Mas nggak ada lho kangen-kangenan ke aku. Pasangan mana yang nggak mau pelukan setelah lama nggak ketemu? Mungkin itu Mas Abri doang!" omelku sambil menahan tangis. 

"Tenanglah dulu, Airin. Kenapa kamu jadi emosional seperti itu?" bujuknya. 

Tapi, alih-alih menenangkanku, aku malah semakin berapi-api kala dia menarik selimutnya hanya untuk menutupi tubuhku. Dengan cepat aku berontak, tak mau ditutup. 

"Apaan sih!" 

"Cuacanya dingin. Nanti kamu demam," katanya. 

Sumpah! Ingin rasanya aku berteriak. "Mas! Aku nggak akan kedinginan kalau udah sama kamu. Aku nggak butuh selimut. Aku butuh kamu, Mas. Aku mau suami aku!" 

"Aku tahu, Airin. Tapi waktunya–"

"Kenapa sama waktunya?" Refleks aku menatap jam dinding. "Masih kurang malam? Harusnya pukul berapa, Mas? Biasanya kita tidur juga jam segini. Waktu buat Aila malah tidur tiap menit!" 

Entah karena dia gemas mendengar ocehanku yang memang mengandung unsur kedewasaan, dia refleks membekap mulutku begitu saja. Beberapa detik berikutnya, dia malah tersadar dan langsung saja melepaskan tangannya lalu mendesah berat sambil meremas rambutnya tak lupa menaruh tangan kiri dipinggang. 

Dia mendadak resah. 

"Kasih aku waktu. Nanti aku bakalan ...." 

"Tidurin aku?" lanjutku, sekiranya dia memang tidak sanggup melanjutkan. 

Dia kembali mendesis, seperti risih mendengarnya. "Apa pun itu. Terserah. Kasih aku waktu, oke?"

"Udah kayak kamu aja perempuannya, Mas. Kamu masih normal kan, Mas?" Saking penasarannya–dominan merasa bingung dengan tingkah Mas Abri ini, aku dengan tanpa dosa memeriksa perut bagian bawahnya apakah masih berfungsi dengan baik atau tidak. 

"Airin, Gila!" umpatnya seketika padaku sambil menjauh. "Astaga! Apa yang kamu lakukan?" Dia membeliak, tak terima. 

"Ya Allah, Mas! Kenapa sih? Apa yang salah?!" Aku jadi ikut-ikutan kaget. 

"Tentu saja ini–"

Ucapannya tak berlanjut kala dering ponsel miliknya memekik. Menginterupsi aktivitas kami yang sudah seperti singa menerkam mangsa. "Aku jawab telfon dulu," katanya yang langsung saja melengos pergi. 

"Ck!" Aku berdecak sebal, lagi-lagi dia bebas dari jeratku. Padahal aku sudah sangat menginginkannya. Aku rindu suamiku, Tuhannn.

Seraya dia menjauh sambil meraih ponsel dari dalam saku, aku menyadari sesuatu yang terjatuh dari sana. Gegas aku berjalan, lantas mendapati sebuah kartu nama dengan nama, 'Libra Abraham Abiksera'. Pengacara. 

"Siapa itu Libra? Kenapa kartu nama seorang pengacara ada di dalam saku suamiku?" Aku bergumam sendiri dalam hati. 

Sampai tiba-tiba aku kaget sendiri dengan isi kepalaku. Aku malah menduga kalau Mas Abri sedang menyewa seorang pengacara untuk mengurus perceraian kami? Apa jangan-jangan dia pulang pun hanya ingin meminta pisah dariku?