Mas Abri langsung kaget mendapati aksiku tadi. Sejenak dia terdiam dengan bola mata yang membulat. Setelah itu dia langsung bangkit dari kursinya dan menatapku penuh dengan rasa tidak percaya.
"A-apa yang kamu lakukan?" Dia jadi mendadak gugup. Aku mengangkat bahuku, santai. "Ya cium suami akulah. Apa lagi emang?" Dia mengerjap-erjap, tampak jadi sulit bicara. Perlahan dia mengusap pipinya bekas kecupanku tadi. "Jangan seperti ini, Airin. Nggak baik. Kamu nggak lihat ada anak kamu?" "Anak kamu, anak kamu, anak kamu!" omelku, tak suka dengan ucapannya yang ini. "Kamu ya, Mas. Ngomongin Aila itu udah kayak bukan anak kamu. Memangnya bisa ya aku buat Aila sendirian tanpa kamu? Heran deh!" Dia menghela napas, mungkin menyesal. "Maaf. Maksudnya ... itu ... apa, iya, anak kita." "Tuh kan! Ihhh, kamu makin aneh aja deh, Mas. Kenapa sih? Kenapa kamu kayaknya nggak terima gitu? Apa yang kamu sembunyikan dariku? Atau jangan-jangan kamu udah nggak anggap kami ini ada? Iya? Malu ngakuin kami sebagai anak dan istrimu?" Kekesalanku semakin menjadi-jadi. Habisnya, Mas Abri banyak sekali berubahnya. Setiap ucapannya selalu saja mengundang emosiku. Siapa coba yang tidak curiga kalau sudah begini? "Kan aku sudah bilang, jangan berpikir yang buruk-buruk. Kenapa kamu suka sekali buat asumsi yang nggak-nggak? Hobi banget kayaknya nyakitin diri?" bujuknya, paling bisa! Aku memutar bola mata, jengah. "Ya kalau gitu buktikan, dong! Jangan malah buat orang makin curiga. Logikanya, suami mana yang nggak langsung peluk cium istrinya sehabis pulang merantau? Cuma Mas doang kali. Karena Mas emang udah nggak sayang sama kami. Mas juga nggak anggap kami ada lagi. Atau jangan-jangan Mas bakalan ninggalin kami buat orang lain!" Kulihat dia meringis mendengar ocehanku. Dia mengusap tengkuknya, seolah menangkan diri dari segala omelan istrinya ini. Tapi jujur, seru juga kalau sudah menceramahi suamiku. Karena sudah lama tak bertemu, aku jadi menyukai adegan-adegan seperti ini. Untungnya suamiku tidak balas marah-marah. Untuk sifatnya yang ini, memang tidak berubah. "Nggak ada, Airin. Abri itu orangnya setia. Nggak ada yang macam-macam," ucapnya kemudian yang seketika itu saja membuatku mengernyit heran. "Lho, kok kayak Mas lagi ceritain orang lain sih?" tanyaku, memang agak bingung dengan gaya bicaranya. "Bu-bukan begitu. Maksudnya, aku. Iya, aku nggak macam-macam di luaran sana. Aku juga nggak akan lupa sama kalian. Kalian tetap jadi prioritasku," jelasnya, mengklarifikasi. Aku semakin menyipitkan mata menatapnya. "Beneran? Nggak bohong kan?" Dia menggeleng, mengatakan kalau dia tidak berbohong. "Kalau gitu, peluk dulu." Gegas aku melebarkan dua tanganku. "Makan dulu. Kamu ini cerewet banget. Nggak kenal tempat pula kalayh urusan kayak gini. Nggak ada harga dirinya banget," ucapnya, malah duduk lagi. Tak lupa juga dia sekarang hobi sekali mengataiku. "Biarin aja! Nggak punya harga diri kek, gatel kek, apa kek, bodo amat! Yang penting aku lakuin itu semua sama suami aku. Jelas-jelas nggak ada halangan sama semua itu," tukasku sekiranya dia terus menganggapku murah. Dia sudah menyantap makanannya, sambil terus menatapku. Kadang tatapannya ini seperti tatapan pria lain. Seperti sedang membaca isi kepalaku. Berbeda dengan Mas Abri yang jelas saja terlihat cinta di sana. Tapi sesekali entah kenapa aku merasa kalau yang di depanku ini benar-benar bukan suamiku. "Boleh aku tanya sesuatu?" tanyanya kemudian. "Nggak! Harus bayar! Satu pertanyaan, satu kecupan!" balasku, sengit. Tak mau aku mengalah. "Ya sudah, nggak jadi." "Ihh, apaan sih! Benar-benar kamu ya, Mas!" Dia mengangkat bahunya, lanjut makan dengan santai. "Ya udah, apa. Jangan pula aku dikatakan istri durhaka. Tanya cepat. Mumpung aku masih baik." "Selama ini kamu hidupnya bagaimana? Apa banyak mendapatkan masalah?" Layaknya disiram air es, hatiku langsung saja terasa adem mendengar pertanyaan itu. Akhirnya suamiku bertanya tentangku. Setelah dia datang pagi itu, tak ada satu kalimat pun yang dia layangkan hanya untuk bertanya tentang ini. Ternyata memang benar, aku hanya menunggu waktu saja. Semuanya akan kembali seperti semula. Suamiku juga akan kembali seperti Mas Abri yang dulu. "Banyak sakitnya, Mas. Mas tahu kan, kita nggak punya rumah. Aku sama Aila tinggal di rumah ibu. Mana selalu kena ceramah pula. Dan yang terakhir, aku malah mau dinikahkan sama laki-laki lain. Untungnya Mas datang tepat waktu. Kalau tadi nggak, gimana coba sama nasibku?" aduku, benar-benar merasa bersyukur bisa melewati semuanya. Dia hanya diam. Seperti mencerna segala kisah yang kujabarkan. Mungkin merasa kasihan padaku. Tentulah. Siapa yang tidak kasihan coba? Anak dan istrinya hidup melarat selama tiga tahun bahkan tanpa kabar darinya apalagi nafkah. "Maaf. Aku datangnya agak terlambat," sesalnya kemudian. "Nggak kok, Mas. Aku bersyukur malah Mas datang lagi. Tadinya aku udah mau nyerah. Aku mikirnya Mas nggak akan pulang lagi." "Sekiranya itu terjadi, apa yang akan kamu lakukan?" Seketika saja aku menatapnya dengan penuh tanya. "Maksudnnya?" "Sekiranya aku nggak pulang lagi. Apa yang akan kamu buat?" Mau bagaimana pun dia menjabarkan tanyanya, tetap itulah yang kudengar. "Ya aku kayaknya bakalan gila deh, Mas. Aku nggak sanggup kehilangan kamu. Aku udah nungguin kamu selama tiga tahun. Aku mau nagih janji kamu yang katanya akan pulang. Kalau semua itu nyatanya bohong, hati mana yang sanggup menerimanya?" Aku jujur tentang ini. Mana mungkin aku tahan jika sekiranya memang suamiku tidak pernah kembali. Mengingat bagaimana perjuangan kami saat masa-masa jadi pengantin baru dulu, akan sulit rasanya jika harus merelakannya secepat itu. Apalagi dalam konteks dia menjadi milik orang lain. Aku tidak akan pernah ikhlas dan ridho. Mas Abri berdehem kecil, lalu melegakan tenggorokan dengan air putih. Sepertinya dia agak resah. Tapi kenapa? *** Uh! Akhirnya waktu yang kutunggu-tunggu tiba juga. Waktu di mana manusia istirahat dan para aktivitas di bumi rehat sejenak. Di dalam kamarku, aku sudah siap menghadapi hal apa yang akan terjadi. Aku sudah sangat cantik membalut diri dengan pakaian yang minim bahan. Kata orang, 'baju dinas'. Tak lama, kudengar suara pintu kamar terbuka. Dengan hati yang berdebar aku menanti kehadiran manusia paling kurindukan selama bertahun-tahun ini. Alih-alih tercengang atau merasa takjub, Mas Abri malah tersedak ludahnya sendiri begitu melihatku. Tadinya dia sudah menghadapku, tapi malah kembali berbalik badan. "Ka-kamu kenapa pakai baju kurang bahan begitu, Airin? Nggak kedinginan kamu?" Aku lantas mengerutkan kening, tak suka dengan responsnya ini. Gegas aku bangkit dari tempatku, siap mendekatinya bila perlu menggodanya sampai bertekuk lutut di depanku. "Kok malah balik badan sih, Mas? Nggak suka apa? Atau kurang seksi? Atau aku buka semuanya aja deh," ucapku setelah berada di dekatnya, tepatnya di balik badannya. "Ngawur itu namanya, Airin! Jangan aneh-aneh!" tegurnya. "Ini nggak aneh, Mas!" "Airin!" Mas Abri langsung memekik sambil berbalik ketika aku dengan lembut mengusap punggungnya. "Tidur sana! Ke-kenapa kamu ini?" Dia mendongak kuat sambil menutup matanya rapat-rapat. Benar-benar tidak berniat melihatku yang dengan kerja keras memoles diri jadi lebih cantik. "Ini kan emang mau tidur. Makanya aku nunggu–" "Kamu di sini saja. Aku tidur di luar!" ujarnya seketika itu langsung melengos pergi dan tak lupa menutup pintu kamar rapat-rapat. Astaga! Kenapa dia? Sudah seperti ini pun aku tetap ditolak? Mustahil rasanya dia tidak menginginkan hal ini! Apa ada manusia, apalagi seorang pria, tahan tak berhubungan sampai tiga tahun? Aku jadi curiga.Kulihat dia sedang berpikir untuk menjawabnya. Apa jangan-jangan dia memang menyadari kalau aku ini bukanlah Abri? Tapi, apa itu mungkin. Aku dan Abri kembar seiras. Hampir sulit dibedakan. Apalagi kami yang sudah lama tak bersua pun tak ada orang yang tahu kalau kami kembar. Apa mungkin ada yang menyadari perbedaan itu di antara kami? "Mas Abri yang dulu, yang sekarang, atau sepuluh tahun ke depan pun, aku akan terus mencintainya," jawabnya pada akhirnya. Kontan saja sudut bibirku terangkat membentuk senyuman. Senang sekali rasanya. "Kalau gitu, aku yang nanya sama, Mas Abri. Mas masih cinta sama aku nggak? Atau jangan-jangan ada wanita lain yang Mas suka selama di tanah rantau sana?" Mata menyipit menerangkan pertanyaan itu seperti mengancam jawabanku nanti. Alih-alih aku merasa terancam, aku justru semakin gemas padanya. Pandai sekali dia mengacak-acak pertahanan hatiku yang terkenal dingin ini. Kunyamankan topangan daguku untuk menatapnya, lalu menggeleng pelan. "Kurasa aku sud
POV LibraMakin hari aku semakin pusing saja mencari kebenaran siapa agaknya yang sudah melukai saudara kembarku, Abri. Sudah banyak kulakukan penyisiran pada musuh-musuhku yang memang bukan lagi hanya satu atau dua. Maklum, aku ini seorang pengacat. Tidak asing lagi jika aku punya banyak musuh di mana-mana. Tatkala sibuk dengan layar laptopku, atensiku seketika lepas tatkala mendapati pintu kamarku terbuka. Seketika saja bulu-bulu halus yang menyelimuti kulitku berdiri semuanya tatkala sepasang mataku mendapatinya muncul dari ambang pintu sana. Siapa lagi kalau bukan Airin, adik iparku. Istrinya saudara kembarku yang sudah tiada. Aku meneguk ludah seiring dia berjalan mendekat. Kupaksa diriku untuk mengabaikannya, walau nyatanya sangat sulit. Bisa gila aku jika begini terus. Tiba-tiba auranya jadi panas sekali. Aku kegerahan."Mas lagi ngapain?" tanya sambil merayap ke atas tempat tidur, mulai mendekatiku. Sial! Aku jadi gagal fokus. Tadinya aku sedang mengumpulkan banyak teori,
"Devita, sudahlah. Jangan ganggu aku dulu." Kurasakan juga kalau nada bicara Libra tak suka.Entah kenapa aku merasa menang jadinya.Devita terlihat frustrasi terlihat bagaimana dia menatapku semakin tajam. Aku tak tahu apa kaitannya perempuan ini dengan Libra. Yang pastinya, aku merasa lega karena pada faktanya ternyata dia bukan sepenting itu."Keluarlah, Devita. Kamu sudah tahu kita nggak ada hubungan apa-apa lagi? Jangan pura-pura bodoh apalagi harus mengemis di depanku. Kamu tahu, kan aku nggak suka perempuan yang cerewet!" kata Libra mengusir keberadaan Devita.Alih-alih Devita, entah kenapa justru aku yang merasa tersinggung. Kalimatnya ini sudah sangat banyak kudapati sejak dia menjadi Mas Libra kemarin. Jadi, dia memang tak suka pada perempuan yang banyak bicara? Termasuk aku?Jika memang begitu adanya, lantas kenapa dia terlihat sangat meyakinkan saya mengatakan kalau dia mencintaiku? Dia seperti mengemis dan akan melaksanakan apa pun yang akan kukatakan padanya asalkan aku
Damn! Sungguh, rasanya aku seperti ada di alam mimpi. Semua kalimat yang kubaca dengan kedua mataku ini sangat-sangat ampuh membelah pertahanan diri. Sesuatu yang sangat mujarab untuk menghilangkan jiwa dari ragaku. Bagaimana bisa? Bagaimana bisa surat yang kubaca baru saja disampaikan oleh suamiku, Mas Abri. Aku tidak akan salah mengenali tulisan tangan ini. Tidak akan aku salah lagi. Ini sudah jelas tulisan Mas Abri, suamiku. Tapi apa maksudnya? Apa yang dia katakan di dalam suratnya ini? Bagaimana bisa dia mengatakan hal seperti itu? Apa maksudnya! Tanpa sadar air mataku mengucur deras lagi-lagi membasahi pipi yang kering saja belum juga. Tanpa sadar pula, amarahku memuncak hingga ubun-ubun yang langsung kuluapkan pada secarik kertas yang kugenggam! Apa katanya? Sebenarnya dia tidak pernah merantau untuk mencari pekerjaan, melainkan ingin mencari saudaranya? Dan juga, dia yang mengirimkan Libra padaku seolah-olah Libra itu adalah dia yang pergi dengan segenap janji yang dia
Belum siap aku memberikan reaksi atas kisah yang dijabarkan padaku, aku sudah kembali dikejutkan dengan suara sirine yang terdengar begitu dekat.Putriku sampai memelukku erat, ketakutan.Sementara itu, Rangga langsung menghambur keluar kamar mungkin langsung memeriksa apa kira-kira yang sedang terjadi.Dan aku? Aku hanya bisa diam entah kenapa. Aku tak tahu harus apa. Aku tak mengerti ada disituasi apa aku saat ini. Apalagi saat mengingat tentang cerita yang dikisahkan pria tadi membuatku semakin linglung dan sulit berpikir logis.Suara sirine itu terus saja memekik ditelingaku. Tak bisa diam saja, aku pun lantas menarik langkahku pelan-pelan mencari tahu apa sebenarnya yang telah terjadi di bawah sana.Begitu aku keluar kamar, dari anak tangga yang masih cukup jauh, aku membeliak tatkala mendapati banyak aparat kepolisian di rumahku. Suara sirine itu berasal dari mobil mereka. Tapi tunggu!Kenapa ada ambulans? Apa yang sudah terjadi sampai harus mendatangkan beberapa perawat terliha
"Airin, jangan!" Aku menepis tangannya serta tak kupedulikan suaranya yang melarangku menghampiri putriku. Bagaimana mungkin aku diam saja saat buah hatiku hendak disakiti begitu saja? Hati ibu mana yang tidak akan terluka jika sudah begitu? Tanpa berpikir dua kali, langsung kurebut Aila dari dekap pria itu sampai aku tidak sadar kalau pisau kecil yang dia pegang menggores pelan pergelangan tanganku. "Mama," lirih Aila. Aku langsung saja memeluknya erat, tak akan kubiarkan dia terluka atau apa pun. "Mama di sini, Sayang. Nggak apa-apa. Jangan nangis ya?" Aku memenangkannya terus mengusap punggungnya. Ketakutanku langsung bertambah tatkala kudengar kembali suara tawa pria yang kini berdiri di depanku. Dia memalang tubuhku dari tatap Libra. "Ini yang di namakan satu kali dayung dua pulau terlampaui," ucapnya. Tak henti-hentinya aku menahan ketakutan ketika dia kembali menodong pisau kecilnya tepat ke leherku manakala melihat Libra hendak mendekati."Jangan, jangan! Jangan lakuka