"A–aku melakukannya sendiri, May!" sahutnya sambil menundukkan kepala.
"Ya Allah, Mas. Kamu tahukan kalau itu hukumnya dosa?!" Ada kelegaan sekaligus rasa bersalah karena suamiku sampai melakukan hal seperti itu.
"Sudah jangan dibahas. Mas malu!"
Aku segera turun dari atas ranjang, mengambil seprai baru di dalam lemari dan lekas memasangnya dibantu oleh Mas Ibnu. Setelah itu kami tidur karena tubuhku terasa lelah setelah melakukan perjalanan dari kota asal Mas Ibnu ke Jakarta.
***
Lamat-lamat terdengar suara adzan subuh berkumandang. Kubangunkan Mas Ibnu yang masih terlelap sambil memeluk guling, lalu segera ke kamar mandi membersihkan badan serta mengambil wudhu.
"Loh, kok tidur lagi, Mas?" Kembali ku guncang tubuh suamiku dan menyuruhnya untuk segera melaksanakan shalat subuh.
"Nanti nunggu jam setengah enam, May!" ucapnya tanpa mau membuka mata.
"Kok kamu jadi nunda-nunda sholat sih? Nggak biasanya loh!"
"Nggak usah mulai bawel. Nanti juga aku sholat!" hardiknya dengan nada meninggi.
Astaghfirullahaladzim, aku mengelus dada mendengar ucapannya yang sedikit menyakiti perasaan.
Mas Ibnuku telah berubah. Dia tidak selembut dulu. Dia juga mulai malas-malasan melakukan kewajibannya sebagai seorang mu'min.
"Mas, sholat dulu. Habis sholat tidur lagi kan bisa." Aku terus mengusap bahunya supaya dia lekas beranjak dari tempat peraduan.
Mas Ibnu malah membungkus rapat tubuhnya dengan selimut.
Aku menggeleng sambil melenggang menjauh darinya.
Gegas menggelar sajadah, bersujud minta pengampunan serta keridhaan hati untuk menjalani takdir yang digariskan Illahi.
Karena jujur, aku ingin kembali tinggal serumah dengan Mas Ibnu, namun keadaan ibu tidak memungkinkan untuk ditinggal sendiri. Ibu juga selalu menolak untuk tinggal bersama kami, hingga akhirnya Mas Ibnu menyuruhku hidup di kampung mengurus orang tuanya.
"Mas, bangun dong sayang...." Kudaratkan ciuman di pipinya, memercikkan sedikit air ke wajah tampan itu, seperti dulu aku selalu melakukannya setiap kali membangunkan dia untuk shalat subuh ataupun shalat di sepertiga malam.
"Kamu apa-apaan sih, May. Nggak sopan banget!" bentaknya tidak kusangka.
Hatiku mencelos mendengar suara bariton Mas Ibnu. Aku langsung menunduk takut, sambil sesekali menyeka air mata yang sudah berlomba-lomba lolos dari ujung netra.
Kenapa Mas Ibnuku berubah? Dulu, dia langsung melingkarkan tangan di pinggang setiap kali aku mengganggunya untuk bangun.
"May, maafin Mas. Mas tidak bermaksud membentakmu. Tadi spontan karena Mas masih merasa ngantuk!" Mas Ibnu meraih jemariku dan menggenggamnya.
"Ya sudah, sekarang Mas bangun. Tolong bikinin Mas teh ya!" titahnya sambil menyibak selimut lalu masuk ke dalam kamar mandi.
Setelah selesai membuat teh, kami berdua bercengkrama di teras depan sambil menunggu tukang makanan lewat.
Mataku menyipit melihat ruam-ruam merah di leher Mas Ibnu.
Ya Allah, ruam itu bukan gigitan semut tapi gigitan manusia. Tapi, siapa yang melakukannya. Mas Ibnu tidak mungkin melakukannya sendiri.
"May, ada ketoprak mau gak?" tanya Mas Ibnu menarikku dari lamunan.
"Eh, iya, Mas. Apa saja yang penting buat sarapan!" jawabku berusaha tersenyum, menepis rasa gelisah yang bertengger di sanubari.
Mas Ibnu beranjak dari duduknya dan menghampiri tukang ketoprak yang sudah ia panggil. Tidak lama kemudian, ia kembali membawa dua piring makanan berbumbu saus kacang itu, dan mengangsurkannya kepadaku.
"Loh, Mas. Kok tumben kamu pesannya salah. Aku nggak suka pake bihun sama kerupuk loh kalau makan ketoprak. Dan kamu faham banget itu!" protesku seraya mengaduk-aduk makanan itu dan menyingkirkan makanan yang tidak aku sukai.
"Maaf, Mas lupa!" Dia menyunggingkan bibir sambil mengusap pipiku.
Tidak lama kemudian, Lusi keponakannya Mas Ibnu datang menghampiri kami.
"Tante Mayla kapan datang?" tanya perempuan itu sambi duduk di sebelahku.
Ya Tuhan, kenapa wangi parfum Lusi sama persis seperti yang aku cium di tubuh serta kamar Mas Ibnu?
Ah, sepertinya tidak mungkin mereka berbuat macam-macam di belakangku. Lusi itukan keponakannya Mas Ibnu. Anak dari Kakak tirinya yang beda ibu.
"Mas, Lusi mau minta anterin ke rumah temen bisa nggak?"
Lusi memang selalu memanggil Mas Ibnu dengan sebutan Mas, karena usia wanita itu hanya terpaut dua tahun darinya.
"Bisa, dong!" jawab suamiku terlihat semangat.
Setelah selesai menyantap sarapannya, Mas Ibnu langsung pergi bersama Lusi dan pulang setelah pukul sembilan malam. Aku tidak tahu mereka pergi kemana saja karena sesampainya di rumah, Mas Ibnu langsung tidur tanpa mengganti bajunya. Sepertinya dia sangat kelelahan sekali.
Ponsel Mas Ibnu terus saja menjerit-jerit padahal jarum jam sudah menunjuk ke angka dua belas malam. Ada panggilan video masuk dari Lusi.
Karena penasaran dan takut ada kepentingan mendesak, aku langsung menggeser tombol hijau mengangkat panggilan tersebut.
'Astaghfirullah!' pekikku dalam hati ketika melihat Lusi mengenakan pakaian yang sangat menggoda di seberang sana.
Apa maksudnya menelepon dengan pakaian kurang bahan seperti itu.
"Ma–maaf Tante. Lusi salah pencet. Tadinya Lusi mau nelepon temen, eh, malah nyambungnya ke Mas Ibnu!" ucap wanita berambut keemasan itu kemudian menutup panggilannya secara sepihak.
Aku menggeleng kepala sambil meletakkan ponsel suamiku di atas nakas. Untung saja bukan Mas Ibnu yang menjawab panggilan dari Lusi. 'Kan bisa gawat kalau sampai suamiku melihat aurat keponakannya.
***
"May, aku berangkat kerja dulu ya. Nanti pulang mau dibawain apa?" tanya Mas Ibnu sembari mengecup puncak kepalaku.
"Cukup bawa ini secara utuh, Mas!" Aku meletakkan tangan di dada suamiku. "Aku nggak mau hati kamu terbagi dengan cinta yang lain!" Imbuhku.
"Kamu ngomong apa sih? Udah kaya abege labil saja!" Dia mencubit pipiku mesra.
'Karena aku merasa kalau kamu sudah mulai membagi cinta, Mas.' Bhatinku.
Setelah Mas Ibnu pergi, aku langsung membereskan baju kotornya yang menumpuk di keranjang baju.
Mataku menyipit dengan dahi berkerut-kerut, ketika melihat bon pembelian tas bermerek yang harganya begitu fantastis, seharga nafkahku selama sepuluh bulan. Aku juga menemukan slip pembayaran skin care, dengan harga tidak kalah fantastisnya. Total belanjaan tas serta skin care hampir lima puluh juta.
Apa Mas Ibnu sengaja membelikan untukku dan akan memberikannya sebelum aku pulang nanti?
Aku mengulum senyum membayangkan kejutan yang akan suamiku berikan nanti.
"Tante May. Mas Ibnu mana?" Aku berjingkat kaget ketika tiba-tiba Lusi sudah berdiri di belakangku.
"Sudah pergi, Lus. Memangnya ada apa?" Aku menatap wajah cantik Lusi.
"Ada perlu sedikit!"
Aku hanya ber 'oh' ria sambil memandangi tas bermerek yang menggantung di tangannya.
"Kenapa, Tan. Bagus ya? Ini dibeliin sama pacar aku loh. Harganya empat puluh lima jutaan!"
Deg!
Pacar? Kenapa harga dan mereknya sama persis seperti di bon pembelian yang aku temukan di saku celana Mas Ibnu?
Enggak. Dia tidak mungkin selingkuh dengan suamiku. Dia itukan keponakannya. Masa iya, ada seorang paman mempunyai hubungan khusus dengan sang keponakan.
***
Malam kian beranjak sunyi. Hanya suara denting jam yang terdengar, berpadu dengan suara cicak yang sedang bersenandung di dinding kamar.
Aku masih saja terjaga, memikirkan semua perubahan-perubahan sikap Mas Ibnu, juga penemuan-penemuan yang mencurigakan di rumah ini. Aku benar-benar gelisah, teramat takut kalau dia sampai menduakan cintaku.
Aku pura-pura memejamkan mata saat merasa kasur tempatku sedang berbaring bergerak dan Mas Ibnu turun dari atas peraduan dengan sangat pelan serta hati-hati.
Laki-laki berkaos putih itu lalu berjalan mengendap-endap menuju pintu, membukanya dan menutupnya kembali secara perlahan.
Gegas aku mengambil kerudung dan membuntuti suamiku yang berjalan kaki keluar dari rumah yang sedang kami tinggali.
Aku sangat penasaran. Sebenarnya hendak kemana dia tengah malam seperti ini.
Jantungku menghentak kuat ketika Mas Ibnu masuk ke dalam rumah bernuansa merah muda. Rumah yang terlihat begitu gelap, hanya satu ruangan yang terlihat menyala, dan sepertinya itu kamar si empunya rumah.
Dengan hati berdebar aku ikut masuk ke dalam rumah tersebut, berusaha membuka pintunya, tetapi ternyata terkunci dari dalam. Aku hampir putus asa dan pingsan karena penasaran.
Ragu-ragu aku mengambil bangku, meletakkannya di teras kamar serta mencari celah untuk mengintip ke dalam.
Tubuhku luruh seketika saat melihat ternyata Mas Ibnu masuk ke dalam kamar kemudian memeluk mesra perempuan yang ada di dalamnya dan....
Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan. Apa aku harus mendiamkannya dan menunggu Mas Ibnu pulang, lalu membicarakannya baik-baik?
Atau? Aku harus memanggil warga biar menggerebek mereka dan memberi mereka berdua pelajaran?
Aku meremas dada yang terasa seperti sedang dicacah-cacah, lalu disiram menggunakan air garam. Sakit, perih hingga ke nadi.
Abraham terkekeh mendengar jawaban dari istrinya. “Kamu itu sekarang istrinya Mas, An. Nggak apa-apa kali Mas liat aurat kamu!” “Tapi, Mas. Aku malu.” Lagi. Pria bertubuh tegap serta berambut panjang itu tertawa nyaring. “Udah, buruan keluar. Mas kebelet!” Menggedor-gedor pintu. Pelan-pelan Andita membuka pintu, menyilang tangan di depan dada kemudian berjalan gemetar melewati suaminya. “Lama!” Abraham menjawil pipi sang istri lalu masuk ke dalam kamar mandi. Belum juga mengenakan pakaian, Andita kembali dibuat kaget oleh suaminya yang tiba-tiba sudah terlihat dalam pantulan cermin. Wajah wanita itu bersemu merah ketika merasa sedang diperhatikan oleh Abraham, sebab ini kali pertamanya berada dalam satu kamar dengan laki-laki, dengan keadaan seperti ini pula. Buru-buru Andita membuka tasnya, mengambil sepotong gamis dan segera mengenakannya. “Di lemari banyak baju, An. Ibu sengaja beliin buat menantu kesayangannya. Kamu pakai baju pemberian Ibu saja!” titah Abraham seraya mend
“Saya terima nikah dan kawinnya Andita Putri binti Bapak Yusuf, dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!” Dengan sekali tarikan napas Abraham mengucap janji suci di hadapan Allah, mengambil alih tanggung jawab serta dosa Andita ke pundaknya.Semua hadirin ramai gemuruh mengucap ‘sah’ diiringi lelehan air mata Yusuf—ayah Andita. Laki-laki berusia empat puluh enam tahun itu merasa begitu bersyukur karena akhirnya sang anak dipersunting oleh seorang laki-laki yang paham agama, baik, mapan pula. Rasanya bagaikan mimpi bisa menikahkan anaknya dengan orang yang kastanya lebih tinggi darinya, tetapi mau menerima Andita apa adanya.Tidak lama kemudian Andita keluar menemui laki-laki yang kini sudah menyandang gelar sebagai suami, menyalami serta mencium punggung tangannya dengan khidmat.Tangan Abraham terlihat begitu gemetar ketika untuk pertama kalinya bersentuhan begitu lama dengan seorang wanita. Dia terus menatap Andita yang terlihat begitu cantik memesona dengan kebaya putih melekat di
Dia kemudian kembali membawa istrinya ke rumah sakit menuruti saran bidan, walaupun ada sedikit rasa kesal dalam hati. Tapi mau bagaimana lagi. Demi anak yang ada dalam rahim Lusi, supaya dia selamat dan mendapatkan kesempatan menatap dunia ini.***Sesampainya di rumah sakit. Lusi segera mendapatkan penanganan dan segera dibawa masuk ke ruangan khusus sebelum menjalani operasi sectio caesarea.Wajah Ibnu mulai menegang serta ketakutan. Dia berdoa dalam hati, semoga Tuhan menyelamatkan istri serta calon anaknya.Lampu indikator menyala. Pertanda tindak operasi sudah dimulai dan beberapa menit lagi bisa melihat calon anak yang sudah ditunggu selama tujuh bulan lebih ini.Tidak lama kemudian, seorang dokter anak keluar mendorong sebuah boks bayi dengan raut wajah mendung. Dia menghampiri Ibnu yang sedang duduk terpekur di kursi tunggu dan menyuruh ayah dari bayi yang baru saja dilahirkan untuk segera mangazani anaknya.“Astaghfirullahaladzim!” Ibnu beringsut mundur saat melihat keadaan
POV Author.Ibnu duduk sambil meremas rambutnya frustrasi. Berkali-kali dia mencoba membuka usaha, akan tetapi hingga uang yang dia pinta kepada Mayla, uang hak Raihan putranya habis tapi tidak ada satu usahanya pun yang berkembang. Semuanya bangkrut tidak menyisakan apa-apa selain hutang yang kian menumpuk di bank.“Mas, bagi duit dong!” Lusi—istrinya menghampiri seraya menodongkan tangan.Ya. Ibnu dan Lusi sudah menikah. Mereka sengaja pindah tempat tinggal jauh dari orang-orang yang mengenali mereka dan kemudian melangsungkan pernikahan secara siri. Sebab di kota kelahiran mereka, tidak ada satu ustaz pun yang mau menikahkan karena mereka masih ada hubungan darah.Pun ketika di Jakarta dan di komplek tempat tinggal mereka. Pak RT serta ustaz yang diminta untuk menikahkan selalu saja menolak. Mereka tidak berani melanggar peraturan agama sebab Lusi adalah keponakan Ibnu sendiri dan masih ada garis keturunan nasab di antara mereka berdua.“Kamu itu minta duit melulu, Lus. Nggak tahu
“Kalau sakit bilang ya, Bu.” Dokter berujar lagi sambil terus menatap teman sejawatnya yang berada di balik tirai.Suara dentingan alat medis saling beradu mendominasi ruangan. Para dokter dan perawat asyik berbincang entah apa yang sedang mereka bicarakan aku kurang paham. Sementara diriku, masih saja dalam suasana ketegangan, walaupun tidak setakut saat baru masuk ke ruangan ini.Aku menghela napas panjang, menepis rasa itu jauh-jauh sambil membaca semua doa yang aku bisa. Hingga akhirnya merasa dada ini seperti sedang diimpit benda berat, sesak, hampir tidak bisa bernapas kemudian ucapan hamdalah diserukan oleh para dokter di ruang operasi.“Baby boy sudah keluar satu ya, Bu.” Dokter anestesi yang sedang memperhatikan teman-temannya berkata.“Alhamdulillah ....” responsku sembari menitikkan air mata yang sudah tidak bisa lagi dibendung. Bahagia karena akhirnya salah satu anak kembarku sudah lahir ke dunia ini.Suara tangis jagoan kecilku bagai menyulap rasa yang sedang bertengger d
“Sayang, lagi ngapain?” Menoleh ke sumber suara sambil menerbitkan senyuman di bibir.“Nggak ngapa-ngapain, Mas. Cuma lagi kepanasan saja!” jawabku singkat.“Oh, istrinya Mas gerah?” Dia melenggang ke ruang tengah dan tidak lama kemudian kembali lagi dengan kipas anyaman bambu di tangannya. Orang Tegal biasa menyebutnya ilir.“Sini Mas kipasin biar nggak kegerahan!” Gus Azmi segera duduk di sebelahku, membiarkan tubuh gemukku bersandar di tubuhnya lalu dengan cekatan mengipasi tubuh ini yang sudah basah oleh keringat.“Pinggang Adek juga sakit, Mas. Kaki rasanya ngilu semua. Pokoke nikmat.....banget rasanya, Mas.” Bukannya mengeluh kepada Tuhan, tapi hanya ingin suami tahu apa yang sedang aku rasa saat ini. Supaya dia tambah sayang dan perhatian kepada diriku.“Sabar ya, Sayang. Dua bulan lagi dedeknya lahir. Terima kasih ya, Dek, karena sudah mau menjadi Ibu dari anak-anaknya Mas.” Dia mendaratkan ciuman singkat di pipi.Segera kurebahkan tubuh di atas sofa, dengan paha suami sebagai