Share

Suamiku Terjerat Hubungan Terlarang
Suamiku Terjerat Hubungan Terlarang
Penulis: Ida Saidah

Bab 1

Prang!!

Aku beringsut mundur ketika gelas yang sedang aku cuci di wastafel jatuh dan hampir mengenai kakiku.

Astaghfirullah. Ada apa? Kenapa tiba-tiba perasaanku jadi tidak enak. Kenapa tiba-tiba aku mengkhawatirkan Mas Ibnu?

Gegas aku mengambil gawai yang sedang aku isi baterai di dalam kamar, mengusap layar benda pipih tersebut, memencet nomer suamiku ingin menanyakan keadaannya di Jakarta.

Tersambung. Tapi tidak kunjung ada jawaban.

'Ya Allah, lindungilah suamiku dari segala mara bahaya juga godaan wanita.' 

Kembali ku letakkan gawaiku, karena sudah sepuluh kali panggilan masih tetap belum ada jawaban. 

[Kamu dimana sih, Mas. Apa kamu baik-baik saja? Tolong jangan bikin aku khawatir] 

Lekas ku kirim pesan kepada laki-laki yang telah menikahiku selama dua belas tahun itu. 

Centang dua, tapi belum dibaca. Aku menjadi semakin mengkhawatirkannya.

***

Sudah hampir tiga tahun aku tinggal di rumah ibu mertuaku, menemani Ibu yang sakit stroke karena aku satu-satunya menantu wanita Ibu. Kedua adik Mas Ibnu Syafa dan Marwah, mereka tinggal jauh di kota seberang ikut dengan suami mereka. Hanya setahun sekali mereka pulang menemui Ibu, itupun saat hari raya saja.

"Kenapa, May. Kok melamun?" tanya Ibu, menyentakku dari lamunan.

Aku menyungginkan bibir, mencoba menutupi rasa gelisah yang sedang mendera.

"Kangen Mas Ibnu, Bu," jawabku sambil duduk di samping wanita berusia lebih dari setengah abad itu.

Sebenarnya aku merasa sangat kesepian karena hidup jauh dari anak serta suamiku. Raihan, satu-satunya putra kami, aku titipkan kepada kyai Mukhsin guru spiritualku ketika masih gadis. Aku ingin putaku menjadi anak yang sholeh dan mampu memakaikan mahkota kepadaku serta Mas Ibnu di surga kelak.

Meskipun banyak yang berkomentar, aku membuang putraku karena menitipkannya di pesantren sejak dia kelas satu sekolah dasar.

"Ya sudah, besok kamu ikut Bram saja ke Jakarta. Susul suamimu. Lagian sudah hampir dua bulan dia tidak menjenguk kita. Apa dia sudah lupa kalau di kampung ini ada Ibu serta istrinya yang selalu merindukan dia!" 

"Tapi, Bu?" Aku menatap ragu.

"Ada Bi Milah yang jagain Ibu. Kamu tenang saja. Ibu akan baik-baik saja!" Ibu menggengam jemariku.

Aku mengangguk ragu, sebab tidak tega meninggalkan Ibu.

"Jangan bagi tahu suami kamu, buat surprise!" Ibu tersenyum.

"Iya, Bu."

Aku mengulum senyum membayangkan ekspresi Mas Ibnu ketika aku sampai, seperti saat aku memberinya kejutan saat ulang tahun pernikahan kami yang ke dua belas, dia sampai melelahkan air mata dan terus memelukku dengan penuh kerinduan.

***

Setelah menempuh perjalanan selama lima jam, akhirnya mobil Abraham–teman semasa kecil Mas Ibnu berhenti tepat di depan pintu gerbang rumah suamiku. 

"Mampir dulu, Bram?" kataku basa-basi.

"Nggak usah, May. Kapan-kapan saja aku main. Sudah malam!" tolak pria berambut gondrong itu sembari mengulas senyum.

"Ya sudah, terimakasih karena sudah mau direpotkan!" 

"Sama-sama, May."

Aku lekas turun dan membuka pintu garasi karena aku dan Mas Ibnu memang memegang kunci masing-masing.

"Gelap sekali?" gumamku sambil menyisir teras rumah Mas Ibnu yang terasa sunyi.

Ceklek! 

Memutar anak kunci, membuka pintu sambil mengucap salam. Pasti Mas Ibnu sedang berada di dalam kamar.

Aku meraba tembok mencari saklar, menyalakan lampu hingga ruangan tempat aku berdiri menjadi terang benderang.

Pelan-pelan aku berjalan menuju kamar utama. Tempat dimana aku dan Mas Ibnu selalu memadu kasih saat kami masih tinggal satu atap.

Langkahku terhenti ketika mendengar suara orang sedang bercanda ria di dalam sana. Apa Jangan-jangan Mas Ibnu?

Ah, aku tidak mau berprasangka buruk. Kuputar gagang pintu, namun ternyata terkunci. 

"Mas!" Tok! Tok! Tok!

Aku mengetuk pintu karena pintu kamarku tidak bisa aku buka dari luar.

Suara di dalam sana tiba-tiba diam kala aku mengetuk pintu, membuat aku bertambah resah saja.

"Mas, Mas Ibnu!" teriakku memanggil nama suamiku.

Tidak lama kemudian, seraut wajah tampan muncul dibalik pintu yang terbuka. Mas Ibnu tersenyum dan wajah lelaki yang selalu memenuhi hari-hariku dengan cinta itu terlihat pucat pasi. 

Apa dia sakit?

"Mayla? Ka– kamu kenapa nggak ngasih kabar kalau mau datang?!" tanya Mas Ibnu terlihat gugup.

"Sengaja, Mas. Mau ngasih surprise. Lagian, gimana aku mau ngasih kabar. Kamu aku telepon aja nggak di angkat. W* nggak dibales. Aku itu khawatir banget sama kamu tahu nggak?!" Aku mendengkus kesal.

"Iya, Maaf. Soalnya akhir-akhir ini Mas sibuk. Kerjaan numpuk di kantor!" Dia merangkul pundakku dan membimbingku duduk di sofa ruang keluarga.

"Tadi aku denger kamu kaya lagi ngobrol. Sama siapa, Mas?" Aku menatap menyelidik.

"Aku tidur, kok!" kilahnya. 

Tapi aku sangat yakin tadi mendengar suara orang sedang bercanda ria di dalam kamar kami.

"Mungkin suara televisi kali, May!"

Aku mengangkat kedua bahuku, lalu melingkarkan tangan di pinggang Mas Ibnu. Rasanya sudah rindu sekali diri ini.

'Astaghfirullah, kenapa tubuh suamiku juga bau wangi parfum wanita. Dan itu juga bukan harum minyak wangiku.' Aku bergumam sendiri dalam hati.

Seketika dadaku terasa berdenyut tidak karuan. Aku takut, khawatir sekali kalau sampai lelakiku ternyata telah membagi cintanya.

"May, kamu istirahat gih! Kan habis melakukan perjalanan jauh!" Mas Ibnu membingkai wajahku dan melengkungkan bibir plumnya. 

Aku beranjak dari sofa dan melangkah ragu menuju kamar.

"May, dikamar sebelah saja!" ucap suamiku, membuat langkahku seketika terhenti.

"Lah, Mas. Emangnya kenapa kalau aku istirahat di kamar ini?" Alisku bertaut.

"E–enggak apa-apa sih. Soalnya berantakan banget!" Mas Ibnu menggaruk kepala.

Aku melenggang masuk dan meyalakan lampu kamar.

Ya Allah, benar-benar sudah seperti kapal pecah kamar ini. Bantal berserakan di lantai, seprai pun tidak terpasang pada tempatnya.

Sambil menggeleng aku memunguti satu persatu bantal yang teronggok sembarangan di lantai, lalu membetulkan posis seprai hingga kamar Mas Ibnu terlihat rapi kembali.

Aku mengenyakkan bobotku di atas tempat peraduan kami, dan kembali mengendus wangi parfum yang aku cium di tubuh Mas Ibnu. 

Apa diam-diam dia memiliki wanita idaman lain dan berani membawanya masuk ke dalam kamar kami.

Ya Tuhan, rasanya seperti tidak mungkin kalau Mas Ibnu sampai menghianati cintaku.

Pelan ku geser tanganku ke sisi sebelah kiri. Gerakanku terhenti ketika tangan ini menyentuh cairan lengket yang menempel di atas seprai.

Dadaku langsung terasa sesak. Jantungku mengentak kuat ketika mengendus tanganku dan mencium bau anyir khas laki-laki.

"Mas dengan siapa kamu melakukannya?!" pekikku ketika Mas Ibnu berjalan mendekat ke arahku.

Mata pria bertubuh tinggi besar itu langsung membeliak kaget. Wajahnya pias dan terlihat gugup.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status