“Percaya sama aku, May. Aku tidak akan lagi menduakan kamu.” Mas Ibnu melonggarkan pelukannya, mengusap pipi ini dengan punggung tangan seraya menatapku penuh nafsu.Aku beringsut menjauh darinya karena takut. Walaupun masih halal untuknya, tetapi rasanya sudah terlalu sakit jika harus kembali melayani buaya darat itu.Aku bukan boneka yang bisa ia permainkan sesuka hati, yang bisa dipungut dan dibuang kapan pun dia mau.“Mayla, ayo kita pulang,” pintanya lagi dengan suara bergetar.“Nggak, Mas. Aku nggak mau!” Aku menggeleng takut.“Kenapa? Karena sudah ada Bram yang menghangatkan malam kamu. Karena posisiku sudah digantikan olehnya. Aku nggak masalah jika harus berbagi dengan Bram, Mayla!” racau lelaki berjambang tipis tersebut seperti orang sedang mabuk.Plak!Panas perih menjalar di telapak tanganku. Begitu juga dengan Mas Ibnu yang terus saja memegangi pipinya, seraya menatapku dengan sorot mata penuh amarah.“Aku bukan wanita murahan, Mas. Jangan samakan aku dengan gundikmu yang
"Tadi kata Gus Azmi, beliau berkali-kali menghubungi kamu tapi tidak ada jawaban." Kini nada suara Abraham mulai melembut. "Ya sudah, aku anterin kamu sekarang," imbuhnya lagi."Tapi....""Nggak usah nolak!" potong Abraham sambil melipat tangan di depan dada. "Aku mau naik travel saja, Bram. Nggak mau merepotkan kamu!" "Mayla. Ya Allah. Anakmu lagi sakit. Sekarang dia butuh kamu, May. Kalau pake travel harus nunggu besok. Kasihan Raihan, May!" sentaknya membuat aku tidak bisa menolak.Buru-buru aku memasukkan beberapa potong baju dan kerudung ke dalam tas, memberi tahu Mas Ibnu juga menyuruhnya segera menyusul ke Tegal. Biar bagaimanapun Mas Ibnu adalah ayahnya. Dia berhak tahu keadaan Raihan sekarang. Aku tidak mau menjauhkan anakku dengan ayahnya.***Sepanjang perjalanan aku terus saja memikirkan keadaan Raihan. Kira-kira dia sakit apa? Kenapa Gus Azmi hanya membaca pesanku ketika aku menanyakan sakit yang sedang di derita putraku. Apa Raihan sakit parah?Ya Allah, lindungilah a
“Raihan, anak Mama. Mama yakin Raihan pasti kuat melawan rasa sakit. Lâ Ilâha illalLâh...Lâ Ilâha illalLâh...,” bisikku seraya terus memeluk tubuh Raihan yang mengejang.Aku lihat Gus Azmi juga terus menyeka air matanya. Laki-laki dengan garis wajah tegas itu enggak menjauh sedikit pun dari putraku, mungkin karena dia sudah menganggap Raihan seperti putranya sendiri.“Allahu Akbar! Allahu Akbar!” teriakku ketika nafas anakku terlihat sudah tersengal-sengal.“Ya Allah, Nak. Jangan tinggalkan Mama. Mama mohon kamu kuat, Sayang. Kamu satu-satunya kekuatan Mama. Tolong jangan buat Mama takut.” Tangisku kini pecah melihat keadaan permata hatiku semakin memburuk.Gus Azmi membaca surah yaasin sambil menangis tersedu. Begitu juga Abraham yang sejak tadi hanya duduk sambil merapalkan doa.Mas Ibnu, ke mana dia. Kenapa dia tidak juga sampai. Apa dia tidak khawatir dengan keadaan anaknya?Aku terus memeluk tubuh kejang Raihan hingga akhirnya dia mulai melemas dan nafasnya mulai terlihat beratur
“Ayo Mbak Mayla ikut saya. Biar Mbak Mayla istirahat dulu di pesantren,” ucap Pak Rahmat sembari menenteng rantang kosong bekas kami makan.“Tapi, Pak?” Aku menoleh ke arah Raihan yang masih terbaring tidak sadarkan diri. Rasanya diri ini tidak tega jika harus meninggalkan putra semata wayangku sendirian di rumah sakit.“Kamu ndak usah khawatir, Nduk. Ummi yang akan menjaga Raihan. Raihan itu sudah seperti cucu Ummi sendiri,” timpal Nyai Hanifah seperti bisa membaca isi hatiku, yang begitu mengkhawatirkan Raihan.“Ya sudah, Ummi. Saya permisi dulu. Assalamualaikum!” Menyalami dan mencium punggung tangan Umminya Gus Azmi dan lekas keluar dari kamar Raihan.Lima belas menit menempuh perjalanan dari rumah sakit ke pesantren, Pak Rahmat akhirnya menepikan mobilnya di depan gedung bertingkat empat yang selalu aku rindukan suasana kebersamaan serta kenyamanannya.Andai saja aku tahu rumah tanggaku dengan Mas Ibnu akan berantakan seperti ini. Dulu aku lebih memilih dijodohkan dengan anaknya
Dokter mau bicara denganku? Aku menggigit bibir, khawatir kalau dokter menyampaikan hal buruk tentang Raihan.“Ayo, Bu. Biar saya temani.” Gus Azmi kembali berdiri lalu berjalan mendahuluiku.Aku mengekor dari belakang, tidak berani berjalan bersisian dengan pria alim itu. Takut dikata tidak sopan.“Mas Ibnu nggak ke sini, Bu?” Gus Azmi menghentikan langkahnya, membiarkanku berjalan di sampingnya walaupun berjarak lebih dari satu meter, seperti anjuran pemerintah.“Dia sibuk, Gus,” jawabku seraya menunduk.“Mudah-mudahan besok dia ada waktu. Besok kan hari Sabtu. Semua kantor libur bukan?”“Iya, Gus.”Aku berusaha mengulas senyum.“Silakan masuk, Bu Mayla.” Gus Azmi mengetuk pintu ruangan dokter, membukannya untukku dan mempersilahkan diri ini masuk terlebih dahulu.Aku pun segera masuk, menjabat tangan dokter berkacamata tebal itu lalu lekas duduk.Setelah berbasa-basi sebentar, dokter mengeluarkan foto ct scan kepala anakku dan membaca hasil CT scan tersebut di depanku serta Gus Azm
Tidak lama kemudian, lampu indikator padam, pertanda tindakan di ruang bedah sudah selesai, dan pasien akan dipindahkan ke ruang pemulihan. Aku masih belum bisa tenang sebelum melihat keadaan Raihan.Seorang dokter berusia lebih dari setengah abad keluar sambil mengulas senyum kepada kami. Aku menghampiri sang dokter dan menanyakan keadaan anakku.“Alhamdulillah, ananda Raihan sudah bisa melewati masa kritisnya. Insya Allah secepatnya dia akan siuman. Hanya saja, mungkin dia tidak mengingat separuh memorinya. Jadi, dimohon dari pihak keluarga untuk tidak memaksa dia untuk mengingat memori yang terhapus sementara di dalam ingatannya. Karena itu akan mengganggu kesehatannya,” ucap dokter panjang lebar.Aku menghela nafas panjang, berusaha ikhlas dengan semua yang akan terjadi. Aku sangat yakin kalau putraku masuk akan tetap mengingat ibunya.“Kita makan dulu, May. Kamu belum makan loh.” Ajak Abraham sembari mendekatiku yang masih berdiri di depan pintu ruang operasi.“Nanti saja, Bram.
Selang beberapa menit Gus Azmi dan Abraham datang ke rumah sakit dan langsung menemuiku di kamar Raihan. Binar bahagia terpancar jelas di wajah guru mengaji anakku, karena ternyata Raihan justru mencari-cari dia saat membuka mata.“Raihan masih kenal sama Om?” tanya Abraham sambil menunjuk dirinya.Lagi. Jagoan kecilku menganggukkan kepala.“Om Gondrong!” jawabnya dan langsung disambut gelak tawa Abraham juga Gus Azmi.Aku merasa sangat bersyukur karena ternyata keadaan Raihan masih seperti biasanya. Bahkan dia mengingat semua orang yang ada di sekitar. Raihan juga masih ingat dengan hafalannya, yang sudah sampai surah Al-Mumtahanah di jus 28 dalam Al-Qur’an. Dia masih sangat fasih bertilawah membuat air mataku tidak sanggup kubendung mendengarnya.‘Ya Allah, Mas Ibnu. Tidakkah sedikit saja hati kamu tergerak untuk membesuk anakmu ini. Biar bagaimanapun Raihan ini darah daging kamu, Mas. Buah cinta kita berdua. Kamu boleh membenciku, atau merasa bosan terhadapku. Tapi, Raihan masih sa
“Bram, aku balik ke rumah sakit ya. Mas Ibnu datang dan mengamuk di rumah sakit kata Gus Azmi!” kataku sembari menyerahkan semua berkas yang ada di tangan kepada Abraham.“Kamu pulang sama siapa, May?” Dia menatapku khawatir.“Naik ojek saja, Bram. Aku takut terjadi sesuatu sama Raihan. Mas Ibnu itu kan orangnya nekat!”“Ya sudah, kamu hati-hati di jalan. Kalau ada apa-apa langsung hubungi aku aja, May!”Aku menjawab dengan menganggukkan kepala dan lekas turun mencari tukang ojek.Sepanjang perjalanan aku terus saja memikirkan keadaan Raihan, takut Mas Ibnu memaksa dia untuk mengingat dirinya, sebab itu akan membahayakan kesehatan anakku.“Agak cepetan, Pak!” ucapku seraya menepuk pundak tukang ojek.Sang driver menjawab dengan anggukan kepala.Setelah lebih dari sepuluh menit membelah kemacetan kota, akhirnya tukang ojek menepikan sepeda motornya di depan rumah sakit tempat di mana Raihan sedang dirawat. Gegas aku turun dan segera masuk ke dalam gedung bertingkat tersebut.“Mayla, ap