“Tega kamu, Mas!” gumam ku di sela tangis yang mulai pecah.
Mas Raka memilih untuk pergi. Meninggalkanku yang masih menahan bendungan air yang dalam hitungan detik akan membuat aliran sungai deras melewati kedua pipiku. Aku bangkit dan berjalan menuju kran air di dapur. Ku basuh wajahku agar penglihatan ku yang sedikit buram menjadi lebih cerah.Selera makan kini telah sirna. Aku merapikan sisa masakan di atas meja dan memasukkannya ke arah kulkas. Berjaga-jaga takut suamiku akan merasa lapar saat malam hari seperti biasanya.Ah, di saat seperti ini aku masih memikirkan dia?Kukira hanya ada di televisi atau novel-novel online yang sering aku baca. Ternyata kehidupanku kini tak jauh berbeda dengan apa yang dikisahkan orang lain dalam cerita. Apakah aku terlalu terbawa suasana dan mendalami karakter? Tidak! Ini nyata!Aku bergegas menuju kamar. Berharap suamiku akan kembali ke kamar kami seperti malam-malam sebelumnya. Kubuka pintu kamarku perlahan. Takut ia terganggu dengan suara pintu yang terbuka.“Mas? Apa kamu di dalam?” ujarku sebelum membuka pintu.Karena tak kunjung mendapat jawaban, kulangkahkan kaki masuk ke dalam kamar. Saat aku melihat ke arah ranjang kami, tak kudapatkan jejak suamiku di sana. Peraduan kami masih tampa rapi seperti sebelumnya. Kucari dia ke kamar mandi dalam ruangan itu. Namun, tam ada sedikit pun tanda dia ada di ruangan itu.“Ke mana kamu, Mas? Kenapa kamu pergi tanpa memberitahuku?” gumamku.“Bukankah kita sudah saling memaafkan atas kejadian kemarin?”Tanpa terasa bulir bening menyeruak tanpa terbendung lagi. Aku bergegas menuju luar rumah. Memastikan pria itu tak pergi meninggalkan rumah. Namun, suamiku sudah membawa mobilnya pergi meninggalkan rumah entah ke mana.Aku berjalan gontai menuju kamar, kembali mencoba menghubungi pria yang masih berstatus kan sebagai suamiku itu. Belum ada jawaban.***Aku mencoba menghubungi Mas Raka yang belum pulang ke rumah sejak kemarin. Kali ini, terdengar suara bunyi bip sebanyak lima kali sebelum akhirnya sebuah suara asing menyapa pendengaranku.“Halo?” suara merdu seorang perempuan terdengar di seberang panggilan.Belum sempat aku bersuara, suara seorang wanita asing justru menyapa indra pendengaran ku di pagi itu. Ku tutup mulutku dengan tangan kananku yang tak memegang benda lain. Air mata turun tanpa sempat permisi, membuat kedua mataku yang masih membengkak kembali terasa perih.“Siapa yang menelepon?” Ku dengar suara pria yang tak asing bagiku. Seorang lelaki yang aku rindukan, yang aku khawatirkan keadaannya sejak malam tadi.“Enggak tahu Mas. Gak ada suaranya,” jawab wanita yang sepertinya tengah memegang ponsel suamiku itu.“Ada namanya, gak?” tanya pria itu lagi. Bisa ku dengar langkah pria itu yang mendekat ke arah ponselnya.“Gak ada namanya nih!” Bisa kubayangkan wanita itu menyodorkan ponsel suamiku kepada pemiliknya.Bagaimana bisa dia melarangku membuka ponselnya sementara dia santai saja saat orang lain yang seorang wanita membuka ponselnya? Sepertinya wanita itu lebih berharga dibandingkan aku yang merupakan istrinya.Tak kudengar lagi suara dari seberang sana. Bisa aku pastikan pria itu kini sedang gugup dan akan bergegas kembali ke rumah ini.Aku matikan ponsel yang panggilannya masih terhubung namun tak lagi terdengar suara di seberang sana. Beruntung ponselku memiliki fitur rekam otomatis yang tak pernah diketahui oleh suamiku.Pertanyaan yang selama ini terngiang di kepalaku, yang menjadi awal percikan api dalam hubungan pernikahan ini sudah mendapatkan titik terang. Kini aku sudah tahu apa penyebab suamiku berubah drastis, bahkan aku merasa tak lagi mengenali dirinya.Aku bisa memastikan kalau hubungan mereka sudah terjalin begitu lama. Mendengar nama panggilan yang wanita itu lontarkan, cukup membuatku yakin kalau mereka menjalin hubungan spesial.Mas Raka memang memiliki adik perempuan. Aku mengenal dengan baik suara adik-adiknya. Namun, itu sama sekali bukan suara dari adik Mas Raka. Dia sedang bersama dengan wanita lain yang tak kutahu dia siapa.Berusaha mengalihkan pikiran dari pemikiran buruk yang semakin merajalela, aku melanjutkan kegiatanku pagi itu. Kusiangi sawi putih yang akan kutumis dengan telur. Tak lupa menyiapkan lauk lain untuk sarapan kami.Kali ini aku tak boleh menangis. Air mataku terlalu berharga untuk seorang pria yang masih bertakhta sebagai suamiku. Aku harus kuat demi anakku.“Mama kenapa menangis?” tanya Delisha dengan suara khasnya. Gadis itu mengucek kedua matanya yang belum sepenuhnya terjaga.Aku hanya bisa menggelengkan kepala, seraya mengusap kasar jejak air mata di pipi. Aku tak ingi Delisha melihatku menangis.Tepat saat aku menyelesaikan kegiatan memasak sarapan pagi itu, aku mendengar suara langkah kaki memasuki rumah. Sudah bisa aku tebak, suara siapa itu.“Zhy, Mas minta maaf. Itu tak seperti yang kamu pikirkan,” ucap Mas Raka dengan suara yang tampak bergetar. Dia panik.Aku bisa menebak kalau pria yang kini tengah mengekor di belakangku ini sedang ketakutan. Pria itu tak mau disalahkan. Dia enggan mengakui kalau kejadian tadi pagi adalah sebuah pengkhianatan.Aku berusaha tetap tenang menghadapi pria yang tengah merengek seperti kucing itu.“Makanlah!” ucap ku singkat.Aku tak ingin mengucapkan banyak kata lagi yang nantinya akan berujung percuma. Aku tak ingin menunjukkan kelemahan ku di hadapannya. Dia tak boleh tahu kalau aku saat ini sedang rapuh.Aku meninggalkan dapur dengan membawa menu sarapan putri kecilku. Aku bisa merasakan suamiku masih mengekor di belakangku.“Zi … ini benar-benar tak seperti yang kamu pikirkan. Kamu salah paham.”Aku berbalik menatap pria yang terkejut karena kini kami saling berhadapan. Bahkan tubuh nami hampir bertubrukan.“Zi, maafkan aku, oke? Jangan salah paham lagi, aku mohon. Oke?” pinta pria itu.“Makanlah! Aku yakin kamu belum sarapan di rumahnya.”Aku merasa ucapan ku kali ini terlalu kasar. Pria itu tampak terkejut saat aku mengatakan kalimat terakhir yang sengaja aku lontarkan untuk menyindirnya.“B-baik. Aku akan makan dulu setelahnya kita akan bicara,” ucapnya teguh.Mas Raka kemudian berbalik menuju dapur. Untuk saat ini ia menuruti perkataanku agar mengisi perutnya yang kosong lebih dulu. Sementara aku menyuapi Delisha sembari menyiapkan hati sebelum mendapat penjelasan yang aku yakin akan meremukkan hatiku.Aku menghembuskan napas kasar. Makanan Delisha sudah tandas bertepatan dengan Mas Raka yang sudah menyelesaikan sarapannya. Aku menitipkan Delisha kepada asisten rumah tangga yang baru saja menyelesaikan pekerjaannya mencuci pakaian.“Tolong ajak main Delisha di taman dulu ya, Bik,” pintaku pada asisten rumah tanggaku yang mengangguk.“Kita perlu bicara, Zhyvanna,” ucap Mas Raka saat mendapati diriku yang hendak berlalu pergi.“Tunggu di ruang tengah!” titahku singkat"Aku tidak akan ke mana-mana," ucapku yakin. Ke mana lagi aku bisa pergi saat ini? Hanya di sini rumah tempatku berteduh bersama Delisha. Tidak mungkin aku kembali ke rumah lama.Pemuda itu mengangguk, memasuki mobil dengan senyum penuh. Binar bahagia begitu jelas terlihat di wajahnya, membuatku berpikir bagaimana bisa aku melewatkan orang baik sepertinya selama ini?Mobil yang mengantarku tadi kini sudah jauh dari pandangan. Setelah tak lagi kulihat di kejauhan, aku pun masuk ke rumah dan menguncinya dari dalam.***"Mama! Hari ini Delisha sekolah?" suara putri kecilku membuyarkan fokusku dalam memeriksa laporan dari pabrik kecilku.Aku pun mengangguk mengiyakan sembari tersenyum melihat gadis kecilku yang bangun pagi seperti biasa."Iya dong. Biar makin pintar," ujarku memberi semangat."Diantar Papa Rafa ya, Ma?" gadis kecil itu menatapku dengan mata bulat kecilnya. Membuatku tak kuasa melarang keinginannya. Padahal aku masih belum tahu apa Rafa bisa mengantar Delisha."Mama coba h
"Ma, tentang itu masih perlu kami diskusikan lagi," ucap Rafa menengahi agar mamanya tak mendesak ku.Ku akui dia cukup peka dan pengertian. Pun dia sangat sabar dalam menghadapi perempuan. Apalagi seperti aku yang sering tantrum dan moody-an."Baiklah. Kalau begitu Mama ikut apa kata kalian saja. Mama sudah lelah menjodohkan kamu kesana kemari," ucap Bu Laili. Hal itu benar-benar mengejutkanku. Pantas saja di usianya yang terbilang cukup untuk menikah, dia tak kunjung memiliki istri. Apa mungkin karena aku?"Kamu tau? Meski Rafa tahu kamu udah menikah—""Ma," potong Rafa seraya menggelengkan kepala. Dia tak ingin sang Mama lebih lanjut berbicara tentang dirinya."Baiklah ... Baiklah ... Kita lanjut makan saja kalau begitu," ucap Bu Laili.Aku tersenyum canggung. Meski bisa menebak apa yang ingin dikatakan oleh Bu Laili, justru membuatku sedikit tak nyaman. Ada rasa bersalah yang perlahan muncul. Sebuah penyesalan karena tak peka bahwa ada orang yang ternyata menyukaiku sedalam itu. S
Seorang wanita paruh baya yang tengah duduk di salah satu kursi ruangan itu menoleh ke arahku. Tanpa sadar kedua mataku membola, sementara tanganku refleks menutup mulutku yang sedikit menganga. Sama sekali tak pernah kusangka kalau wanita di hadapanku kini ternyata ibu dari seorang Rafa. Padahal aku sudah lama mengenal Rafa, baru kali ini bertemu dengan wanita yang telah melahirkannya. "Apa masih perlu perkenalan lagi?" tanya Rafa seraya tersenyum. Aku menoleh ke arahnya, masih sedikit tak percaya dengan situasi yang ada. Ini benar-benar sesuatu yang sama sekali tak pernah aku duga sebelumnya. "Silakan duduk," ucap Bu Laili yang entah kapan sudah berdiri dan kini ada di sampingku, mengusap lenganku seolah berusaha menenangkan aku dari rasa keterkejutan ini. Aku pun menurut dan mengucap terima kasih. Kami bertiga duduk berhadapan. Rasa canggung masih begitu jelas kurasa. Membuatku sesekali melakukan kecerobohan tanpa sengaja. Berulang kali ku ucap maaf. Dan berulang kali ku dapatk
"Aku mau kamu untuk tidak menyerah tentangku," ucapnya sendu. Pemuda itu masih menatapku sementara aku tak berani membalasnya. Bagiku, permintaan itu cukup berat. Aku tidak yakin akan sanggup memikulnya. "Hanya itu?" tanyaku singkat. Dia mengangguk penuh semangat. Ada binar di kedua matanya yang membuatku tak tega. Namun, sepertinya untuk kali ini aku harus tegas pada pemuda yang kini masih ada di hadapanku. "Mama ...." Suara gadis kecilku menginterupsi pembicaraan kami. Dia masih mengucek kedua matanya yang belum sepenuhnya terbuka. Wajahnya masih kusut khas bangun tidur. Hanya saja itu tetap menggemaskan. "Om Dika," sapa Delisha meraih tangan Dika dan mencium punggung tangan pria itu dengan hormat. Kini bisa kulihat bagaimana Delisha cukup berjarak dengan Dika. Tak seperti saat dengan Rafa. Biasanya gadis kecilku akan merentangkan kedua tangan minta diraih dan digendong oleh Rafa. Begitupun Rafa, dia akan senantiasa menghampiri Delisha, menyejajarkan tingginya dan menghi
"Karena kamu mengenalnya," sahut Rafa membuatku tertegun sejenak. Kedua mataku menyipit, sementara isi kepalaku masih terus berpikir berusaha menggali memori siapa saja paruh baya yang mungkin saja aku kenal. Namun, tak ada sedikit pun petunjuk akan kalimat Rafa. "Mana mungkin. Kita berteman lama tapi kamu tak pernah mengenalkan orangtuamu padaku," ucapku terkekeh. "Ah, memang salahku tak mengenalkan mereka padamu sejak dulu. Kalau tau begini, bisa jadi kamu menikahnya denganku. Bukan dengan dia," canda Rafa. Aku tersenyum miring tapi membenarkan perkataannya. Mungkin saja seperti itu, bukan? "Aku akan mengabari mu lagi, kapan kita akan bertemu mamaku," ucap Rafa dan ku jawab dengan anggukan. Barangkali bertemu dengan mamanya Rafa bisa membuatku tak lagi trauma dengan mertua, bukan? Aku harap mamanya Rafa sebaik Rafa kepadaku. Dan semoga itu bukan hanya harapan kosong saja. *** Rafa sudah pulang beberapa jam yang lalu. Di rumah, aku kembali berdua dengan putri kecilku yang sed
"Siapa yang akan menikah?" Aku menoleh ke arah datangnya suara. Seorang pria lantas berjalan mendekati kami dengan tatapan serius. Kedua matanya nyaris tak berkedip saat menatap tajam ke arahku dan Rafa. "Om Dika," sapa Delisha dengan senyum manisnya. Ah, gadis kecilku sangat pandai mencairkan suasana. Yah, meski itu tak bertahan lama. Pasalnya, Delisha mengajukan pertanyaan polosnya kepada Dika. "Om, kalau Om Rafa menikah dengan mama, berarti Om Rafa jadi papa baru aku, 'kan?" tanyanya membuatku menahan napas. Berbeda denganku, Rafa justru terlihat santai melihat interaksi Delisha dan Dika. Dia bahkan tersenyum penuh kemenangan atas suatu kompetisi yang tak pernah dimulai. "Kau curang," desis Dika. Aku masih bisa mendengar dengan jelas apa yang dia ucapkan pada Rafa. Dan aku hanya memutar kedua mataku malas. Kalau sudah begini, rasanya ingin aku seret mereka ke kandang macan. Biar mereka berkompetisi dengan macan saja! "Kalau berantem lagi, silakan pergi!" ucapku pada akhirny