Share

Bab 3. Siapa Dia, Mas?

“Tega kamu, Mas!” gumam ku di sela tangis yang mulai pecah.

Mas Raka memilih untuk pergi. Meninggalkanku yang masih menahan bendungan air yang dalam hitungan detik akan membuat aliran sungai deras melewati kedua pipiku. Aku bangkit dan berjalan menuju kran air di dapur. Ku basuh wajahku agar penglihatan ku yang sedikit buram menjadi lebih cerah.

Selera makan kini telah sirna. Aku merapikan sisa masakan di atas meja dan memasukkannya ke arah kulkas. Berjaga-jaga takut suamiku akan merasa lapar saat malam hari seperti biasanya.

Ah, di saat seperti ini aku masih memikirkan dia?

Kukira hanya ada di televisi atau novel-novel online yang sering aku baca. Ternyata kehidupanku kini tak jauh berbeda dengan apa yang dikisahkan orang lain dalam cerita. Apakah aku terlalu terbawa suasana dan mendalami karakter? Tidak! Ini nyata!

Aku bergegas menuju kamar. Berharap suamiku akan kembali ke kamar kami seperti malam-malam sebelumnya. Kubuka pintu kamarku perlahan. Takut ia terganggu dengan suara pintu yang terbuka.

“Mas? Apa kamu di dalam?” ujarku sebelum membuka pintu.

Karena tak kunjung mendapat jawaban, kulangkahkan kaki masuk ke dalam kamar. Saat aku melihat ke arah ranjang kami, tak kudapatkan jejak suamiku di sana. Peraduan kami masih tampa rapi seperti sebelumnya. Kucari dia ke kamar mandi dalam ruangan itu. Namun, tam ada sedikit pun tanda dia ada di ruangan itu.

“Ke mana kamu, Mas? Kenapa kamu pergi tanpa memberitahuku?” gumamku.

“Bukankah kita sudah saling memaafkan atas kejadian kemarin?”

Tanpa terasa bulir bening menyeruak tanpa terbendung lagi. Aku bergegas menuju luar rumah. Memastikan pria itu tak pergi meninggalkan rumah. Namun, suamiku sudah membawa mobilnya pergi meninggalkan rumah entah ke mana.

Aku berjalan gontai menuju kamar, kembali mencoba menghubungi pria yang masih berstatus kan sebagai suamiku itu. Belum ada jawaban.

***

Aku mencoba menghubungi Mas Raka yang belum pulang ke rumah sejak kemarin. Kali ini, terdengar suara bunyi bip sebanyak lima kali sebelum akhirnya sebuah suara asing menyapa pendengaranku.

“Halo?” suara merdu seorang perempuan terdengar di seberang panggilan.

Belum sempat aku bersuara, suara seorang wanita asing justru menyapa indra pendengaran ku di pagi itu. Ku tutup mulutku dengan tangan kananku yang tak memegang benda lain. Air mata turun tanpa sempat permisi, membuat kedua mataku yang masih membengkak kembali terasa perih.

“Siapa yang menelepon?” Ku dengar suara pria yang tak asing bagiku. Seorang lelaki yang aku rindukan, yang aku khawatirkan keadaannya sejak malam tadi.

“Enggak tahu Mas. Gak ada suaranya,” jawab wanita yang sepertinya tengah memegang ponsel suamiku itu.

“Ada namanya, gak?” tanya pria itu lagi. Bisa ku dengar langkah pria itu yang mendekat ke arah ponselnya.

“Gak ada namanya nih!” Bisa kubayangkan wanita itu menyodorkan ponsel suamiku kepada pemiliknya.

Bagaimana bisa dia melarangku membuka ponselnya sementara dia santai saja saat orang lain yang seorang wanita membuka ponselnya? Sepertinya wanita itu lebih berharga dibandingkan aku yang merupakan istrinya.

Tak kudengar lagi suara dari seberang sana. Bisa aku pastikan pria itu kini sedang gugup dan akan bergegas kembali ke rumah ini.

Aku matikan ponsel yang panggilannya masih terhubung namun tak lagi terdengar suara di seberang sana. Beruntung ponselku memiliki fitur rekam otomatis yang tak pernah diketahui oleh suamiku.

Pertanyaan yang selama ini terngiang di kepalaku, yang menjadi awal percikan api dalam hubungan pernikahan ini sudah mendapatkan titik terang. Kini aku sudah tahu apa penyebab suamiku berubah drastis, bahkan aku merasa tak lagi mengenali dirinya.

Aku bisa memastikan kalau hubungan mereka sudah terjalin begitu lama. Mendengar nama panggilan yang wanita itu lontarkan, cukup membuatku yakin kalau mereka menjalin hubungan spesial.

Mas Raka memang memiliki adik perempuan. Aku mengenal dengan baik suara adik-adiknya. Namun, itu sama sekali bukan suara dari adik Mas Raka. Dia sedang bersama dengan wanita lain yang tak kutahu dia siapa.

Berusaha mengalihkan pikiran dari pemikiran buruk yang semakin merajalela, aku melanjutkan kegiatanku pagi itu. Kusiangi sawi putih yang akan kutumis dengan telur. Tak lupa menyiapkan lauk lain untuk sarapan kami.

Kali ini aku tak boleh menangis. Air mataku terlalu berharga untuk seorang pria yang masih bertakhta sebagai suamiku. Aku harus kuat demi anakku.

“Mama kenapa menangis?” tanya Delisha dengan suara khasnya. Gadis itu mengucek kedua matanya yang belum sepenuhnya terjaga.

Aku hanya bisa menggelengkan kepala, seraya mengusap kasar jejak air mata di pipi. Aku tak ingi Delisha melihatku menangis.

Tepat saat aku menyelesaikan kegiatan memasak sarapan pagi itu, aku mendengar suara langkah kaki memasuki rumah. Sudah bisa aku tebak, suara siapa itu.

“Zhy, Mas minta maaf. Itu tak seperti yang kamu pikirkan,” ucap Mas Raka dengan suara yang tampak bergetar. Dia panik.

Aku bisa menebak kalau pria yang kini tengah mengekor di belakangku ini sedang ketakutan. Pria itu tak mau disalahkan. Dia enggan mengakui kalau kejadian tadi pagi adalah sebuah pengkhianatan.

Aku berusaha tetap tenang menghadapi pria yang tengah merengek seperti kucing itu.

“Makanlah!” ucap ku singkat.

Aku tak ingin mengucapkan banyak kata lagi yang nantinya akan berujung percuma. Aku tak ingin menunjukkan kelemahan ku di hadapannya. Dia tak boleh tahu kalau aku saat ini sedang rapuh.

Aku meninggalkan dapur dengan membawa menu sarapan putri kecilku. Aku bisa merasakan suamiku masih mengekor di belakangku.

“Zi … ini benar-benar tak seperti yang kamu pikirkan. Kamu salah paham.”

Aku berbalik menatap pria yang terkejut karena kini kami saling berhadapan. Bahkan tubuh nami hampir bertubrukan.

“Zi, maafkan aku, oke? Jangan salah paham lagi, aku mohon. Oke?” pinta pria itu.

“Makanlah! Aku yakin kamu belum sarapan di rumahnya.”

Aku merasa ucapan ku kali ini terlalu kasar. Pria itu tampak terkejut saat aku mengatakan kalimat terakhir yang sengaja aku lontarkan untuk menyindirnya.

“B-baik. Aku akan makan dulu setelahnya kita akan bicara,” ucapnya teguh.

Mas Raka kemudian berbalik menuju dapur. Untuk saat ini ia menuruti perkataanku agar mengisi perutnya yang kosong lebih dulu. Sementara aku menyuapi Delisha sembari menyiapkan hati sebelum mendapat penjelasan yang aku yakin akan meremukkan hatiku.

Aku menghembuskan napas kasar. Makanan Delisha sudah tandas bertepatan dengan Mas Raka yang sudah menyelesaikan sarapannya. Aku menitipkan Delisha kepada asisten rumah tangga yang baru saja menyelesaikan pekerjaannya mencuci pakaian.

“Tolong ajak main Delisha di taman dulu ya, Bik,” pintaku pada asisten rumah tanggaku yang mengangguk.

“Kita perlu bicara, Zhyvanna,” ucap Mas Raka saat mendapati diriku yang hendak berlalu pergi.

“Tunggu di ruang tengah!” titahku singkat

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status