Juliana terlihat bergegas memasuki mansion. Dia baru saja pulang dari rumah sakit. Hati wanita itu dirundung kekalutan. Sedari keluar dari rumah sakit, Juliana tak tenang. Dia yakin, Lena sudah menaruh curiga padanya. "Astaga!" Juliana terperanjat mendapati Reina tiba-tiba saja muncul di balik pintu. Dia baru saja membuka pintu kamar dan sudah ada Reina yang berdiri menjulang di sana. "Ya ampun, Kakak. Kenapa tiba-tiba muncul?" ucap Reina terlihat kaget sembari memegangi dadanya yang berdegup kencang. "Aku juga kaget, Reina. Aku pikir kamu tidak ada di kamar," cetus Juliana sembari masuk ke kamar. Reina memang memilih pulang duluan dari rumah sakit, karena dia merasa tidak nyaman jika harus terus di rumah sakit. Setelah pintu ditutup rapat, Juliana duduk di atas tempat tidur. Wajahnya terlihat stres dan Reina melihat itu dengan sangat jelas. "Ada apa, Kak? Apakah terjadi sesuatu pada Joseph?" tanya Reina khawatir. Wajah Juliana pucat dan frustrasi. Juliana menggelengkan kepala
"Se-sepertinya tidak bisa, Bu," ucap Juliana membuat Ariana menautkan kedua alisnya. Dia bingung mendengar jawaban Juliana. "Kenapa tidak bisa? Hal yang wajar, kan, kalau suami istri ada dalam satu kamar?" Juliana tersenyum kaku mendengar pertanyaan dari Ariana. Kalau saja Ariana tahu dirinya bukan istri asli Joseph mungkin tidak akan ada perintah seperti itu. Ariana akan mengusirnya atau bahkan menyeretnya ke dalam penjara. Sekarang posisi Juliana terhimpit. Tidak ada yang membantunya termasuk Bradley, si dalang dari sandiwara ini. Reina merasa kasihan pada kakaknya pasti Juliana sangat tertekan, karena harus mencari alasan atas jawaban sang Tuan rumah. Akan tetapi, dia tidak bisa ikut campur, karena tidak mau membuat Juliana dalam kesulitan. "Em, itu karena ...." Juliana menggantungkan ucapannya sembari melirik pada Bradley yang ada di hadapannya. Pria itu tengah menatap tajam pada Juliana seolah mengintimidasi agar Juliana jangan sampai salah bicara. Di saat seperti inilah se
Tiga hari kemudian, Juliana dan Ariana pergi ke rumah sakit untuk menjemput Joseph. Reina sengaja tidak ikut, karena beberapa alasan. Selama dalam perjalanan ke rumah sakit, Ariana terus bercerita tentang betapa senangnya, karena Joseph bisa pulang ke rumah. Juliana tak banyak bicara kecuali sesekali tersenyum dan hanya sekedar menanggapi Ariana. Itu karena, saat ini pikirannya bercabang. Dia merasa akan menghadapi ujian besar yang membuat jantungnya berdetak kencang. Nyalinya seolah diuji dengan sandiwara yang sedang dia jalani. Setiap hari, Juliana dibayangi ketakutan. Dia merasa harus siap menghadapi kemungkinan buruk yang terjadi setiap harinya. Sekarang saja, rasanya berat sekali, karena harus menjemput Joseph. Dia selalu merasa bersalah jika bertatap muka dengannya. "Juliana?" Juliana terperanjat saat mendengar Ariana memanggilnya dengan cukup keras. Wanita itu langsung menoleh dan mendapati Ariana sedang memandanginya dengan tatapan khawatir. "Kenapa kamu diam saja?" tan
Matanya yang hijau dan dalam terlihat intim, membuat getaran menjalari tulang punggung Juliana dan muncul perasaan tersekat yang tidak memudar untuk waktu yang lama. Juliana memusatkan perhatian kepada selimut Joseph, berharap pria itu tidak melihat rona merah yang menjalari wajahnya. "Sepertinya kamu kehilangan ketenangan dirimu," ucap Joseph. "I-itu karena kamu tiba-tiba menciumku." Joseph tersenyum simpul hanya menatap Juliana. Juliana berdiri dan memaksa dirinya melanjutkan. "Sebaiknya aku pergi. Aku tidak ingin mengganggu istirahatmu." Juliana waswas mengamati pria itu dari bulu matanya dan cepat-cepat pergi dari kamar Joseph. Di luar kamar, Juliana merasa sangat lega sampai lututnya gemetar. Perlahan-lahan dia menyentuh bibirnya. Jejak hangat bibir Joseph masih terasa. Juliana pun segera pergi dari sana tidak ingin memikirkan apa yang barusan saja terjadi. *** Rambut panjang yang terurai sangat indah dipandang. Dari sisi, wanita itu terlihat cantik dan menarik. Penampilan
Keesokan paginya, Joseph termenung menatap satu per satu foto dirinya dan Juliana. Dia tersenyum melihat betapa bahagia dirinya saat sedang bersama Juliana di foto itu. Dia terus melihat foto yang diberikan Bradley padanya. Dia teringat dengan perkataan Bradley tentang perasaan Juliana saat ini. Mungkin saja memang benar, Juliana sakit hati karena Joseph tidak mengenalinya, jadi dia mencari cara agar semua ingatan tentang istrinya itu kembali. Dia kemudian menyusun foto-foto itu di hadapannya. Joseph mengambil setiap foto dan berusaha keras mengingat waktu dan tempat saat foto itu diambil. Dari sekian banyak foto, tidak ada satupun yang Joseph ingat. Pria itu merasa sedih. Dia kembali menatap semua foto itu dan berusaha keras untuk kembali mengingatnya, tetapi tidak ada satupun kenangan tentang Juliana yang menempel di benak Joseph. "Akh!" Joseph meringis kesakitan sembari memegangi kepalanya yang berdenyut hebat, karena terlalu memaksakan diri untuk mengingat tentang Juliana, kepal
Juliana tampak mondar-mandir di kamarnya, setelah Ariana memintanya menemui Joseph pada saat sarapan pagi. "Aku penat. Apalagi setelah berhadapan dengan Bradley. Rasanya emosiku ingin meledak, jadi aku butuh menyegarkan otak dan hatiku. Kakak mau ikut ke pantai?" Kalau saja posisinya sedang tidak terimpit, tanpa berpikir panjang Juliana pasti akan ikut. "Aku tidak bisa, Reina." Reina menghembuskan napas kasar sembari memandangi Juliana datar. "Kalau begitu, Kakak harus berperan menjadi istri yang baik. Datang sana temui Joseph, beres, kan? Aku pergi dulu." Juliana lagi-lagi mendengus kasar. Kata-kata Reina terdengar sarkastis. Dia berusaha membujuk Reina agar tidak pergi, tapi sayangnya wanita itu malah pergi begitu saja. Dia bingung apakah harus ke kamar Joseph atau tidak, karena kalau ke sana dirinya akan merasa canggung sendiri, tetapi kalau tidak menghampiri Joseph, semua orang yang ada di rumah ini akan menaruh curiga padanya. Ia terus berpikir dan menimbang apa yang seharus
"Aku tidak mengambil uang perusahaan untuk kepentingan pribadi dan mana mungkin aku mengambilnya tanpa alasan yang jelas." "Saya tahu, Pak. Anda tidak mungkin mengambil uang perusahaan itu. Saya sudah bekerja pada Anda selama bertahun-tahun." "Terima kasih sudah mau percaya padaku." "Jenny, bisakah kamu membantuku mencari tahu siapa orang yang sudah memalsukan tanda tanganku?" "Ya. Tentu. Kami akan menyelidikinya." "Seperti yang kamu tahu. Aku tidak ingat apa yang terjadi padaku. Aku hanya ingat saat aku akan pergi ke Italia dan setelah itu aku tidak ingat apa pun." "Saya mengerti. Kita bicara lagi nanti. Permisi!" ucapnya sambil melirik ke arah Juliana. Jennifer pun pergi, walaupun sebenarnya ia masih mau di sana, karena penasaran dengan sosok Juliana. Setelah kepergian Jennifer, akhirnya Juliana bisa bernapas lega. Joseph bahkan bisa mendengar helaan napas panjang itu. Ia menatap Juliana yang terdiam, lalu tak lama kemudian pandangan mereka saling bersitatap. "Maaf," ucap J
Joseph terus bercerita apa saja yang bisa membuat suasana di antara dirinya dan Juliana membaik. Dia sudah cukup merasakan kecanggungan di antara dirinya dan Juliana, jadi Joseph akan lakukan segala cara agar dirinya bisa lebih akrab dengan Juliana mungkin dengan begitu dia bisa mengingat sesuatu. Juliana tersentak ketika tangannya digenggam oleh Joseph. Sebuah senyuman kembali merekah di wajah tampan pria itu. Genggaman tangannya begitu erat dan tatapan matanya kembali membuat Juliana gemetar, tidak dapat bicara atau pun bergerak. Tatapan pria itu mengunci matanya. Ia hanya dapat menatap dalam-dalam mata Joseph. Belaian tangan pria itu di pipinya terasa hangat dan lembut, membuat Juliana terkejut dan tersentak, nyaris tidak bernapas. Tanpa disadari oleh Juliana, bibirnya sudah berada dalam kuluman pria itu dan tubuhnya sudah berada dalam pelukannya. Otak Juliana tidak sanggup untuk berpikir lagi. Tegang dan bingung. Joseph menciumnya dengan rakus. Di lumatnya bibir Juliana yang m