Share

Bab 7 : Cincin 500 Juta

Acara reuni tetap berlanjut dan aku tak melihat Dewi di manapun. Entah mungkin ia sedang berganti baju atau bagaimana aku tak terlalu memperdulikannya.

“Lama lagi ya waktu berbuka?“ 

Pertanyaan Fitri membuatku menoleh dari layar ponsel. Mas Haris mengirim pesan dan menanyakan keberadaanku. Kasihan juga dia pasti sedang berbuka sendirian di rumah. Aku jadi menyesal ikut bukber di sini.

“Lima belas menit lagi, Fit, sabar ya!“ ucapku menepuk bahunya. Ia hanya menghela nafas sembari mematikan ponsel. 

“Hai Mira, Fitri, apa kabar?“

Seorang wanita cantik menghampiri meja kami. Viola, salah satu teman yang merupakan istri dari pengusaha berlian. Dulu, dia begitu akrab dengan kami. Berbeda dengan Dewi, Viola yang lebih kaya saja gayanya tidak sesombong wanita itu.

“Baik Viola, kamu bagaimana?“  jawabku dengan senyuman. Ia menyibakkan gamisnya dan menampilkan perutnya yang buncit. 

“Alhamdulillah lagi hamil anak kembar.“

“Wah selamat, Vi,” ucap Fitri sembari memeluk Viola, aku mengikuti setelahnya. 

“Terima kasih, kudoakan Mira juga menyusul.“

“Aamiin Ya Allah.“

Kami berbincang cukup banyak hal dengan Viola sampai tak terasa waktu magrib tiba. Kami berbuka puasa dan shalat maghrib berjamaah di mushola hotel.

Aku dan Viola bersama pergi ke toilet untuk berwudhu. Meninggalkan Fitri yang sedang berhalangan. Sedari tadi kuperhatikan Viola terus-terusan melihat ke arah tangan kiriku.

“Ada yang aneh, ya, Vi?“ tanyaku sembari memakai hijab. 

“Apanya?“ 

“Aku merasa kau sedari tadi memperhatikan tanganku, kenapa?“

“Oh, kau merasa ya, maaf kalau gitu. Aku hanya penasaran dengan cincin yang kau pakai.“

“Cincin? Ini?“ tunjukku pada jari manis yang tersemat cincin pernikahanku dengan Mas Haris. Kulihat Viola memicing sembari lamat-lamat memperhatikan cincin yang kupakai.

“Kulihat kau penasaran sekali, ini biar lihat lebih detail. Apa kau mau mencontoh designnya untuk cincin berlian di toko suamimu?“ ucapku sembari bercanda. Namun Viola terlampau serius. Ia memperhatikanku bolak-balik dengan cincin yang sudah beralih ke tangannya.

“Gila!“ ucapnya membuatku kaget. Sontak aku menoleh dengan alis bertaut.

“Kenapa?“

“Ini cincin apa?“

“Cincin apa?“

“Maksudku kau dapat darimana Mir?“

“Ini cincin pernikahanku Viola, cincin pernikahanku dengan suamiku.“

“Pernikahan? Suamimu kerjanya apa?“

Aku heran, tak biasanya Viola penasaran dengan hidup seseorang. Wanita itu biasanya terlampau cuek dan tak peduli pada orang-orang. 

“Tukang jualan tahu, kamu juga tahu itu, kan?“

“Ya, kamu pernah cerita. Tapi ini gak mungkin, orang tuanya pengusaha atau bagaimana?“

“Orang tua suamiku udah gak ada, Vi. Memangnya kenapa sih?“

“Cincin kamu ini, kamu percaya gak kalau cincin ini harganya lima ratus juta?“

“Hah? Ya gak mungkinlah. Ini itu cincin murah.“

“Tapi aku beneran yakin, Mir. Suamiku pengusaha berlian, aku sedikit banyak tahu tentang hal itu. Dan di cincin kamu ini setiap sisinya diantara baris M dan H bertabur berlian dengan kualitas yang gak bisa dianggap biasa.“

Aku terpaku mendengar penuturannya. Gak masuk akal sama sekali. Mas Haris cuma jualan tahu sedari muda. Dari mana dia mendapatkan uang untuk membeli cincin semahal ini.

“Aku juga yakin kalau cincin ini bukan warisan. Pasti ditempa dan kalau kamu gak percaya kamu bisa cek di tokoku, Mir. Jujur deh, suami kamu konglomerat?“

“Vi jangan bercanda, suamiku cuma tukang tahu.“

“Tapi aku serius, kalau perlu pulang dari sini kita buktikan.“

“Gak mungkin Mas Haris punya uang sebanyak itu buat beli cincin, Vi. Meski kami hidup berkecukupan tapi penghasilan Mas Haris gak mungkin bisa sebanyak itu.“

“Loh buktinya, ini bukti loh Mir.“ Viola menunjuk cincinku yang berada di tangannya. “Kalau kamu gak percaya coba cari deh nota pembayarannya di rumah. Kali aja di sembunyikan suami kamu.“

“Tapi tetap gak mungkin juga,” ucapku tak percaya. 

“Ya aku juga mikir gitu, tapi mana tahu, kan? Apa salahnya cari tahu.“

“Kalaupun memang iya, mungkin itu tabungannya dulu waktu masih muda, Vi.“

“Ya, bisa jadi. Tapi tabungan jualan tahu bisa sampai lima ratus juta itu imposible banget. Kecuali suami kamu hemat atau … jangan-jangan seorang juragan tahu.“

Aku menerima uluran cincin dari tangan Viola. Memperhatikan lamat-lamat cincin itu. Sewaktu menikah dulu aku tak pernah bertanya banyak hal padanya. Cincin ini diakui Mas Haris hanya berharga lima ratus ribu. Lalu, aku tak pernah bertanya lebih lanjut juga tak mengerti masalah berlian-berlian ini.

Mungkin yang dikatakan Viola benar. Dia ahli dalam hal ini. Lantas darimana Mas Haris dapat uang sebanyak itu?

***

Aku sampai di rumah pukul sembilan malam. Mas Haris tengah berada di ruang tamu sedang bermain ponsel sembari minum teh. Aku menyalimnya dan duduk di samping Mas Haris. Kami berdua terdiam cukup lama sampai Mas Haris kemudian menatap ke arahku.

“Kenapa Mas?“ tanyaku karena Mas Haris hanya menatap tanpa mengatakan apapun.

“Kamu begitu pulang diam saja, kenapa? Ada masalah di tempat reuni? Dewi mengusik kamu lagi?“ tanya Mas Haris sembari membelai kepalaku yang tertutup hijab.

Aku menatapnya dengan beribu tanya di pikiran. Obrolan bersama Viola tadi terus terngiang-ngiang di kepalaku. Membuatku jadi sedikit khawatir, jika yang dikatakan Viola memang benar kalau cincin yang kukenakan harganya mencapai lima ratus juta. Lantas kenapa Mas Haris merahasiakan hal itu dariku.

Tapi, rasanya itu sama sekali tidak mungkin. Aku ragu saat mencoba untuk percaya. Namun, ada baiknya kucoba untuk bertanya padanya. Meski aku terus menyangkal kalau yang dikatakan Viola benar adanya.

Kalau ternyata perkataan Mas Haris sama dengan yang Viola katakan tentang cincin itu. Lantas seberapa kenal aku dengan Mas Haris sebenarnya? Kenapa pula Mas Haris menutupi hal itu. Fakta bahwa aku dan dia memakai cincin dengan nilai satu milyar.

“Sayang?“

Aku tersentak, lantas menghembuskan nafas perlahan. "

"Mas ada yang kamu sembunyikan dariku?“ 

Aku memilih langsung bertanya, rasa  penasaran yang memuncak membuatku harus menuntaskannya sekarang agar tak ada masalah yang akan timbul ke depan nantinya.

Bisa kuperhatikan wajah Mas Haris seketika berubah, tangannya yang ada di pucuk kepalaku setelahnya turun dengan perlahan. Perasaanku mulai tak enak, karena sekarang kulihat Mas Haris menunduk dengan raut penyesalan.

“Maaf, Dik, sebenarnya memang ada,” ucap Mas Haris kemudian mampu membuat jantungku berdebar semakin keras. Mataku mulai berkaca sembari menunggu perkataan Mas Haris selanjutnya.

“Apa itu Mas?“

“Mas takut kamu akan marah jika Mas mengatakannya.“

“Gak apa-apa, katakan saja, aku perlu tahu hal yang kamu sembunyikan itu.“

“Kamu janji tidak akan marah?“

Aku mengangguk, menunggu dengan tidak sabar sembari menggenggam cincin yang tertaut di jari manis.

“Kalau begitu, Mas akan mengatakan, sebenarnya ….“

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Evy Setyowati
baguss critanya...penuh kejutan..tapi knapa bukanya harus berbayar yaa...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status