“Lama lagi ya waktu berbuka?“
Pertanyaan Fitri membuatku menoleh dari layar ponsel. Mas Haris mengirim pesan dan menanyakan keberadaanku. Kasihan juga dia pasti sedang berbuka sendirian di rumah. Aku jadi menyesal ikut bukber di sini.
“Lima belas menit lagi, Fit, sabar ya!“ ucapku menepuk bahunya. Ia hanya menghela nafas sembari mematikan ponsel.
“Hai Mira, Fitri, apa kabar?“
Seorang wanita cantik menghampiri meja kami. Viola, salah satu teman yang merupakan istri dari pengusaha berlian. Dulu, dia begitu akrab dengan kami. Berbeda dengan Dewi, Viola yang lebih kaya saja gayanya tidak sesombong wanita itu.
“Baik Viola, kamu bagaimana?“ jawabku dengan senyuman. Ia menyibakkan gamisnya dan menampilkan perutnya yang buncit.
“Alhamdulillah lagi hamil anak kembar.“
“Wah selamat, Vi,” ucap Fitri sembari memeluk Viola, aku mengikuti setelahnya.
“Terima kasih, kudoakan Mira juga menyusul.“
“Aamiin Ya Allah.“
Kami berbincang cukup banyak hal dengan Viola sampai tak terasa waktu magrib tiba. Kami berbuka puasa dan shalat maghrib berjamaah di mushola hotel.
Aku dan Viola bersama pergi ke toilet untuk berwudhu. Meninggalkan Fitri yang sedang berhalangan. Sedari tadi kuperhatikan Viola terus-terusan melihat ke arah tangan kiriku.
“Ada yang aneh, ya, Vi?“ tanyaku sembari memakai hijab.
“Apanya?“
“Aku merasa kau sedari tadi memperhatikan tanganku, kenapa?“
“Oh, kau merasa ya, maaf kalau gitu. Aku hanya penasaran dengan cincin yang kau pakai.“
“Cincin? Ini?“ tunjukku pada jari manis yang tersemat cincin pernikahanku dengan Mas Haris. Kulihat Viola memicing sembari lamat-lamat memperhatikan cincin yang kupakai.
“Kulihat kau penasaran sekali, ini biar lihat lebih detail. Apa kau mau mencontoh designnya untuk cincin berlian di toko suamimu?“ ucapku sembari bercanda. Namun Viola terlampau serius. Ia memperhatikanku bolak-balik dengan cincin yang sudah beralih ke tangannya.
“Gila!“ ucapnya membuatku kaget. Sontak aku menoleh dengan alis bertaut.
“Kenapa?“
“Ini cincin apa?“
“Cincin apa?“
“Maksudku kau dapat darimana Mir?“
“Ini cincin pernikahanku Viola, cincin pernikahanku dengan suamiku.“
“Pernikahan? Suamimu kerjanya apa?“
Aku heran, tak biasanya Viola penasaran dengan hidup seseorang. Wanita itu biasanya terlampau cuek dan tak peduli pada orang-orang.
“Tukang jualan tahu, kamu juga tahu itu, kan?“
“Ya, kamu pernah cerita. Tapi ini gak mungkin, orang tuanya pengusaha atau bagaimana?“
“Orang tua suamiku udah gak ada, Vi. Memangnya kenapa sih?“
“Cincin kamu ini, kamu percaya gak kalau cincin ini harganya lima ratus juta?“
“Hah? Ya gak mungkinlah. Ini itu cincin murah.“
“Tapi aku beneran yakin, Mir. Suamiku pengusaha berlian, aku sedikit banyak tahu tentang hal itu. Dan di cincin kamu ini setiap sisinya diantara baris M dan H bertabur berlian dengan kualitas yang gak bisa dianggap biasa.“
Aku terpaku mendengar penuturannya. Gak masuk akal sama sekali. Mas Haris cuma jualan tahu sedari muda. Dari mana dia mendapatkan uang untuk membeli cincin semahal ini.
“Aku juga yakin kalau cincin ini bukan warisan. Pasti ditempa dan kalau kamu gak percaya kamu bisa cek di tokoku, Mir. Jujur deh, suami kamu konglomerat?“
“Vi jangan bercanda, suamiku cuma tukang tahu.“
“Tapi aku serius, kalau perlu pulang dari sini kita buktikan.“
“Gak mungkin Mas Haris punya uang sebanyak itu buat beli cincin, Vi. Meski kami hidup berkecukupan tapi penghasilan Mas Haris gak mungkin bisa sebanyak itu.“
“Loh buktinya, ini bukti loh Mir.“ Viola menunjuk cincinku yang berada di tangannya. “Kalau kamu gak percaya coba cari deh nota pembayarannya di rumah. Kali aja di sembunyikan suami kamu.“
“Tapi tetap gak mungkin juga,” ucapku tak percaya.
“Ya aku juga mikir gitu, tapi mana tahu, kan? Apa salahnya cari tahu.“
“Kalaupun memang iya, mungkin itu tabungannya dulu waktu masih muda, Vi.“
“Ya, bisa jadi. Tapi tabungan jualan tahu bisa sampai lima ratus juta itu imposible banget. Kecuali suami kamu hemat atau … jangan-jangan seorang juragan tahu.“
Aku menerima uluran cincin dari tangan Viola. Memperhatikan lamat-lamat cincin itu. Sewaktu menikah dulu aku tak pernah bertanya banyak hal padanya. Cincin ini diakui Mas Haris hanya berharga lima ratus ribu. Lalu, aku tak pernah bertanya lebih lanjut juga tak mengerti masalah berlian-berlian ini.
Mungkin yang dikatakan Viola benar. Dia ahli dalam hal ini. Lantas darimana Mas Haris dapat uang sebanyak itu?
***
Aku sampai di rumah pukul sembilan malam. Mas Haris tengah berada di ruang tamu sedang bermain ponsel sembari minum teh. Aku menyalimnya dan duduk di samping Mas Haris. Kami berdua terdiam cukup lama sampai Mas Haris kemudian menatap ke arahku.
“Kenapa Mas?“ tanyaku karena Mas Haris hanya menatap tanpa mengatakan apapun.
“Kamu begitu pulang diam saja, kenapa? Ada masalah di tempat reuni? Dewi mengusik kamu lagi?“ tanya Mas Haris sembari membelai kepalaku yang tertutup hijab.
Aku menatapnya dengan beribu tanya di pikiran. Obrolan bersama Viola tadi terus terngiang-ngiang di kepalaku. Membuatku jadi sedikit khawatir, jika yang dikatakan Viola memang benar kalau cincin yang kukenakan harganya mencapai lima ratus juta. Lantas kenapa Mas Haris merahasiakan hal itu dariku.
Tapi, rasanya itu sama sekali tidak mungkin. Aku ragu saat mencoba untuk percaya. Namun, ada baiknya kucoba untuk bertanya padanya. Meski aku terus menyangkal kalau yang dikatakan Viola benar adanya.
Kalau ternyata perkataan Mas Haris sama dengan yang Viola katakan tentang cincin itu. Lantas seberapa kenal aku dengan Mas Haris sebenarnya? Kenapa pula Mas Haris menutupi hal itu. Fakta bahwa aku dan dia memakai cincin dengan nilai satu milyar.
“Sayang?“
Aku tersentak, lantas menghembuskan nafas perlahan. "
"Mas ada yang kamu sembunyikan dariku?“
Aku memilih langsung bertanya, rasa penasaran yang memuncak membuatku harus menuntaskannya sekarang agar tak ada masalah yang akan timbul ke depan nantinya.
Bisa kuperhatikan wajah Mas Haris seketika berubah, tangannya yang ada di pucuk kepalaku setelahnya turun dengan perlahan. Perasaanku mulai tak enak, karena sekarang kulihat Mas Haris menunduk dengan raut penyesalan.
“Maaf, Dik, sebenarnya memang ada,” ucap Mas Haris kemudian mampu membuat jantungku berdebar semakin keras. Mataku mulai berkaca sembari menunggu perkataan Mas Haris selanjutnya.
“Apa itu Mas?“
“Mas takut kamu akan marah jika Mas mengatakannya.“
“Gak apa-apa, katakan saja, aku perlu tahu hal yang kamu sembunyikan itu.“
“Kamu janji tidak akan marah?“
Aku mengangguk, menunggu dengan tidak sabar sembari menggenggam cincin yang tertaut di jari manis.
“Kalau begitu, Mas akan mengatakan, sebenarnya ….“
POV HarisAku menatap anak lelaki berambut ikal yang sedang bermain motor-motoran itu dengan tatapan lekat. Anak kecil yang dikatakan Kanya adalah anakku dengannya, tapi tak terlihat mirip denganku sama sekali. Malah wajahnya mengingatkanku akan wajah yang sedikit familiar namun aku tak ingat siapa."Nak," panggilku lembut dan membuat anak itu menoleh. Kulambaikan tangan agar ia mendekat. Biasanya aku tak pernah mendekat karena perasaan aneh yang tak bisa kuungkapkan, tapi kali ini aku ingin tahu sesuatu darinya, biasanya anak kecil tak pandai berbohong."Kenapa Om," ucap anak tersebut padaku membuat kedua alisku bertaut bingung. "Om?" tanyaku bingung."Ya Om, kan, bukan Papa Haykal. Kalau Papa Haykal baru Haykal panggil Papa, eh!" Haykal tampak menutup mulutnya sendiri seolah terkejut dengan ucapan yang anak lelaki itu lontarkan barusan. Dia kaget dengan ucapannya?"Itu artinya Om bukan Papa kamu?" tanyaku dengan rasa penasaran, sementara Haykal diam aku tahu yang dikatakannya itu be
POV Mira"Kalau begitu Mbak harus menemuinya! Kita tak punya banyak waktu. Pernikahan tanpa izin istri pertama, pernikahan dalam keadaan Pak Haris amnesia bukankah itu tidak sah! Itu sama saja pernikahan yang dilaksanakan atas dasar kebohongan. Mbak harus mencegahnya!"Aku mengusap wajah dengan kasar. Jalu dan Ghea menatapku dengan wajah kalut. Memutuskan sesuatu dengan cepat dan tepat bukanlah hal yang mudah. Pikiranku juga serasa buntu."Mbak Mira," panggil Ghea sembari memegang tanganku. Aku menatap ke arahnya, dia lalu memelukku dengan erat. "Ghea tahu ini hal yang sulit, tapi Mbak gak boleh nyerah. Mbak gak boleh putus asa. Ingat anak dalam kandungan, Mbak. Dia harus mendapatkan Ayahnya kembali."Aku menangis, kali ini air mataku mengalir deras meski tanpa suara. Ghea sangat memahami perasaanku. Di tengah kekalutan ini, pikiranku sudah tak lagi jernih, aku bahkan bingung harus melakukan apa."Kita cari satu persatu jalannya, Mbak. Suatu saat pasti kebohongan Kanya akan terbongkar
POV Haris"Mas," panggil Kanya membuatku menoleh. Tanpa sadar sedari tadi selama duduk di kursi, aku hanya melamun tanpa terganggu dengan lalu lalang orang yang lewat dan pesta dengan banyak orang ramai ini.Lagipula, tak ada satupun yang aku kenal di pesta ini. Semua yang menyalamiku hanya memberikan ucapan selamat sebagai basa-basi. Tak ada yang dikenal dekat kecuali satu orang yang sedari tadi membuatku kepikiran. Seseorang itulah yang membuat pikiranku sedikit kacau dan banyak melamun sejak tadi.Pak Fadlan, lelaki paruh baya dan kata-katanya sangat membuatku kepikiran. Rasanya tak mungkin orang biasa bisa seberani itu mengutarakan hal yang menurutku sedikit tidak sopan."Semuanya hanyalah tipu muslihat, Haris. Saya tak bisa berbuat banyak. Wanita itu telah melakukan banyak hal untuk merenggut hampir seluruh hidupmu. Yang bisa kulakukan hanya berdoa semoga ingatanmu cepat pulih karena yang kau lakukan saat ini adalah sebuah kesalahan besar."Wanita mana yang Pak Fadlan maksud? Seme
POV HarisAwalnya kupikir memang ada yang disembunyikan oleh Kanya. Namun, saat melihat isi dalam gudang di halaman belakang pagi ini dengan rasa penasaran yang begitu menggebu, akhirnya aku tahu kalau Kanya memang tak menyembunyikan apapun.Tak ada apa-apa di sana. Hanya barang rongsokan berdebu yang disusun acak. Kecurigaanku sama sekali tak terbukti. Mungkin Kanya dan Mbak Wati hanya sedang berbicara serius tentang suatu hal hingga harus pergi ke halaman belakang, di mana tak ada orang.Aku menghela nafas, perasaan bersalah itu kembali menyelimuti. Entah benarkah ini, aku selalu berprasangka buruk pada Kanya."Tak ada jejak apapun yang membuktikan prasangkaku," ucapku menelisik sekali lagi isi ruangan yang berdebu tersebut. Lantas berbalik dan pergi keluar dari gudang belakang.Sesampainya di kamar, aku menemukan beberapa pesan dan panggilan tak terjawab dari Kanya. Tanpa pikir panjang aku segera menelponnya kembali."Ada apa?""Kamu gak lupa hari ini acara kita, kan, Mas?" tanya Ka
POV Mira"Dia mengubah gedung yang ia sewa untuk pernikahan demi mengecoh kita."Aku bergeming. "Kalau begitu pernikahannya ...?"Aku menggeleng, berusaha mengenyahkan pikiran buruk dari kepala. Aku tak ingin memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang mungkin akan terjadi. Tidak sebelum aku membuktikannya."Jalu, apa Kanya tahu kalau kau berusaha merusak acaranya? Apa dia sempat melihatmu? Atau bahkan mata-matanya pernah memergokimu?""Saya pikir itu tidak mungkin, Bu Mira. Karena saya sudah sangat berhati-hati melakukannya. Termasuk membayar orang-orang yang saya percayai."Aku mengusap wajah dengan kasar, membenarkan letak hijab yang sudah tak karuan bentuknya."Jadi, kau melakukannya dengan bantuan orang lain juga?""Kita tak bisa melakukannya sendiri, Mbak. Untuk masuk ke dalam gedung, kami harus punya akses yang dipegang oleh orang-orang Kanya," ujar Ghea mewakili Jalu berbicara."Kalau begitu, secara tidak langsung kalian telah melakukan persekongkolan dengan orang-orang Kanya?""Y
POV MiraAku menggeleng tak habis pikir, namun juga tak menyalahkan. Mbak Wati berhasil menukar foto dalam gudang itu dengan foto Kanya bersama Mas Haris.Aku tahu, Mbak Wati melakukan hal itu karena terpaksa, dia juga menuruti Kanya karena takut dengan ancaman wanita itu.Untung saja aku sempat memeriksanya. Meski itu harus membuatku tidur hanya beberapa jam saja dan berusaha bangun sepagi ini. Saat langin masih gelap dan adzan subuh belum berkumandang.Aku tahu Kanya pasti merencanakan sesuatu dengan foto ini. Salah satu kemungkinan yang ada dalam pikiranku. Dia tak ingin Mas Haris secara tak sengaja menemukan foto ini dan ingatannya kembali."Wanita itu sangat licik," gumamku dengan tangan terkepal. Meski berusaha keras untuk tak memasukkan hal-hal negatif yang bisa memengaruhi pikiran dan nantinya akan berpengaruh ke janinku. Aku tetap tak bisa mencegahnya.Tingkah Kanya benar-benar sudah di luar batas. Dia dengan keegoisannya berusaha untuk meraih apa yang dia inginkan walau deng