Share

Bab 6 : Curiga

“Mas kenal dengan tetangga sebelah?“ tembakku langsung saat aku dan Mas Haris sudah selesai shalat maghrib dan sekarang sedang menyantap nasi.

“Yang mana?“

“Yang baru pindah.“

“Loh, Mas mana tahu, kan baru pindah. Lihat orangnya juga belum.“

“Terus kenapa tadi dia tahu kalau aku istri Mas ya?“

“Asal tebak mungkin.“

“Gak mungkin.“

“Tahu dari tetangga yang lain.“

Ah benar saja, tak terpikir olehku. Mungkin saja gadis itu tahu dari Bu Gia. Tapi, kenapa saat kutanya kembali gadis itu terlihat takut? Dan lagi, sekarang Mas Haris tak berani menatap ke arahku saat berbicara. Hal yang ia lakukan setiap kali ia berbohong.

Berbagai pikiran berkecamuk di kepalaku. Tentang hal jelek Mas Haris dan gadis yang tinggal di sebelah. Jangan-jangan ….

“Dik!“

Aku tersentak, menoleh ke arah Mas Haris yang tengah melambaikan tangan di depan wajahku.

“Kenapa, Mas?“

“Dari tadi dipanggilin gak nyahut, mikirin apa?“

“Bukan apa-apa, Mas bilang apa tadi?“

“Besok, gimana kalau kita buka di luar?“

“Besok? Bol— eh tapi temanku ngajak buka bersama alumni sekolah, Mas, bagaimana?“

“Alumni? SMA?“

“Iya.“

“Berarti ada Dewi juga?“

Aku mengangguk, tahu isi hatinya.

“Kalau Mas gak izinin aku gak bakalan pergi kok.“

“Oh gak apa-apa, pergi saja. Besok kita baru buka puasa di luar.“

“Beneran gak apa-apa?“ 

“Iya, yang penting kamu hati-hati saja. Mau Mas antar besok? Buka bersamanya di mana?“

“Hotel Melati, temanku jemput ke sini, kok.“

“Ya sudah kalau begitu.“

***

Fitri datang tepat waktu dengan mobilnya. Tepat setelah aku memakai sepatu dia sudah ada di depan rumah.

“Udah lama gak ketemu Mir, kalau gak ada acara gini gak ada alasanku buat ke rumahmu. Maklumlah aku kerja dan sibuk urus anak,” ucapnya sembari memelukku.

“Aku tahu, Fit, seharusnya malah aku yang sesekali berkunjung ke rumahmu. Tapi kamu tahu sendiri keadaanku.“

“Ya, kita sama-sama maklum. Oh iya suamimu mana?“

“Sore begini masih belum pulang jualan.“

“Jualan tahu, kan?“

“Iya.“

“Yaudah ayo, nanti telat.“

Aku bergegas masuk ke dalam mobil Fitri, sementara ia duduk di balik kemudi. Baru beberapa meter berjalan, Fitri berhenti sembari membuka jendela mobilnya.

“Kenapa Fit?“

“Ada yang manggil-manggil dari tadi di belakang.“

Aku sontak menoleh, lalu terkejut saat melihat si gadis yang tinggal di sebelah rumah berlari menghampiri Fitri.

“Mbak boleh numpang gak?“

“Eh?“ Aku kaget mendengar penuturannya. Seenak jidatnya numpang di mobil orang.

“Kamu siapa? Kita gak kenal loh. Mau ke mana emangnya?“ tanya Fitri.

“Aku Ghea Mbak, mau numpang ke hotel Melati, aku gak punya kendaraan. Aku kenal sama Mbak Amira kok, kami tetangga dekat.“

“Benar Mir?“

Seperti ditodong pisau, aku menatap Fitri dan gadis yang mengaku bernama Ghea itu dengan bingung. Kami baru bertemu sekali dari mana dianggap dekat.

“Iya, dia tetanggaku kok Fit.“ Mau tidak mau aku mengatakannya. Kasihan juga dia kalau dipikir-pikir.

“Ya sudah naik, untung sama tujuannya.“

Gadis itu naik ke mobil Fitri. Aku melihatnya dari balik spion. Tak seberantakan saat aku bertemu dengannya kemarin sore. Gadis bernama Ghea itu tampak rapi dengan setelan rok, kemeja dan hijab segi empatnya.

“Mbak Amira jumput-jumput yang kemarin enak sekali.“ 

“Terima kasih.“

“Besok-besok kalau masak menu berbuka kasih saya lagi ya Mbak, lumayan hemat saya gak perlu beli.“

Aku tertegun, kulirik Fitri yang juga tengah melirik ke arahku.

Lah ngelunjak dia.

***

Kami sampai di hotel Melati. Ghea sudah turun dan pergi entah ke mana. Banyak basa-basi yang tidak perlu dia lakukan padaku tadi sampai Fitri saja keheranan dengan tingkahnya.

Kami masuk ke dalam aula yang digunakan sebagai tempat reuni. Ada banyak teman-teman alumni di sana. Satu dua orang menyapaku dengan ramah.

“Eh eh, calon pelakor datang juga ke sini. Pantesan kok bau tahu dari tadi, ternyata di sini biangnya.“

Aku menatap ke asal suara, tahu siapa pelakunya. Sudah pasti Dewi. Semua orang kini memperhatikan kami karena suara Dewi yang cukup nyaring.

“Wi udah, kita di sini mau silaturahmi, jangan cari ribut dong.“

“Fit, aku gak bicara sama kamu. Tapi sama teman kamu ini yang suaminya cuma jualan tahu dan dengan gak tahu dirinya mau rebut suami orang.“

Bisik-bisik mulai terdengar. Aku memejam berusaha menaham amarah yang timbul. Fitri di sebelahku mencoba maju namun aku menahan tangannya.

“Ya iyalah jadi pelakor. Uang bulanannya dari suami tukang tahu gak cukup. Nyesel kamu, kan, Mir. Makanya nyari suami itu kayak aku yang memang kaya raya, punya duit banyak, punya usaha di mana-mana. Sekarang malah mau kerjasama, sama salah satu perusahaan besar. Lihat diri kamu, aku jadi kasihan. Datang ke sini gak pakai perhiasan apa-apa. Paling cuma … cincin pernikahan yang gak seberapa itu.“

“Wi, cukup ya! Kamu—“

Bruk.

“Arrghh….“ Dewi menjerit nyaring saat seorang waiters menabraknya dan menumpahkan minuman di bajunya.

“Maaf, Bu, maaf saya gak sengaja.“

Alisku bertaut, aku seperti mengenali suara ini. Beranjak maju dua langkah, kulihat Ghea yang berdiri dengan pakaian hitam putih itu. Gadis itu bekerja di sini?

“Kamu gimana sih? Jalan yang bener dong, lihat baju saya jadi basah. Ini itu harganya mahal tahu, gaji kamu juga gak bakalan bisa beli baju ini.“

“Iya Bu, maaf saya cuma orang kecil gak bakalan mampu beli ginian. Beli baju cukup bahan aja saya gak sanggup Bu. Apalagi baju yang kelebihan bahan sampai menjuntai ke bawah gini hingga buat saya kesandung, Bu.“

“Kamu ngatain saya?“

“Lah enggak Bu, saya lagi muji. Ibu orang kaya-kaya banget karena bisa beli baju ini.“

“Hhh …. pokoknya saya gak mau tahu, kamu harus ganti rugi, satu juta rupiah!“

“Apa?“ Ghea tiba-tiba pingsan tepat di depan Dewi. Membuat wanita itu kesal luar biasa. Aku hanya bisa terpaku melihat kejadian yang begitu cepat itu.

“Apa-apaan sih kamu, bangun gak? Bangun!“ Dewi menyentuh tubuh Ghea dengan kakinya. Aku melihat hal yang salah, cepat kudorong pelan tubuhnya agar ia mundur dari tubuh gadis itu.

“Apa kamu? Jangan ikut campur.“

“Meski dia salah, kamu gak layak memperlakukan dia kayak binatang, Wi, dia manusia.“

“Aah! Gak usah ceramah. Ini anak mesti tanggung jawab.“

“Dalam keadaan pingsan kayak gini?“

Dewi terlihat sangat marah. Aku memperhatikan wajahnya yang merah padam. Tanpa kata ia meninggalkan ruangan dengan langkah menghentak.

Aku segera menghampiri Ghea. Membantu mengangkatnya bersama rekan-rekannya yang lain. 

Lalu, sekilas saat kulihat samar-samar ia tersenyum. Matanya mengintip sembari mengacungkan jempol ke arahku. 

Loh pura-pura?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status