Home / Rumah Tangga / Suamiku yang Tak Normal / Bab 6. Melewati Batas

Share

Bab 6. Melewati Batas

Author: Nafish Grey
last update Last Updated: 2025-09-12 21:16:32

Bab 6

Daren mulai mendekat, perlahan, memberi ruang bagi Lote untuk mundur, tapi gadis itu bergeming bahkan mulai menutup mata. Yang terjadi, biarlah terjadi.

Bibir keduanya bertemu, mulanya Darren lembut, menjelajah hati-hati. Lalu ... tiba-tiba dia menahan belakang kepala Lote, mengungkung gadis itu dengan ciuman yang mulai panas. Lote merasa panas dingin, saliva keduanya berbaur menjadi manisnya madu.

Tangan Daren mulai naik, menyusuri sisi tubuh Lote di balik crop top tipis yang dipakainya. Sentuhannya hangat, membuat tubuh Lote merinding. Dia belum pernah disentuh pria secara romantis.

Lote menggeliat pelan, tubuhnya bereaksi sebelum pikirannya. Napas gadis itu tercekat, terdistraksi sepenuhnya oleh sentuhan Daren yang terlalu berani.

“Emm … Darren …,” desis Lote gugup, melepaskan ciu-man mereka.

“Kenapa, hm?”

“Di sini terlalu terbuka.”

“Pindah ke kamar gue mau ya?” Ajak Darren setelah mendengkuskan tawa pelan.

Seakan terbius oleh tatapan pemuda tampan itu, tanpa sadar Lote menggangguk dan senyuman terbit di bibir tipis Darren.

Pemuda itu tak sekali pun melepaskan tangan Lote saat mereka berjalan menuju kamar kostnya, mengabaikan godaan dan siulan nakal dari teman-temannya yang sedang nongkrong di luar kamar.

“Jangan lupa pake pengaman, Boss!”

"Huss! Diam ga lo!"

Tawa mereka membuat Lote malu.

Kamar kost Daren berada di ujung lantai dua, berdekatan dengan kamar mandi luar. Menurut Avril, kamar-kamar di lantai dua memang lebih luas dengan fasilitas yang jauh lebih lengkap, dan ya! Lote sudah membuktikannya sendiri.

Kamar itu memiliki tiga sekat, ruang TV kecil, area tidur yang nyaman, serta dapur mungil yang terhubung dengan kamar mandi dalam. Ruangan itu terasa lebih seperti studio mini daripada sekadar kost biasa.

“Selamat datang di Darren’s Room,” ucap pemuda itu, menyunggingkan senyum menawannya.

Lote hanya mengangguk, tatapannya masih beredar pada luasan kamar di mana bendera The Silver Bullet terpampang di tengah ruangan.

“Lote,” panggil Darren lembut.

“Hm?”

“Anggap aja kamar sendiri, gak usah sungkan.”

“Emmm, gue mau ke kamar mandi, di mana ya?” tanya Lote gugup, dia tak tahu harus bersikap bagaimana, canggung. Ini pertama kali bagi Lote berada di kamar lawan jenis dan sialnya reaksi tubuhnya tampak berlebihan setelah ciu-man di balkon tadi.

Darren menunjuk kamar mandi yang berada di sudut paling dalam ruangan kost itu, di samping dapur.

“Kalau lo mau, lo bisa tinggal di sini bareng gue Lote,” ucap Darren tiba-tiba saat Lote membuka pintu kamar mandi.

Pemuda itu terlihat berbaring dengan satu tangan di atas kepala di ranjang.

“Oh.” Lote tak tahu harus bereaksi apa.

“Lo pernah bilang 'kan kalo lo kabur karena merasa ga diinginkan. Gue gak mau lo merasa kayak gitu lagi.” Pemuda itu mengeluarkan rokok dan mulai menghidupkan pematik, mengisap cepat lalu mengembuskan asap perlahan, membentuk jalur memanjang ke plafon.

Lote mengurungkan niatnya ke toilet, kakinya melangkah ke ran-jang, duduk di samping Darren.

“Orang tua gue sering banget bertengkar. Mama maunya kerja, papa maunya mama ga kerja dan urus gue, tapi papa sendiri ga bisa mencukupi semua kebutuhan kami." Lote menggeleng sedih. Entah kenapa ingin membeberkan kegelisahan hatinya pada Darren.

"Sampai akhirnya gue denger mama bilang andai aja gue ga ada." Bibir Lote bergetar, ia menutup mata, momen hari itu tak akan pernah bisa ia lupakan.

Darren mendengarkan tanpa menyela, sebelah tangannya terulur, menyentuh kepala Lote lembut.

"Akhirnya ... seiring gue dewasa, gue bener-bener berpikir kalau seharusnya gue emang ga lahir di dunia ini. Gue gak diinginkan siapa pun, Darren.”

"Kalau gue bilang, gue menginginkan lo ... gimana?" Mata keduanya bertemu.

Lote terdiam. Jantungnya berdegup kencang. Ia takut, gugup, tapi juga penasaran. Ada bagian dalam dirinya yang ingin tahu seperti apa rasanya diinginkan seseorang seperti Darren.

Gadis itu tak memberi jawaban, membiarkan tangannya diraih sang kekasih. Darren mendekat, menci-uminya lagi, lebih dalam, lebih berani.

Ini gila. Tubuhnya menegang, tapi dia tidak menolak. Lote tahu, jika ia mundur sekarang, mungkin akan membuat Darren kecewa dan Lote yang polos takut ... ya dia takut. Mungkin saja, Darren mulai muak jika semua tak sesuai keinginannya. Sama seperti mama dan papanya.

Lote tenggelam dalam kegelisahan. Tubuhnya merespons setiap sentuhan, tapi hatinya yang paling kacau, bergetar antara takut, ragu, dan rasa ingin tahu yang makin menyesakkan dada.

Lalu tiba-tiba, Darren melepaskan pagutannya.

Lote terengah pelan, napasnya belum stabil, matanya mencari alasan kenapa mereka berhenti?

Darren hanya menatapnya sambil tersenyum miring, jahil. Tatapan nakal itu menggelitik, membuat Lote makin penasaran.

“Tenang aja, belum selesai,” gumamnya.

Darren berdiri, berjalan santai ke sudut ruangan lalu kembali dengan sebotol minuman berisi cairan berwarna kuning dan dua gelas berkaki. Ia menuang perlahan, suara cairan yang mengalir memecah keheningan.

“Biar lo rileks,” ucap Darren, menyodorkan satu gelas pada Lote.

“Ini ... minuman keras?” tanyanya ragu.

“Trust me.” Darren tersenyum meyakinkan. “Lo bakal ngerasa lebih ringan setelah ini. Lupakan orang tua lo, lupakan semua yang bikin lo sedih. Sekarang ada gue, Darren. Pacar yang bakal bikin lo bahagia malam ini.”

Lote menatap wajah tampan penuh keyakinan itu. Lalu dengan kesadaran, ia memutuskan untuk percaya. Tanpa banyak pikir, ia menegak isi gelas.

Satu gelas, lalu gelas berikutnya, diselingi ciuman yang kian panas dan berani. Setiap kecupan Darren seperti bara, menyalakan sesuatu dalam diri Lote yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Ia tak tahu kapan tepatnya pakaiannya terlepas satu per satu. Segalanya terasa kabur, mengambang, dan terlalu cepat sekaligus terlalu lambat. Yang ia tahu, tangan Darren menjelajahi tubuhnya dengan cara yang membuat napasnya tercekat, membuat Lote menginginkan lebih.

Lote mengerang pelan, desahannya pecah bersama tawa ringan yang meluncur tanpa sadar. Rasa hangat, membuncah, seperti ada aliran lembut yang menguasai seluruh tubuhnya. Dopamin, atau mungkin sesuatu yang lebih dalam yang membuatnya tak lagi mampu membedakan antara logika dan rasa.

Di antara kekacauan itu, Lote hanya bisa tenggelam dalam kendali Darren, dalam kenikmatan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Gerakan Darren di atasnya terkendali, tidak terburu-buru. Seolah ia tahu batas Lote, dan tak ingin membuat gadis itu merasa tidak nyaman.

Setiap sentuhan terasa seperti ajakan, bukan paksaan, dan itu justru membuat Lote makin larut, makin yakin untuk membiarkan dirinya tenggelam lebih dalam ke jurang nafsu.

Dipikiran Lote, dia merasa telah menemukan kebahagiannya. Darren, pemuda yang benar-benar sempurna. Orang yang tepat dan hadir saat Lote benar-benar membutuhkan seseorang. Darren terasa seperti rumah yang selama ini Lote dambakan.

Desahannya pecah perlahan, tubuhnya mengikuti irama yang tak pernah ia kenal. Akhirnya, ketika mencapai puncak, Lote tak lagi peduli pada semua. Saat ini tubuhnya dibalut hangat, pikirannya kosong, dan seluruh dirinya diselimuti rasa asing yang menyenangkan.

Lote tak mengingat apa-apa lagi, selain kenikmatan luar biasa yang Darren berikan padanya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suamiku yang Tak Normal   Bab 50. Please, Dit!

    "Dito! Please!" Lote menghambur memeluk kaki Dito yang hendak melangkah keluar kamar. "Charlotte, udah. Jangan begini!" Dito berusaha melepaskan pegangan Lote. Walaupun masih marah, Dito berusaha tak berbuat kasar. "Engga! Gue ga mau pisah! Gue ... gue ...." Napas Lote tiba-tiba tercekat, dadanya terasa ditekan sesuatu yang berat. "Charlotte! Kenapa?" Dito menyadari wajah Lote berubah pucat. "Charlotte!" Tubuh Lote terasa lemas, ia mencengkeram da-danya, bernapas susah payah. Pandangan Lote mulai buram, bercak-bercak kegelapan muncul di sudut mata. "Charlotte! Charlotte!" panggil Dito panik. "Dhysa! Dhysa!" Dhysa buru-buru masuk ke dalam kamar. "Ada apa, Mas?" "Tolong panggil mantri ke mari!" Dhysa terkejut meli

  • Suamiku yang Tak Normal   Bab 49. Keknya Kita Harus ....

    Lote mencoba berontak, tubuhnya tersentak ke kiri dan kanan, tapi cengkeraman Ucup terlalu kuat.“Lepasin! Ucup, lepasin gue!” jerit Lote, matanya bergerak liar mencari celah untuk kabur. Namun pintu depan terasa jauh, dan tubuh Ucup seperti batu besar di atasnya.Ucup tertawa kasar, giginya yang kuning menyeringai jijik. “Dari dulu aku pengen ngerasain kamu, Bidadari. Kamu itu seksi banget. Aku bosen onani terus, sekarang giliran kamu puasin aku ya.”Lote menjerit histeris. Kepalanya menggeleng, menolak, sementara Ucup mencoba membuka kancing bajunya dengan tangan gemetar karena nafsu. Kancing pertama terlepas. Lote langsung menekuk kakinya dan menendang Ucup sekuat tenaga.“Arrgh!” Ucup mengaduh keras, tubuhnya goyah. Lote segera bangkit, tapi baru sempat separuh duduk, tangan pemuda itu kembali mendorongnya kasar.“Tolong! Tolong!”Geram, pemuda itu kini menindih Lote semakin keras, mengeluarkan p

  • Suamiku yang Tak Normal   Bab 48. Jujur Deh

    "Ya?" Dito membersihkan tangannya dengan air keran, mengusap ke celananya sebelum menghampiri Dhysa. "Kenapa Dhysa?" Dhysa menekan rasa gugupnya, gadis itu menelan ludah beberapa kali sebelum berbicara, "Tadi pas Dhysa dari pasar dan mau pulang, Dhysa dicegat.""Hah?! Dicegat siapa?" tanya Dito khawatir."Ucup si preman kampung, Mas." Kedua tangan Dhysa bertaut cemas, bukan karena aktingnya saja, tapi dia memang tak pernah mencelakai orang sebelumnya. Ini yang pertama, jadi hati nurani Dhysa merasa bersalah, muncul dalam wujud gugup."Ucup? Dia enggak ngapa-ngapain kamu 'kan, Dhysa?""Ga, untungnya ga sih Mas, tapi ...." Tenggorokannya terasa tercekat."Tapi apa?" Dito sudah tegang, apalagi ekspresi Dhysa yang tampak tegang membuatnya langsung nethink."Ucup ngasih surat ke aku, minta anterin ke Mbak Lote.""Apa?!" "Iya, Mas. Keknya mereka ada sesuatu," uca

  • Suamiku yang Tak Normal   Bab 47. Tipu Muslihat

    Pagi-pagi Dito sudah pergi ke peternakan, dan bilang ke Lote kalau dia akan ikut Tono mengirimkan telur ke kota. Lote mengangguk dan melepas kepergian suaminya itu dengan satu wadah pisang goreng yang masih panas. Pokoknya dia benar-benar akan menjadi istri yang baik.Lote bersenandung kecil sambil merapikan pakaian Princessa yang mau disetrika. Dalam otaknya dia sudah menyusun rencana akan memasak apa untuk suaminya nanti.Ia menatap Princessa yang sudah wangi dan tidur lagi karena kekenyangan ASI, dan saat tak sengaja melirik jam dinding, Lote mulai bertanya-tanya. Kemana Dhysa? Sudah jam sembilan dan gadis itu belum muncul di sana.Lote sempat tersenyum kecil. “Akhirnya sadar juga,” pikirnya, mengira Dhysa tak akan datang lagi.Sayangnya, harapan itu hanya bertahan beberapa detik. Dari kejauhan, gadis itu terlihat berlari seperti dikejar utang.“Mbak, Mas Dito mana?” tanyanya dengan napas ngos-ngosan.Lote mendelik t

  • Suamiku yang Tak Normal   Bab 46. Kerja Sama

    "Gue dah masak, lo ga perlu masak lagi pagi ini." Lote membawa piring berisi ayam goreng lengkuas andalannya ke meja makan. "Gue butuh lengkuas lagi buat besok, lo ke pasar ya." Lote merogoh saku bajunya, mengeluarkan beberapa lembar uang yang diletakkan di meja."Tapi Mbak, Inces ....""Princes biar gue aja yang jaga. Sebenarnya kami udah ga butuh lo, tapi karena Mas Dito kasian, jadi ...." Lote sengaja menggantung ucapannya, matanya menatap Dhysa mencemooh. "Dhysa, lo masih muda, masih banyak cowok ganteng di luar sana.""Maksud Mbak?" Kemarahan Dhysa semakin mendidih."Maksud gue, lo lebih baik mundur. Mas Dito cuma cinta sama gue. Dan gue masih istrinya Mas Dito. Lo jangan berlagak jadi istrinya. Bangun pagi, bawa sayur, gue tau mau lo apa." Bagi Lote, hama harus segera dipotong, tak boleh diberi kesempatan. Apalagi sampai menguasai tanah subur dan membuat padi yang seharusnya berbulir menjadi kering.

  • Suamiku yang Tak Normal   Bab 45. Mulai Terbakar

    "Gue bisa ngerjain semua pekerjaan rumah. Gue bakal belajar masak lebih giat, jagain Princessa, beberes, semua. Lo yang ke pasar, gue ga keluar lagi kecuali sama lo atau nenek. Gue ga mau khilaf lagi. Gimana?" tanya Lote harap-harap cemas.Dito menggeleng kuat. "Ga bisa Charlotte. Aku sudah bilang sama Tono, mau nyoba dulu sama Dhysa.""Dito! Lo bilang lo masih cinta sama gue, napa lo begitu? Lo ga percaya sama gue?""Iya, aku belum bisa percaya sama Charlotte."Deg!Lote merasa dihantam godam di ulu hatinya. Benar! Kepercayaan yang sudah rusak, tak akan semudah itu dipulihkan. Harusnya dia tak menuntut Dito. Ini kesalahannya."Inces juga sudah nyaman sama Dhysa. Dhysa juga bertanggung jawab orangnya."Seperti tamparan keras bagi Lote. Dia memang menjadi ibu yang buruk, yang lebih mementingkan ego dan melupakan perannya. Lote menunduk malu. "Dit! Kasih gue kesempatan, gue bakal jadi ibu yang lebih bertanggung jawab buat Princes dan istri yang baik bagi lo."Dito berdiri, mengusap kepa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status