Bab 6
Daren mulai mendekat, perlahan, memberi ruang bagi Lote untuk mundur, tapi gadis itu bergeming bahkan mulai menutup mata. Yang terjadi, biarlah terjadi. Bibir keduanya bertemu, mulanya Darren lembut, menjelajah hati-hati. Lalu ... tiba-tiba dia menahan belakang kepala Lote, mengungkung gadis itu dengan ciuman yang mulai panas. Lote merasa panas dingin, saliva keduanya berbaur menjadi manisnya madu. Tangan Daren mulai naik, menyusuri sisi tubuh Lote di balik crop top tipis yang dipakainya. Sentuhannya hangat, membuat tubuh Lote merinding. Dia belum pernah disentuh pria secara romantis. Lote menggeliat pelan, tubuhnya bereaksi sebelum pikirannya. Napas gadis itu tercekat, terdistraksi sepenuhnya oleh sentuhan Daren yang terlalu berani. “Emm … Darren …,” desis Lote gugup, melepaskan ciu-man mereka. “Kenapa, hm?” “Di sini terlalu terbuka.” “Pindah ke kamar gue mau ya?” Ajak Darren setelah mendengkuskan tawa pelan. Seakan terbius oleh tatapan pemuda tampan itu, tanpa sadar Lote menggangguk dan senyuman terbit di bibir tipis Darren. Pemuda itu tak sekali pun melepaskan tangan Lote saat mereka berjalan menuju kamar kostnya, mengabaikan godaan dan siulan nakal dari teman-temannya yang sedang nongkrong di luar kamar. “Jangan lupa pake pengaman, Boss!” "Huss! Diam ga lo!" Tawa mereka membuat Lote malu. Kamar kost Daren berada di ujung lantai dua, berdekatan dengan kamar mandi luar. Menurut Avril, kamar-kamar di lantai dua memang lebih luas dengan fasilitas yang jauh lebih lengkap, dan ya! Lote sudah membuktikannya sendiri. Kamar itu memiliki tiga sekat, ruang TV kecil, area tidur yang nyaman, serta dapur mungil yang terhubung dengan kamar mandi dalam. Ruangan itu terasa lebih seperti studio mini daripada sekadar kost biasa. “Selamat datang di Darren’s Room,” ucap pemuda itu, menyunggingkan senyum menawannya. Lote hanya mengangguk, tatapannya masih beredar pada luasan kamar di mana bendera The Silver Bullet terpampang di tengah ruangan. “Lote,” panggil Darren lembut. “Hm?” “Anggap aja kamar sendiri, gak usah sungkan.” “Emmm, gue mau ke kamar mandi, di mana ya?” tanya Lote gugup, dia tak tahu harus bersikap bagaimana, canggung. Ini pertama kali bagi Lote berada di kamar lawan jenis dan sialnya reaksi tubuhnya tampak berlebihan setelah ciu-man di balkon tadi. Darren menunjuk kamar mandi yang berada di sudut paling dalam ruangan kost itu, di samping dapur. “Kalau lo mau, lo bisa tinggal di sini bareng gue Lote,” ucap Darren tiba-tiba saat Lote membuka pintu kamar mandi. Pemuda itu terlihat berbaring dengan satu tangan di atas kepala di ranjang. “Oh.” Lote tak tahu harus bereaksi apa. “Lo pernah bilang 'kan kalo lo kabur karena merasa ga diinginkan. Gue gak mau lo merasa kayak gitu lagi.” Pemuda itu mengeluarkan rokok dan mulai menghidupkan pematik, mengisap cepat lalu mengembuskan asap perlahan, membentuk jalur memanjang ke plafon. Lote mengurungkan niatnya ke toilet, kakinya melangkah ke ran-jang, duduk di samping Darren. “Orang tua gue sering banget bertengkar. Mama maunya kerja, papa maunya mama ga kerja dan urus gue, tapi papa sendiri ga bisa mencukupi semua kebutuhan kami." Lote menggeleng sedih. Entah kenapa ingin membeberkan kegelisahan hatinya pada Darren. "Sampai akhirnya gue denger mama bilang andai aja gue ga ada." Bibir Lote bergetar, ia menutup mata, momen hari itu tak akan pernah bisa ia lupakan. Darren mendengarkan tanpa menyela, sebelah tangannya terulur, menyentuh kepala Lote lembut. "Akhirnya ... seiring gue dewasa, gue bener-bener berpikir kalau seharusnya gue emang ga lahir di dunia ini. Gue gak diinginkan siapa pun, Darren.” "Kalau gue bilang, gue menginginkan lo ... gimana?" Mata keduanya bertemu. Lote terdiam. Jantungnya berdegup kencang. Ia takut, gugup, tapi juga penasaran. Ada bagian dalam dirinya yang ingin tahu seperti apa rasanya diinginkan seseorang seperti Darren. Gadis itu tak memberi jawaban, membiarkan tangannya diraih sang kekasih. Darren mendekat, menci-uminya lagi, lebih dalam, lebih berani. Ini gila. Tubuhnya menegang, tapi dia tidak menolak. Lote tahu, jika ia mundur sekarang, mungkin akan membuat Darren kecewa dan Lote yang polos takut ... ya dia takut. Mungkin saja, Darren mulai muak jika semua tak sesuai keinginannya. Sama seperti mama dan papanya. Lote tenggelam dalam kegelisahan. Tubuhnya merespons setiap sentuhan, tapi hatinya yang paling kacau, bergetar antara takut, ragu, dan rasa ingin tahu yang makin menyesakkan dada. Lalu tiba-tiba, Darren melepaskan pagutannya. Lote terengah pelan, napasnya belum stabil, matanya mencari alasan kenapa mereka berhenti? Darren hanya menatapnya sambil tersenyum miring, jahil. Tatapan nakal itu menggelitik, membuat Lote makin penasaran. “Tenang aja, belum selesai,” gumamnya. Darren berdiri, berjalan santai ke sudut ruangan lalu kembali dengan sebotol minuman berisi cairan berwarna kuning dan dua gelas berkaki. Ia menuang perlahan, suara cairan yang mengalir memecah keheningan. “Biar lo rileks,” ucap Darren, menyodorkan satu gelas pada Lote. “Ini ... minuman keras?” tanyanya ragu. “Trust me.” Darren tersenyum meyakinkan. “Lo bakal ngerasa lebih ringan setelah ini. Lupakan orang tua lo, lupakan semua yang bikin lo sedih. Sekarang ada gue, Darren. Pacar yang bakal bikin lo bahagia malam ini.” Lote menatap wajah tampan penuh keyakinan itu. Lalu dengan kesadaran, ia memutuskan untuk percaya. Tanpa banyak pikir, ia menegak isi gelas. Satu gelas, lalu gelas berikutnya, diselingi ciuman yang kian panas dan berani. Setiap kecupan Darren seperti bara, menyalakan sesuatu dalam diri Lote yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia tak tahu kapan tepatnya pakaiannya terlepas satu per satu. Segalanya terasa kabur, mengambang, dan terlalu cepat sekaligus terlalu lambat. Yang ia tahu, tangan Darren menjelajahi tubuhnya dengan cara yang membuat napasnya tercekat, membuat Lote menginginkan lebih. Lote mengerang pelan, desahannya pecah bersama tawa ringan yang meluncur tanpa sadar. Rasa hangat, membuncah, seperti ada aliran lembut yang menguasai seluruh tubuhnya. Dopamin, atau mungkin sesuatu yang lebih dalam yang membuatnya tak lagi mampu membedakan antara logika dan rasa. Di antara kekacauan itu, Lote hanya bisa tenggelam dalam kendali Darren, dalam kenikmatan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Gerakan Darren di atasnya terkendali, tidak terburu-buru. Seolah ia tahu batas Lote, dan tak ingin membuat gadis itu merasa tidak nyaman. Setiap sentuhan terasa seperti ajakan, bukan paksaan, dan itu justru membuat Lote makin larut, makin yakin untuk membiarkan dirinya tenggelam lebih dalam ke jurang nafsu. Dipikiran Lote, dia merasa telah menemukan kebahagiannya. Darren, pemuda yang benar-benar sempurna. Orang yang tepat dan hadir saat Lote benar-benar membutuhkan seseorang. Darren terasa seperti rumah yang selama ini Lote dambakan. Desahannya pecah perlahan, tubuhnya mengikuti irama yang tak pernah ia kenal. Akhirnya, ketika mencapai puncak, Lote tak lagi peduli pada semua. Saat ini tubuhnya dibalut hangat, pikirannya kosong, dan seluruh dirinya diselimuti rasa asing yang menyenangkan. Lote tak mengingat apa-apa lagi, selain kenikmatan luar biasa yang Darren berikan padanya.Bab 6Daren mulai mendekat, perlahan, memberi ruang bagi Lote untuk mundur, tapi gadis itu bergeming bahkan mulai menutup mata. Yang terjadi, biarlah terjadi.Bibir keduanya bertemu, mulanya Darren lembut, menjelajah hati-hati. Lalu ... tiba-tiba dia menahan belakang kepala Lote, mengungkung gadis itu dengan ciuman yang mulai panas. Lote merasa panas dingin, saliva keduanya berbaur menjadi manisnya madu.Tangan Daren mulai naik, menyusuri sisi tubuh Lote di balik crop top tipis yang dipakainya. Sentuhannya hangat, membuat tubuh Lote merinding. Dia belum pernah disentuh pria secara romantis.Lote menggeliat pelan, tubuhnya bereaksi sebelum pikirannya. Napas gadis itu tercekat, terdistraksi sepenuhnya oleh sentuhan Daren yang terlalu berani.“Emm … Darren …,” desis Lote gugup, melepaskan ciu-man mereka.“Kenapa, hm?”“Di sini terlalu terbuka.”“Pindah ke kamar gue mau ya?” Ajak Darren setelah mendengkuskan tawa pelan.Seakan terbius oleh tatapan pemuda tampan itu, tanpa sadar Lote mengg
Butuh waktu setengah jam sampai Lote menuntaskan hajat hidupnya. Ia perlahan membuka pintu, mengintip keluar."Untung udah pergi." Lote mengelus dada lega. Ia buru-buru kembali ke kamar kost Avril."Loh!" Lote tak mendapati Avril berada dalam kamar. "Kemana tuh an@k?" Gadis itu beranjak ke balkon mencari Avril.Ia mendengar suara tawa Avril dan orang lain."Nah itu dia, baru juga diomongin udah nongol." Avril melambaikan tangan melihat kehadiran Lote. "Gue bilang mau kenalin lo sama an@k Silver Bullets 'kan?"Lote mengangguk pelan, tersenyum ramah pada beberapa pemuda yang menyapanya. Sampai matanya menangkap sosok yang dia kenali. OMG! Pemuda yang mendengar suara kentutnya."Ini Darren, pemimpin The Silver Bullets," ujar Avril, menepuk lengan si pria.Lote berharap ubin di bawah kakinya retak dan menelannya hidup-hidup saking malunya."Semangat ya," ucap Darren sambil terkekeh melihat betapa merahnya wajah Lote.Oh fu©k! Lote tak tahu harus menanggapi apa. Sialnya lagi, senyum pria i
“Vril, share loc alamat kost-an lo yang baru, cepetan,” ucap Lote terburu-buru. Langkahnya cepat menuju pangkalan ojek, melewati pintu samping pemukiman warga yang berbatasan langsung dengan kompleks tempat tinggalnya.“Lo kabur, Lote?” tanya Avril dari seberang sambungan, terdengar kaget.“Iya, cepetan ih sebelum ketahuan,” sahut Lote, menurunkan suara sambil terus berjalan cepat.“Oke, bentar,” jawab Avril lagi. Ia langsung memutus telepon dan mengirim titik lokasi kost barunya pada Lote.Pelariannya kali ini sudah direncanakan dengan matang. Sang ibu sedang dinas ke luar kota, sementara ayahnya sudah beberapa hari tak pulang. Kepada guru homeschooling-nya, Lote beralasan sedang sakit hingga sesi belajar dibatalkan. Hanya tinggal dia dan pembantu rumah tangga.Dalam perjalanan, Lote sempat meminta ojek yang mengantarnya untuk berhenti sejenak di ATM. Setelah itu, ia melanjutkan pelariannya menuju kost-an Avril.“Gue kira nggak bakal ketemu lo lagi,” ujar Avril sambil membuka gerbang
Langkah Widya menggema di sepanjang lorong rumah sakit. Udara dipenuhi bau alkohol medis dan antiseptik, menusuk hidung, membuat dadanya semakin sesak. Detak jantungnya berpacu tak karuan. Rambut perm wanita itu berantakan, napasnya tersengal, sementara matanya menatap lurus ke depan, ke arah pintu IGD yang masih jauh.Di sekelilingnya, deretan kursi tunggu penuh dengan wajah-wajah cemas dan lelah. Teriakan singkat perawat terdengar dari balik tirai-tirai putih, suara roda brankar berderak melintasi lantai keramik. Monitor-monitor memancarkan bunyi bip monoton, menghantui benak Widya dengan pikiran negatif.Widya menabrak seorang pria, hanya sempat berbisik maaf tanpa menoleh, lalu terus berlari, tangannya menggenggam ponsel erat-erat seolah hidupnya bergantung pada benda itu.Pintu IGD terbuka otomatis, wanita paruh baya itu bergegas masuk. Buru-buru ia menghampiri konter perawat di sisi kiri sudut. "Sus, saya orang tua gadis yang kecelakaan dini hari.""Oh, di sebelah, Bu." Perawat
Semakin malam diskotek semakin ramai. Lampu strobo berkedip-kedip, menyoroti lautan manusia yang menari mengikuti irama rancak. Alunan EDM keras menggetarkan lantai, berbaur dengan gerakan puluhan pengunjung yang terlalu bersemangat.Lote masih di tengah kerumunan, tubuhnya terus menari mengikuti alunan musik. Tangan gadis itu terangkat tinggi, kepala bergoyang ke kiri dan kanan, rambutnya mulai berantakan, tetapi justru itulah yang membuatnya terlihat lepas dan hidup.Ia tak peduli meskipun keringat mengalir di pelipis, membuat make-upnya terlihat cakey. Musik memenuhi kepala Lote, setiap entakan bass seolah menyatu dengan detak jantungnya.Sesekali Lote kembali ke meja tempat teman-temannya berkumpul, menenggak gelas berisi minuman keras berwarna kuning . Cairan itu meluncur ke tenggorokannya dan membakar pelan. Matanya menyipit, lalu ia kembali ke lantai dansa menggoyangkan pinggul, lebih berani, lebih panas.“Wohoooo!” beberapa pengunjung berseru ribut mengikuti teriakan sang DJ.
"Kamu nyuruh aku di rumah aja, Mas? Ga adil banget!" Seorang wanita modis dengan pakaian kantoran membanting berkas di meja kerjanya."Tapi Lote butuh kamu, Widya! Lote masih kecil, kamu mamanya!" Pria berkacamata dengan rambut hampir habis di bagian depan itu membentak istrinya."Kamu ga bisa ngungkung aku kek begini, Mas! Ini hidup aku! Dulu kamu janji tetap ngizinin aku kerja mesti udah lahirin, kenapa sekarang berubah?" Widya mengusap rambut gelombang perm-nya tak percaya, hampir menumpahkan gelas kopi kekinian di atas meja."Ya sekarang 'kan kondisinya beda. Aku bisa cukupin hidup kita, Wid! Kamu ga perlu kerja!""Cukup kamu bilang! Sekolah Widya ke depan gimana? Aku pengen ngasih yang terbaik buat anak kita Mas. Bukan yang pas-pasan.""Ya kan bisa hemat dulu, bisa nabung!" Brian mengetuk meja tak sabaran."Nabung Mas bilang, memangnya gaji Mas berapa? Mas tahu berapa kebutuhan rumah kita? Les Lote berapa? SPP berapa? Ga 'kan? Mas cuma kasih 4 juta, cukup ga cukup harus cukup-cuk