LOGINButuh waktu setengah jam sampai Lote menuntaskan hajat hidupnya. Ia perlahan membuka pintu, mengintip keluar.
"Untung udah pergi." Lote mengelus dada lega. Ia buru-buru kembali ke kamar kost Avril. "Loh!" Lote tak mendapati Avril berada dalam kamar. "Kemana tuh an@k?" Gadis itu beranjak ke balkon mencari Avril. Ia mendengar suara tawa Avril dan orang lain. "Nah itu dia, baru juga diomongin udah nongol." Avril melambaikan tangan melihat kehadiran Lote. "Gue bilang mau kenalin lo sama an@k Silver Bullets 'kan?" Lote mengangguk pelan, tersenyum ramah pada beberapa pemuda yang menyapanya. Sampai matanya menangkap sosok yang dia kenali. OMG! Pemuda yang mendengar suara kentutnya. "Ini Darren, pemimpin The Silver Bullets," ujar Avril, menepuk lengan si pria. Lote berharap ubin di bawah kakinya retak dan menelannya hidup-hidup saking malunya. "Semangat ya," ucap Darren sambil terkekeh melihat betapa merahnya wajah Lote. Oh fu©k! Lote tak tahu harus menanggapi apa. Sialnya lagi, senyum pria itu begitu memesona. Wajah Darren tampan, rahang tegas, hidung lurus, dan bibir tipis yang jarang tersenyum, tapi ketika senyum itu muncul, meski hanya seulas, tapi mampu menangkap atensi orang. Sepasang mata kelamnya bagaikan malam tanpa bintang, dingin dan berbahaya. Tubuhnya tegap dan tinggi, dibalut jaket kulit hitam. Rambut hitamnya sedikit berantakan, terjatuh menutupi dahi, membuat sorot matanya semakin dalam. Tato samar mengintip dari balik kerah bajunya. Suaranya juga dalam dan berat, terdengar sangat seksi. "Lo ga ingat sama gue?" tanya Darren tiba-tiba. "Eh, kalian saling kenal?" Avril menunjuk wajah kedua temannya. "Ga!" sangkal Lote. Darren tertawa kecil, tangannya tiba-tiba menjangkau belakang kepala gadis itu. "Ingat sesuatu?" tanyanya lagi saat hidung mereka hampir bersentuhan. Para pemuda lain ber-oh heboh melihat aksi romantis tersebut, termasuk Avril. Lote mengedip, satu kali, dua kali, tiga kali, dan boom! Dia ingat wajah pemuda yang ia ci-um di diskotek. Tak salah lagi, orang tersebut adalah Darren, pemimpin Silver Bullets. "I-itu ... lo-lo?" Lote merasa lidahnya kelu. "Ya." Darren mengangguk dan tersenyum geli melihat ekspresi gugup Lote. "Gue kaget ada gadis yang berani banget nyium bibir ini." Dia mengelus bibirnya sendiri, membuat Lote menelan saliva malu. "Cie! Kirain mau dikenalin udah ciu-man aje," goda Avril sambil tertawa cekikikan. "Dah guys! Kasih ruang buat mereka." Dia mengajak para pria meninggalkan balkon. "Eh, Vril!" Lote ingin mencegah Avril pergi, tapi temannya mengedipkan mata dan memberi isyarat semangat padanya. Tinggallah dia berdua saja dengan Darren. "Ga nyangka loh kita bakal ketemu lagi." Darren menarik kursi untuknya. Lote duduk, canggung. Hatinya menjerit kecil, antara excited, malu, juga kagum. Gadis itu menganggap kesialannya barusan berubah menjadi keberuntungan. "Lo suka minum ya?" tanya Darren. "Hah?! Enggak! Baru juga kali itu, per-pertama kali." "Oh, lain kali jangan minum di luar lagi ya." "Ke-kenapa?" Oh sial! Setiap kali memandang mata tajam Darren, jantung Lote sudah seperti genderang perang. Kepala Darren mendekat lagi, napas panasnya yang berbau mint dan rokok menerpa penghidu Lote. "Jangan nyium cowok lain selain gue." Uhuk! Lote langsung batuk di wajah Darren, tak menyangka pemuda tampan ini terang-terangan mengg0danya. "So-sorry! Ga sengaja! Aduh, ada ludahnya!" Panik, Lote buru-buru mengelap wajah Darren dengan lengan bajunya. Tanpa aba-aba, Darren langsung menempelkan wajahnya ke wajah Lote dan mengg3sek lembut. "Neh, kubalas." Ia tertawa keras. "Ih! Iw! Darren!" Darren langsung berdiri, mengelak pukulan Lote. Keduanya kejar-kejaran di balkon sambil tertawa bahagia. Lote tak menyangka jika cinta akan menghampirinya hari itu. Gadis yang terkungkung dengan begitu banyak peraturan dan harapan orang tuanya, yang tak pernah merasakan debaran dari lawan jenis, kini terpaku saat kakinya terpeleset dan tubuhnya ditangkap Darren. Pemuda tampan itu memeluk pinggangnya persis seperti adegan klasik film romansa yang ia tonton di film-film. "Lote, kayaknya gue suka sama lo." "A-apa?" Lote mengejap tak percaya. "Gue ga bisa berhenti mikirin lo sejak hari itu." "I-ini cepet banget." "Gue takut, an@k Silver Bullets yang lain bakal duluin gue. Gue ga mau lo dicium cowok lain." Deg! Deg! Deg! Lote merasa kupu-kupu imajiner berterbangan di dalam hatinya. "Gue bingung, kita baru kenal ...." Darren tersenyum memesona. "Gue suka sama lo. Gue yakin lo juga suka sama gue." Dih! Pede banget! Ingin sekali Lote melontarkan kalimat itu, tapi nyatanya ... semua yang dikatakan Darren memang benar. Belum pernah ada pemuda yang membuatnya canggung dan salting seperti Darren. "Jadi?! Lo mau ga jadi pacar gue?" Mata Darren mengedip menggemaskan. "G-gue ... gue ...." "Gapapa, jangan tegang gitu. Lo boleh pikirin dulu. Gue bakal nunggu jawaban lo." Darren melepaskan pelukannya. "Kamar gue di bawah, kalau ada apa-apa, jangan segan buat minta bantuan ya. Gue bakal ada buat lo, gue bakal jagain lo." Gadis mana yang tak melambung dig0mbalin pemuda tampan dan s3ksi ini. Hati Lote sudah meleyot. "Selamat malam, jangan lupa mimpiin gue ya." Darren meniupkan ciuman ke udara, berlalu dari hadapan Lote. Lote memegang d@danya yang berdegup kencang, bibirnya tak bisa berhenti tersenyum lebar. Sejak hari itu, Darren semakin gencar mendekat Lote. Sering kali membelikannya makanan atau minuman kekinian. Juga menawarkan tumpangan ke mana pun gadis itu ingin pergi. Darren menjadi pria yang bisa diandalkan Lote. "Jadi gimana?" tanya Darren penuh harap. Dia tak menyangka Lote bakal menggantung jawabannya hampir satu minggu. Biasanya wanita yang ia tembak bakal memberi jawaban dalam beberapa hari saja. "Gimana apanya?" Lote pura-pura tak tahu, mengunyah tahu gejrot yang dibelikan Darren, mereka sedang santai di balkon berdua saja. "Perasaan lo sama gue. Lo mau 'kan jadi pacar gue?" Jujur saja, Darren juga berdebar cemas menanti jawaban Lote. "Ehm ... gimana ya?" "Serius dong, jangan bikin gue nunggu kelamaan, Lote." Lote tertawa kecil melihat betapa tegangnya Darren. Ia lalu mengangguk kuat. "Ya, gue mau jadi pacar lo." "Asyik!" Darren berteriak heboh. "Hust! Ntar an@k-anak denger." "Biarin! Kalau perlu gue umumin ke seluruh dunia, Lote pacar gue sekarang!" "Ish! Jangan ah, malu gue." "Kalau gitu gue boleh dong." Darren mendekat. "Boleh apa?" Lote bingung melihat tangan Darren yang menggeser tahu gejrot menjauh. "Gue boleh ci-um lo 'kan?" Tangan Darren mengusap pipi Lote. "A-apa?!" Lote gelagapan. "Kita juga udah ciu-man sebelumnya." "Ta-tapi 'kan waktu itu gue mabuk." "Lote, gue sa-yang sama lo. Makanya gue pengen cium lo lagi." Deg! Jantung Lote mulai berdebar lagi. "Boleh ya? Demi pacar lo yang ganteng ini." Bibir Darren sudah mendekati bibirnya. "Ya. Buat resmiin hubungan kita. Gue cinta sama lo." Hati Lote luluh, dia hanya bisa mengangguk pasrah."Dito! Please!" Lote menghambur memeluk kaki Dito yang hendak melangkah keluar kamar. "Charlotte, udah. Jangan begini!" Dito berusaha melepaskan pegangan Lote. Walaupun masih marah, Dito berusaha tak berbuat kasar. "Engga! Gue ga mau pisah! Gue ... gue ...." Napas Lote tiba-tiba tercekat, dadanya terasa ditekan sesuatu yang berat. "Charlotte! Kenapa?" Dito menyadari wajah Lote berubah pucat. "Charlotte!" Tubuh Lote terasa lemas, ia mencengkeram da-danya, bernapas susah payah. Pandangan Lote mulai buram, bercak-bercak kegelapan muncul di sudut mata. "Charlotte! Charlotte!" panggil Dito panik. "Dhysa! Dhysa!" Dhysa buru-buru masuk ke dalam kamar. "Ada apa, Mas?" "Tolong panggil mantri ke mari!" Dhysa terkejut meli
Lote mencoba berontak, tubuhnya tersentak ke kiri dan kanan, tapi cengkeraman Ucup terlalu kuat.“Lepasin! Ucup, lepasin gue!” jerit Lote, matanya bergerak liar mencari celah untuk kabur. Namun pintu depan terasa jauh, dan tubuh Ucup seperti batu besar di atasnya.Ucup tertawa kasar, giginya yang kuning menyeringai jijik. “Dari dulu aku pengen ngerasain kamu, Bidadari. Kamu itu seksi banget. Aku bosen onani terus, sekarang giliran kamu puasin aku ya.”Lote menjerit histeris. Kepalanya menggeleng, menolak, sementara Ucup mencoba membuka kancing bajunya dengan tangan gemetar karena nafsu. Kancing pertama terlepas. Lote langsung menekuk kakinya dan menendang Ucup sekuat tenaga.“Arrgh!” Ucup mengaduh keras, tubuhnya goyah. Lote segera bangkit, tapi baru sempat separuh duduk, tangan pemuda itu kembali mendorongnya kasar.“Tolong! Tolong!”Geram, pemuda itu kini menindih Lote semakin keras, mengeluarkan p
"Ya?" Dito membersihkan tangannya dengan air keran, mengusap ke celananya sebelum menghampiri Dhysa. "Kenapa Dhysa?" Dhysa menekan rasa gugupnya, gadis itu menelan ludah beberapa kali sebelum berbicara, "Tadi pas Dhysa dari pasar dan mau pulang, Dhysa dicegat.""Hah?! Dicegat siapa?" tanya Dito khawatir."Ucup si preman kampung, Mas." Kedua tangan Dhysa bertaut cemas, bukan karena aktingnya saja, tapi dia memang tak pernah mencelakai orang sebelumnya. Ini yang pertama, jadi hati nurani Dhysa merasa bersalah, muncul dalam wujud gugup."Ucup? Dia enggak ngapa-ngapain kamu 'kan, Dhysa?""Ga, untungnya ga sih Mas, tapi ...." Tenggorokannya terasa tercekat."Tapi apa?" Dito sudah tegang, apalagi ekspresi Dhysa yang tampak tegang membuatnya langsung nethink."Ucup ngasih surat ke aku, minta anterin ke Mbak Lote.""Apa?!" "Iya, Mas. Keknya mereka ada sesuatu," uca
Pagi-pagi Dito sudah pergi ke peternakan, dan bilang ke Lote kalau dia akan ikut Tono mengirimkan telur ke kota. Lote mengangguk dan melepas kepergian suaminya itu dengan satu wadah pisang goreng yang masih panas. Pokoknya dia benar-benar akan menjadi istri yang baik.Lote bersenandung kecil sambil merapikan pakaian Princessa yang mau disetrika. Dalam otaknya dia sudah menyusun rencana akan memasak apa untuk suaminya nanti.Ia menatap Princessa yang sudah wangi dan tidur lagi karena kekenyangan ASI, dan saat tak sengaja melirik jam dinding, Lote mulai bertanya-tanya. Kemana Dhysa? Sudah jam sembilan dan gadis itu belum muncul di sana.Lote sempat tersenyum kecil. “Akhirnya sadar juga,” pikirnya, mengira Dhysa tak akan datang lagi.Sayangnya, harapan itu hanya bertahan beberapa detik. Dari kejauhan, gadis itu terlihat berlari seperti dikejar utang.“Mbak, Mas Dito mana?” tanyanya dengan napas ngos-ngosan.Lote mendelik t
"Gue dah masak, lo ga perlu masak lagi pagi ini." Lote membawa piring berisi ayam goreng lengkuas andalannya ke meja makan. "Gue butuh lengkuas lagi buat besok, lo ke pasar ya." Lote merogoh saku bajunya, mengeluarkan beberapa lembar uang yang diletakkan di meja."Tapi Mbak, Inces ....""Princes biar gue aja yang jaga. Sebenarnya kami udah ga butuh lo, tapi karena Mas Dito kasian, jadi ...." Lote sengaja menggantung ucapannya, matanya menatap Dhysa mencemooh. "Dhysa, lo masih muda, masih banyak cowok ganteng di luar sana.""Maksud Mbak?" Kemarahan Dhysa semakin mendidih."Maksud gue, lo lebih baik mundur. Mas Dito cuma cinta sama gue. Dan gue masih istrinya Mas Dito. Lo jangan berlagak jadi istrinya. Bangun pagi, bawa sayur, gue tau mau lo apa." Bagi Lote, hama harus segera dipotong, tak boleh diberi kesempatan. Apalagi sampai menguasai tanah subur dan membuat padi yang seharusnya berbulir menjadi kering.
"Gue bisa ngerjain semua pekerjaan rumah. Gue bakal belajar masak lebih giat, jagain Princessa, beberes, semua. Lo yang ke pasar, gue ga keluar lagi kecuali sama lo atau nenek. Gue ga mau khilaf lagi. Gimana?" tanya Lote harap-harap cemas.Dito menggeleng kuat. "Ga bisa Charlotte. Aku sudah bilang sama Tono, mau nyoba dulu sama Dhysa.""Dito! Lo bilang lo masih cinta sama gue, napa lo begitu? Lo ga percaya sama gue?""Iya, aku belum bisa percaya sama Charlotte."Deg!Lote merasa dihantam godam di ulu hatinya. Benar! Kepercayaan yang sudah rusak, tak akan semudah itu dipulihkan. Harusnya dia tak menuntut Dito. Ini kesalahannya."Inces juga sudah nyaman sama Dhysa. Dhysa juga bertanggung jawab orangnya."Seperti tamparan keras bagi Lote. Dia memang menjadi ibu yang buruk, yang lebih mementingkan ego dan melupakan perannya. Lote menunduk malu. "Dit! Kasih gue kesempatan, gue bakal jadi ibu yang lebih bertanggung jawab buat Princes dan istri yang baik bagi lo."Dito berdiri, mengusap kepa







