Share

08. KESEPAKATAN SALING MENGUNTUNGKAN

"Apa-apaan itu!" Thea menatap ponselnya dengan pandangan kesal. D huarren baru saja menyuarakan pendapatnya lagi tentang Paris. Dan sudah pasti ia tidak akan bisa pergi.

Karena itulah sekarang Thea berada di sini. Di depan sebuah Cafe untuk menunggu seseorang yang bisa membantunya agar keinginannya ke Paris tercapai.

"Thea ya?" tanya seseorang yang baru saja keluar dari Cafe.

"Hm, apa Zee sudah selesai?" Thea tentu saja mengenalnya, itu Jeff. Karena dulu saat jaman SMA ia sering melihatnya dengan Zee di sekolah.

"Mungkin sebentar lagi, tunggu saja di dalam." Jeff mempersilahkan Thea untuk masuk.

"Tidak perlu, aku tunggu di mobil saja," tolak Thea sambil berlalu dari sana.

Jeff menatap Thea dengan helaan nafas. "Mereka sama, tapi sifatnya benar-benar berbeda," monolognya.

Tak lama kemudian Zee keluar, ia menatap Jeff dengan heran karena bosnya itu masih ada si sana. "Kau masih di sini?"

"Tumben sekali kakakmu menjemput," tunjuk Jeff pada sebuah mobil yang terparkir di samping Cafenya.

Zee mematung di tempat, ia tidak menyangka jika Thea benar-benar akan menghampirinya ke sini. Ia yakin jika ini adalah sesuatu yang penting. Mungkinkah?

"Zee. Kenapa?" tanya Jeff.

Zee segera merubah ekspresinya. "Tidak ada. Kalau begitu aku duluan ya," pamitnya.

Jeff tak diberi kesempatan untuk berbicara lagi karena Zee sudah lebih dulu pergi dari sana. Sebelum Zee mendekat ia terdiam, tangannya meremas celana jeans-nya dengan ragu.

Bagaimana jika Thea memang ingin berbicara tentang tadi malam?

"Sedang apa kau di situ. Lama sekali, cepat masuk!" perintah Thea sambil melongokkan kepalanya di jendela mobil.

Zee menarik nafas dalam-dalam, seharusnya ia tidak begini. Mau tidak mau ia harus bisa menghadapi apa pun yang akan Thea lakukan terhadapnya. Ia tidak ingin menjadi seorang pengecut, bagaimanapun ini juga salahnya. Seandainya ia tidak bermain-main dengan alkohol mungkin kejadian itu tidak akan pernah terjadi.

Tapi kenapa, dari sekian banyaknya pria di dunia ini, ia harus berakhir tidur dengan Darren, kekasih kakaknya sendiri.

Dengan pasrah, Zee masuk ke dalam mobil tepatnya di samping Thea. Ia duduk dengan tegang, kepalanya menunduk tak berani menatap Thea sedikit pun. Tangannya saling bertautan gelisah, sesekali ia menggigit bibirnya menunggu Thea bersuara.

"Kita bicara di sini saja." Thea membalikkan setengah badannya agar ia bisa berhadapan dengan Zee.

Zee mengangguk canggung seperti orang baru, dadanya bergemuruh bahkan sebelum Thea mengatakan maksud kedatangannya.

Thea menaikkan satu alisnya, ia melihat Zee dengan aneh. Pasalnya Zee sangat pendiam, padahal biasanya Zee juga sering menunjukkan sikap ogah-ogahan padanya. "Ada apa denganmu?"

Zee terlonjak, namun beberapa detik kemudian ia menggelengkan kepalanya seolah ia tidak apa-apa. Sudah jelas tubuhnya menegang dan wajahnya pucat.

"Baiklah, kalau begitu langsung ke inti saja-"

"Maaf," celetuk Zee tiba-tiba hingga perkataan Thea terputus.

Thea menghela nafas. "Sudahlah, lagi pula baju itu sudah tidak kupakai. Ambil saja untukmu, aku sudah melupakannya."

Zee mendongakkan kepalanya sambil melihat Thea dengan bingung. "B-baju?"

"Ya baju. Kau minta maaf karena masalah bajuku yang kau pakai itu kan.

Bolehkah Zee berharap jika Thea tidak sedang bersandiwara? Bagaimana kalau ini jebakan? Di tatapnya wajah Thea dengan seksama, sepertinya kakak kembarnya itu benar-benar tidak tahu apa-apa.

"Kenapa kau ingin menemuiku?" tanya Zee mulai memberanikan diri.

Thea membenarkan rambutnya yang terurai indah. "Lusa aku akan pergi ke Paris," beritahu Thea to the point.

Seketika Zee bernafas dengan sangat lega. Meski ia tidak tahu apa alasan Thea memberitahunya tentang hal itu, tapi setidaknya ini bukan tentang dirinya dan Darren.

"Lalu?" Zee merasa mereka tidak sedekat itu hingga Thea tiba-tiba memberitahu kepergiannya.

"Aku akan di sana sekitar dua bulanan."

"Kau akan ke sana sendirian?" Zee cukup terkejut. Meski tidak dekat, tetap saja ia tak bisa mengabaikan Thea. Ayolah berada di negeri orang sendirian, itu bukan ide yang bagus.

"Itu tidak penting, yang seharusnya kau tanya, menurutmu kenapa aku ingin menemuimu," ucap Thea dengan gaya angkuhnya.

"Apa hubungannya denganku?" Zee berkata tak acuh.

"Aku ingin kau menggantikanku menemui kekasihku untuk sementara."

Zee berpikir keras untuk sesaat. Kekasihnya? Maksudnya Darren? Orang yang semalam menidurinya, begitu?

"Bagaimana?" tanya Thea mengabaikan reaksi Zee yang terbelalak.

Tanpa sadar Zee mengigit pipi dalamnya dengan gugup. Tidak mungkin! Bertemu dengan Darren adalah sesuatu yang tidak terbayang dalam benaknya. Malam panas itu bahkan tidak bisa ia lupakan dengan mudah, bagaimana mungkin ia bisa berhadapan dengan Darren.

"Namanya Darren Fedric Henderson. Kau pasti pernah mendengar namanya, dia pemilik perusahaan MQ Group," kata Thea dengan bangga.

Bukan hanya mendengar, bahkan mereka sudah menghabiskan malam bersama.

"T-tidak-" Zee menggeleng. Jantungnya berdegup kencang.

Kenapa jadi begini, apa ini cara Tuhan untuk membalas keteledorannya. Sungguh, Zee tidak bisa bertemu dengan pria itu lagi.

"Masa kau tidak pernah dengar, dia terkenal sebagai pengusaha muda yang cukup sukses-"

"Tidak! Aku bilang tidak pernah mendengarnya!" potong Zee dengan cepat. Nadanya meninggi beberapa oktaf.

"Tidak perlu berteriak seperti itu!" protes Thea kesal.

Zee tidak sadar jika sudah berteriak. Memikirkan bertemu dengan Darren saja sudah membuatnya gila, apalagi jika ia benar-benar bertemu dengan Darren.

Big no!

"Tapi itu bukan masalah. Yang penting kau harus membantuku," lanjutnya.

"Aku tidak mau melakukan hal itu!" tolak Zee mentah-mentah.

"Kenapa?"

Zee berteriak frustasi dalam hati. "Untuk apa aku membantumu! Urus saja masalahmu sendiri!" Ia berniat untuk keluar dari mobil.

"Tunggu Zee." Thea menahan tangannya. "Oke aku minta maaf soal sikapku semalam. Aku tahu sudah keterlaluan padamu," sesalnya.

"Akulah yang meminta maaf, karena sudah tidur dengan kekasihmu," kata Zee dalam hati.

"Zee, ya. Kumohon bantu aku, jadilah aku selama aku di Paris hm?" Thea tampak serius dengan permintaannya. "Atau begini saja, bagaimana jika aku memberimu imbalan?" tawar Thea.

"Kau gila!"

Thea menggelengkan kepala, ia terkekeh. "Jangan berlagak seolah kau tidak membutuhkan apa-apa. Aku tahu kau perlu uang untuk pergi dari rumah ini."

Zee melotot. "Bagaimana kau bisa tahu?"

"Kita memang tidak dekat, tapi aku tahu perasaanmu," ucap Thea seolah sedang mengasihaninya. "Aku juga akan membelikanmu motor, kudengar kau sedang mencari-cari motor bekas bukan?"

Zee menatap tak percaya. Bahkan Thea tahu tentang dirinya yang pernah mencari-cari orang yang menjual motor bekas.

"Aku akan membelikanmu yang baru, begitu juga dengan uangnya secara cash," timpalnya.

Sungguh? Tapi bagaimana dengan Darren? Ia benar-benar tidak siap bertemu dengan pria itu. Bagaimana jika Darren sadar jika malam itu adalah dirinya?

Sial, Zee benar-benar dilema sekarang.  Di satu sisi ia sangat tergiur dengan tawaran Thea. Apalagi Thea juga akan membelikannya motor, tapi di sisi lain ia tidak ingin berurusan dengan Darren.

"Kenapa aku harus melakukannya?" Zee bertanya sambil mengalihkan pandangannya ke arah depan.

"Karena kita saudara kembar. Itulah gunanya saudara, kita harus saling membantu, bukan?" bujuknya.

"Saudara?" Zee tertawa, kenapa di saat seperti ini Thea bertingkah menggelikan.

"Aku tahu aku tidak tahu malu. Tapi hanya kau satu-satunya yang bisa membantuku ..., lagi pula ini tidak gratis. Kita sama-sama mendapatkan keuntungan."

Untuk beberapa menit Zee diam dan larut dalam pemikirannya. Sejujurnya ia sangat membenci Thea, apalagi karena sikap arogannya yang menurutnya tak pantas disebut sebagai saudara. Tapi bagaimanapun juga Zee tak memiliki saudara yang lain, ia hanya punya Thea. Ayahnya pernah berkata, seburuk apa pun masalah kita, sesusah apa pun keadaan, kita tetaplah saudara yang tidak bisa dipisahkan. Dan sekali pun Thea tidak memikirkan persaudaraan mereka, setidaknya ia di untungkan di sini.

"Bagaimana Zee, kau bersedia?" Thea mencoba membujuknya.

"Meskipun kita mirip tetap saja kita berbeda," ujar Zee tak yakin.

Thea akui itu benar, ia menatap kembarannya itu dari atas ke bawah, cara Zee berpakaian terlalu kuno dan norak, sedangkan Thea selalu trendy dan elegan, ia lebih sering memperhatikan penampilannya. Meski begitu, untungnya mereka masih memiliki gaya rambut yang sama.

"Kau bisa belajar bersikap sepertiku, aku yakin Darren tidak akan tahu."

"Katakan, apa yang akan kau lakukan selama dua bulan di Paris itu?" Zee harus tahu alasannya. Ia tidak ingin mengerjakan sesuatu yang ia sendiri tidak tahu apa masalahnya.

"Ada pameran di Paris, aku membutuhkan waktu dua bulan untuk beradaptasi dengan desainer-desainer di sana. Aku ingin melebarkan sayapku lebih jauh lagi. Darren tidak memberiku ijin," jelasnya.

Seketika Zee ingat, malam itu Darren memohon padanya agar ia tidak pergi ke Paris, apakah tentang ini maksudnya.

Zee tahu itu pasti sangat penting, karena sebenarnya manjadi desainer juga adalah impiannya. Sayangnya ia tidak memiliki sayap selebar Thea, hingga harus gagal untuk terbang mencapai impiannya.

Thea menggenggam tangan Zee. "Zee, kumohon. Meski kita tidak dekat, tapi kau tahu seberapa pentingnya itu. Aku ingin melihat bagaimana karyaku diperagakan di depan mataku, di hadapan semua orang, ada banyak desainer ternama di sana," ungkapnya menggebu.

"Kenapa harus digantikan, kekasihmu tidak akan keberatan kalau kau mengatakannya, kau bisa membujuknya lagi," usul Zee.

"Tanpa membujuknya lagi pun, dia sudah memperingatkanku untuk tidak pergi. Dia bilang jika aku pergi, artinya aku tidak serius padanya, kami bahkan belum bertemu sejak semalam," jelas Thea dengan frustasi.

Zee mulai memikirkan hal itu, jadi Thea dan Darren belum bertemu?

Haruskah ia mengambil kesempatan itu untuk mencegah bocornya kejadian malam itu? Toh Thea memberikan tawaran yang setimpal untuknya.

"Aku tidak ingin mengecewakan Darren, tapi aku juga tidak bisa mengabaikan kesempatan emasku." Thea memasang wajah muram. Entah kenapa, Zee merasa senang saat Thea membutuhkan bantuannya. Meski itu terkesan dimanfaatkan, tapi Zee merasa dibutuhkan.

"Aku tidak yakin," gumam Zee.

"Aku akan membantumu," kata Thea meyakinkannya.

Zee tak tega juga jika menolaknya, tapi menjadi Thea itu sulit. Karena perbandingan sifat mereka saja sangat berbeda. Apa itu akan berhasil?

"Kau yakin?" Zee menaikan alisnya.

"Hm, percaya lah ..., hanya kau yang bisa membantuku."

Zee menghela nafas. "Baiklah, aku bersedia."

"Yes," pekik Thea kegirangan. "Kalau begitu mulai besok datanglah ke tempatku."

"Bagaimana dengan Ibu?"

Thea menepuk pundaknya. "Tenang saja, aku yang akan meminta ijin. Ibu tidak akan bisa menolak permintaanku."

Zee mengangguk setuju.

***

"Well, roman-romannya kau bahagia sekali," sindir Jonathan saat ia masuk ke dalam ruangan Darren.

"Terlihat jelas kah?"

"Lihat saja, bibirmu terus tersenyum dari tadi sampai tiba sadar aku datang. Menyebalkan!"

Darren terkekeh. "Moodku sedang bagus karena Thea setuju untuk menurut padaku. Kau tahu apa artinya itu?"

Jonathan menggidikkan bahunya tak acuh.

"Artinya dia serius padaku. Dan sesuai usulmu, aku rasa aku akan melamar Thea secepatnya," jelasnya.

Jonathan terkejut jika Rendra benar-benar setuju dengan usulnya. "Kau serius?"

"Ya. Lagi pula aku memang ingin mengikatnya, dengan begitu Thea akan sadar jika aku tidak main-main dengan hubungan ini."

"Lalu keluargamu?" tanya Jonathan.

"Aku akan urus itu, aku tidak akan membiarkan Thea tidak nyaman dengan mereka. Mau tidak mau mereka harus menerima Thea!" finalnya.

"Aku hanya bisa mendukungmu. Kuharap kau tidak salah pilih," ucap Jonathan.

"Aku tidak tahu apa yang membuatmu tidak yakin tentang Thea, kau lihat sendiri dia bahkan memilih untuk meninggalkan mimpinya untukku. Apalagi yang kau ragukan darinya?" Darren mulai mencercanya dengan kesal.

"Tenang bung, aku tidak bermaksud apa-apa. Well, aku ikut senang jika kau senang. Jadi, adakah sesuatu yang bisa kubantu?" Jonathan segera mengalihkan pembicaraan sebelum Darren semakin serius.

"Kau tahu tempat yang bagus untuk melamarnya?" tanya Darren.

"Baiklah, aku akan mencari tempat terbaik nanti. Percayakan saja semua padaku. Ngomong-ngomong kapan waktunya?"

"Jadwal kami sedikit bentrok jadi mungkin Minggu depan kami baru bisa bertemu." Darren dan Thea sudah membicarakan hal itu lewat pesan.

"Siap, itu bisa diatur."

Jika begini rasanya Darren benar-benar ingin cepat-cepat bertemu dengan kekasihnya.

'

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status