Share

07. SALAH PAHAM

Prangg ....

Zee menjatuhkan sendok yang ada di tangannya hingga menimbulkan perhatian dari beberapa pengunjung di sana. Dengan cepat Zee tersenyum dengan penuh penyesalan, ia segera mengambil sendok itu di lantai.

Salah satu teman kerjanya, Syalu menghampiri Zee dengan penasaran. "Ada apa Zee?"

Zee menatap Syalu dengan pandangan yang sulit diartikan. Rasanya ia ingin menghilang sata itu juga, wajahnya berubah memucat membuat Syalu semakin penasaran dengan apa yang Zee lihat di dalam ponselnya.

"Kau baik-baik saja?" tanya Syalu lagi.

"Mati aku," lirihnya.

Syalu tampak kesal karena Zee tak kunjung memberitahunya. "Kenapa, soal ibumu lagi?"

Zee menggeleng lemas. Ia tidak yakin haruskah dirinya membalas pesan Thea atau tidak. Tapi dari cara Thea bertanya, sepertinya ia sudah ketahuan. Apa ini saatnya ia menghilang?

"Syalu ...," panggil Zee dengan nada lemah.

"Apa, apa! Dari tadi aku menunggumu mengatakan sesuatu!"

"Di mana aku bisa bersembunyi," ucap Zee dengan tatapan kosong.

Syalu menaikkan satu alisnya. "Kau bertengkar dengan ibumu lagi ya?"

"Tidak. Jawab saja, ke mana aku harus menghilang." Rasa frustasi Zee semakin menjadi. Pada saat itulah Syalu sadar jika Zee tampak serius dengan perkataannya.

"Aneh! Lalu kenapa tiba-tiba kau ingin menghilang, siapa yang mengejarmu. Atau jangan bilang kau meminjam uang pada rentenir, hah?"

Rasanya Zee ingin berteriak saat ia tidak bisa mengatakan apa alasannya pada temannya itu. Jika ia bercerita itu sama saja membongkar aib dirinya, Zee belum siap untuk dihakimi.

"Enak saja! Aku tidak-" ucapan Zee terpotong saat ponselnya berdering tanda ada telpon masuk. Kedua mata Zee terbelalak panik, ia mematung di tempat.

Zee mengintip. "Thea? Bukankah itu kembaranmu?"

Zee mengangguk lesu. Dengan cepat ia pergi ke belakang untuk menerima telpon. Sebelum mengangkatnya, Zee menarik nafasnya terlebih dahulu.

"H-hallo-"

["Ck, ke mana saja kau, kenapa pesanku tidak dibalas!"] tanya Thea dengan kesal.

"A-aku, aku sedang bekerja," jawab Zee gugup.

["Kapan kau selesai?"]

Zee memeriksa jam di tangannya. "Sekitar jam 10 malam."

["Baiklah, kalau begitu aku akan ke sana sekalian menjemputmu,"] finalnya.

"Hah! Kenapa?" pekik Zee.

["Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan denganmu. Kita bahas nanti saja."] Dan telpon berakhir begitu saja.

Jantung Zee seketika berdetak dengan kencang, apa ini tentang semalam? Jika benar, kenapa Thea tidak terdengar sedang mengintimidasinya. Zee memeluk ponselnya di dada, ia harus mempersiapkan diri dengan apa pun yang akan terjadi nanti.

"Zee?"

Zee berbalik dengan kikuk. Ia merasa seperti seorang pencuri yang baru saja ketahuan. "Jeff sorry, barusan aku ada telpon."

Orang yang dipanggil Jeff itu terkekeh. "Aku hanya memanggilmu, Syalu bilang ada sesuatu yang terjadi padamu, apa kau baik-baik saja?"

Ini kedua kalinya seseorang bertanya seperti itu, sekalipun ingin mengatakan tidak, tetap saja Zee tidak ingin membuat semua orang mengkhawatirkannya.

"Aku baik. Tidak usah mendengarkan Syalu, dia asal bicara saja." Zee mengelaknya.

Untungnya Jeff tidak memperpanjangnya. "Kalau begitu kembali ke depan sekarang, kau sudah selesai kan?"

Zee mengangguk. Lalu pergi lebih dulu dari sana. Jeff adalah teman sekaligus bosnya, tanpa Jeff mungkin ia tidak akan memiliki pekerjaan seperti sekarang. Untungnya Jeff selalu membantunya hingga ia diijinkan bekerja di Cafenya.

***

Darren berjalan di lobi dengan Jonathan yang mengekorinya di belakang. Sepanjang menuju ruangannya Darren terus saja melihat ke arah ponselnya, namun sayangnya saat sampai pun Thea tak kunjung membalasnya lagi.

"Apa dia marah," gumamnya sambil bertanya-tanya. Darren mencoba untuk mengerti Thea karena mungkin wanita itu masih canggung dengannya.

Tapikan ia sudah meminta maaf, apa karena ia bilang tidak menyesalinya karena itu Thea marah?

"Darren, yang ini belum di periksa." Jonathan memberikan berkas yang tertinggal sebelum ia pergi ke ruangannya sendiri.

Darren melihat sekilas dan mendatanginya. Jonathan menatapnya heran. "Kau tidak memeriksanya lebih dulu?"

"Anggap saja dia sedang beruntung," jawabnya.

"Mana bisa begitu, kau harus memikirkan masa depan perusahaanmu! Kau mau ayahmu mengamuk karena kelalaianmu?" Sebagai satu-satunya bawahan yang berani pada Darren, Jonathan tak segan-segan memprotesnya.

Darren berdecak kesal. "Hanya karena satu berkas tidak akan membuatku tumbang. Kau ini serius sekali."

"Ada apa denganmu." Jonathan berakhir duduk di depannya. "Thea lagi?"

Darren hanya mengangguk sambil menatap ponselnya dengan lelah. Ia baru saja selesai meeting dengan klien yang kedua kalinya, dan besok ia sudah memiliki waktu untuk pergi ke luar kota lagi. Akhir-akhir ini jadwalnya memang sedang padat .

"Aku heran, apa sih yang sebenarnya kau permasalahkan." Lama-lama Darren jadi ikutan frustasi memikirkan hubungan temannya itu.

"Aku meminta maaf padanya tentang kejadian kemarin, tapi dia masih belum membalas pesanku," adunya.

"Well, kalau aku jadi dia sebenarnya itu bukan hal yang perlu dipikirkan. Hanya cukup meminta pertanggung jawaban padamu, dan semua selesai. Toh kau tidak akan meninggalkannya kan?"

Darren mengangguk. "Tentu saja tidak, aku bukan pria brengsek. Bahkan jika Thea bukan kekasihku, aku akan mempertanggung jawabkan semuanya."

"Atau begini saja, bagaimana kalau kau langsung lamar dia," usul Jonathan.

"Apa tidak terlalu cepat? Maksudku, apa itu memang yang dia inginkan." Darren sedikit ragu, mengingat saat ini Thea sedang fokus dengan karirnya.

Jonathan menggidikkan bahu. "Entahlah, wanitamu itu memang agak sulit ditebak. Tapi dari pada dia over thinking, lebih baik lamar saja langsung."

"Hm, itulah yang membuatku bingung. Thea bahkan belum membahas tentang pembatalannya ke Paris. Malam saat kami bersama, aku sudah mengatakan padanya bahwa aku tidak ingin dia pergi."

"Memangnya kenapa kau tidak mengijinkannya ke Paris, bukankah itu bagus untuk karirnya. Kau akan memiliki istri yang hebat nanti." Jonathan rasa, Darren terlalu mengambil pusing keadaan.

"Aku sudah memiliki segalanya, cinta, tahta, harta, aku memiliki semuanya. Apalagi yang dia inginkan, kurasa pergi ke Paris bukan ide yang bagus."

Jonathan berdehem. "Kau takut Thea selingkuh?"

"Aku tidak tahu, aku hanya ingin menikahinya dan menjadikan dia wanitaku seutuhnya. Untuk apa pergi ke Paris, itu hanya akan membuat hubungan kita semakin renggang. Bukankah biasanya kebanyakan hubungan putus di tengah jalan itu karena adanya jarak," jelas Darren

"Ya ampun, kau benar-benar seorang budak cinta. Hubungan kalian tuh aneh, maksudku kau menempatkan dirimu di situasi yang sulit. Jika itu aku, lebih baik aku mengambil jalan tengahnya. Lagi pula Thea sepertinya tidak benar-benar serius padamu." Jonathan tidak berniat menjelekkan Thea, tapi ia hanya kasihan saja karena hubungan mereka itu sudah sangat toxic.

"Cukup keluargaku yang selalu menjelekkannya, jangan sampai kau juga bicara macam-macam tentangnya! Aku bisa saja menghajarmu!" Darren menatapnya tajam.

"Calm down, aku hanya melihat apa yang kulihat. Jika dia serius, dia pasti tidak akan pernah pergi ke Paris dan mendengarkanmu, simple kan!"

Perkataan Jonathan membuat Darren terdiam. Apakah Thea akan tetap pergi seperti apa yang diinginkan wanita itu? Jika iya, apa itu artinya Thea tidak serius padanya?

Darren segera mengetik pesan di ponselnya.

'Kau sudah di rumah? Oh ya, tentang pergi ke Paris, jika kau pergi artinya kau tidak serius padaku. Hanya mengingatkan, selamat malam sayang.' 

Setelah mengklik tanda kirim, Darren menutup matanya dalam-dalam. Ia ingin tahu apakah Thea masih akan pergi atau wanita itu akan tetap tinggal.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status