Akhirnya, Aslan mau juga aku bujuk untuk pulang. Ia tampak semakin yakin dengan keputusannya ketika aku memintanya membantu membawa koleksi pakaian yang sebelumnya dibawa Melisa untuk fashion week beberapa hari lalu.Dengan wajah datar dan langkah tegap seperti biasa, Aslan membantuku menenteng beberapa koper besar. Sementara itu, Melisa sudah lebih dulu membawa sebagian koper lainnya ke Bali.Setelah perjalanan panjang berjam-jam dari Paris, kami akhirnya tiba di Bali. Aku sengaja memilih hotel yang tak jauh dari rumah sakit yang sempat disebutkan oleh Josua. Ada rencana di kepalaku. Aku ingin mencoba membujuk Aslan ke sana, meski belum tahu akan kuungkapkan apa.Setelah menurunkan dan membereskan koper-koper besar itu, tubuhku langsung terasa lemas. Untunglah kami tiba di siang hari. Aku merebahkan diri di ranjang, dan ternyata, Aslan ikut berbaring di sampingku. Hanya diam, sampai suara baritonnya memecah keheningan.“Kamu selalu berhasil membuatku gila. Mulai detik ini, kamu akan
“Apa yang kamu lihat tidak seperti kenyataannya. Aku dan dia tidak ada hubungan apa-apa,” ucap Aslan dengan nada tenang, tapi ada kegelisahan samar di balik matanya yang biasanya selalu tampak yakin dan tak tergoyahkan.Aku menelan ludah, menahan emosi yang nyaris meluap. “Apa yang kulihat dengan mataku saat itu… sudah cukup menjawab semua pertanyaan hatiku, Pak Aslan!” balasku, suara ini memang bergetar, tapi aku berusaha tetap tegar di hadapannya.Wajahnya menegang, namun ia tetap berdiri tegap. “Aku dan dia tidak pernah ada apa-apa, bahkan sampai hari ini, Sany. Bagiku… kamu satu-satunya istriku. Aku tidak pernah menikah dengan dia. Bahkan aku tidak pernah menikah dengan siapa pun. Paham kamu itu?”Mataku membelalak. “A-a-apa?” suaraku tercekat.Aku mematung, mataku menatap lekat ke arahnya. Campuran emosi memenuhi dadaku—terkejut, marah, tidak percaya… dan entah kenapa, sedikit rasa lega juga mengintip di antara celah luka yang selama ini kujaga rapat.Aku sendiri yang melihat mer
Akhirnya, lelaki itu keluar juga dari kamar mandi. Bau sabun yang segar masih menempel di udara, memenuhi ruangan hotel mewah itu. Tubuhnya tinggi dan tegap, kaos berbahan t-shirt berwarna navy melekat sempurna di dadanya, menonjolkan lekuk otot-ototnya yang kekar. Lampu kamar yang remang-remang semakin mempertegas garis rahangnya yang tegas.Aku terdiam sejenak, menahan detak jantungku yang tiba-tiba saja berdentum tidak beraturan. Ada sesuatu pada lelaki itu yang selalu berhasil membuatku kehilangan kendali—meski aku mati-matian menyangkalnya.“Tidak mandi?” Aslan menatapku tajam. Tatapan dinginnya yang khas, seperti mampu menembus seluruh dinding pertahanan yang kuciptakan. Seolah dia tahu apa yang kutakuti, apa yang kusimpan.“Iya… mandi,” jawabku cepat. Aku berusaha tidak terlalu lama mengunci pandangan pada wajahnya. Segera, aku mengambil pakaian ganti dari tumpukan belanjaan butik tadi. Tak sempat mencucinya, tak sempat memeriksa bahannya—hanya asal ambil. Mau bagaimana lagi? Di
Setelah puas berbelanja pakaian dan mengisi perut di sebuah restoran khas Prancis yang aroma rotinya masih terbayang di hidungku, Aslan mengajakku kembali ke hotel tempatnya menginap selama di Paris. Langit mulai memudar, warna jingga keemasan menggantung di ufuk barat, seolah kota ini belum mau menyerahkan malam begitu saja.Mobil hitam yang kami tumpangi melaju melewati jalanan Paris yang masih ramai. Di luar, orang-orang sibuk lalu-lalang, menikmati senja yang mulai turun. Bangunan-bangunan klasik berdiri megah, memantulkan bayangan cahaya lampu jalanan. Kota ini… meski indah, tetap tak mampu mengalihkan pikiranku dari satu hal—rahasia besar yang selama ini kusimpan.Namun suasana di dalam mobil justru berubah dingin. Bukan karena pendingin ruangan, tapi karena tatapan Aslan yang mendadak kosong. Wajah tenangnya yang biasanya penuh percaya diri kini tertutup kabut gelisah. Matanya menatap lurus ke depan, rahangnya mengeras, dan kedua tangannya mencengkram setir erat, seolah ada ses
Udara Paris mulai menghangat, tapi hatiku justru makin mendidih. Matahari yang baru saja muncul dari balik awan tipis seperti tak mampu menenangkan kepalaku yang panas karena ulah Aslan.Sudah cukup dia mengerjaiku pagi ini. Mulai dari pil yang katanya vitamin—padahal cuma akal bulus dia biar aku nggak panik soal kehamilan—sampai ejekan soal perut cacingan tadi. Semua itu membuat sumbu emosiku habis terbakar.Akhirnya... aksi nekat itu pun terjadi.Dengan langkah mantap, aku berdiri di tengah area taman dekat kafe, tempat orang-orang berlalu-lalang, dan berteriak sekeras mungkin, “Ibu, Bapak! Salaki ku dijual! Saha wae anu hoyong?!”(Suamiku dijual! Ada yang mau?!)Suara teriakanku memecah keramaian pagi itu. Burung-burung yang tadinya bertengger di ranting pohon pun beterbangan kaget. Orang-orang sekitar menoleh, beberapa bahkan berhenti melangkah.Walau kemampuan berbahasa Sunda-ku terbatas, tapi rasa nekat ini jauh lebih besar dari rasa malu. Gila? Biarin! Kadang perempuan harus gi
Kota Paris memang tak pernah kehabisan alasan untuk membuat orang jatuh cinta—sayangnya, bukan itu yang memenuhi pikiranku saat ini.Kata-kata Aslan tentang kehamilan masih terngiang-ngiang, memicu alarm panik dalam kepalaku. Tanpa sadar, pikiranku langsung melayang ke kalender haidku. Rasanya seperti dihantam kenyataan. Aku baru selesai datang bulan beberapa hari lalu. Persis sama seperti saat aku dulu mengandung Haikal.“Oh, gila…! Aku nggak mau,” ucapku spontan, suara nyaris tercekat. Tubuhku menegang, detak jantungku berpacu lebih cepat.Aslan yang berjalan di sebelahku ikut menoleh, wajahnya berubah tegang. “Ada apa? Ada yang ketinggalan di atas?” tanyanya, nadanya mulai cemas.Aku menoleh cepat, menarik lengan jaketnya. “Ayo ke apotek orang Indonesia,” kataku buru-buru. Aku tak mau dia tahu niat asliku—mencari pil pencegah kehamilan sebelum semuanya terlambat.Aslan mengerutkan kening, wajahnya bingung setengah mati. “Lho, kenapa harus apotek Indonesia?”“Apotek luar nggak akan