Kakak yang baik jangan lupa berikan dukungannya ya untuk karya ini agar authornya semakin rajin posting bab tiap hari, berikan like, komen dan bagikan. Jangan lupa berikan juga gem, terimakasih
Jejak yang Tak Pernah HilangDua hari, sebelum aku pulang ke tanah air, sebelum pesawatku lepas landas dari Taiwan menuju Indonesia, dr. Melisa berkali-kali mengingatkanku. Bukan hanya sekadar pesan biasa, melainkan peringatan yang diucapkan dengan penuh kekhawatiran.“Hati-hati dengan keluarga Aslan, dan… hati-hati juga kalau sampai bertemu Panji. Bahkan kalau bisa, kamu operasi plastik saja, San,” ucapnya dengan suara setengah berbisik, seolah takut ucapannya akan menembus langit. Melisah tidak ingin aku bertemu dengan Panji maupun Aslan untuk saat ini. Setelah melihat bagaimana penderitaanku selama ini karena kedua pria itu Melisa tidak ingin aku menderita lagi karena cinta. Cinta yang salah yang aku lakukan di masa lalu biarlah menjadi pelajaran hidup untukku.“Sany … bagaimana kalau kamu operasi plastik aja, biar mereka tidak mengenali wajahmu,” ucap Melisa sekali lagi.Aku menatap matanya lekat-lekat, lalu menggeleng pelan.Aku menggeleng pelan,” Aku tidak mau.”“Aku punya teman
Janji yang Kutanam di Bawah SaljuSetahun yang lalu, aku akhirnya memberanikan diri untuk membuka mulut. Menceritakan semuanya, dari awal sampai akhir, kepada Ayah dan anak-anakku. Selama ini, rahasia itu terkunci rapat di dadaku seperti peti tua berkarat yang sengaja kusembunyikan di dasar laut. Aku tidak ingin membukanya dan ingin terus menyimpannya di sana. Tapi, aku berpikir lagi aku tidaki bisa selamanya menyembunyikan itu dari ayah dan kedua anakku.Awalnya mereka terkejut. Wajar saja. Aku menikah dan memiliki anak tanpa sepengetahuan mereka.“Maaf Yah,” ucapku pelan menatap wajah ayahku. Aku tidak ingin dia kecewa ataupun marah.“Ayah tidak bisa berkata-kata, Aku masih terkejut.”“Saat ini. Aku hanya ingin jujur pada Ayah.”"Kok Ibu baru bilang sekarang?" tanya Zio saat itu. Sorot matanya tidak menyalahkan, hanya menuntut kejujuran yang selama ini kutahan."Ibu hanya ingin menunggu waktu yang tepat, Nak…" ucapku, menahan gejolak di dada."Sekarang? Apakah ini sudah saat yang te
Di Bawah Langit Dinju – Doa yang Tak Pernah UsaiHidup di kota Dinju, Taiwan, tak pernah ada dalam rencanaku dulu. Namun di sinilah aku menambatkan langkah, setelah luka tak kunjung reda dan waktu enggan berkompromi. Di tengah hiruk-pikuk kota yang penuh cahaya neon dan lalu lalang manusia asing, aku menemukan secercah kedamaian dalam rutinitas di restoran kecil milik seorang warga Indonesia yang menamai tempat itu: Rasa Sedap.Restoran itu jadi tempatku bekerja . Di balik panas dapur dan kesibukan yang tak kenal waktu, aku mencoba mengubur masa lalu—berharap pahitnya kenangan bisa larut bersama keringat dan kelelahan.Empat tahun bukan waktu yang sebentar, dan kini… bocah kecilku, Haikal Aslan Gumala, telah tumbuh menjadi anak laki-laki berusia empat tahun tiga bulan. Wajahnya yang tampan seperti lukisan hidup dari seseorang yang ingin kulupakan. Bola mata coklat terangnya, hidung mancung yang tegas… seakan Tuhan sengaja menciptakannya untuk mengingatkanku pada Aslan—laki-laki itu.P
“Bohong! Itu tidak benar!” suara wanita itu terdengar gugup dan panik, seperti seseorang yang tahu bahwa tanah tempatnya berdiri mulai runtuh.Aku menatapnya tenang, tak terpengaruh oleh dramanya yang murahan. “Silakan telepon suamimu. Tanyakan padanya. Dia yang bisa menjelaskan bahwa kalian hanya numpang di rumah milik anakku.”Wajah wanita itu langsung pucat. Napasnya memburu. Tangannya gemetar saat menggenggam ponsel, seakan tak percaya bom waktu yang baru saja aku ledakkan di hadapannya.Zio dan Falen, anak-anakku, ikut berdiri di sisiku. Mereka seperti pasukan kecil yang sudah terlalu lama hidup dalam ketakutan. Tapi kali ini, aku membuat mereka percaya: ibunya akan bertarung.Zio, putra sulungku yang kini duduk di bangku kelas enam SD, menatap wanita itu dengan keberanian yang membuatku bangga.“Wanita jahat seperti Anda nggak pantas jadi ibu kami! Selalu menghina dan merendahkan Ibu. Dan sering mukulin Falen. Suatu saat nanti, aku yang bakal usir kamu dari rumah ini!”Kata-kata
Hari-hari berikutnya, aku mulai bekerja membantu di restoran. Mencuci sayur, menyapu lantai, mencatat pesanan pelanggan. Aktivitas itu menyita pikiranku, menahan gelombang ingatan yang terus ingin menyusup.Tapi saat malam datang, dan tubuhku merebah di ranjang asing itu, nama Aslan tetap saja muncul. Diam-diam. Dengan senyumnya yang dingin, matanya yang penuh perintah, dan bisikan yang pernah membuatku meleleh.‘Kenapa aku tidak bisa melupakanmu, Aslan?’Malam itu, aku terbangun karena suara ketukan pelan di pintu. Aku bangkit, membuka pintu sedikit.“San, kamu tidak bisa tidur?” bisik Melisa sambil membawa dua gelas coklat hangat.Aku mengangguk. “Mimpi buruk.”Kami duduk di lantai kayu, membiarkan malam menyelimuti kami dalam diam.“Aku ingin memberitahumu sesuatu,” ujarnya akhirnya.Aku menoleh, menunggu.“Restoran ini… dulu pernah jadi tempat perlindungan bagi perempuan yang lolos dari jaringan perdagangan manusia.”Aku tercekat. “Kamu… maksudmu?”Ia menatapku dalam-dalam. “Ya. A
Suara pengumuman menggema melalui pengeras suara, nyaring namun seperti gema dari dimensi lain.“Ladies and gentlemen, welcome onboard Flight GA42 with service from Garuda Indonesia, flying from Bali to Taoyuan International Airport, Taiwan...”Kalimat itu mengalir begitu cepat, meluncur di telinga namun tak benar-benar meresap ke dalam hati. Suara itu... justru membangunkanku dari lamunan panjang. Aku berdiri dengan pelan, menyeret koper kecilku, tapi mata ini masih tertuju ke arah pintu keberangkatan. Entah kenapa, seolah aku menanti seseorang—atau sesuatu. Sesuatu yang bahkan aku sendiri tak tahu pasti bentuknya.Mungkin sebuah keajaiban.Senyum kecut terukir di wajahku. Aku tertawa dalam hati. Bodohnya aku, berharap pada sesuatu yang tak pernah menjanjikan kepastian.“San... kalau kamu masih ragu, kamu boleh membatalkannya. Aku bisa berangkat sendiri,” ucap dr. Melisa dengan suara lembut tapi jelas.Tatapannya mengisyaratkan bahwa dia benar-benar mempersilakan aku memilih. Seandai