Pagi yang teduh di rumah besar ini selalu dimulai dengan aroma kopi dan suara langkah kaki para asisten rumah tangga yang saling bersahutan dari dapur ke ruang makan. Matahari menerobos dari jendela kaca besar, menyapu marmer putih yang mengkilap. Tapi pagi ini berbeda. Ada ketegangan halus yang menggantung di udara sejak semalam.Keputusan itu datang mendadak. Malam sebelumnya, seluruh keluarga berkumpul di ruang makan besar yang selama ini lebih sering sunyi dari tawa. Di bawah cahaya hangat lampu gantung kristal, ayah mertua—dengan suara yang tenang tapi berwibawa—menyatakan sesuatu yang mengubah hidupku.“Sany, mulai sekarang, semua urusan rumah ini menjadi tanggung jawabmu,” ucap beliau dengan senyum teduh. “Kamu adalah nyonya besar di rumah ini.”Aku tertegun. “Sany gak bisa, Yah... Sany orangnya ceroboh,” ujarku pelan, menunduk, tak sanggup menatap wajah semua yang hadir.Ayah mertua hanya tersenyum. Tapi senyuman itu mengandung sesuatu yang jauh lebih dalam dari sekadar persetu
Awal kedatanganku di rumah besar ini… segalanya terasa sunyi dan asing. Dindingnya memang kokoh, arsitekturnya megah, halaman luas dengan pepohonan tropis yang rindang. Tapi entah mengapa, hatiku tetap terasa kosong. Seperti berjalan di museum tanpa suara. Pintu-pintu tertutup rapat. Suara hanya berasal dari televisi yang menyala tanpa penonton. Bahkan aroma rumah ini pun dingin, seperti pagi hari tanpa matahari.Namun kini, empat bulan telah berlalu. Seiring waktu, rumah ini perlahan hidup kembali. Seperti secangkir teh yang lama direndam, kehangatan mulai meresap ke dalam tiap celahnya. Setiap malam, usai semua pulang kerja, keluarga ini duduk bersama di ruang tamu. Televisi menyala bukan sekadar tontonan, tapi pemantik tawa dan sorakan. Cemilan hangat dari dapur, kopi racikan Bibi, dan suara riuh para lelaki yang tergila-gila sepak bola… menyatu jadi harmoni yang dulu bahkan tak pernah aku bayangkan bisa kurasakan di sini.Malam itu, kami duduk melingkar. Haikal duduk di pangkuan As
Setelah segala persiapan yang matang, akhirnya hari yang kami tunggu tiba. Aslan akan bertemu dengan keluargaku secara resmi, dalam tradisi adat yang telah disusun rapi oleh ayah.Begitu kami menginjakkan kaki di Jakarta, suasana rumah ayah sudah berubah menjadi lautan kebahagiaan. Meriah. Ramai. Hangat. Ternyata ayah tidak tanggung-tanggung, beliau mengundang semua keluarga besar—baik dari pihak beliau sendiri, keluarga almarhum ibuku, hingga keluarga ibu tiriku. Dan malamnya, ayah juga mengadakan pengajian dengan mengundang anak-anak yatim. Rumah kami mendadak jadi seperti pusat semesta.Haikal, anakku, langsung melompat kegirangan saat bertemu dengan kakeknya dan kedua saudaranya. Tawa kecilnya menular, membungkus sore itu dengan kehangatan yang tak tergantikan.“Bu… Ayah Haikal ternyata ganteng juga ya. Pantesan Ibu ninggalin Om Panji,” bisik Zio, anak sulungku, sambil nyengir. Tanganku otomatis mencubit pinggangnya.“Aduh! Sakit, Bu!” jeritnya pelan.“Jangan bahas itu lagi, dasar
“Siapa Sangka?”Siapa sangka? Dunia memang sering bermain-main dengan kita. Dulu aku mengira Aslan hanyalah lelaki dingin yang keras kepala, batu karang yang tak mungkin bisa luluh oleh kasih. Tapi hidup... selalu punya cara mengubah segalanya. Tanpa aba-aba, pria yang dulunya hanya kusebut musuh kini menjadi rumah tempatku berpulang. Ayah dari anakku. Suamiku.Dan lebih dari itu—Aslan memilih tinggal bersama keluargaku.Sore itu, langit Bali tengah memerah lembut, seolah ikut menyaksikan kebahagiaan kecil kami. Dari balkon kamar atas, aku bisa melihat Aslan duduk bersila di halaman belakang, memangku Haikal yang sedang bercerita sambil tertawa cekikikan. Pohon kamboja putih di ujung taman bergoyang perlahan ditiup angin laut, dan dari kejauhan, suara debur ombak terdengar lirih seperti alunan nadi yang menenangkan.“Sayang, aku juga ingin kenal keluargamu,” ucapnya malam itu, saat bulan purnama menggantung di atas atap rumah baru kami.Suaranya lebih lembut dari biasanya. Jauh dari n
Pukul 06.00Saat aku terbangun, tak kutemukan Aslan dan Haikal di sampingku. Setelah menyelesaikan rutinitas pagi, aku duduk di tepi ranjang, menunggu mereka kembali. Namun menit demi menit berlalu, tak juga ada tanda-tanda keduanya akan muncul.Baru setelah hampir tiga puluh menit, akhirnya mereka datang juga.“Dari mana?” tanyaku, agak kesal.“Ada deh,” jawab Aslan santai, sembari tersenyum tipis.“Kamu habis olahraga?” mataku menelusuri tubuhnya yang berkeringat.“Iyaap.”“Emangnya sudah boleh? Bukannya luka jahitan di pundakmu belum kering?”“Sudah. Luka itu kecil, kok,” katanya santai, sambil menyeka keringat di dahinya.“Aslan, jangan anggap semuanya sepele.”“Ibu, jangan marah-marah ke Ayah. Ayah kan lagi sakit,” sahut Haikal dengan wajah memelas.“Tuh, dengar anakmu,” kata Aslan sambil mengedipkan mata ke arahku.Aku menghela napas. “Sayang, Ibu bukan marah, Ibu cuma ingatkan ayah supaya istirahat. Lukanya belum sembuh.”“Tadi Ayah cuma ajak Ikal jalan-jalan ke tepi pantai, kok
Kehangatan menyelimuti ruang rawat Aslan saat Haikal datang. Senyuman yang tersungging di wajah keluarga besar Aslan benar-benar membuatku tak percaya, mereka menyambut kami—aku dan Haikal—dengan sangat baik. Tak pernah kubayangkan sebelumnya bahwa keluarga ini akan menerimaku seperti bagian dari mereka.“Sayang, kamu nggak apa-apa? Jangan diambil hati ucapan Kak Mona tadi, ya,” bisik Aslan, tangannya menggenggam punggung tanganku dengan hangat.Aku hanya membalas dengan senyum kecil. Jujur, hatiku masih rapuh. Duduk di tengah-tengah keluarga yang sebelumnya kuanggap sebagai penonton yang siap melemparkan batu ke arahku, bukan hal yang mudah. Ucapan Mona tadi, meski samar, tetap menampar perasaanku.“Kamu marah?” tanyanya lagi, suaranya pelan, seolah sangat menjaga perasaanku. Tatapannya menelisik, dan genggamannya tak sedikit pun mengendur dari tanganku.“Tidak,” jawabku pelan. “Aku hanya... gugup. Ini semua baru buatku, Aslan. Aku merasa seperti berdiri di atas kaca yang tipis, goyah