Share

Bab 2 : Kenangan Masa Lalu

Amelia Caras sebenarnya belum siap dengan pertanyaan ini –ia masih butuh waktu sendiri untuk bermenung- menung menyengsarakan suasana hatinya dan mengutuki hidupnya yang hambar. Ia masih ingin bersedih dan memilukan diri. Tapi entah apa yang menggerakkan tulang rahang bawahnya, Mia pun mengangguk pelan. Ia bahkan mengangkat tangan, mempersilakan.

Claro está, Señor. Tentu saja. Silakan duduk.”

Señor Aguirre yang sempat jadi bahan pembicaraannya dengan Juan duduk dengan penuh kelegaan, tepat di depan Mia. Tongkat bantu tadi ia sandarkan di pinggir meja bundar yang mengilap.

“Apakah Anda merasa terganggu dengan kehadiran saya, Señorita?” tanya lelaki itu dengan wajah melembut. “Apa Anda lebih suka sendiri?”

Mia kaget dengan pertanyaan itu. Aguirre seperti baru saja menyisir otaknya dengan gelombang elektromagnetik, dan mendapatkan info kegelisahan dirinya. Mulut Mia membuka bagai ikan yang kehabisan air –tanpa ia sadari.

“Saya bisa kembali ke meja saya, Señorita,” tambah Aguirre lagi, seakan kepandaiannya menerawang mimik Mia tadi belum cukup. “Saya hanya berpikir bahwa keresahan baiknya dibincangkan dengan seseorang. Dan seperti Señorita lihat, saya juga datang terlalu cepat dan hanya menatap udara kosong.”

Señor Aguirre tampak bersiap- siap mengangkat lagi bokongnya bersamaan dengan tumpuannya pada tongkat yang semakin menguat. Namun sesuatu yang hangat dan aneh –yang baru saja dialami Mia –membuatnya angkat suara.

“Jangan, Señor,” sergah Mia dengan lantang. “Anda sama sekali tak mengganggu saya, dan saya senang dengan kehadiran Anda di sini.”

Mia tertegun sesaat dengan kata- kata yang baru saja meluncur dari bibirnya. Ada yang mengendalikan dirinya secara tak sadar –suatu hal yang tak menginginkan kehangatan dan keanehan dalam dadánya pergi begitu saja.

Aguirre dan Mia saling memandang, mengukur kedalaman diri lawan bicara masing- masing. Setelah benar- benar memperhatikan, Mia baru menyadari bahwa sesungguhnya Señor Aguirre adalah gambaran seorang pria tua militer yang menyenangkan. Wajahnya memang sudah mengerut dimakan usia, tapi kilau optimis dari mata coklatnya yang berbinar membisikkan Mia bahwa lelaki di depannya itu telah menjalani hidup tak hanya dengan keberanian, namun juga dengan kebaikan.

“Apa ada sesuatu di wajah saya, Señorita?” tanya Aguirre.

Mia menggeleng dengan keterkejutan. “Oh, perdón! Tidak sama sekali, Señor. Maafkan kelancangan saya.”

“Dan maafkan kelancangan saya pula karena juga telah memerhatikan Anda beberapa waktu sebelumnya,” sambut Aguirre. “Dan dapat saya katakan, karena sesuatu dalam wajah Anda-lah yang membuat saya ingin mengobrol dengan Anda, Señorita.

Kedua alis Mia naik sementara otaknya berpikir. Bila saja yang mengatakan semua ini adalah seorang pria muda, Mia mungkin akan segera beranjak dari café itu dan menganggap semua omong kosong itu adalah godaan akibat hormon. Namun di depan matanya kini adalah seorang laki- laki tua, yang tak akan mungkin mengajaknya keluar sebagaimana orang muda.

“Sesuatu… dalam wajah saya?” tanya Mia.

“Ya,” tandas Aguirre. “Nah, sebelum kita bercakap- cakap lagi, saya Aguirre, Señorita. Miguele Aguirre.”

Aguirre mengulurkan tangan, yang dijabat hangat Mia. “Amelia Caras, Señor. Senang berkenalan dengan Anda.”

Begitu mendengar nama Mia, Aguirre tertegun bagai patung. Bahkan bagi lelaki tua itu, bunyi musik café juga berhenti di telinganya, bersamaan dengan waktu yang menahan dirinya dan melemparnya kembali ke masa lalu.

“Amelia?” ulang Aguirre. “Luar biasa! Maravilloso!”

Mia berusaha mengurai kabut ketidakmengertiannya. “Perdón?”

Señorita Amelia, bukankah saya menyampaikan padamu tadi, bahwa sesuatu pada wajahmulah yang membuatku bergabung ke mejamu?”

Sí?”

“Dan sesuatu itu adalah kemiripanmu dengan seseorang yang telah kukenal bertahun- tahun lalu,” ujar Aguirre berseri- seri. Wajahnya tampak berpuluh tahun lebih muda. “Dan, Dios mío! Bahkan nama kalian pun sama!”

***

Mia jelas tampak bingung, namun demi kesopanan ia lebih mendahulukan memesankan minuman untuk Aguirre. Ia memanggil salah seorang waiter yang bekerja di café Juan, menanyakan pilihan Aguirre, dan menunggu hingga minuman itu terhidang di atas meja. Aguirre sempat menolak, namun Mia bersikeras. Sementara ia tampak mencari tahu dalam pikirannya sendiri apa maksud perkataan Aguirre, lelaki tua itu –Miguele Aguirre tak berkurang senyumnya semenjak mengetahui nama Mia.

“Jadi, Señor—

“Tidak apa –apa, Señorita. Anda bisa memanggil saya dengan Aguirre saja. Tak boleh ada formalitas di antara teman mengobrol, apalagi yang telah membelikannya minuman.”

Mia tergelak. “Baiklah,” kata gadis itu, “Dan kalau begitu, Anda juga cukup memanggil saya dengan Mia saja.”

Aguirre mengangguk sopan.

“Jadi, Aguirre, boleh aku tahu tentang kemiripan yang aku miliki? Dengan temanmu itu?”

Claro que sí, Mia. Semua ini sebenarnya adalah tentang seorang gadis pujaan hatiku ketika masih seumuranmu. No, mungkin lebih muda.”

Mia mencondongkan tubuhnya ke depan, penuh rasa tertarik dengan cerita kenangan itu.

“Seperti apa rupanya?”

Aguirre menerawang ke plafon café, menghadirkan kembali gadis yang ia maksud dalam ingatan.

“Matanya, Mia, bentuk rahang serta bibirnya begitu mirip denganmu. Namanya pun juga Amelia, tapi dengan panggilan berbeda. Mila.”

“Mila, Mila,” bisik Mia mengulang- ulang. “Entah kenapa aku merasa gadis pujaanmu pasti sangat cantik.”

Absolutamente. Dia memang sangat cantik, sama sepertimu. Tapi tetap saja dia adalah gadis terbaik bagiku di seluruh dunia.”

Mia tertawa sepenuh hati. Memang tak ada ruginya ia datang ke sini untuk mengubah suasana hati yang seratus persen berbeda bila dibandingkan dengan pagi tadi. Atau kemarin malam.

“Tentu, Aguirre. Dia pastilah orang tercantik di dunia ini untukmu.”

“Kau ingin melihat wajahnya, Mia?”

Mia mengangkat bahu. “Bila memang bisa..?”

“Ya, kau bisa.” Aguirre menggeser ruang duduknya dan mengeluarkan sebuah dompet lusuh dari kantong belakang celana. Ia menatap dompet itu penuh kasih, lalu dengan hati- hati meletakkannya di atas meja.

Mia yang penasaran, memperhatikan saja apa yang diperbuat Señor Miguele Aguirre. Beliau membuka dompet itu dan memperlihatkan bagian dalamnya yang telah diselipi foto.

“Ini dia, gadis yang selalu mengisi hatiku,” kata Aguirre dengan suara bergetar lembut.  Tangannya mengangsurkan beberapa foto hitam- putih ke hadapan Mia, yang disambut gadis itu dengan rasa ingin tahu.

Di foto terdepan ada seorang pemuda di sana dengan jas sederhana, memegang kedua lengan gadis yang ada di hadapannya. Gadis itu mengenakan gaun mewah nan indah –Mia bisa melihat kemewahan itu walau hanya dalam gambar hitam- putih –dan keduanya saling memandang bahagia begitu foto itu diambil. Di foto lainnya –masih diambil di tempat yang sama –keduanya bersulang dengan minuman masing- masing di tangan. Dua foto lainnya disertai beberapa pria dan wanita lain. Mungkin prajurit serekan Aguirre dan teman- teman sang gadis.

“Dia sangat cantik, Aguirre,” puji Mia setulus hati. Ia perhatikan wajah sayu gadis di foto, yang begitu menenteramkan dan penuh misteri. Wajah yang juga menarik bagi Mia, dan membuatnya teringat akan sesuatu.

Tapi ia tak tahu itu apa.

“Ia tahu benar kau mencintainya, Aguirre. Aku bisa melihat pandangan matanya.”

“Ya,” gumam Aguirre lirih. Ia masih tampak sibuk mengenang di kejauhan. “Dan aku juga tahu benar bahwa Mila mencintaiku sama besarnya dengan cintaku padanya.”

“Kalian menjadi sepasang kekasih?” tanya Mia tertarik.

“Ya, begitulah.”

“Oh, sungguh membahagiakan! Dimana dia sekarang? Berapa orang anak kalian?” Mia menanyai lelaki tua itu bertubi- tubi. “Kau sangat beruntung bisa menghabiskan hari bersamanya hingga tua!”

Aguirre tersenyum getir. “Sayangnya, Mia, aku tak pernah bisa menghabiskan masa tuaku dengan Mila.”

Mia kaget. Sebersit rasa bersalah menghinggapinya karena terlalu senang sebelum Aguirre menceritakan kisahnya. “Me…ngapa?”

Wajah berseri Aguirre kembali mengkerut seperti semula. “Foto ini diambil di lantai dansa, saat kami terakhir kali menari bersama. Dan tak lama sesudah itu, aku tak lagi bisa bertemu dengannya.”

Mia menatap lelaki tua di depannya lekat- lekat. Keduanya sama- sama resah untuk alasan yang berbeda.

Perdón, Aguirre, tapi mengapa saat itu kalian berpisah? Apa yang terjadi?”

Aguirre menghembuskan napas seraya mengelus- elus kepala tongkatnya. “Ada banyak hal yang terjadi, Anakku. Kala itu aku masih hidup dalam pergolakan politik, perang, kemiskinan, pengkhianatan –“ Kata- katanya tercekat di tenggorokan sampai di situ, dan sebuah genangan terbentuk di mata coklatnya yang tak lagi berbinar.

Sebelum Aguirre melanjutkan, Mia sudah menggenggam tangan kanan si lelaki tua.

“Aguirre, aku sungguh tak ingin membuatmu bersedih. Jika semuanya sangat menyakitkan untuk diceritakan, lupakan semua pertanyaanku. Ini pasti sangat berat bagimu, dan aku malah membuatmu mengingat semua masa- masa sulit itu.”

Aguirre menggeleng. “Tiada mengapa, Anakku, malah sebaliknya. Kau tahu, kehadiranmu di sini dan melihat wajahmu, seakan membawakan kembali bayangan indahku tentangnya. Seakan aku duduk bersamanya sekarang, walau kenyataannya kau adalah orang yang lain di masa yang berbeda.”

Mia tersenyum penuh kasih. “Kau pasti sangat merindukannya.”

“Memang,” lelaki tua kembali menghembuskan napas. “Entah dimana keberadaannya sekarang, entah ia memiliki usia yang cukup panjang sepertiku atau tidak. Apakah ia selama ini memiliki keluarga yang bahagia bersama suaminya lalu memiliki anak cucu –atau tidak. Aku ingin tahu semua itu, semuanya.”

Aguirre memutar- mutar tongkatnya. “Tapi aku sudah menerima semua itu dengan lapang dada. Mengharapkan agar dapat bertemu kembali dengannya sepertinya sangat muluk.”

“Tapi bukan berarti tak dapat kaulakukan, Aguirre.”

“Aku sudah sangat tua, Nak,” kata Aguirre. Dengan perlahan ia mulai mengemasi foto- foto yang telah disusun rapi Mia. “Aku sudah bersyukur tentang banyak hal menyenangkan yang sempat kualami dalam hidup, dan kini aku hanya berharap semoga Tuhan mengambil nyawaku di masa paling bahagiaku. Suatu saat nanti.”

“Apa saat ini kau merasa… tidak bahagia?”

“Sangat bahagia. Namun bukan yang ‘paling’. Mungkin saja Tuhan akan memberikan kemurahan agar memberiku beberapa keajaiban sebelum aku mati, bukan? Seperti menang undian, atau tiba- tiba Presiden ingin bertemu denganku –“

Mia mengerutkan bibir. “Kau membahas kematian semudah itu, Aguirre. Seperti akan pergi bertamasya saja.”

Aguirre tersenyum. “Suatu saat nanti kau juga akan sampai pada tahap itu dalam hidupmu, Nak. Bahwa kau tak akan lagi menginginkan apapun lagi dalam hidupmu dan hanya ingin kedamaian.”

“Begitukah?”

“Ya. Dan kau nantinya bisa merasakan kegelisahan atau kesenangan seseorang hanya dari gerak- geriknya. Aku cukup yakin tadi saat pertama melihatmu,” sambung Aguirre, “Bahwa kau telah berbisik- bisik dengan putra Zavala dan telah mengetahui bahwa hidupku banyak dihabiskan dalam peperangan, bukan? Mungkin kalian juga telah menebak- nebak pangkat apa yang kumiliki.”

Amelia merasa malu sekaligus terkejut. “Kau… mendengarkan kami tadi, Aguirre?”

Lelaki tua itu terbahak. “Nak, telingaku sudah bebal dengan suara mesin dan senjata perang, hingga akhirnya aku tuli lebih awal dari yang kuduga. Tapi itu tak seburuk yang kaukira –aku tetap menikmati usia empat puluh tahunku dengan baik. Jadi kini, aku menggunakan alat bantu dengar,” ujarnya seraya menyentuh sebentuk alat kecil berwarna putih yang disangkutkan di bagian telinga atas. “Tidak, tidak. Aku sama sekali tak mendengar percakapan kalian –tapi aku bisa melihat tatapanmu yang mengarah sesekali padaku saat kalian berbisik. Juan pun begitu, tapi ia tidak melakukannya seterang dirimu, Mia.”

Untuk kesekian kalinya Mia merasakan malu yang amat sangat –plus rasa segan. “Maafkan kami, Aguirre. Kami tidak berniat menggosipkanmu seperti itu.”

“Tidak apa- apa,” Aguirre menjawab dengan wajah tenang. “Aku yakin benar gosip kalian tidaklah buruk benar.”

Mia terkekeh, dan sebelum ia berucap lagi Aguirre sudah mengambil alih. “Orang- orang yang hidup di masa sekarang seperti buku yang terbuka –mudah sekali untuk membaca perasaan mereka, apalagi anak- anak muda. Benar- benar transparan.”

“Termasuk aku?”

“Ya, termasuk kau. Generasi di masaku dan sebelumku lebih suka menahan semua perasaan –sedih ataupun senang. Aku tak mengatakan bahwa memiliki perasaan terbuka itu tak baik –malah sebaliknya. Tak perlu banyak kata untuk menyampaikan isi hatimu. Dan dapat kukatakan, menebak- nebak perasaan orang lain tidaklah mudah. Kini kau tak perlu lagi melakukan hal itu. Tapi tetap saja, orang muda selalu membuat segala sesuatunya menjadi lebih rumit.”

Mia tampak berpikir- pikir. “Seperti apa, misalnya?”

“Seperti pengabaian apa yang sudah jelas- jelas ada di depan mata,” jawab Aguirre santai. “Kau tahu apa yang bisa kulihat dari percakapanmu bersama putra Zavala tadi?”

Qué?”

Wajah berbinar Aguirre sudah kembali. “Bahwa kau sebenarnya menaruh perasaan untuk pemuda itu, dan begitu pula sebaliknya.”

Kepala Mia tertunduk sedikit. Sebuah daya tarik aneh telah membuatnya mengobrol dengan si tua Aguirre, dan kini ia merasa ganjil karena merasa seperti sedang dirontgen.

Bukan tulangnya. Tapi hati dan pikirannya. Lelaki tua itu memindai semua tentang Mia hanya dengan pandangan sekilas yang menyenangkan dan gampang diremehkan.

“Begitu jelaskah?”

“Bagiku, ya,” sahut Aguirre jujur. “Tapi aku mengatakan ini sebagai orang yang jauh lebih tua darimu, Mia, yang telah merasai hidup dengan berbagai kemelutnya. Jangan khawatir, aku cukup yakin orang lain tak cukup pandai membaca itu. Bagi orang zaman sekarang, kalian hanya terlihat melakukan perbincangan biasa. Dan mungkin karena perbedaan zamanmu dan zamanku itu pula, dan perbedaan cara menunjukkan perasaan, yang membuatku bisa mengetahuinya.”

“Ah.”

Bueno,” ujar Aguirre sambil mengangkat dirinya dengan tumpuan tongkat, “Senang berbicara denganmu, Señorita Amelia Caras. Oh, maksudku Mia.”

“Aku juga senang berbicang denganmu, Señor Miguele Aguirre. Oh, maksudku Aguirre,” sambut Mia tertawa. “Kau akan pergi sekarang?”

“Ya. Pundakku mulai mendenyut sakit lagi, dan kurasa aku butuh istirahat secepat mungkin.”

“Cepat sembuh, Aguirre,” tukas Mia dengan raut cemas.

Lelaki itu tertawa. “Tidak usah khawatir begitu. Ini hanya penyakit tua.”

Ia menjabat tangan gadis itu yang juga buru- buru berdiri. “Aku berharap kita bisa berjumpa lagi suatu saat nanti.”

Mia tersenyum senang. “Bila kau datang lagi ke cafe ini besok, kau pasti bisa menemukanku.”

Aguirre ikut tersenyum, lalu mengangkat tangannya agak lama ke arah Mia –yang dibalas gadis itu dengan lambaian. Perhatian Mia terus tertuju pada lelaki tua Aguirre yang berjalan lambat- lambat, melewati meja remaja yang asyik berswafoto dengan enchilada mereka.

Begitu Aguirre lenyap di balik tembok café, Mia duduk kembali namun dengan perasaan yang jauh lebih senang. Sesuatu dalam pembicaraan bersama lelaki tua itu telah memberi ketenteraman dalam dirinya, dan Mia sudah tak sabar ingin bertemu dengannya lagi esok.

“Senang dengan teman Papa?” goda Juan yang datang mendekat. Pemuda itu sebenarnya sudah menyelesaikan pekerjaannya sejak tadi, dan belum ada pelanggan lain yang datang lagi. Juan ingin kembali ke meja Mia, tapi begitu melihat gadis itu tampak asyik mengobrol dengan Aguirre, ia mengurungkan niat dan memilih untuk mengamati keduanya dari meja bar hingga Aguirre pulang.

Sí,” kata Mia riang.

Alis Juan naik. “Wow. Sepertinya suasana hatimu langsung berubah usai bersamanya. Señor Aguirre pasti memiliki kelebihan dibandingkan diriku.”

Gadis berambut hitam kecokelatan itu terkekeh. “Kau cemburu?”

“Kurasa begitu,” kata Juan mengerucutkan bibir. “Kalian mengobrol apa saja tadi?”

“Tak banyak. Sebenarnya lebih banyak tentang Aguirre. Ia mengenang masa mudanya.”

“Hanya itu?”

“Eh—ya,” sahut Mia agak ragu. Ia tahu benar kalau tadi sempat membahas tentang dirinya dan Juan yang saling menyukai, tapi ia tak ingin mengatakan semua itu pada Juan sekarang. Setidaknya belum.

“Begitu,” Juan manggut- manggut. Ia mengubah posisi duduknya sedikit, kemudian menurunkan pandangan ke bawah meja.

“Kau tahu, Juan?” kata Mia antusias, “Aguirre tadi menceritakan tentang kekasihnya padaku, dan menurutnya aku dan dia sangat mirip! Begitu pula nama –ada apa, Juan?” Mia tiba- tiba berhenti berceloteh tatkala melihat Juan membungkuk ke bawah meja.

“Sepertinya aku baru saja menginjak sesuatu.”

“Apa?”

Juan memang tampak berusaha meraih- raih di lantai kemudian kembali menegakkan punggungnya. “Foto,” gumam pemuda itu sambil mengamat- amati.

“Mia!” seru Juan tiba- tiba. Matanya masih tertuju pada foto itu. “Kau berdansa dengan siapa? Astaga pakaianmu kuno sekali! Dan siapa laki- laki ini?”

Mia masih berusaha menghubungkan maksud rentetan pertanyaan Juan, hingga akhirnya ia paham.

“Itu bukan fotoku, Juan! Itu pasti milik Aguirre. Yang kaulihat itu pasti kekasihnya,” Mia menarik lengan Juan sehingga ia dapat melihat foto itu dengan jelas. Sementara itu Juan masih tampak bingung.

“Ahh, benar. Ini foto Aguirre dengan kekasihnya.”

“Maksudmu, laki- laki di foto ini adalah Aguirre? Dan gadis yang bersamanya bukan… kau? Sama sekali?”

Sí. Aguirre bilang namanya juga Amelia.

“Tapi kalian berdua memang begitu mirip!” seru Juan yang masih terpukau. Pandangannya terus berpindah- pindah pada Mia dan gadis di foto itu.

“Benarkah?”

“Ya. Apa kau merasa tak punya hubungan apapun dengan kekasih Aguirre ini?”

“Bagaimana mungkin? Kenal pun tidak.”

“Tapi kemiripan kalian berdua sungguh luar biasa! Seperti saudara kembar!”

Mia diam sejenak, lalu mengerutkan dahi.“Aku tidak merasa seperti itu.”

“Ya, memang biasanya begitu. Seseorang tak akan menyadari kemiripannya dengan seorang yang lain, tapi orang di sekitar mereka tahu itu.”

Mia manggut- manggut. “Tapi aku memang tidak kenal dengan gadis ini –maksudku, ia tentu saja sudah tua sekarang.”

“Ya, sudahlah. Lupakan saja,” kata Juan mengangkat bahu. “Kebetulan seperti ini memang kadang- kadang terjadi. Tapi kurasa Aguirre tidak membuang foto ini, ‘kan?”

“Tidak. Pasti ketinggalan,” sahut Mia. “Dia tadi menunjukkan banyak foto padaku. Yang ini pasti jatuh ke lantai dan Aguirre tidak memperhatikannya.”

“Benar. Kalau begitu biar kusimpan dulu,” kata Juan. “Dia mungkin akan kembali nanti atau besok untuk mengambilnya.”

“Juan,” sergah Mia tiba- tiba, sembari menahan lengan Juan yang akan memasukkan foto ke dalam kantong celana. “Bisakah… aku saja yang mengembalikannya pada Aguirre?”

Juan diam sesaat sebelum memamerkan senyum. “Dia pasti lawan bicara yang menarik bagimu, ya?”

“Ehmm—“

Pemuda itu tak menunggu jawaban Mia, melainkan langsung mengambil foto itu lagi dari sakunya.

“Nah, ini,” kata Juan. “Setidaknya sudah dapat dipastikan bahwa besok aku akan bertemu lagi denganmu, Mia. Aku sungguh senang.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status