Share

Suatu Hari di The Rio Grande
Suatu Hari di The Rio Grande
Penulis: deuxfev

Bab 1 : Di Kedai Kopi Zavala

Bila seseorang selalu punya sekeping kecil dari hati yang tak pernah merasa asing dengan sesuatu, maka bagi Amelia Caras keping kecil itu adalah suasana lalu lintas di Jalan José María Izzaga yang kini dilaluinya.

Gadis itu menggerai rambutnya yang hitam kecokelatan, membiarkan tiap helainya ditiup angin yang bercampur dengan residu buangan kendaraan yang hiruk pikuk di jalan. Meski wajahnya sudah memerah oleh sinar mentari dan napasnya tersengal, ia tetap mempercepat kakinya yang diselubungi sepatu lusuh menapaki blok- blok pejalan kaki yang lengang. Siapa saja tahu bahwa lalu lintas di Meksiko –terutama kota kapitalnya –adalah satu dari banyak kota di dunia yang paling ramai, tak teratur, dan hiruk. Jalan dua arah itu akan terasa sesak bagi orang yang menginginkan kedamaian, tapi Amelia merasakan sebaliknya.

Ia menghirup udara pagi kuat- kuat –meski sudah bercampur dengan semilir karbon monoksida. Gas itu mungkin akan bertumpuk dan mulai meracuni paru- parunya saat ia tua, tapi Amelia tak peduli. Ia tahu kemana kaki membawa dirinya, dan setelah mengayun beberapa langkah, ia sampai di sebuah kedai kopi ‘Zavala’.

Dengan gaya seakan- akan bos, Amelia mengangkat tangan pada salah satu waiter, sambil melempar senyum manis. Ia memang sudah mengenali tempat itu sejak masih berkuliah di Universidad Autònoma Metropolitana (UAM). Bahkan ia sudah mengetahuinya jauh sebelum menjadi mahasiswa di sana. Bagi orang- orang yang jeli, tempat tongkrongan Amelia tak bisa dikatakan dekat dengan kampusnya, namun semua itu perkara sepele. Baginya keluarga Juan sudah seperti keluarganya sendiri, dan kedai kopi itu juga menyuguhkan aroma yang sama dengan wangi rumahnya, nan jauh dari pelupuk mata sejak ia merantau ke Meksiko City.

Como vas, güey? (*Apa kabar, kawan?)” sapa pemuda waiter tadi dengan menunjukkan senyum hangatnya pada Amelia. Dia adalah Juan Zavala –penerus kedai kopi yang telah seratus tahun lebih dimiliki keluarganya. Pemuda itu berpostur sedang, memiliki kulit khas Hispanik dan senyum berlesung pipi, dengan rambut cokelat keriting kecil- kecil. Sebuah fitur yang memancanrkan daya tarik klasik nan kuat. Bila ia mengenakan jubah berat dan sepatu besi, orang- orang bisa saja salah mengira bahwa pemuda tampan itu keturunan keluarga bangsawan dan akan melukisnya untuk pajangan museum.

Sejak kecil, Juan dan Amelia tinggal di sebuah desa kecil di perbatasan Meksiko, dekat sungai the Rio Grande. Akan tetapi pamannya yang tertua yang mewarisi kedai kopi ini tiba- tiba jatuh sakit tujuh tahun lalu. Beliau meninggalkan dunia ini empat bulan kemudian, tanpa istri atau anak seorang pun. Otomatis kedai itu jatuh ke tangan ayah Juan, yang merupakan saudara kedua. Dan itu artinya, ia harus pindah ke Meksiko City untuk membantu usaha keluarga.

“Tidak usah b**a- basi,” desis Amelia galak, walau sebenarnya ia malu. Aura ketampanan klasik Juan yang mengalir dari darah pihak ayah bertahan hingga zaman modern, dan cukup untuk membuat pipi Amelia memerah. “Mana Champurrado-ku?” (Champurrado adalah minuman atole berperisa cokelat).

Juan tertawa, lagi- lagi dengan lesung pipi yang nyata. “Kau selalu begitu, Mia, menuntut minumanmu sebelum aku menunjukkan menu. Bahkan kata- katamu barusan cukup untuk menyengatku hingga terkejut.”

“Apa kau sekarang terkejut?”

“Wah!” sorak Juan penuh kepura- puraan ekpsresif. “Ya, Mia. Aku baru saja terkaget oleh kuatnya sengatan perkataanmu.”

“Ya, dan bila sengatannya cukup kuat, aku akan menyumbangkannya untuk penerangan café-mu, Juan.”

“Astaga, astaga. Café yang terlalu terang akan membuat pemikiran- pemikiran halus meninggalkan kepala semua orang yang mencari inspirasi di sini, Mia. Kau membuat filsuf generasi muda kehilangan kebijaksanaannya.”

Mia tersenyum horor, yang dibalas Juan dengan anggukan mengerti. “Baiklah,  Señorita. Saya paham dengan keinginan Anda,” sahut Juan khidmat sembari mengangkat tangannya. “Setelah aku menyajikan minumanmu dan beberapa pelanggan lain, aku akan segera menemuimu di sini.”

Amelia Caras menaikkan alisnya penuh gaya, lalu mengangguk anggun. Selagi menunggu, ia memperhatikan furnitur kedai kopi berumur seratus tahun lebih itu dengan senang, seakan memberinya gagasan tentang negerinya yang bersahaja dan penuh warna. Ia tidak sedang membayangkan kota yang panas, bergulung asap kendaraan –melainkan sebuah hamparan daratan tropis diramaikan para pemusik yang memainkan akordion, dan beberapa wanita bergaun merah cerah menarikan La Conquista. Entah kenapa sebuah lagu menyusup ke otak Mia, membuat imajinasi wanita gemulai yang melambaikan rok bundar mereka semakin nyata di mata gadis itu.

Suara berisik monoton dan musik bervolume pelan membuat angan Mia makin melayang jauh, tanpa menyadari keributan di meja bar, tepatnya dekat pintu menuju dapur. Seorang lelaki tua berwajah riang karena paparan sinar matahari tampak berusaha menggeser tubuhnya yang gemuk di ruang yang sempit dan sesak dekat pintu dapur. Para pekerjanya menepi, memberi jalan bagi Señor Zavala yang begitu bersemangat tatkala anaknya memberitahu tentang kehadiran Amelia kecil di cafe tuanya. Bahkan sebelum dirinya benar- benar lepas dari persegi kecil yang penuh botol minuman, ia sudah berteriak lantang.

Hola, Mia!” sorak pria tua itu senang. Senyumnya melebar begitu melihat gadis kecil yang sudah tumbuh dewasa itu beranjak menghampirinya. Mia memang bukan orang asing bagi Tuan Zavala. Keluarga keduanya sudah begitu akrab sejak tiga generasi yang lalu, seakan hubungan mereka sudah seperti pertalian darah gaib yang sangat kental. Papa Mia juga adalah kawan akrab Tuan Zavala –Papa Juan –dan umur mereka tidak berbeda jauh. Kakek Mia dan Juan pun juga hampir sebaya.

Kadang Mia berpikir kalau- kalau sejak dulu keluarganya dan Juan selalu membuat kesepakatan soal kapan mereka ingin punya anak.

“Buenos días, Señor! Selamat pagi, Pak!” sambut Mia. Ia memeluk pria yang sudah ia anggap ayah kandungnya sendiri itu, dan tak lupa mencium udara di pipi kiri- kanannya. Tuan Zavala juga melakukan hal yang sama.

Cómo estás, mi chiquita? Bagaimana kabarmu, gadis kecilku? tanya pria itu dengan hangat seraya memegang lengan Mia erat. “Juan memberitahuku bahwa kau datang kemari, dan kuharap kau tak lupa untuk memberi salam pada si tua ini, no?”

“Aku sangat baik, Señor. Tentu aku takkan pernah lupa. Dan tampaknya kota ini telah membuat Señior juga lebih bahagia?”

“Oh, tidak, Nak. Hidupku masih seperti itu juga sejak Veronica- ku yang malang meninggalkan dunia ini,” keluh Tuan Zavala. Matanya memandang plafon kayu, sambil mengenang almarhumah istri tercinta. “Hatiku sama remangnya dengan cafe ini, dan kedatanganmu kemari sungguh mencerahkan café ini, Mia! Illuminado!”

Amelia tak sanggup menahan senyumnya begitu melihat lelaki tua ini. Sekali lagi, perasaan rindu akan kampung halaman menyerbu hatinya yang rapuh.

“Nah, Señior. Tadi Juan berkata bahwa keberadaanku akan membuat para filsuf lari dari tempat ini, saking silaunya. Jadi mana yang benar?”

“Ah, chiquita, jangan dengarkan pemuda ingusan itu! Ia tidak tahu apa- apa soal filsuf dan malah membual yang tidak- tidak padamu. Kau lulusan perguruan tinggi, jangan terkecoh dengan rayuannya.”

“Tapi Juan cukup pintar, Señior. Ia rajin belajar saat sekolah dulu. Sekarang pun ia masih suka membaca.”

“Oh, ya. Rajin membaca berita bola. Pun ia tak menjadi atlet.”

“Aku mendengarkanmu, Papa,” kata Juan sambil lewat. Ia membawa nampan berisi pesanan Mia dengan cemilan cuma- cuma, sementara alisnya naik dengan jenaka. “Aku masih tertarik soal belajar, kok, dan kadang- kadang aku membaca kolom sains dan politik. Mari, Mia, kita berbincang- bincang di tempat yang lebih pribadi tanpa adanya Señor Zavala ini. Di mana mejamu?”

Tuan Zavala merentangkan jari- jarinya dengan wajah heran. “Kau mengambil tamuku, mi hijo!” celetuknya.

“Memang, Papá! Orang- orang harus berbincang dengan teman seumurannya. Tunggulah sampai teman Papa datang,” goda Juan pada ayahnya sambil terus berjalan mengikuti Mia menuju pojokan gadis itu tadi.

“Ya, ya. Terserah kau saja. Tapi kau harus membersihkan dapur sebelum pulang nanti, sebagai bayaran waktu yang kau habiskan untuk berceloteh.”

Sí, Papá,” sahut Juan patuh. Tuan Zavala tampak senang, dan ia pun berbalik ke dapur. Juan memandang gadis sinis di depannya dengan tenang.

“Nah, sepertinya kau ingin ngomong sesuatu denganku?”

Sudut bibir Mia tertarik ke pinggir sedikit setelah menyesap Champurrado-nya. “Ya, begitulah. Tapi boleh aku bertanya sesuatu? Siapa teman Papámu yang kau maksud tadi?”

“Kau akan segera tahu nanti,” tukas Juan. “Beliau adalah pelanggan tetap di sini, dan jauh lebih tua dari Papá. Dan beliau berdua sering berbincang bersama, macam- macam topiknya. Kalau boleh kubilang, pelanggan di sini cukup beragam beberapa bulan terakhir. Ada beberapa orang tua hingga yang usianya delapan puluhan –jadi tak cuma remaja tanggung melulu. Jadi Papaku tak pernah kekurangan teman di sini dan selalu merasa terhibur.”

“Oh,” seru Mia, membuka mulutnya lebar. “Itu sebabnya Señor tampak lebih bahagia dari sebelumnya. Kenapa bisa begitu? Tiba- tiba ada segerombolan orang tua yang tertarik ngopi di café?”

Juan menggerak- gerakkan telunjuknya dengan sombong. “Hmm, kau tak mengerti faktanya, Mia! Memang café Zavala terlihat modern dari luar, dan itu sebabnya bertahun- tahun ini Paman dan Papa hanya bergantung pada pelanggan muda. Tapi sejak kedatangan teman Papa yang satu ini..,” katanya tersenyum menyeringai, “…Semuanya berubah. Orang semua usia datang ke sini, untuk bertukar cerita- cerita dan kenangan lama.”

Mia menyipitkan mata. “Aku jadi ingat kedai- kedai kopi di desa kita, Juan. Dipenuhi tetua, tapi kita tak pernah merasa canggung di sana.”

“Ya, ada sebuah perasaan yang sudah kita kenal yang menenangkan, una familiaridad yang kita sukai dan kita sendiri tak tahu apa. Tunggulah beberapa saat hingga kau akan merasa seakan berada di Rio Grande lagi.”

“Oke. Berapa lama aku akan bertemu dengan teman Papamu? Aku tak sabar.”

Juan mendecak. “Itulah! Itulah yang membuatmu menjadi seorang Mia. Ketidaksabaran dan temperamen yang berubah- ubah.”

“Jawab saja pertanyaanku!” pinta Mia ketus.

Juan mengangkat kedua tangannya, mengisyaratkan Mia untuk tetap tenang. “Usai makan siang, kukira. Jam dua atau jam tiga. Dios mío! Oh, Tuhanku! Mia, kurangilah kemarahanmu itu sedikit- sedikit. Bukannya kau bekerja dengan seorang psikiatris…?”

“Psikolog,” Mia membenarkan.

“Ah, baiklah. Pun, aku tak tahu bedanya apa –tapi tentu kau mendengar banyak tentang terapi dan cara mengendalikan mental atau emosi…”

“Aku hanya marah pada hal- hal yang mengangguku dan tidak efisien, Juan.”

“Tapi tetap saja kau membuang energimu pada emosi yang tak perlu. Ah, beliau datang lebih cepat!” seru Juan tiba- tiba ke arah pintu.

“Apa?” tanya Mia. Ia menolehkan kepala ke belakang, mengikuti arah pandangan Juan. Seorang lelaki tua berusia delapan puluh lebih –mungkin juga ia sudah sembilan puluh, tampak masuk ke dalam café dengan perlahan. Sebuah tongkat kayu yang ditumpu tangan kanannya menimbulkan bunyi ‘ketak- ketuk’. Ia tampak begitu bersemangat, meski jalannya pelan –dan bahkan fisiknya sangat bugar untuk seorang tua yang membutuhkan bantuan tongkat.

“Itu dia, teman Papá,” bisik Juan. “Dia pernah bekerja di militer, setahuku.”

“Sebagai?”

“Hmm,” Juan berpikir- pikir. “Aku tidak terlalu paham soal istilah militer dan pangkat- pangkat. Papá pernah memberitahuku tapi aku lupa.”

Mia manggut- manggut. “Perawakan beliau memang kelihatan lebih bugar dan tegap dibandingkan orang seusianya.”

“Betul, kan? Nah, Papá datang.”

Sebelum lelaki tua itu berjalan lebih jauh menuju meja- meja bundar, Tuan Zavala tiba- tiba saja muncul bagai sulap dan memapah lelaki tua, mendudukkannya di salah satu kursi. Tuan Zavala sendiri menarik kursi di samping dan mulai menyapa lelaki tua tadi dengan riang.

“Papamu kelihatan senang sekali,” celetuk Mia.

Sí,” sahut Juan. “Beliau selalu berkata, kalau berbincang dengan orang yang lebih tua akan memberi banyak kebijaksanaan. Dan tampaknya Señor Aguirre juga senang bersama Papaku. Dan kukira sudah cukup membincangkan soal mereka –sekarang kita berganti pada masalahmu.”

“Masalah apa?”

“Tadi aku mengatakan kalau kau membuang emosi pada hal yang tak perlu.”

Mia tampak berpikir sejenak. “Ya, kuakui pernyataanmu itu memang benar.”

Juan mencibir, menggoda Mia. “Dan kurasa itu bukan tentang sesuatu yang tidak efisien, tapi karena kau masih belum dapat melupakan Mario, mantan pacarmu.”

Mia menghela napas, seakan- akan ia menghembuskan semua masalah yang mendekam dalam tubuhnya. Selintas telinganya mendengar pembicaraan Tuan Zavala bersama kawannya, dan dapat mendengar beberapa kata seperti ‘barak’, ‘pensiunan’, dan ‘Mayor’. Cepat- cepat gadis itu mengembalikan fokus. Ia tak ingin dikira menguping percakapan orang.

“Mungkin memang begitu, Juan. Aku sendiri heran. Sebagai orang yang melanjutkan studi di bidang Ilmu Sosial dan Humaniora, aku mempelajari manusia –tapi aku tak bisa mengerti diriku sendiri.”

Juan memamerkan senyum berlesung pipinya. “Semua orang seperti itu. Dan itulah gunanya teman, Mia. Aku di sini akan selalu membantumu. Dan kau juga bisa mulai melupakan Mario brengsék itu dengan mulai bergantung padaku. Tapi… kau berkali- kali menolak perasaanku. Kenapa?”

Mia menggelengkan kepalanya.

“Jadi apa yang menahanmu, Mia? Kau akan merasa lebih bebas menceritakan semua keluh- kesahmu. Jadikan aku sebagai corong perasaanmu bila kau mau, dan aku akan dengan senang hati mendengarkan semua tentang hidupmu.”

Mia diam, menatap Champurrado-nya yang tinggal setengah. Ia tak sanggup menatap pria di depannya ataupun berkata- kata, sebab bila ia melakukan salah satu di antaranya –mungkin perasaannya akan meledak seperti berondong jagung dalam microwave panas.

Sebab selama ini sebenarnya ia mencintai Juan melebihi segalanya. Ya, tapi apa yang menahannya? Ia sendiri tak tahu.

Juan menatap gadis keras kepala di depannya dengan lembut. “Baiklah, aku tak akan memaksamu. Tapi ceritakanlah semua yang mengganggu pikiranmu sekarang. Kau tidak bekerja pada psikolog itu lagi, bukan? Kau dipecat?”

Mia mengangkat kepala, matanya membulat. “Aku tidak dipecat, tapi…”

“Masih menulis untuk kolom sosial di koran lokal?” pemuda itu menyela lebih gesit.

“Ya,” sahut Mia tak sabar, “…Tapi bagaimana kau bisa tahu? Aku tidak bekerja lagi di tempat ahli psikologi itu?”

Mata Juan menyipit penuh rahasia. “Aku bisa mengetahui itu, Mia, tanpa kau menyadarinya. Sejak kapan? Dan kenapa?”

Mia mengerutkan bibirnya dengan sedih. “Aku mengundurkan diri seminggu yang lalu.  Aku tak merasa cocok di situ. Entah kenapa perasaanku selalu buruk akhir- akhir ini.”

“Perasaanmu buruk bukan karena pekerjaan, tapi karena Mario sialan,” Juan menegaskan sambil mengangguk- anggukan kepala. “Dia berhasil membuat suasana hatimu saat bekerja juga terpengaruh.”

“Benarkah?” tanya Mia dengan pandangan mengiba. Apa yang terlihat seperti kebalikannya –seorang yang mempelajari humaniora bertanya soal manusia pada pekerja café.

“Ya,” tegas Juan. “Dan yang perlu kau lakukan adalah jalan denganku.”

Mia melotot.

“Tidak, tidak. Aku bercanda,” Juan mecegah letup kemarahan Mia dengan tawa jenaka. Sepertinya ia tahu persis bahwa sesuatu dalam tawanya selalu berhasil menenangkan gadis itu.

“Oke, ini serius. Kau perlu mencoba sesuatu yang baru. Mengerjakan hal di luar kebiasaanmu ketika bersama Mario dulu. Semacam… mengusir perasaan monoton. Romper la monotonía.

“Hoo. Seperti apa?”

“Kau bisa pikirkan sendiri,” Juan bersandar di kursi sambil menyilangkan tangan di dada. “Kau pintar bukan? Itu yang selalu kau agung- agungkan padaku setiap hari. Aduh!”

“Hm? Kau kenapa?”

Juan cepat- cepat beranjak. “Perdón, Mia! Aku harus menemui pengunjung café yang baru datang,” kata Juan sambil mengedikkan kepala ke arah pintu. Beberapa pasangan muda- mudi –sepertinya mahasiswa –tampak masuk ke dalam kedai kopi Zavala.

“Baiklah. Kau harus menyelesaikan pekerjaanmu.”

“Kutinggal sebentar, ya. Aku akan kembali begitu aku selesai mengurusi mereka”

Mia mengangguk, matanya mengekori Juan yang tampak mempersilakan gerombolan mahasiswa itu untuk memilih meja dan menyuguhkan buku menu. Lewat bulu matanya yang panjang ia juga melihat sekilas ke arah Tuan Zavala yang sudah kembali ke dapur, meninggalkan lelaki tua tadi sendirian di mejanya. Memang, lelaki tua yang dipanggil Señor Aguirre itu datang terlalu pagi. Bapak- bapak umumnya lebih suka datang di jam tiga.

Pikiran Mia asyik sendiri memperhatikan muda- mudi yang mengambil tempat lumayan jauh darinya, sibuk mengamati label- label harga di buku menu dan berdebat apakah enchilada lebih cocok dengan saus merah pedas atau hijau. Mia hanya terkekeh geli, tanpa tahu bahwa lelaki tua yang berada dalam jarak semeja telah memperhatikannya pula dan memutuskan untuk berdiri dengan tongkat.

Lelaki tua itu berdiri di depan Mia, membuat gadis itu mengangkat wajah.

Buenos días, Señor!” sapa Mia refleks.

Lelaki tua itu tersenyum, membuat kerut- kerut matanya tampak dua kali lipat lebih banyak.

“Buenos días, Señorita. Perdón, boleh… boleh saya duduk di depan Anda?”

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Felicia Aileen
nice opening cant wait to read the next chapter.. boleh kasih tau akun sosmed ga ya soalnya pengen aku share ke sosmed trs tag akun author :)
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status