Share

Bab 3 : Berita di Perjalanan

Menjelang siang, Mia kembali pulang ke flatnya. Juan dengan senang hati mengantar gadis itu dengan mobil van yang sering ia gunakan untuk membeli keperluan kedai kopi, setelah memastikan ia mendapat persetujuan dari Papanya untuk meninggalkan café sementara waktu. Lagipula menjelang siang begini, café memang agak lengang, dan baru kembali dipadati saat istirahat makan siang.

Mia  sama sekali tak menolak tawaran Juan dan langsung naik setelah Juan membukakan pintu untuknya. Ia menurunkan jendela kaca mobil dan sempat memandang sekilas pada beberapa gadis dari gerombolan mahasiswa yang nongkrong di café Zavala tadi. Bibir mereka yang berminyak setelah menikmati enchilada dimonyong- monyongkan ke arah van Juan, mata mereka berkedip- kedip.

Jelaslah bagi Mia siapa target operasi gadis- gadis genit itu. Ia menyipitkan mata, berusaha membuat gadis remaja yang baru memasuki usia dewasa muda itu tahu diri sedikit.

Tapi sepertinya mereka tidak tahu diri sama sekali. Salah satunya bahkan memberikan ciumán jauh via udara.

“Kuberitahu nanti pada pacar- pacar kalian!” sorak Mia impulsif.

“Hm?  Kau bicara pada siapa, Mia?” tanya Juan bingung. Pemuda tampan itu tertegun saat hendak memasang sabuk pengamannya.

“Oh, no, no. Nada,” bantah Mia cepat- cepat. “Vamos, Juan. Kita berangkat sekarang.”

Juan mengangguk bingung, lalu ikut menurunkan kaca jendela di sampingnya. “Maaf, ya. Pendinginnya sedang rusak, jadi kita manfaatkan kesejukan alami dari luar saja.”

“Tidak kau perbaiki?”

“Tidak. Belum perlu,” sahut Juan. Tangannya yang kekar menggeser- geser persneling, lalu dengan lihai memutar roda setir. “Masih banyak keperluan lain yang lebih mendesak daripada memperbaiki pendingin ini. Lagipula tak banyak bedanya, bukan? Kau sendiri juga menurunkan jendela.”

“Benar juga,” Mia menyahut singkat. Mobil bergerak meninggalkan halaman café itu, dan sebelum mereka benar- benar menjauh, Mia memastikan ia melemparkan pandangan garang pada kelompok gadis genit tadi dengan senyum serigala yang menyatakan : Huh! Kalian kira kalian bisa mendapatkan pemuda di sampingku? Akulah wanita pujaan hatinya!

“Lagipula segala kekurangan van ini sudah dikompensasi oleh ketampananku,” kata Juan penuh percaya diri, tanpa mengetahui misi rahasia Mia. “Adalah kesempatan langka kau bisa duduk di mobil bersama orang sepertiku, Mia. Satu dari seribu.”

Claro,” jawab Mia datar. Misinya berhasil, sebab lewat spion ia bisa melihat para gadis mahasiswa tadi cemberut.

Claro?” Juan mengulang jawaban itu dengan kening berkerut. “Jadi kalau kau memang beranggapan begitu, apa itu tak cukup menggugah hatimu, Mia?”

Mia tampak puas dengan keberhasilan misinya, dan mengembalikan pikiran pada pembicaraannya bersama Juan yang terabaikan. “Perdón, Juan. Kau tadi bilang apa?”

Pemuda itu menelengkan kepala sedikit. “Kau tidak mendengarkan kata- kataku barusan?”

Mia mengerutkan wajah tak enak. “Ah, perdón. Aku sungguh minta maaf. Pikiranku berkeliaran entah kemana, dan—“

“Tidak apa- apa,” potong Juan. “Aku hanya menanyakan pertanyaan yang sama untuk yang kesekian kalinya padamu.”

“Apa itu?”

“Soal perasaanmu, tentunya. Apa kau sama sekali tidak memandangku sebagai seorang… pria? Bagimu?”

“Apa maksudmu,” gurau Mia berkilah. “Tentu saja kau pria.”

“Kau paham arti pertanyaanku Mia.”

Yang ditanya memandang ke jalan di depan mereka. Van Juan meluncur mulus dan teratur di atas aspal halus.

“Kita sudah saling mengenal sejak kecil, Juan. Hubungan keluarga kita sudah tak main- main lagi sejak bergenerasi- generasi yang lalu.”

“Ya, betul sekali.”

“Dan berada di dekatmu membuatku sudah terbiasa, dan…” Mia memijit- mijit jemari tangan kanannya, “… Dan aku sudah terbiasa denganmu seperti aku terbiasa dengan adik- adikmu, Papa dan Mamamu— bagiku, kau saudara laki- lakiku, Juan.”

Pelipis Juan berdenyut. Selama beberapa menit ia mengendarai mobil itu dalam diam, dan Mia yang tengah bergumul dengan rasa bersalah juga membisu di sampingnya.

“Siapa yang butuh menjadi saudara laki- lakimu, mi Señorita,” katanya setelah bermenit- menit berlalu. “Tidak pula aku. No soy tu hermano. Aku bukan saudaramu.”

Amelia melirik pada pemuda yang sibuk menyetir itu lewat sudut mata.

“Kau marah?”

“Tidak. Cuma kesal,” Juan menyahut acuh tak acuh. Ia mengerutkan hidungnya beberapa kali, yang tanpa ia sadari telah menjadi pusat perhatian Mia. Ingin benar rasanya gadis itu mencubit hidung Juan. Mia tak bisa menolak kenyataan bahwa tiap kali Juan merajuk seperti itu, ia sangat imut!

Tapi syaraf- syaraf di otak Mia mengendalikan kesadaran tangan gadis itu agar menahan geraknya menuju hidung mancung pemuda di sampingnya.

“Maafkan aku telah membuatmu kesal.”

“Bukan, bukan karenamu. Aku hanya berpikir kalau wajahku masih kurang gagah dibandingkan kriteria keinginanmu. Mungkin aku perlu menata ulang rambutku, atau pergi ke tempat pelatihan kebugaran dan menambah otot, atau…”

Mia tertawa. “Aku tak peduli dengan otot- ototmu, Juan. Kau yang sekarang adalah yang terbaik.”

Mendengar itu, Juan tak lagi mengerutkan hidung. Ia tersenyum lebar- lebar. “Tapi kau jangan khawatir. Aku cukup berotot, kok. Bila kita menikah nanti, aku takkan membuatmu malu di altar nanti saat kau memegang lenganku.”

Muka Mia memerah. Ingin sekali ia menabok wajah Juan yang sudah bagaikan Don Juan ini, tapi ia tak sanggup. Ia tahu betul kalau itu tak sekedar rayuan, karena Juan selalu bersungguh- sungguh. Rayuan itu bukanlah main- main bila keluar dari mulut Juannya ini.

Juannya. Ah, membayangkan Juan menjadi miliknya saja sudah cukup membuat hatinya riang.

Sesaat Mia melempar pandangan pada lengan Juan yang tertutup kaos panjang penuh rasa ingin tahu. Sayang, aksinya dipergoki Juan.

“Kau ingin tahu apa aku memang berotot atau tidak?” tebak Juan dengan senyum nakal. “Kau boleh periksa. Kau ingin aku singsingkan? Begini?”

Mia diam. Apa wajahnya memang setransparan itu seperti buku terbuka, sampai- sampai Juan pun bisa membaca isi hatinya?

“Tidak,” bantah Mia dengan suara nyaring yang aneh. Jelas sekali ia gelagapan. Percakapan ini telah membuatnya kikuk.

Dan Juan! Dia dengan sembarangan tertawa –sehingga gadis berambut hitam kecokelatan itu jadi mati gaya. Ia memandang ke jendela samping yang meniupi rambutnya dengan angin sepoi- sepoi –namun pemandangan pinggiran jalan kota Meksiko City tak ada yang cukup berhasil mengalihkan rasa malunya saat ini.

Untunglah, ponsel Mia berbunyi tepat pada waktunya. Cepat- cepat gadis itu mengobok- obok tasnya dengan bunyi gaduh.

Panggilan dari Mamanya.

Bueno, Mamá!”sapa Mia dengan keceriaan berlebihan.

Cómo estás, mi amor?”sahut Anastasia –Mama Mia –di ujung panggilan.

“Aku baik Mama. Mama dan yang lain di sana bagaimana?”

“Nah, itulah dia,” beliau menghembus napas di telepon.

Por qué, Mamá? Kenapa, Mama? Apa yang terjadi? Apa semua baik- baik saja?”

“Tidak seperti yang kita harapkan, mi amor,” jawab Anastasia lagi. Suaranya memang terdengar serius. “Kau tak perlu terlalu khawatir begitu. Tapi ya, hanya saja—“

“Hanya saja?” desak Mia. Matanya memelototi jalan di dekat rumahnya sementara Juan menoleh padanya dengan penasaran. Mereka sudah hampir sampai di depan flat Mia.

“Kau tahu bukan, Mia, nenekmu sakit sejak lama? Apa itu namanya –Alhazel—“

“Alzheimer,” Mia membetulkan.

Sí. Dokter mengatakan nenekmu perlu perawatan intensif, dan dengan segala peralatan dan fasilitas yang ada di desa, semua itu tidak memungkinkan.”

Mobil van Juan sudah berhenti tepat di depan flat yang dituju. Si pengendara mendengarkan percakapan telepon gadis di sampingnya itu tanpa malu- malu.

“Apa… begitu parah?” tanya Mia ragu- ragu.

Mamá akan menjelaskannya nanti, mi amor. Tapi dokter telah menyarankan agar pengobatan nenek dilanjutkan di Meksiko City. Dan saat ini kami sedang dalam perjalanan menuju flatmu.”

Mia kaget. Juan di sampingnya yang tak sabar terus berpantomim penuh tanya ‘ada apa, ada apa’ beberapa kali. Mia pun mengeraskan volume suara melalui speaker, sehingga suara Mamanya terpantul ke sudut- sudut van butut Juan.

Sí, mi amor.  Ada banyak penjelasan dari dokter kemarin, dan demensia nenekmu juga semakin memburuk. Mamá bahkan sama sekali tak yakin kalau… nenekmu akan mengenalimu nanti.”

Mulut Mia dan Juan ternganga.

“…Dan oleh sebab itulah dokter meminta agar pengobatan berlanjut ke Meksiko, agar beliau mendapat perawatan lebih baik, juga cambio de entorno. Perubahan suasana, mi amor, supaya demensianya semakin berkurang. Dokter juga berkata bahwa kehadiranmu sebagai cucunya mungkin akan membuat nenek senang. Jadi… kami mungkin akan tinggal di tempatmu untuk waktu cukup lama.”

Mia diam mendengar penuturan itu. “Kira- kira kapan Mamá dan nenek akan sampai?”

“Kami baru menaiki bus. Mungkin nanti sore, mi amor. Maafkan Mamá telah membuatmu repot begini. Kau pasti sangat terganggu, apalagi kau punya banyak pekerjaan di kota.”

Mia menggeleng, walaupun mamanya tak melihat gelengan itu. “No hay problema, Mamá. Kenapa harus minta maaf? Lagipula aku senang kalau Mamá dan nenek datang dan tinggal bersamaku di sini. Dan…” Mia menyambung dengan getir, “…kerjaanku tak sebanyak yang Mamá pikirkan. Oh, iya. Bagaimana dengan Papá? Papá akan sendirian di rumah.”

“Takkan seburuk itu,” kata Anastasia. “Papá-mu tidak bisa meninggalkan pekerjaannya, namun ia berkata akan berkunjung sesekali ke Meksiko City. Tak apa- apa, ‘kan, Mia?”

Mamá, Mamá. Kenapa terus meminta maaf? Aku sama sekali tidak apa- apa.”

“Kami akan menyusahkanmu selama di Meksiko, mi amor.

“Tidak usah pikirkan hal itu, Mamá. Yang harus kita pikirkan sekarang adalah kesembuhan nenek. Aku malah sangat senang karena kita bisa berkumpul bersama- sama lagi. Meskipun bukan di desa kita.”

Diam di ujung panggilan, dan Mia bisa membayangkan mungkin saat ini mamanya tersenyum lega.

“Baiklah, Chiquita. Kami akan mengabarimu begitu kami hampir sampai.”

“Baik, Mamá. Jagalah diri Mamá dan nenek baik- baik selama di perjalanan.”

Setelah saling berbalas salam dan sayang, panggilan terputus. Mia menyimpan ponselnya kembali, dan mengangkat wajah yang risau.

“Sepertinya sakit nenekmu semakin parah?” tanya Juan bersimpati.

“Ya. Seperti yang sudah kau dengar.”

Juan mengangguk. Tangannya masih menempel di setir mobil. “Kau mencemaskan sesuatu, Mia?”

Mia menggigit bibirnya, lalu mengangguk. “Mamá berkali- kali minta maaf karena takut menyusahkanku selama di sini. Takut mengganggu pekerjaanku. Dan kau tahu sendiri bahwa aku baru saja keluar dari pekerjaanku pada psikolog itu. Meski aku masih menulis, aku hanya punya kontrak lepas –jadi bisa dikatakan aku ini penganggur terselubung.

Juan manggut- manggut. “Kau khawatir dengan anggapan orangtuamu nanti.”

Mia menatap kosong dashboard di depannya. “Aku takut, mereka nanti kecewa dengan keadaanku sekarang. Aku luntang- lantung. Penghasilan sebagai penulis di kolom koran tidaklah banyak. Juan, aku ingin membiayai kehidupan keluargaku selama mereka di sini, namun aku sendiri takut dengan masa depanku,” Mia berujar gelisah. “Aku takkan bisa membiayai sepenuhnya dengan penghasilan sekarang. Maksudku— aku sama sekali tidak keberatan dengan kehadiran mereka, malah aku sangat bahagia. Hanya saja aku belum mendapatkan pekerjaan tetap, dan bila aku mengungkapkan semuanya mungkin Mamá akan mengabari Papá-ku dan beliau akan mengirimiku uang.”

“Kau tak suka dikirimi uang?”

“Bukan begitu,” ujar Mia yang masih bergerak gelisah. “Aku ingin menunjukkan diriku yang mandiri pada mereka, yang bisa membahagiakan mereka. Mereka takkan pernah sungkan mengirimiku uang sampai kapanpun –tapi aku malu, Juan. Aku malu pada diriku sendiri.”

Pemuda Zavala itu menatap gadis di sampingnya dengan lembut. “Apa untuk saat ini kau punya uang?”

“Ya. Gaji terakhirku bisa dipakai untuk hidup bertiga selama satu setengah bulan. Aku juga punya tabungan, tapi tetap saja aku takut dengan apa yang terjadi nanti.”

“Jangan cemas. Kau juga bisa menggunakan uangku bila kau membutuhkannya. Ssst! Aku takkan bilang pada keluargamu atau pada keluargaku soal ini.”

Senyum Mia tersungging lebar. “Gracias, Juan. Muchas, muchas gracias.”

“Itulah gunanya teman,” sahut Juan santai. “Oh, iya, bila memang kau telah resmi mundur dari pekerjaanmu di tempat psikolog, maka kau takkan kemana- mana? Apa Mamamu takkan heran bila sampai di sini dan mendapati anaknya tidak mengerjakan apapun?”

“Ah,” erang Mia. Ia baru terpikirkan itu.

“Kurasa kau perlu mempertimbangkannya, Mia. Kau bisa tetap berangkat tiap pagi seperti biasa, namun kau bisa gunakan waktu itu untuk mencari pekerjaan.”

Mia mengangguk lemah. Ia tak bisa berbohong pada Mamanya.

Juan meraih tangan gadis  yang ragu- ragu itu. “Dengar, Mia,” mulainya, “Aku selalu mendukung apapun keputusanmu. Kau bisa mengatakan keadaan yang sebenarnya dengan jujur pada mama dan nenekmu. Tapi kau sendiri tak ingin menyakiti mereka. Atau kau bisa melakukan hal lain untuk itu. Kau bisa ikut membantuku di café, misalnya. Itu pekerjaan juga bukan?”

“Tapi apa yang akan kukatakan pada Papamu?”

“Papa bisa menjaga rahasia,” kedip Juan. “Dengar. Apapun yang kauputuskan, ingatlah : aku selalu mendukungmu. Bila Señora Caras sampai sore nanti, kau masih punya waktu untuk berpikir, bukan?”

Mia mengangguk lagi, masih selemah tadi.

“Aku selalu bersamamu, Mia,” tegas Juan. Ia mengeratkan genggaman tangannya pada jari- jemari Mia.

Memberi gadis itu kehangatan dan kekuatan.

***

Sesampainya di flat, Mia segera membereskan semua barang- barangnya yang berantakan. Butuh waktu hingga tiga jam lebh baginya untuk menata seluruh ruangan hingga kembali terlihat seperti ‘flat gadis lajang yang ideal’. Mia juga tak ingin digerecoki oleh sang mama soal isi kulkasnya yang kosong melompong –seperti hatinya kini setelah putus dengan Mario –sehingga gadis berambut hitam kecokelatan itu juga berbelanja ke minimarket terdekat untuk membeli sayur dan lauk mentah.

Setidaknya ia sudah memberikan representasi seorang anak gadis Mamanya yang baik –buena chiquita saat Anastasia datang nanti.

Setelah puas, Mia beristirahat sambil menjelajahi mesin pencarian di komputernya. Ia tahu benar apa yang ingin ia cari.

Jari- jemarinya lincah menari- nari di atas keyboard mengetikkan satu kata:

Alzheimer

Monitor menampilkan sehalaman penuh link, dan dengan serakah Mia membuka semuanya dalam tab baru. Ia hanya butuh waktu sekitar setengah jam untuk melahap habis semua bacaan tentang penyakit tua itu.

Alzheimer adalah penyakit yang banyak menyerang lansia di atas usia 65 tahun, dan banyak faktor penyebabnya, termasuk genetik dan cara hidup. Tak pernah benar- benar ada cara untuk menyembuhkan penyakit yang menyerang urat- urat syaraf otak itu –hanya memperlambat perkembangannya saja agar tak semakin parah.

Mia menghembuskan napas seraya bersandar di kursi. Serbuan informasi yang menyesakkan itu membuatnya semakin merasa tak enak. Selama ini ia memang sudah tahu bahwa sang nenek mengidap Alzheimer, namun apa yang beliau alami masih berada di tahap awal sehingga belum menunjukkan tanda- tanda menuju berbahaya. Apalagi ia jarang sekali pulang ke desa semenjak berkuliah di UAM, dan waktu yang ia habiskan saat berlibur pun tak menjamin pertemuan dengan sang nenek. Neneknya lebih suka tinggal bersama Maria Cano –anak perempuannya yang bermukim tak jauh dari desa mereka sendiri.

Ia tak pernah benar- benar menjaga keluarganya selama ini, sebagaimana yang dilakukan Juan untuk keluarga Zavala. Ia terlalu sibuk dengan kehidupan pribadinya.

Mia tersenyum tipis untuk dirinya sendiri. Mungkin semua masalahnya –baik dalam percintaan dan pekerjaan –yang muncul di depan kedua bola matanya kini, hadir dengan tidak sia- sia.

Mungkin memang Tuhan ingin membuatnya kembali pada kehangatan keluarganya. Dan kedatangan Mamá dan abuela adalah rangkaian puzzle yang telah dicocokkan agar tujuan itu terwujud.

“Dios mío,” Mia bergumam lirih, “Dale fuerza a mi abuela. Berikanlah nenekku kekuatan. Amen.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status