Alih-alih menjawab, Airish malah menggeram dalam diam. Tangannya mengepal, menahan kesal yang mulai merajai diri. Dia segera meraih ponsel dan kembali menghubungi Elvian.
"Apa dia sudah bosan hidup?" Airish bergumam seraya menunggu jawaban dari asisten pribadinya tersebut. Akan tetapi, sepertinya Elvian benar-benar tidak punya nyali yang cukup untuk menghadapi seorang Airish Sevanya walaupun hanya melalui telepon.Karena tidak juga membuahkan hasil, Airish pun memutuskan untuk mengirim pesan kepada Elvian.[Masih nggak mau angkat telepon? Hm, kayaknya cuaca hari ini lagi bagus buat nulis nama seseorang di batu nisan!]Setelah pesannya dibaca oleh Elvian, Airish tidak perlu menunggu lebih lama lagi, karena laki-laki itu sendiri yang meneleponnya tanpa diperintah.Airish buru-buru mengangkat panggilan."Apa sebelumnya aku pernah bilang padamu butuh pembantu baru?!" Tanpa kalimat sapaan, wanita itu langsung menyerang Elvian dengan pertanyaan yang mengerikan.'Rish, tenang—'"Siapa yang menyuruhmu mempekerjakan seorang pembantu di rumahku?!" sela perempuan itu. "Kalau bosan hidup, setidaknya bicarakan baik-baik, El. Aku bisa menguburmu hidup-hidup kalau kamu mau!" sindirnya.'Ayolah, Rish .... Bukankah seharusnya kamu senang karena punya pembantu baru di rumah? Kamu enggak perlu berterima kasih sama aku, karena aku ikut senang bisa meringankan beban hidupmu.'"Omong kosong macam apa ini?" Airish berdecih remeh. "Selama seorang Elvian Nuraga masih hidup, aku jelas enggak butuh siapa-siapa untuk dijadikan pembantu!"'Selama aku hidup? Tolong jangan pernah katakan kalimat mengerikan itu lagi, Darling. Aku bukan babumu,' ucap Elvian di seberang sana. 'Dan aku jelas enggak pernah menjual diriku untuk mengabdi padamu seumur hidup.'"Berani-beraninya kamu bilang begitu." Airish bergumam pelan. "KAMU SADAR DENGAN SIAPA KAMU BICARA SEKARANG, HAH?!" hardiknya.Ucapan Airish dengan nada tinggi sukses membuat Sulastri tergemap dan hanya bisa menunduk ketakutan.'O-okay .... Aku minta maaf,' balas Elvian. Lagi-lagi harus mengalah. Berdebat dengan Airish sama saja seperti sedang menggali kuburan sendiri.Airish mendengkus. Sedikit tersenyum miring karena tahu pada akhirnya dia akan selalu memenangkan perdebatan. "Bagaimana soal Juna?" tanyanya yang mulai mengganti topik pembicaraan.'Uhm, itu—'Hening sejenak."Lanjutkan, El!"'Dia ... enggak mau diajak kerja sama.'"Jangan bercanda, El!" Airish terkekeh remeh. "Memangnya masih ada orang di dunia ini yang menolak pesona uang?"'Ada, dan Juna adalah bukti nyata dari penolakan tersebut.'Sulit dipercaya!Airish sama sekali tidak menyangka akan ditolak oleh seorang bocah laki-laki yang menurutnya bahkan masih bau kencur."Ini penghinaan," ujar Airish sambil menggeleng tak percaya. "Dia sudah membuat mood-ku berantakan!"'Yeah! Aku tahu akhirnya akan begini. Itu sebabnya aku mempekerjakan seorang pembantu di rumahmu, Rish, agar aku bisa menghindari kamu yang sedang dalam mode singa betina.'Tanpa banyak omong, Airish langsung mengakhiri telepon secara sepihak. Dia menjauhkan ponsel dari telinga, melirik Sulastri yang masih belum berani mendongakkan kepala."Bi Sul?" Airish memanggil dengan suara pelan, tapi menekan."I-iya, Non?""Angkat satu kaki sambil jewer kedua telinga, dan jangan berhenti sebelum aku yang nyuruh berhenti!""Tapi, Non—""Lakukan sekarang juga, atau aku akan memberi hukuman yang lebih berat lagi?!""B-baik, Non!" Tanpa banyak protes, Sulastri segera melakukan apa yang diperintahkan oleh Airish.Itulah alasan kenapa Elvian berusaha menghindari Airish hari ini, yaitu karena dia tidak ingin dijadikan pelampiasan karena suasana hati Airish yang sedang buruk akibat mendengar kabar tentang penolakan Juna.Elvian sudah bosan menerima berbagai hukuman yang bahkan lebih aneh dan berat dari apa yang Sulastri dapatkan—demi memperbaiki mood Airish agar kembali merasa senang.Sementara itu, kaki-kaki Airish bergerak turun dari kasur hingga menjejaki lantai. Dia mulai menyentuh sarapan dengan ekspresi masam di wajahnya."Non, kaki saya pegel," ucap Sulastri dengan nada takut-takut. Dalam hatinya, "Begini amat, sih, nyari duit?!""Shut up! Bi Sul mau durasi hukumannya ditambah?" ancam Arish, lalu menelan telur rebus yang sudah dikunyah kasar olehnya.Seketika Sulastri terbungkam.***Di tempat berbeda, Juna yang sedang terlelap pun seketika terbangun dari tidurnya akibat mendengar suara ramai dari luar rumah. Dia pun menghampiri sumber keramaian tersebut untuk mencari tahu.Di depan rumah, tampak ibu dan adiknya sedang berhadapan dengan dua orang laki-laki berpakaian serba hitam. Itu membuat Juna kaget dan bertanya-tanya siapa kedua orang tersebut."Pak, kami mohon jangan sita rumah kami! Kasih kami kesempatan untuk melunasi semuanya, Pak," rengek Diana, ibu kandung Juna dan Aisyah."Enggak bisa, Bu. Sudah lebih dari satu tahun cicilan hutang Pak Irfan enggak dibayar. Terpaksa kami harus menyita tanah dan rumah ini, karena sejak awal Pak Irfan memang menjadikan sertifikat rumah dan tanah sebagai jaminan hutang beliau," ucap seorang laki-laki yang bernama Adrian."Bu, ada apa ini?" tanya Juna setelah berdiri di samping Diana."Rumah kita mau disita, Jun. Sudah satu tahun lebih cicilan hutang Bapak enggak Ibu bayar," papar wanita itu seraya berlinang air mata. "Dulu waktu Ibu masih kerja di pabrik, sedikit-sedikit hutang Bapak masih bisa Ibu cicil. Tapi setelah kontrak kerja Ibu habis, Ibu udah nggak pernah bayar cicilan hutang Bapak lagi. Kamu tahu sendiri, ‘kan? Sekarang Ibu cuma kerja sebagai tukang cuci baju dan setrika pakaian. Mana cukup kalau Ibu harus bayar hutang Bapak juga? Bisa makan setiap hari aja udah bersyukur."Kepergian Irfan dua tahun lalu akibat sebuah kecelakaan, memang tak hanya menyisakan luka di hati keluarga, melainkan juga meninggalkan beban karena masih ada hutang yang belum dilunasi.Mau tidak mau, Diana harus melanjutkan cicilan, karena dia tidak ingin rumahnya disita. Namun, kini keadaan tak lagi sama sejak dia dipecat dari pabrik tempatnya bekerja."Kami mohon maaf, karena kami harus menyita rumah Ibu sekarang juga," ujar laki-laki yang satunya, yaitu Rangga. "Silakan kemasi barang-barang kalian dan tinggalkan rumah ini, sebelum kami mengusir kalian dengan cara kasar.""Tunggu, Pak!" cegah Juna. "Saya akan melunasi semua hutang berikut dengan dendanya."Ucapan yang Juna lontarkan membuat semua pasang mata memandang kikuk ke arahnya, seolah meragukan pemuda berhidung mancung tersebut."Jun?" Diana menautkan alis, menatap anak laki-lakinya dengan sorotan mata yang seakan mengatakan, "Jangan main-main! Kamu mau bayar hutang pake apa? Uang monopoli?""Berapa total yang harus dibayar?" tanya Juna kepada Adrian dan Rangga."Seratus enam puluh juta, sudah berikut denda dan bunganya."Seraya mengeluarkan kartu nama milik Elvian yang masih dia simpan di dalam saku celana, Juna membalas, "Kasih saya nomor rekeningnya. Saya akan lunasi semua hutang almarhum Bapak."BERSAMBUNG ...."Kamu tahu apa yang harus kamu lakukan sekarang, ‘kan?" Elvian bicara sambil menyodorkan sebuah kertas dan pulpen kepada Juna. Senyuman miring tersungging di bibirnya—seolah sedang merayakan kemenangan atas kekalahan Juna yang pada akhirnya tunduk juga.Menerima sodoran tersebut, Juna memasang ekspresi datar. Sama sekali tidak memperlihatkan senyuman walau hanya sekadar basa-basi.Saat ini mereka sedang berada di sebuah kafe. Sengaja memilih tempat untuk bisa bicara empat mata. Juna tidak mau ibunya tahu soal ini dan merasa iba karena anak laki-lakinya terpaksa harus mengabdikan diri kepada seorang tante kesepian yang haus berondong. Iyuh!"Ada kolom kosong di bagian bawah yang harus kamu tanda tangani," ucap Elvian mengingatkan pemuda bermata cokelat di hadapannya. "Sebelumnya, pastikan kamu sudah membacanya baik-baik."Juna mendongak, menatap serius ke arah Elvian. Ada tanya di benaknya yang ingin dia ajukan. "Di sini tertulis, bahwa kontrak kerja sama hanya akan berakhir jika pihak
"Jack, Keano, silakan pergi dari sini! Tinggalkan aku berdua dengan pacar baruku." "Baik, Nona!" Kedua manusia itu mengangguk patuh. Mereka melepaskan Juna dan segera berlalu meninggalkan ruangan sesuai perintah Airish. Kini hanya tersisa Airish dan Juna di dalam ruangan. Suasana mendadak canggung dan menyeramkan bagi Juna, tetapi tidak bagi Airish yang justru merasa sangat antusias dan tidak sabar ingin bermain dengan ‘mainan’ barunya. "Come here, Baby!" Airish tersenyum miring seraya menggerakkan telunjuk dengan genit—memberi kode agar pria itu mendekat—membuat Juna bergidik ngeri saat itu juga. Perlahan Juna melangkah maju, lalu berdiri di dekat meja di hadapan Airish. Dia memperhatikan setiap senti sosok wanita yang sudah mengontrak dirinya menjadi pacar bayaran. Mata bulat, hidung mancung, bibir tipis dengan lipstik merah muda, rambut keriting gantung yang dibiarkan terurai ke depan melewati bahu, kaki jenjang yang menyilang di balik rok span hitam, tubuh proporsional dan ..
"Gimana rasanya? Enak, ‘kan?" Juna menyantap mie kuah kari ayam sambil tersenyum evil melirik perempuan yang duduk di hadapannya. "Ini tuh makanan paling nikmat di tanggal tua. Ah, ralat! Bukan cuma di tanggal tua, tapi dimakan setiap hari juga enggak bakalan bosan, soalnya setiap hari adalah tanggal tua bagi saya dan juga keluarga. Hehehe." Diam-diam Juna memperhatikan ekspresi Airish. Berharap menemukan ketidaksukaan di balik wajah wanita itu. Namun, Airish malah terlihat menikmati mie kuah tersebut alih-alih merasa mual dan memuntahkan isinya. "Ini enak," kata perempuan itu. Juna tampak kecewa. Ini jelas di luar perkiraan. Namun, tidak hanya sampai di situ. Masih ada cara lain yang bisa Juna lakukan untuk membuat Airish ilfeel. "Ada satu ritual lagi untuk menikmati mie instan." "Ritual apa?" "Tunggu sebentar." Juna bangkit berdiri, lalu melangkah menuju dapur. Selang beberapa saat, pemuda itu sudah kembali sambil membawa semangkuk nasi di tangannya. "TARAAA!" Dia memperliha
'Pacar?'"Iya, Juna itu pacarku. Kenapa? Ada yang salah?" Airish tersenyum licik, sedangkan lawan bicaranya terdiam beberapa saat.Sampai akhirnya, panggilan terputus secara sepihak. Airish menjauhkan ponsel milik Juna dari telinganya."Cih! Pasti sekarang gadis itu cuma bisa nangis di pojokan kamar," ucap Airish seraya berdecih sinis.Selang beberapa menit, Juna kembali menghampiri Airish setelah keluar dari toilet. Dia cukup terkejut ketika melihat mie dan nasi Airish sudah habis duluan."Saya pikir kamu nggak suka." Pemuda itu berkomentar seraya melirik mangkuk di atas meja yang sudah bersih.Airish menjawab, "Apa sebelumnya aku pernah bilang kalau aku enggak suka mie instan?" Alisnya berjengit naik. "Aku suka, hanya saja enggak bagus kalau dikonsumsi terlalu sering."Juna hanya manggut-manggut, lalu melanjutkan kegiatan menyantap mie dan nasi miliknya."Tadi gadis itu menghubungimu."Perkataan Airish membuat Juna menghentikan pergerakannya. Sejenak pria itu menoleh pada Airish yang
"Nanti malam?" tanya Juna. Airish mengangguk memberi jawaban.Lantas Juna terkekeh sinis. "Kenapa bukan sekarang saja?" tantangnya. "Saya rasa, lebih cepat lebih baik.""Oh, ya ampun! Bisakah kamu berhenti menggunakan kata 'saya' untuk menyebut diri sendiri? Aku merasa seperti sedang bicara dengan tukang sedot WC," protesnya.Juna mengerjap sesaat, lalu mengangguk paham. "Oke!" balasnya. "Jadi, apa bisa kita mulai sekarang?"Ucapan Juna membuat Airish mengernyit, sama sekali tidak menyangka bahwa Juna akan menanggapi seagresif itu."Aku lebih suka tindakan langsung dibandingkan hanya berkata-kata," ucap Airish.Diam sejenak. Sampai akhirnya, pemuda tampan itu bangkit dari posisi duduknya dan melangkah mendekati Airish. Berdiri di hadapan Airish, melingkarkan jemari pada pergelangan tangan Airish, menarik Airish untuk kemudian dia dorong tubuh gadis itu hingga membentur tembok apartemen.Airish tertegun. Memperhatikan mata elang Juna yang menatapnya dalam jarak sedekat ini, terlebih lag
Tanpa bicara panjang-lebar, Juna segera turun dari mobil dan menghampiri dua insan berlawanan jenis yang baru saja keluar dari kafe.Airish tak tinggal diam, melainkan ikut turun dari mobil menyusul kepergian Juna yang entah mau menemui siapa."Wah ... nggak nyangka ya kita bisa ketemu di sini," ucap Juna saat berdiri tepat di hadapan dua orang tersebut."Ju-na?" Gadis itu, Nayla membulatkan mata melihat sosok Juna, sedangkan laki-laki yang sedang bersama Nayla tampak memasang ekspresi bingung."Dia siapa?" tanya Reno, pacar baru Nayla—atau mungkin tunangan?Nayla tergugu. "Di-dia ... bukan siapa-siapa, ‘kok," jawabnya seraya menelan ludah dengan susah payah.Alih-alih marah atau membabi-buta, Juna justru menunjukkan senyuman enteng seakan ini bukanlah apa-apa. "Yakin aku bukan siapa-siapa?" tanyanya.Di sisi lain, Airish yang berdiri di samping Juna hanya fokus menjadi pendengar. Diam-diam mencoba membaca situasi dan mencari tahu siapa gadis yang saat ini sedang bicara dengan Juna.N
"Jadi, sejak kapan kalian berpacaran?" Airish bertanya kepada dua manusia di hadapannya, sambil memotong daging panggang yang telah dia pesan.Nayla tidak mengeluarkan sepatah kata pun, sehingga Reno mewakili gadis itu untuk menjawab, "Belum lama. Sekitar dua bulan yang lalu.""Dua bulan?" tukas Juna. Pernyataan Reno membuatnya berdecih, yang mana hal itu mengesahkan bahwa Nayla sudah mengkhianati cintanya."Kenapa? Kok, kelihatan kaget gitu?" tanya Reno yang baru saja menelan makanan yang dia kunyah.Sejenak Juna terkekeh pelan, mengerling, lalu kembali menatap Reno. "Nggak pa-pa. Jaga baik-baik Nayla, ya. Dia tuh orangnya setiaaa banget."Nayla hanya bisa menunduk seraya meremas gelas tinggi berisi air putih di atas meja. Menelan ludah dengan susah payah, menahan hasrat ingin muntah karena mendengar ucapan Juna yang sukses membuat isi lambungnya terasa penuh seketika.Entah apa tujuan Juna melontarkan kalimat satire tersebut, yang pasti Nayla merasa seperti dikuliti hidup-hidup."Ud
Sampai di area parkir, barulah Juna melepaskan Airish dengan gerakan yang terbilang kasar—sehingga gadis itu lagi-lagi meringis seraya memegangi lengan."Kamu kenapa, ‘sih? Kasar banget," ucap Airish tidak terima."Aku kenapa?" Juna melotot tajam, merasa perlakuannya terhadap Airish sangatlah wajar. "Kamu yang kenapa?!" hardiknya. Airish tersentak karena kaget dibentak oleh Juna."Kamu sadar dengan apa yang kamu lakukan barusan?" Juna mengajukan pertanyaan retoris, dan gadis manis di hadapannya itu menganggukkan kepala."Ada yang salah?"Lantas Juna menengadahkan kepala, menatap langit di siang hari yang mulai mendung, karena ini merupakan musim hujan di penghujung tahun. "Masih aja nanya," ucapnya sambil terkekeh gusar.Airish mencoba santai. Menyandarkan tubuh pada sisi mobil yang terparkir di samping kanannya. "Aku nggak merasa ada yang salah. Kalaupun ada, mungkin kamu bisa menjelaskannya pelan-pelan.""Kesalahanmu itu jelas, Rish!" Juna mengingatkan, "Kamu bohong di depan Nayla d