Di dalam kamar, duduk di tepian kasur, Juna memperhatikan selembar foto yang tadi ditunjukkan oleh Elvian.
"Kenapa kamu sejahat ini, Nay?" Suara Juna sedikit bergetar, menandakan ada cairan yang berusaha ditahan agar tidak lolos dari pelupuk mata.Tidak dia sangka, Nayla—yang telah menjalin hubungan dengannya sejak masih duduk di bangku SMA kelas dua belas—ternyata lebih memilih pria lain dibandingkan dirinya. Menyedihkan!Juna meraih ponsel di atas nakas. Bahkan saat bukti foto itu berhasil membuat perasaannya hancur, dia masih berharap menerima panggilan masuk dari sang kekasih hati—sampai detik ini, mereka memang belum putus hubungan, ‘kan?"Ayo, Nay .... Hubungi aku!" Juna bergumam pelan, menghela napas. "Setidaknya minta maaf dan tunjukin kalau kamu merasa bersalah dengan adanya pengkhianatan ini."Namun, miris! Nayla sama sekali tidak mencari, menghubungi, apalagi merasa bersalah seperti yang Juna inginkan. Dan akhirnya, Juna mengalah. Dia menelepon Nayla karena merasa bahwa Nayla harus menjelaskan sesuatu padanya.Satu kali ....Dua kali ....Tiga kali ....Hingga pada panggilan keenam, akhirnya gadis itu mau juga menjawab telepon dari Juna.'Ha-lo ... Jun?'Juna mendengar nada gugup di balik suara lembut Nayla."Katakan, udah berapa lama, Nay?" tanya Juna tanpa banyak basa-basi.'Maksud kamu?'Juna berdecih. "Jangan ‘sok polos. Aku tahu, kamu ngerti apa yang aku maksud. Bahkan kamu lebih mengerti segalanya daripada aku, Nay."'Jun, aku—'"Katakan, apa ini semua karena uang?" sela Juna tanpa memberi ruang bagi Nayla untuk bicara. "Kalau iya, maka kamu adalah manusia paling munafik yang pernah aku kenal. Karena, dulu kamu pernah bilang ke aku bahwa uang enggak akan pernah bisa mengalahkan yang namanya cinta. Dan sekarang kamu menjilat ludah kamu sendiri. Munafik!"'Jun—' Jeda sejenak, Nayla benar-benar tidak tahu harus menjelaskan dari mana kepada Juna. 'Maaf ...' sesalnya. Hanya itu?Tanpa salam penutup, Juna langsung memutuskan sambungan telepon. Dia tidak butuh penyesalan dalam bentuk apa pun—apalagi hanya sekadar kata maaf tanpa ada niatan memperbaiki segalanya. Di telinga Juna, itu hanya terdengar seperti omong kosong!"Brengsek ...." Dia mendesis, menelan kecewa yang teramat dalam dan pahit. "Kenapa dunia selalu enggak adil untuk orang-orang miskin kayak gue? Kenapa dunia selalu berpihak kepada mereka yang lebih unggul soal materi?"Di tengah kegalauan hatinya, Juna kembali mengingat soal tawaran Elvian mengenai kontrak kerja sama sebagai pacar bayaran. Dia lalu mengeluarkan sesuatu dari dalam saku celana."Ini kartu namaku, untuk jaga-jaga kalau kamu berubah pikiran."Itu merupakan kalimat yang Elvian lontarkan kepada Juna sebelum laki-laki itu beranjak pergi meninggalkan rumah kecil yang dia tempati. Bersamaan dengan itu, Elvian juga menyerahkan kartu nama yang sudah dilengkapi dengan nomor telepon.Haruskah Juna menerima tawaran tersebut? Atau tetap pada pilihannya menyia-nyiakan uang lima ratus juta yang Elvian tawarkan?***Keesokan paginya ....Airish membuka kelopak mata setelah menikmati tidurnya tadi malam. Akan tetapi, dia masih belum juga beranjak dari kasur.Tatap matanya berpaling ke arah meja kecil di samping kasur. Mencari menu sarapan yang biasanya sudah ada di sana karena Elvian tidak pernah telat menyiapkan hidangan untuknya. Namun, kenapa sekarang kosong?"El, kenapa nggak ada sosis, telur dan salad?!" tanya Airish. Suaranya sedikit meninggi, tapi pria yang diajak bicara sama sekali tidak menanggapi."EL?!" Kali ini Airish menaikkan oktaf suaranya. "ELVIAN! BUDEG, YA?!"Cklek!Airish mengembuskan napas panjang ketika mendengar pintu kamar dibuka oleh seseorang. "Syukurlah, akhirnya El datang juga," pikirnya.Seandainya saja pria itu masih tidak merespons juga dalam hitungan tiga detik, maka Airish bersumpah akan mengutuknya menjadi susu basi!"Selamat pagi, Nona!" Kalimat sapa yang diucapkan oleh seorang wanita berhasil membuat Airish mengernyitkan dahi."Anda siapa?""Nama saya Sulastri, Non. Bisa dipanggil Bi Sul," jawab wanita itu seraya berjalan mendekati Airish. Dia membawa sebuah nampan berisi menu sarapan kesukaan Airish. "Saya pembantu baru Non Airish.""Pembantu baru?" Airish mengerjap kikuk. Mengubah posisinya menjadi duduk berselonjor kaki. "Kapan aku minta seseorang jadi pembantu?"Sulastri meletakkan nampan di atas meja dekat kasur. "Memang bukan Non Airish yang mempekerjakan saya, melainkan Tuan El," bebernya."El?" Airish melotot."Iya, Non." Sulastri mengangguk. "Memangnya Tuan El belum ngomong sama Non Airish tentang saya?"BERSAMBUNG ....Alih-alih menjawab, Airish malah menggeram dalam diam. Tangannya mengepal, menahan kesal yang mulai merajai diri. Dia segera meraih ponsel dan kembali menghubungi Elvian. "Apa dia sudah bosan hidup?" Airish bergumam seraya menunggu jawaban dari asisten pribadinya tersebut. Akan tetapi, sepertinya Elvian benar-benar tidak punya nyali yang cukup untuk menghadapi seorang Airish Sevanya walaupun hanya melalui telepon. Karena tidak juga membuahkan hasil, Airish pun memutuskan untuk mengirim pesan kepada Elvian. [Masih nggak mau angkat telepon? Hm, kayaknya cuaca hari ini lagi bagus buat nulis nama seseorang di batu nisan!] Setelah pesannya dibaca oleh Elvian, Airish tidak perlu menunggu lebih lama lagi, karena laki-laki itu sendiri yang meneleponnya tanpa diperintah. Airish buru-buru mengangkat panggilan. "Apa sebelumnya aku pernah bilang padamu butuh pembantu baru?!" Tanpa kalimat sapaan, wanita itu langsung menyerang Elvian dengan pertanyaan yang mengerikan. 'Rish, tenang—'"Siapa
"Kamu tahu apa yang harus kamu lakukan sekarang, ‘kan?" Elvian bicara sambil menyodorkan sebuah kertas dan pulpen kepada Juna. Senyuman miring tersungging di bibirnya—seolah sedang merayakan kemenangan atas kekalahan Juna yang pada akhirnya tunduk juga.Menerima sodoran tersebut, Juna memasang ekspresi datar. Sama sekali tidak memperlihatkan senyuman walau hanya sekadar basa-basi.Saat ini mereka sedang berada di sebuah kafe. Sengaja memilih tempat untuk bisa bicara empat mata. Juna tidak mau ibunya tahu soal ini dan merasa iba karena anak laki-lakinya terpaksa harus mengabdikan diri kepada seorang tante kesepian yang haus berondong. Iyuh!"Ada kolom kosong di bagian bawah yang harus kamu tanda tangani," ucap Elvian mengingatkan pemuda bermata cokelat di hadapannya. "Sebelumnya, pastikan kamu sudah membacanya baik-baik."Juna mendongak, menatap serius ke arah Elvian. Ada tanya di benaknya yang ingin dia ajukan. "Di sini tertulis, bahwa kontrak kerja sama hanya akan berakhir jika pihak
"Jack, Keano, silakan pergi dari sini! Tinggalkan aku berdua dengan pacar baruku." "Baik, Nona!" Kedua manusia itu mengangguk patuh. Mereka melepaskan Juna dan segera berlalu meninggalkan ruangan sesuai perintah Airish. Kini hanya tersisa Airish dan Juna di dalam ruangan. Suasana mendadak canggung dan menyeramkan bagi Juna, tetapi tidak bagi Airish yang justru merasa sangat antusias dan tidak sabar ingin bermain dengan ‘mainan’ barunya. "Come here, Baby!" Airish tersenyum miring seraya menggerakkan telunjuk dengan genit—memberi kode agar pria itu mendekat—membuat Juna bergidik ngeri saat itu juga. Perlahan Juna melangkah maju, lalu berdiri di dekat meja di hadapan Airish. Dia memperhatikan setiap senti sosok wanita yang sudah mengontrak dirinya menjadi pacar bayaran. Mata bulat, hidung mancung, bibir tipis dengan lipstik merah muda, rambut keriting gantung yang dibiarkan terurai ke depan melewati bahu, kaki jenjang yang menyilang di balik rok span hitam, tubuh proporsional dan ..
"Gimana rasanya? Enak, ‘kan?" Juna menyantap mie kuah kari ayam sambil tersenyum evil melirik perempuan yang duduk di hadapannya. "Ini tuh makanan paling nikmat di tanggal tua. Ah, ralat! Bukan cuma di tanggal tua, tapi dimakan setiap hari juga enggak bakalan bosan, soalnya setiap hari adalah tanggal tua bagi saya dan juga keluarga. Hehehe." Diam-diam Juna memperhatikan ekspresi Airish. Berharap menemukan ketidaksukaan di balik wajah wanita itu. Namun, Airish malah terlihat menikmati mie kuah tersebut alih-alih merasa mual dan memuntahkan isinya. "Ini enak," kata perempuan itu. Juna tampak kecewa. Ini jelas di luar perkiraan. Namun, tidak hanya sampai di situ. Masih ada cara lain yang bisa Juna lakukan untuk membuat Airish ilfeel. "Ada satu ritual lagi untuk menikmati mie instan." "Ritual apa?" "Tunggu sebentar." Juna bangkit berdiri, lalu melangkah menuju dapur. Selang beberapa saat, pemuda itu sudah kembali sambil membawa semangkuk nasi di tangannya. "TARAAA!" Dia memperliha
'Pacar?'"Iya, Juna itu pacarku. Kenapa? Ada yang salah?" Airish tersenyum licik, sedangkan lawan bicaranya terdiam beberapa saat.Sampai akhirnya, panggilan terputus secara sepihak. Airish menjauhkan ponsel milik Juna dari telinganya."Cih! Pasti sekarang gadis itu cuma bisa nangis di pojokan kamar," ucap Airish seraya berdecih sinis.Selang beberapa menit, Juna kembali menghampiri Airish setelah keluar dari toilet. Dia cukup terkejut ketika melihat mie dan nasi Airish sudah habis duluan."Saya pikir kamu nggak suka." Pemuda itu berkomentar seraya melirik mangkuk di atas meja yang sudah bersih.Airish menjawab, "Apa sebelumnya aku pernah bilang kalau aku enggak suka mie instan?" Alisnya berjengit naik. "Aku suka, hanya saja enggak bagus kalau dikonsumsi terlalu sering."Juna hanya manggut-manggut, lalu melanjutkan kegiatan menyantap mie dan nasi miliknya."Tadi gadis itu menghubungimu."Perkataan Airish membuat Juna menghentikan pergerakannya. Sejenak pria itu menoleh pada Airish yang
"Nanti malam?" tanya Juna. Airish mengangguk memberi jawaban.Lantas Juna terkekeh sinis. "Kenapa bukan sekarang saja?" tantangnya. "Saya rasa, lebih cepat lebih baik.""Oh, ya ampun! Bisakah kamu berhenti menggunakan kata 'saya' untuk menyebut diri sendiri? Aku merasa seperti sedang bicara dengan tukang sedot WC," protesnya.Juna mengerjap sesaat, lalu mengangguk paham. "Oke!" balasnya. "Jadi, apa bisa kita mulai sekarang?"Ucapan Juna membuat Airish mengernyit, sama sekali tidak menyangka bahwa Juna akan menanggapi seagresif itu."Aku lebih suka tindakan langsung dibandingkan hanya berkata-kata," ucap Airish.Diam sejenak. Sampai akhirnya, pemuda tampan itu bangkit dari posisi duduknya dan melangkah mendekati Airish. Berdiri di hadapan Airish, melingkarkan jemari pada pergelangan tangan Airish, menarik Airish untuk kemudian dia dorong tubuh gadis itu hingga membentur tembok apartemen.Airish tertegun. Memperhatikan mata elang Juna yang menatapnya dalam jarak sedekat ini, terlebih lag
Tanpa bicara panjang-lebar, Juna segera turun dari mobil dan menghampiri dua insan berlawanan jenis yang baru saja keluar dari kafe.Airish tak tinggal diam, melainkan ikut turun dari mobil menyusul kepergian Juna yang entah mau menemui siapa."Wah ... nggak nyangka ya kita bisa ketemu di sini," ucap Juna saat berdiri tepat di hadapan dua orang tersebut."Ju-na?" Gadis itu, Nayla membulatkan mata melihat sosok Juna, sedangkan laki-laki yang sedang bersama Nayla tampak memasang ekspresi bingung."Dia siapa?" tanya Reno, pacar baru Nayla—atau mungkin tunangan?Nayla tergugu. "Di-dia ... bukan siapa-siapa, ‘kok," jawabnya seraya menelan ludah dengan susah payah.Alih-alih marah atau membabi-buta, Juna justru menunjukkan senyuman enteng seakan ini bukanlah apa-apa. "Yakin aku bukan siapa-siapa?" tanyanya.Di sisi lain, Airish yang berdiri di samping Juna hanya fokus menjadi pendengar. Diam-diam mencoba membaca situasi dan mencari tahu siapa gadis yang saat ini sedang bicara dengan Juna.N
"Jadi, sejak kapan kalian berpacaran?" Airish bertanya kepada dua manusia di hadapannya, sambil memotong daging panggang yang telah dia pesan.Nayla tidak mengeluarkan sepatah kata pun, sehingga Reno mewakili gadis itu untuk menjawab, "Belum lama. Sekitar dua bulan yang lalu.""Dua bulan?" tukas Juna. Pernyataan Reno membuatnya berdecih, yang mana hal itu mengesahkan bahwa Nayla sudah mengkhianati cintanya."Kenapa? Kok, kelihatan kaget gitu?" tanya Reno yang baru saja menelan makanan yang dia kunyah.Sejenak Juna terkekeh pelan, mengerling, lalu kembali menatap Reno. "Nggak pa-pa. Jaga baik-baik Nayla, ya. Dia tuh orangnya setiaaa banget."Nayla hanya bisa menunduk seraya meremas gelas tinggi berisi air putih di atas meja. Menelan ludah dengan susah payah, menahan hasrat ingin muntah karena mendengar ucapan Juna yang sukses membuat isi lambungnya terasa penuh seketika.Entah apa tujuan Juna melontarkan kalimat satire tersebut, yang pasti Nayla merasa seperti dikuliti hidup-hidup."Ud