Share

BAB 4 || Bimbang

Di dalam kamar, duduk di tepian kasur, Juna memperhatikan selembar foto yang tadi ditunjukkan oleh Elvian.

"Kenapa kamu sejahat ini, Nay?" Suara Juna sedikit bergetar, menandakan ada cairan yang berusaha ditahan agar tidak lolos dari pelupuk mata.

Tidak dia sangka, Nayla—yang telah menjalin hubungan dengannya sejak masih duduk di bangku SMA kelas dua belas—ternyata lebih memilih pria lain dibandingkan dirinya. Menyedihkan!

Juna meraih ponsel di atas nakas. Bahkan saat bukti foto itu berhasil membuat perasaannya hancur, dia masih berharap menerima panggilan masuk dari sang kekasih hati—sampai detik ini, mereka memang belum putus hubungan, ‘kan?

"Ayo, Nay .... Hubungi aku!" Juna bergumam pelan, menghela napas. "Setidaknya minta maaf dan tunjukin kalau kamu merasa bersalah dengan adanya pengkhianatan ini."

Namun, miris! Nayla sama sekali tidak mencari, menghubungi, apalagi merasa bersalah seperti yang Juna inginkan. Dan akhirnya, Juna mengalah. Dia menelepon Nayla karena merasa bahwa Nayla harus menjelaskan sesuatu padanya.

Satu kali ....

Dua kali ....

Tiga kali ....

Hingga pada panggilan keenam, akhirnya gadis itu mau juga menjawab telepon dari Juna.

'Ha-lo ... Jun?'

Juna mendengar nada gugup di balik suara lembut Nayla.

"Katakan, udah berapa lama, Nay?" tanya Juna tanpa banyak basa-basi.

'Maksud kamu?'

Juna berdecih. "Jangan ‘sok polos. Aku tahu, kamu ngerti apa yang aku maksud. Bahkan kamu lebih mengerti segalanya daripada aku, Nay."

'Jun, aku—'

"Katakan, apa ini semua karena uang?" sela Juna tanpa memberi ruang bagi Nayla untuk bicara. "Kalau iya, maka kamu adalah manusia paling munafik yang pernah aku kenal. Karena, dulu kamu pernah bilang ke aku bahwa uang enggak akan pernah bisa mengalahkan yang namanya cinta. Dan sekarang kamu menjilat ludah kamu sendiri. Munafik!"

'Jun—' Jeda sejenak, Nayla benar-benar tidak tahu harus menjelaskan dari mana kepada Juna. 'Maaf ...' sesalnya. Hanya itu?

Tanpa salam penutup, Juna langsung memutuskan sambungan telepon. Dia tidak butuh penyesalan dalam bentuk apa pun—apalagi hanya sekadar kata maaf tanpa ada niatan memperbaiki segalanya. Di telinga Juna, itu hanya terdengar seperti omong kosong!

"Brengsek ...." Dia mendesis, menelan kecewa yang teramat dalam dan pahit. "Kenapa dunia selalu enggak adil untuk orang-orang miskin kayak gue? Kenapa dunia selalu berpihak kepada mereka yang lebih unggul soal materi?"

Di tengah kegalauan hatinya, Juna kembali mengingat soal tawaran Elvian mengenai kontrak kerja sama sebagai pacar bayaran. Dia lalu mengeluarkan sesuatu dari dalam saku celana.

"Ini kartu namaku, untuk jaga-jaga kalau kamu berubah pikiran."

Itu merupakan kalimat yang Elvian lontarkan kepada Juna sebelum laki-laki itu beranjak pergi meninggalkan rumah kecil yang dia tempati. Bersamaan dengan itu, Elvian juga menyerahkan kartu nama yang sudah dilengkapi dengan nomor telepon.

Haruskah Juna menerima tawaran tersebut? Atau tetap pada pilihannya menyia-nyiakan uang lima ratus juta yang Elvian tawarkan?

***

Keesokan paginya ....

Airish membuka kelopak mata setelah menikmati tidurnya tadi malam. Akan tetapi, dia masih belum juga beranjak dari kasur.

Tatap matanya berpaling ke arah meja kecil di samping kasur. Mencari menu sarapan yang biasanya sudah ada di sana karena Elvian tidak pernah telat menyiapkan hidangan untuknya. Namun, kenapa sekarang kosong?

"El, kenapa nggak ada sosis, telur dan salad?!" tanya Airish. Suaranya sedikit meninggi, tapi pria yang diajak bicara sama sekali tidak menanggapi.

"EL?!" Kali ini Airish menaikkan oktaf suaranya. "ELVIAN! BUDEG, YA?!"

Cklek!

Airish mengembuskan napas panjang ketika mendengar pintu kamar dibuka oleh seseorang. "Syukurlah, akhirnya El datang juga," pikirnya.

Seandainya saja pria itu masih tidak merespons juga dalam hitungan tiga detik, maka Airish bersumpah akan mengutuknya menjadi susu basi!

"Selamat pagi, Nona!" Kalimat sapa yang diucapkan oleh seorang wanita berhasil membuat Airish mengernyitkan dahi.

"Anda siapa?"

"Nama saya Sulastri, Non. Bisa dipanggil Bi Sul," jawab wanita itu seraya berjalan mendekati Airish. Dia membawa sebuah nampan berisi menu sarapan kesukaan Airish. "Saya pembantu baru Non Airish."

"Pembantu baru?" Airish mengerjap kikuk. Mengubah posisinya menjadi duduk berselonjor kaki. "Kapan aku minta seseorang jadi pembantu?"

Sulastri meletakkan nampan di atas meja dekat kasur. "Memang bukan Non Airish yang mempekerjakan saya, melainkan Tuan El," bebernya.

"El?" Airish melotot.

"Iya, Non." Sulastri mengangguk. "Memangnya Tuan El belum ngomong sama Non Airish tentang saya?"

BERSAMBUNG ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status