Share

Chapter 4 : Cansu? Apa itu nama aslimu?

   "Sebenarnya kalian ingin membawaku kemana?" Sudah lebih dari lima kali Cansu menanyakan hal yang sama kepada kedua prajurit yang membawanya. Akan tetapi, wanita itu tetap tidak mendapat jawaban atas pertanyaannya itu.

   Mereka berdua terus saja memaksa Cansu berjalan melewati lorong panjang yang gelap. Hanya ada beberapa obor yang terpasang di sisi tembok yang membuat mereka dapat berjalan tanpa menabrak kesana kemari. 

   Pergelangan tangan Cansu masih belum dilepas oleh kedua pria itu. Mereka terus saja memegangnya dengan erat tanpa memperdulikan Cansu yang berulang kali meringis karena ulah mereka. Yang terpenting bagi kedua prajurit itu adalah membawa wanita itu kehadapan sultan mereka.

   Cansu mengerjapkan matanya saat mereka keluar dari lorong gelap itu. Matanya kini menangkap sinar matahari saat mereka bertiga menginjakkan kaki di luar penjara yang berada di bawah tanah kastil.

   Kedua prajurit itu kemudian kembali menyeret Cansu menyusuri koridor panjang yang dijaga oleh beberapa prajurit. Prajurit-prajurit itu melirik ke arahnya sebentar lalu kembali meluruskan pandangan mereka seperti semula. 

   Cansu mengedarkan pandangannya ke segala arah. Wanita itu mengerutkan dahinya. Di tempat mana lagi, sekarang dirinya berada. Sebelumnya, saat para prajurit itu membawa Cansu ke penjara, mereka menutup kedua matanya sehingga wanita itu tidak bisa melihat apapun selama perjalanan. Namun sekarang, ia bisa melihat dengan jelas bagaimana bentuk bangunan tempatnya berada.

   Tempat itu benar-benar indah. Seluruh tembok dan pilar-pilar yang berdiri kokoh memiliki ukiran kuno yang terlihat menarik. Di sepanjang koridor ada belasan vas bunga raksasa yang terbuat dari keramik. Cansu yakin vas-vas bunga itu bernilai sangat tinggi di pasaran.

   Sesampainya di ujung koridor, mereka bertiga berbelok ke arah kanan. Tepatnya  beberapa meter di ujung koridor terdapat sebuah pintu kayu yang kemudian di buka oleh salah satu dari kedua prajurit yang membawa Cansu.

   Cansu lagi-lagi dibuat kagum dengan apa yang ia lihat setelah pintu kayu itu dibuka. Ia dihadapkan dengan sebuah halaman yang sangat luas dan bagian belakang sebuah gedung raksasa yang berdiri dengan sangat megah. Gedung itu terlihat seperti sebuah kastil kuno. Ada banyak pepohonan apel yang tumbuh subur di halaman tersebut. Sebuah danau buatan membuat pemandangan halaman belakang kastil tersebut semakin tampak indah. Sama seperti di tempat sebelumnya, ada beberapa prajurit yang juga ikut berjaga di sana. Bahkan dengan jumlah yang lebih banyak lagi.

   Kedua prajurit itu kembali membawanya melewati koridor panjang hingga berhenti di sebuah pintu yang menjulang tinggi. Salah satu dari mereka mengetuknya beberapa kali hingga pintu itu terbuka lebar menampakkan isi dalam kastil yang benar-benar membuat Cansu tercengang.

   Ia tidak henti-hentinya berdecak kagum saat melihat ornamen-ornamen yang menghiasi bagian dalam kastil. Mulai dari lampu gantung raksasa yang indah, lentera lentera yang terpajang di dinding, Patung-patung kuno yang penuh dengan makna estetika dan masih banyak hal yang luar biasa lagi. 

   Kastil ini bernuansa klasik namun mewah membuat Cansu merasa sedang berada di dalam negeri dongeng. Seumut hidupnya, baru kali ini wanita itu menginjakkan kaki di tempat seindah ini.

   Kedua prajurit itu, membawanya menaiki beberapa anak tangga hinga tiba di lantai dua. Mereka bertiga berjalan beberapa langkah lalu tiba di depan sebuah pintu bewarna coklat tua. Salah satu dari kedua prajurit itu, mengetuk pintu sebanyak tiga kali.

   "Masuk!"sahut suara dari dalam sana. Sebuah suara yang tidak asing di pendengaran Cansu.

   Mereka membuka pintu itu tak lupa menyeret paksa tubuh Cansu agar ikut masuk kedalamnya. Setelah tiba di dalam, kedua prajurit itu dengan tega mendorong tubuh wanita itu begitu saja hingga tersungkur di atas permukaan lantai yang dingin.

   "Akhh!!"ringis Cansu saat merasakan kedua lutut dan sikunya lecet akibat bergesekan dengan permukaan lantai.

   "Kami telah membawanya ke sini, sultan. Seperti perintah anda."ucap kedua prajurit itu kompak.

   "Aku tidak memerintahkanmu untuk mendorongnya seperti tadi."

   Cansu mendongakkan kepalanya. Wanita itu kemudian melihat seorang pria tengah duduk dengan santai di sebuah kursi sembari menikmati makanan yang terhidang di atas sebuah meja di hadapannya.

   Cansu mengenal pria itu. Ia adalah pria yang sama yang wanita itu temui di tepi sungai pagi tadi. Pria yang membuatnya berada di penjara bersama orang-orang yang tidak ia kenal.

   "Kalian berdua bisa pergi. Aku ingin berbicara berdua dengannya."perintah pria itu yang langsung dipatuhi oleh kedua prajurit yang membawa Cansu tadi.

   Sepeninggal kedua prajurit tadi, seketika keadaan ruangan menjadi begitu hening. Yang terdengar hanyalah suara dari peralatan makan yang digunakan oleh pria itu.

   Cansu terus saja menatap pada pria yang tengah sibuk menyantap makan siangnya. Pria itu seolah tidak memperdulikan keberadaan Cansu di sana. Ia hanya fokus pada makanan yang tersaji di hadapannya.

   Cansu meneguk salivanya. Suasana hening ini membuatnya merasa begitu canggung. Dengan memberanikan diri, wanita itu coba membuka suaranya.

   "T--t-tuan."panggil Cansu dengan suaranya yang begitu pelan.

   Pria itu menatapnya sebentar. Ia kemudian menyudahi makan siangnya. Lalu berdiri mendekati Cansu dengan membawa sebuah cangkir di tangan kanannya.

   Pria itu kemudian berjongkok di depan Cansu lalu menyodorkan cangkir yang ia bawa tadi kepada Cansu. "Minumlah! Aku tahu kau pasti haus."

   Namun, Cansu tak bergeming. Ia menatap diam pria itu dengan kedua matanya yang sembab. 

   Pria itu menaikkan sebelah alisnya. Ia meletakkan cangkir yang ia bawa tadi di ats meja lalu menatap Cansu. "Siapa namamu?"tanyanya.

   "Aku sudah memberitahumu sebelumnya."jawab Cansu.

   "Cansu? Apa itu nama aslimu?"tanya pria itu. Ia kemudian menatap ke arah wanita itu tajam.

   "Kau masih belum ingin mengaku?"tanyanya.

   Cansu menggelengkan kepalanya. Ia menatap pria itu lelah. "Aku sudah memberitahumu segalanya. Apa lagi yang harus kuakui?"

   "Segalanya! Mengakulah dan aku akan meringankan hukumanmu."jawab pria itu mencoba membuat Cansu mengaku.

   Cansu sekali lagi menggelengkan kepalanya lemah. Wanita itu benar-benar sudah lelah. Entah bagaimana lagi dia harus menjelaskan semuanya agar pria di depannya itu percaya kepada apa yang ia katakan.

   "Aku sudah memberitahumu semuanya. Apapun yang akan terjadi selanjutnya, biarkan saja. Sungguh! Aku sudah lelah dengan semua ini."pasrah Cansu.

   Pria itu menyeringai. Ia kemudian mendekatkan bibirnya ke telinga Cansu. "Kau tahu? Hukuman apa yang pantas untuk seorang mata-mata?"

   "Hukuman mati?"tebak Cansu.

   Pria itu menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. "Ya, tapi dengan cara yang lebih menyakitkan. Tubuhmu akan dikuliti secara perlahan saat dirimu masih sadar. Kemudian, kepalamu akan dipenggal dan dijadikan pajangan di perbatasan. Agar semua tahu, apa yang akan terjadi jika ia mencoba menjadi seorang mata-mata."

   "Kau mengatakan hal itu untuk membuatku takut dan mengaku? Sungguh, tuan. Apa yang telah kukatakan kepadamu adalah kebenarannya. Kau hanya mendengar apa yang ingin kau dengar. Sekuat apapun alu berusaha menjelaskannya padamu, kau tidak akan mengerti."ujar Cansu lelah.

   Pria itu menatapnya lama. "Bagaimana jika aku benar dan kau salah?"

   "Kau berhak untuk menghukumku seperti yang seharusnya."jawab Cansu.

   "Kau tahu, Nona? Untuk memperkuat sebuah perkataan, kau harus mempunyai bukti yang cukup kuat juga agar bisa membuat semua orang mempercayaimu."ucap pria itu.

   Cansu terdiam. Wanita itu memutar otaknya. Mencoba mencari tahu bukti apa yang bisa ia berikan kepada tuan keras kepala di hadapannya itu. Tiba-tiba ia teringat kepada satu hal. "Aku sedang mencari seseorang yang bernama Gandhi."

   Pria  yang sedang berdiri membelakangi Cansu itupun seketika berbalik saat mendengar wanita itu menyebut nama Gandhi.

   "Gandhi? Kau mengenalnya?"tanya pria itu sembari menatap Cansu penasaran.

   Cansu menganggukkan kepalanya pelan. "Aku bertemu dengannya dan dia memberiku ini. Kemudian aku tersesat di hutan tempat kita bertemu tadi pagi. Karena itulah, aku harus mencari pria itu."

   Pria itu melebarkan matanya saat melihat Cansu menunjukkan sebuah kalung di lehernya yang sejak tadi wanita itu simpan. Ia menatap benda itu serius. Wajahnya yang tampan berpikir keras untuk mencerna semuanya.

   "Kapan kau bertemu dengannya?"tanya pria itu.

   "Kemarin. Sewaktu aku---"

   "Itu mustahil! Apa kau mencoba untuk berbohong padaku, Nona?"tanya pria itu memotong ucapan Cansu.

   Cansu kebingungan. Wanita itu menggelengkan kepalanya cepat. "Tidak, bukan seperti itu. Aku mengatakan yang sebenarnya."

   "Kau tahu? Gandhi sudah menghilang sejak 2 bulan yang lalu. Semenjak itu, aku belum pernah mendengar kabar apapun tentangnya. Dan kau mengatakan bahwa kau baru bertemu dengannya kemarin? Itu benar-benar mustahil."jelas pria itu.

   Cansu membelalakkan matanya. Ia sama terkejutnya dengan pria itu. Wanita cantik itu tidak menyangka semuanya akan menjadi seperti ini. "A--a-apa? Itu tidak mungkin. Aku baru saja bertemu dengannya kemarin. Dia sendiri yang memberikan kalung ini padaku."

   "Katakan bagaimana kalung itu bisa ada padamu, katakan!"

   "Dia sendiri yang memberikannya padaku."jawab Cansu.

   Pria itu menggelengkan kepalanya. "Katakan bagaimana ia bisa memberikan benda itu padamu."

   "Gandhi menyuruhku untuk memilih dari ketiga kalung yang ia tunjukkan padaku. Dan aku memilih kalung ini sebagai pilihanku. Ia kemudian memberikan kalung ini begitu saja padaku."jelas Cansu.

   Pria itu menatap Cansu tak percaya. Dia terlihat sedikit kebingungan. Pria tampan itu terdiam cukup lama hingga akhirnya, ia membuka suaranya.

   "Sepertinya, kau harus berada di sini lebih lama lagi, Nona Cansu."ucapnya.

   Cansu mendongakkan kepalanya menatap bingung pada pria yang berdiri di hadapannya itu. "A--a-apa? Kenapa?"

   "Ada banyak hal yang masih menjadi pertanyaan buatku. Dan aku, harus mendapatkan semua jawabannya."jawab pria itu.

   "Sekarang, kau bisa pergi. Prajuritku akan mengantarkanmu."ujar pria itu.

   Cansu menatapnya khawatir. "Apa aku akan kembali dipenjara?"

   Pria itu menggelengkan kepalanya. "Setelah mendengar pernyataanmu soal Gandhi, aku rasa untuk sementara waktu kau tidak bersalah. Jadi, kau akan diberikan sebuah kamar yang layak untukmu beristirahat. Sekarang pergilah!"

   Cansu menghela napasnya lega. Setidaknya, wanita itu mendapatkan kabar baik yaitu tidak kembali lagi pada tempat gelap nan lembab di penjara bawah tanah. Ia menganggukkan kepalanya lalu membalikkan badan. Namun, langkah Cansu terhenti ia kembali menatap pria itu.

   "Boleh aku tahu siapa namamu, tuan?"tanya Cansu.

  Pria itu sedikit terkejut dengan pertanyaan yang diajukan Cansu. "Kau tidak mengenalku?"

   Cansu menggelengkan kepalanya. "Kita baru bertemu tadi pagi."

   Pria itu tampak berpikir sejenak. Ia menatap Cansu lama kemudian mengukir senyum miring di bibirnya. 

   "Namaku, Dastan. Dastan Kazeem."

   

   

   

   

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status