Dastan tengah berdiam diri di atas sebuah kursi bertahtakan emas kesayangannya yang berada di dalam kamar pria itu. Matanya menatap tajam pada udara kosong di hadapan pria itu.
Sultan muda itu mengisi kepalanya dengan beragam pikiran yang membuatnya merasa pusing. Banyak sekali pertanyaan yang menggema di dalam sana namun, tidak ada satupun yang ia ketahui apa jawabannya. Hal itu semakin membuat dirinya frustasi sekaligus penasaran dengan semua misteri yang tengah ia hadapi.
"Karena aku berasal dari masa depan. Aku kemudian mengalami perjalanan lintas waktu dan berakhir di waktu yang sama denganmu."
Dastan teringat dengan pernyataan mengejutkan yang keluar dari mulut Cansu saat dirinya bertemu dengannya di taman pagi tadi. Ia berusaha untuk menyangkal dan menganggap semua yang dikatakan wanita itu hanyalah candaan semata.
Namun, saat Dastan menatap ke dalam mata Cansu, mencoba un
Happy reading and enjoy 💕
Emine tersenyum lebar seraya memandang ke arah pantulan bayangan Cansu yang berada di cermin di depan mereka. Wanita paruh baya itu merasa bangga sekaligus puas atas kerja kerasnya yang membuahkan hasil maksimal. Kini, ia dapat melihat sosok Cansu yang begitu cantik tengah duduk di depannya. Pertama kali, saat ia mendengar bahwa Cansu akan diajak makan malam bersama sultan Dastan, entah mengapa dirinya langsung bersemangat ingin mendandani wanita itu. Mungkin, karena menurutnya apa yang dilakukan Dastan pada Cansu tidaklah biasa. Tidak pernah ia lihat Sultan melakukan hal yang sama kepada wanita yang belum ia kenali sepenuhnya. Bahkan makan malam bersama dengan sang permaisuri kerajaan sangat jarang sekali pria itu lakukan. Emine merasakan ada sesuatu yang berbeda dalam diri Cansu yang mampu menarik perhatian dari seorang Dastan. Sultan berhati dingin dan juga kejam. Pria itu biasanya akan menghukum seseorang yang ia angga
Pagi yang cerah di hari senin. Sebuah pagi, di mana matahari bersinar dengan semangat namun, teriknya tak terasa menyengat. Sebuah pagi yang memberikan kesan tersendiri bagi penikmatnya. Seorang wanita cantik tampak berdiri dengan segerombolan mahasiswa yang ikut bersamanya. Rambutnya yang hitam tebal ia sanggul dengan rapi. Sehelai kemeja bewarna biru lengkap dengan rok span hitam sepanjang lutut, membalut sempurna tubuh semampai wanita itu. Dan jangan lupakan, sepasang sepatu berhak rendah bewarna hitam yang membungkus kakinya. Ia adalah Cansu Esana Evren. Seorang dosen muda jurusan sejarah di sebuah universitas ternama. Hari ini ia dan beberapa muridnya, sedang mengadakan kunjungan ke sebuah bangunan prasejarah. Cansu tampak sibuk menjelaskan berbagai peristiwa yang terjadi di bangunan prasejarah tersebut. Sementara murid-muridnya mendengarkan wanita itu dengan khidmat. "Istana Galall. Istana
Cansu melangkahkan kakinya lebar-lebar keluar dari tempat prasejarah tersebut. Tak perduli dengan hujan yang mulai deras, wanita itu terus saja berjalan tak tentu arah. Tiba-tiba langkah kaki dosen muda itu terhenti. Ia menatap kalung di tangannya penuh kebingungan. Semuanya terasa begitu aneh. Bagaimana bisa ia dengan mudah melakukan perintah orang asing yang baru ia temui tanpa menolaknya sedikitpun? Bagaimana bisa? Dan siapa itu Gandhi? Pria aneh dengan pakaiannya yang sama anehnya. Cara berbicaranya juga sangat aneh. Terdengar begitu formal dan juga sangat misterius. Cansu memegangi tengkuknya. Entah mengapa, mengingat pria itu membuatnya merinding. Aura pria itu benar-benar berbeda. Cansu sudah sering bertemu dengan orang asing. Tapi Gandhi sangatlah berbeda. Wanita itu membalikkan tubuhnya. Ia memandangi bangunan istana yang beberapa langkah di belakangnya. Bangunan itu berdiri gagah dengan segal
'tuk tuk tuk' Tidur Cansu terusik oleh suara seperti tapak sepatu kuda yang tengah berjalan. Wanita itu mengerjapkan mata sembari mengumpulkan kesadarannya. Seketika matanya terbuka lebar saat ia teringat bahwa sebelumnya, wanita itu mendengar suara tapak sepatu kuda. Cansu buru-buru bangkit dari duduknya lalu melihat ke sekelilingnya. Tidak jauh dari tempat ia berdiri, Cansu dapat melihat seekor kuda besar bewarna hitam tengah menikmati air sungai. Wanita itu memberanikan dirinya untuk mendekati hewan berkaki empat tersebut. Langkah Cansu tiba-tiba terhenti. Karena, kuda hitam itu bergeser dari tempatnya berdiri. Sebenarnya, bukan hal itu yang membuat Cansu menghentikan langkahnya. Melainkan, sesosok pria yang tengah membasuh wajahnya di tepi sungai. Ternyata tubuh pria itu tertutupi oleh tubuh kuda hitam tadi sehingga Cansu tidak melihatnya. Ia tidak dapat melihat dengan jelas bagaimana rupa p
"Sebenarnya kalian ingin membawaku kemana?" Sudah lebih dari lima kali Cansu menanyakan hal yang sama kepada kedua prajurit yang membawanya. Akan tetapi, wanita itu tetap tidak mendapat jawaban atas pertanyaannya itu. Mereka berdua terus saja memaksa Cansu berjalan melewati lorong panjang yang gelap. Hanya ada beberapa obor yang terpasang di sisi tembok yang membuat mereka dapat berjalan tanpa menabrak kesana kemari. Pergelangan tangan Cansu masih belum dilepas oleh kedua pria itu. Mereka terus saja memegangnya dengan erat tanpa memperdulikan Cansu yang berulang kali meringis karena ulah mereka. Yang terpenting bagi kedua prajurit itu adalah membawa wanita itu kehadapan sultan mereka. Cansu mengerjapkan matanya saat mereka keluar dari lorong gelap itu. Matanya kini menangkap sinar matahari saat mereka bertiga menginjakkan kaki di luar penjara yang berada di bawah tanah kastil. Kedua prajur
Dastan memandang ke luar jendela. Pikiran pria itu melayang. Ia kembali terpikir tentang wanita misterius yang ia temui di tepi sungai pagi ini. Wanita itu terlihat sangat aneh. Ia mengenakan pakaian yang tidak pernah Dastan lihat di tempat manapun. Penampilannya juga sangat berbeda dengan wanita-wanita yang pernah ia temui sebelumnya. Seperti wanita itu datang dari dunia yang berbeda dengannya. Namun, anehnya ia dapat mengerti apapun yang diucapkan wanita itu. Tidak ada yang salah baik dari bahasa maupun logatnya. Cansu? Bukankah itu adalah namanya? Ia mengucapkan sesuatu yang membuat Dastan terkejut. Ia mengucapkan sesuatu yang berkaitan dengan Gandhi. Seorang pria yang sudah menghilang sejak 2 bulan lamanya dan Cansu mengatakan baru bertemu dengan Gandhi kemarin? Itu adalah yang mustahil. Bahkan Dastan telah mengerahkan seluruh mata-mata terbaiknya untuk mencari keberadaan pria itu. Dastan menghela napasnya
"Kenapa mustahil? Kenapa mustahil jika aku adalah Sultan Dastan Kazeem?" Cansu tersentak kaget. Wanita itu sontak membeku di tempatnya berdiri. Ia kehabisan kata-kata untuk menjawab pertanyaan Dastan. Hal ini, semakin membuat pria itu penasaran. Ia kemudian berjalan mendekati Cansu. "Katakan, nona. Mengapa hal itu terdengar mustahil bagimu? Jelaskan padaku."ucap Dastan seraya menatap Cansu tajam. Cansu menatap Dastan dengan matanya yang membulat sempurna. Ia benar-benar terkejut sehingga lupa bagaimana caranya untuk berbicara. Ekspresi wanita itu saat ini, terlihat seperti seseorang yang tengah melihat hantu. "Kau bungkam? Apa artinya itu? Kenapa kau diam setelah aku menanyakan hal ini padamu?"tanya Dastan sekali lagi. "Seharusnya kau sudah mati. Seharusnya kau sudah mati, atau aku yang seharusnya tidak berada di sini?"ucap Cansu yang membuat Dastan kebingungan. Pria itu tidak
Cansu menatap hampa pantulan dirinya pada cermin yang berada di hadapannya. Penampilan wanita itu saat ini telah benar-benar berubah. Ia tidak lagi mengenakan kemeja bewarna biru dan rok spannya yang kotor. Semuanya telah terganti dengan sebuah gaun mewah berbahan sutra yang membuat wanita itu kesulitan untuk bergerak. Cansu memperhatikan setiap detail gaun yang ia kenakan. Gaun bewarna maroon itu benar-benar terlihat seperti pakaian seorang bangsawan. Membuat wanita itu kembali mempertanyakan keberadaannya saat ini. Ia kembali mengingat tentang pertengkarannya dengan Dastan beberapa jam yang lalu. Di mana mereka sama-sama dibuat kebingungan dengan kebenaran yang ada. "Apa maksudmu? Kau mencoba untuk membodohiku? Nona Cansu, sekarang ini masih tahun 1389. Bagaimana bisa kau mengatakan hal tersebut?" Cansu kembali teringat pada apa yang dikatakan oleh Dastan tadi. Pria itu dengan ngototnya me