Share

Chapter 3 : pria di tepi sungai

   'tuk tuk tuk'

   Tidur Cansu terusik oleh suara seperti tapak sepatu kuda yang tengah berjalan. Wanita itu mengerjapkan mata sembari mengumpulkan kesadarannya.

   Seketika matanya terbuka lebar saat ia teringat bahwa sebelumnya, wanita itu mendengar suara tapak sepatu kuda. Cansu buru-buru bangkit dari duduknya lalu melihat ke sekelilingnya.

   Tidak jauh dari tempat ia berdiri, Cansu dapat melihat seekor kuda besar bewarna hitam tengah menikmati air sungai. Wanita itu memberanikan dirinya untuk mendekati hewan berkaki empat tersebut.

   Langkah Cansu tiba-tiba terhenti. Karena, kuda hitam itu bergeser dari tempatnya berdiri. Sebenarnya, bukan hal itu yang membuat Cansu menghentikan langkahnya. Melainkan, sesosok pria yang tengah membasuh wajahnya di tepi sungai. Ternyata tubuh pria itu tertutupi oleh tubuh kuda hitam tadi sehingga Cansu tidak melihatnya. Ia tidak dapat melihat dengan jelas bagaimana rupa pria itu karena posisinya yang sedikit membelakangi Cansu.

   Wanita itu hendak melangkah mendekatinya. Namun, rasa ragu mendatangi Cansu. Bagaimanapun juga, Cansu belum mengenal pria itu. Bagaimana jika ia adalah seseorang dengan niat jahat. Atau seseorang seperti Gandhi yang membuatnya terjebak dalam masalah.

   Namun, yang harus Cansu ketahui bahwa pria itu adalah manusia pertama yang ia temui di hutan antah berantah ini. Jadi, tidak ada salahnya mencoba. Walaupun, Cansu belum yakin bahwa pria itu bisa membantunya atau tidak.

   Setelah meyakinkan dirinya, Cansu mulai melangkahkan kakinya dengan waspada mendekati pria itu. Akan tetapi, baru beberapa langkah ia berjalan, wanita itu kembali menghentikan langkahnya.

   Cansu seketika membeku di tempat. Saat pria itu membalikkan badannya. Kini, tatapan keduanya bertemu. Napas Cansu tercekat saat melihat bagaimana rupa pria yang berdiri tidak jauh darinya itu.

   Sungguh, pria itu adalah pria tertampan yang pernah Cansu lihat. Ia memiliki wajah yang begitu indah. Bagaikan patung dewa yang dipahat dengan penuh ketelitian.

   Rahangnya yang tajam serta bibir merah yang memabukkan. Hidung tinggi yang menyempurnakan struktur wajahnya. Dan mata itu! Sepasang mata yang tengah menatapnya saat ini. Mata yang membuat Cansu seketika lupa cara untuk bersuara. Mata yang tajam dengan bulu mata selentik kelopak bunga. Jangan lupakan alis tebalnya yang menambah kesan mengintimidasi di kedua mata pria itu.

   Cansu masih saja mematung di tempatnya, bahkan ketika tubuh gagah pria itu berjalan mendekatinya. Ia baru bergerak saat menyadari pria itu mendekat ke arahnya dengan sebuah belati yang ia genggam erat.

   Cansu membulatkan matanya. Ia melangkah mundur. Namun, pria itu dengan gesit menangkap tubuhnya. Kini tubuh Cansu berada di dalam dekapan pria itu dengan sebuah belati yang tepat berada di lehernya.

   "Siapa kau?"tanya pria itu.

   Cansu dibuat merinding dengan suaranya yang begitu dalam menyentuh telinganya. Ditambah lagi dengan posisi mereka berdua yang begitu dekat.

   Wanita itu bisa merasakan deru napas pria misterius itu menyapu permukaan wajahnya. Lutut Cansu seketika lemas saat lagi-lagi ia dihadapkan dengan sepasang mata indah itu.

   "Apa mereka mengirimkanmu kali ini untuk memata-mataiku?"tanya pria itu sekali lagi namun, Cansu sama sekali tidak menjawabnya.

   Pria itu semakin menajamkan tatapannya. "Jawab aku, atau kubunuh kau sekarang juga."ancamnya.

   Cansu seketika tersentak kaget saat mendengar pria itu yang akan membunuhnya. Dengan terbata-bata, wanita itu menjawab, "Na--n-namaku, Cansu."

   Pria itu masih menatapnya tajam. "Siapa yang mengirimmu?"

   Cansu mengerutkan dahinya. Tidak mengerti dengan apa yang dibicarakan oleh pria itu. "A--a-apa maksutmu?"

   "Tidak usah berpura-pura! Katakan saja siapa yang menyuruhmu untuk memata-mataiku."

   Cansu menggelengkan kepalanya kuat sehingga belati yang berada di lehernya menggores kulit leher wanita itu. Ia kemudian meringis menahan perih yang disebabkan oleh goresan tersebut.

   "A--aku bukan seorang mata-mata. Namaku, Cansu. Aku terjebak di hutan ini dan tidak sengaja bertemu denganmu. Aku hanya ingin meminta bantuanmu. Jika kau tidak ingin membantuku, itu bukanlah masalah. Tapi, kumohon jangan bunuh aku."jelas Cansu dengan wajah memelas.

   Namun, pria itu sama sekali tidak menunjukkan rasa ibanya. Ia masih saja menaruh rasa curiga terhadap Cansu.

   "Kau pikir aku akan mempercayaimu?"

   Pria itu melepaskan Cansu dalam dekapannya sehinnga membuat wanita itu tersungkur ke atas tanah. Ia meringis menahan perih pada luka yang ada di lehernya.

   "Percayalah, aku tidak ingin menyakitimu. Aku hanyalah seorang wanita biasa yang tersesat di hutan ini. Kumohon, percayalah."ucap Cansu diiringi isak tangisnya.

   "Sultan!"

   Sebuah suara mengejutkan mereka berdua. Dari belakang pria itu muncul 5 orang pria lain yang berpakaian seperti prajurit. Mereka kemudian memberikan hormat kepada pria itu.

   Cansu mengernyitkan dahinya bingung. Salah seorang dari kelima pria tersebut baru saja memanggil sultan. Lalu, siapa sultannya? Apa pria tampan yang tengah berdiri di hadapannya saat ini?

   "Anda baik-baik saja, sultan?"tanya slaah satu dari rombongan yang baru datang tersebut.

   Sekarang Cansu paham. Pria yang ada di hadapannya itu, adalah seorang sultan. Karena itulah, kelima kawanan tadi terlihat begitu menghormatinya. Apakah ini berarti bagus buat diri Cansu atau sebaliknya? 

   "Ya, aku baik-baik saja. Lebih dari baik-baik saja."jawab pria itu seraya menatap ke arah Cansu penuh arti. Hal itu sontak membuat kelima kawanan tadi juga menoleh kearah wanita itu.

    "Siapa wanita ini, sultan?"tanya mereka.

    "Aku tidak tahu dia siapa. Mungkin saja dia seseorang yang dikirim dari kerajaan lawan untuk memata-matai kita. Sekarang kalian bawa wanita ini ke kastil persinggahan."perintah pria itu yang seketika membuat Cansu terkejut. Wanita itu sudah berniat melarikan dirinya dari sana. Namun, lagi dan lagi ia kalah cepat. Kelima kawanan itu sudah menangkapnya.

    "Aku bukan seorang mata-mata! Aku hanyalah seorang wanita biasa. K-kumohon jangan sakiti aku!"pinta Cansu.

   Pria yang disebut sultan itu tersenyum. Ia mendekat ke arah Cansu. Memegang dagu wanita itu lembut. "Kita akan mengetahui hal itu nanti, Nona."

***

   Cansu memeluk kedua kakinya di sudut ruangan. Menatap takut-takut ke arah beberapa orang di sekitarnya. Saat ini, wanita itu tengah berada di dalam sebuah ruangan yang mirip seperti sebuah penjara bersama beberapa orang asing. Mereka semua mengenakan pakaian aneh yang kelihatan lusuh. Beberapa dari mereka juga ada yang terluka. Cansu tidak menemukan satu orangpun yang menatapnya ramah.

   Wanita itu bingung sekaligus ketakutan. Semuanya menjadi kacau. Niat awalnya ingin meminta pertolongan kepada seorang pria yang ia temui di tepi sungai, malah membuatnya berakhir di penjara bersama orang-orang asing ini. Ya, walaupun setidaknya satu dari keinginannya telah terkabul yaitu, bertemu dengan seseorang bahkan ia dapat bertemu dengan banyak orang sekarang. Walau tidak ada yang bisa membantunya.

   "Apa kau juga seorang mata-mata? Siapa yang mengirimmu ke sini?"

   Cansu mendengus. Ia sudah muak mendengar kata mata-mata berulang kali. Wanita itu kemudian mendongak dengan kesal kepada seorang wanita yang bertanya kepadanya.

   "Aku bukan mata-mata. Kenapa kalian selalu menanyakan hal itu kepadaku?"ucapnya jengkel.

   Wanita yang bertanya kepada Cansu itu tampak sedikit terkejut. Ia tidak menyangka Cansu akan memberikan respon demikian terhadap pertanyaannya itu.

   "Hey, kau tidak perlu marah. Itu adalah hal yang wajar untuk ditanyakan. Coba sekarang kau lihat kesekelilingmu! Mereka semua adalah mata-mata yang dikirim dari kerajaan yang berbeda-beda. Bahkan aku juga adalah seorang mata-mata. Aku sedikit bingung dengan dirimu. Jika kau bukan seorang mata-mata, mengapa kau bisa ada di dalam sini?"tanya wanita itu sembari menatap Cansu bingung.

   "Itulah hal yang sejak tadi selalu kutanyakan. Jika aku tidak berbuat kesalahan apapun, kenapa aku bisa berakhur di sini. Aku hanya seorang wanita biasa. Tidak lebih."jelas Cansu frustasi.

    Wanita asing itu mengerutkan dahinya. "Mereka menangkapmu? Bagaimana bisa?"

   Cansu mengedikkan bahunya. Ia kemudian menyandarkan punggungnya pada tembok ruangan yang dingin. "Aku tersesat di hutan ini. Saat hendak mencari jalan keluar, aku tidak sengaja bertemu dengan sang sultan. Aku ingin meminta bantuannya agar aku bisa keluar dari hutan ini. Namun, ia malah menuduhku seorang mata-mata dan menjebloskanku ke dalam sini."

   "Kau sendirian saja?"tanya wanita asing itu. Cansu menganggukkan kepalanya.

   "Darimana asalmu? Pakaianmu terlihat agak aneh."tanya wanita asing itu seraya menatap bingung ke arah pakaian yang dikenakan oleh Cansu.

   Memang benar, di antara semua orang yang berada di dalam ruangan itu, hanya dirinya sendirilah yang memakai pakaian seperti yang ia kenakan. Sementara yang lain, termasuk wanita asing itu memakai pakaian yang aneh dan terkesan sedikit kuno. Hal ini semakin membuat Cansu penasaran dengan keberadaannya saat ini.

   Cansu hendak menjawab pertanyaan wanita asing itu namun, dua orang pria tiba-tiba masuk ke dalam ruangan tersebut dan menghampiri Cansu. Tanpa mengatakan apapun, mereka menarik kasar tangan Cansu lalu memaksa wanita itu berdiri.

   "Hey apa yang kalian lakukan?"protes Cansu yang tidak terima diperlakukan seperti itu.

   "Lepaskan aku! Kalian menyakitiku!"teriaknya sembari berusaha melepaskan cengkeraman tangan dua orang prajurit tersebut.

   Namun, kedua pria tersebut tidak mendnegarkannya. Mereka malah mempererat cengkeraman tangan merak di pergelangan tangan Cansu hingga membuat pergelangan tangan wanita itu memerah. Mereka kemudian menyeret paksa Cansu yang berusaha memberontak itu.

   "Lepaskan! Kemana kalian akan membawaku? Lepaskan aku!"teriak Cansu.

   "Sultan ingin bertemu denganmu."ucap salah satu pria yang mencengkeram tangan Cansu. Ucapannya sontak mengundang perhatian seisi penjara. Semua orang yang berada di dalam ruangan itu, langsung menoleh ke arah Cansu dan kedua prajurit tadi. Menatap mereka dengan tatapan yang beragam. Mulai dari tatapan penasaran, penuh amarah, hingga tatapan takut. Hal ini membuat rasa takut Cansu semakin menjadi.

   Namun, sekuat apapun ia mencoba untuk melawan, ia tidak akan sanggup menandingi kekuatan kedua prajurit yang membawanya. Perlahan, wanita itu mulai pasrah dan mengikuti arahan dari kedua prajurit tersebut. Ia sudah pasrah dengan kejadian yang telah menunggu dirinya.

   

   

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status