Suluh sendirian ditemani kegelapan, tak ada apa-apa melainkan kekosongan. Benturan keras membawanya ke alam bawah sadar, hening tanpa kebisingan sampai suara mulai terdengar samar-samar. Suatu bisikan yang semakin lama berubah menjadi teriakan memenuhi telinga.
"Bertahanlah, anakku," disela-sela kehancuran, Suluh dapat melihat wajah wanita di depan mata, dikelilingi abu dan kobaran api di mana-mana, membumihanguskan berbagai rumah. "Kamu harus kuat." Dia terlihat menangis, muka cantik dilengkapi kulit kuning langsat itu tak karuan, dipenuhi debu dan bercak cairan kemerahan. "Ibu akan melindungimu," ucapnya lirih, sesekali memperhatikan bayi yang berada di dalam dekapan kedua tangan. "Ibu?" Suluh bergumam, sempat tak mempercayai kejadian yang menimpanya saat ini. Perempuan tersebut lantas bersembunyi di balik rumah tua terbuat dari kayu, memeriksa keadaan Suluh dengan sayu. "Maafkan ibu bahwa kamu harus mengalami ini semua," dia berbisik, menyadari bahwa ada sebuah sekoci di tepi sungai. Tak menunggu waktu lama, dia cepat-cepat ke sana, berlutut hendak mengatakan sesuatu kepada anaknya. "Suluh, ingatlah selalu akan namamu. Cahaya yang terus bersinar, tidaklah kau biarkan kebatilan mengambil alih dirimu." "Karena mereka hanya akan menuntun ke arah kerusakan," bibir ranumnya bergetar, isak tangis tak mampu ditahan. "Meski dunia membencimu, setidaknya kamu berada di dalam kebenaran." Tiba-tiba di balik rumah sebelumnya, sudah berdiri beberapa orang memiliki ekspresi kusam, air mukanya dipenuhi amarah dan berniat melakukan kejahatan—dibekali senjata di tangan. Keseriusan melanda situasi dan ibu Suluh tak dapat lama-lama berdiam diri, mencium dahi si buah hati. "Ibu sangat mencintaimu," dia meletakkan Suluh yang terlapisi selimut. "Hidup dan tumbuhlah, karena ibu akan selalu bersamamu." Wanita itu lantas melepaskan tali dan membiarkan sekoci terbawa arus sungai, kali terakhir bagi Suluh melihat ibunya menghadapi mereka seorang diri. Sementara semburat kemerahan tampak di langit beserta asap membumbung tinggi, mengungkapkan kebenaran masa lalu yang menusuk hati. Kelopak mata Suluh berusaha untuk terbuka, berkedip beberapa kali mencoba beradaptasi terhadap apa yang dilihat di sekitarnya. "Di mana ini?" Suluh bertanya-tanya, mengedarkan sorotannya sampai di sudut ruangan. Semuanya terbuat dari kayu dan tampak tua, bahkan kasur yang ditempati Suluh berkali-kali mengeluarkan decitan. Dia mencoba bangkit, merengek lemah sampai tergeletak kembali tatkala merasakan sakit luar biasa di tubuhnya. Penasaran, dia membuka selimut dan terkejut bukan main. Hampir seluruh badan Suluh ditutupi oleh tanaman entah apa yang melilit sampai ke kaki. Aroma dedaunan menguar semerbak, sempat membuat Suluh menebak-nebak. "Apa seorang tabib menyelamatkanku?" Tirai bambu sebagai akses masuk kamar berbunyi keras secara tiba-tiba, menyebabkan Suluh terhentak dan beralih ke insan yang telah berada di sana. Dia tinggi, tidak terlalu tua dan tidak terlalu muda, wajahnya dapat dikatakan dingin dan berwibawa. Rambutnya keperakan, dikuncir ke atas dan membiarkan tergerai serta melambai-lambai ketika bergerak. "Sudah siuman?" tanya sosok misterius tersebut meletakkan nampan di atas nakas. "Kau sangatlah beruntung dapet bertahan dari kecelakaan itu." "Si-siapa Anda?" Suluh terbata-bata, resah sebab dia seperti memiliki aura berbahaya walaupun bersikap ramah tamah. "Aku Madiarta," laki-laki berbusana serba hitam itu mengaduk cairan yang ada di cangkir tembikar, duduk di sebelah Suluh dan memberikan ramuan. "Ini, minumlah." Suluh mengantisipasi, keraguan menyelimuti. "Jangan khawatir, aku sama sekali tak memiliki keinginan untuk menyakitimu," Madiarta meyakinkan. "Sebab kau sangat kuhormati." Mengernyit, Suluh tidak tahu maksudnya, kesulitan meraih dengan kedua tangan yang terasa kaku. Bila dipikir-pikir, dia sudah merawat Suluh sampai sejauh ini, mustahil Madiarta ingin menyakiti bila sedari awal dia memiliki kesempatan besar melakukannya. Semua asumsi buruk ditepis oleh Suluh, sampai akhirnya menyeruput minuman berwarna biru tersebut. Seketika ekspresi Suluh berubah masam, memaksa diri meneguknya. "Ramuan apa ini?" keluhnya. "Rasanya sungguh kuat." Terkekeh, Madiarta merespons, "Ini akan membantumu sembuh dengan cepat. Tentu bahan-bahan yang digunakan tidaklah sembarangan." "Lebih dari itu, bagaimana kau bisa terjatuh ke dasar lembah?" Madiarta meneruskan. "Kau terpeleset?" Terdiam membisu, Suluh tak tahu harus memendam atau memberitahu. "Tidak, tuan," dia membuka suara bernada lemah. "Ini semua ulah teman-temanku." Madiarta menautkan kedua alis, membungkukkan badan ke depan, menandakan keseriusan. "Ceritakan kepadaku apa yang sebenarnya terjadi." Kedua mata Suluh mencerminkan kesedihan dan tekanan, mengasihani dirinya sendiri sebab dia hanya sebuah aib memalukan. "Mereka menindasku karena aku tak bisa berkultivasi," bisiknya lirih. "Aku layaknya sampah di Cenderawasih." Madiarta tak berbicara, memilih mendengarkan. "Bertahun-tahun aku berusaha keras untuk bisa berkultivasi tapi tidak membuahkan hasil apapun! Padahal aku melakukan metode seperti yang lain," Suluh menunduk, mencengkram selimut. "Mereka menghinaku sebagai murid cacat dan tak berguna." "Itulah sebabnya aku dicaci maki," suaranya terdengar serak dan emosional, matanya berkaca-kaca. "Dikucilkan dan tak dihargai." Dipenuhi frustasi dan amarah, Suluh mempertanyakan, "Kenapa hanya aku yang berbeda?" Atmosfer berubah mencekam, Madiarta tak membalas sampai dia menarik napas dalam-dalam. "Kau mungkin belum mengerti siapa dirimu," dia memberitahu. Suluh secepat kilat menoleh kelabakan, kedua mata lembabnya menatap Madiarta. "Maksud tuan?" "Kau dan dia memiliki kesamaan baik secara Sukma maupun batin," Madiarta menerangkan. "Aku sempat ragu akan tetapi setelah mendengar ceritamu, kau mungkin memiliki ikatan dengannya." Suluh melongo, benar-benar tak dapat mencerna maksud Madiarta. "Karena itu, sebagai murid yang diberikan darma, aku akan membantumu berkultivasi untuk membuktikan apakah kau layak menerima Pusaka Bayangan atau tidak." Anak dua belas tahun kehilangan arah, tak tahu harus membalas apa. "Bukankah kau sendiri ingin menjadi kuat?" Madiarta berdiri, memberikan senyuman. "Ta-tapi, sudah tidak ada lagi harapan bagiku," Suluh dilanda kebimbangan. "Sebab Sukma-ku tak mampu merasakan kehadiran Prana." "Tidak benar," sahut laki-laki tersebut, kedua mata hitamnya terpusat kepada Suluh. "Kau hanya belum menemukan metode yang tepat selama ini." Bertahun-tahun tak ada yang mempercayai bahkan menanggapi, baru kali ini Suluh diberikan kesempatan besar oleh sosok misterius yang dia hargai. Belum cukup sekadar merawat, Suluh ditawari berlatih dalam naungan Madiarta, membantunya mencapai cita-cita. "Te-terima kasih banyak, tuan!" Suluh membungkuk dalam duduknya sementara Madiarta mengemasi nampan. Madiarta menyunggingkan senyuman sambil merespons, "Habiskan minumannya." Dia berbalik dan melangkah keluar, ekspresinya mendadak serius ketika dia memutar balik kejadian saat dia menemukan Suluh. Ketika Madiarta hendak mencari kayu bakar, suara longsor terdengar, buru-buru dia ke sumber suara. Dipenuhi bebatuan serta ranting tumbuhan, dia mendapati bocah yang hampir mati tertimbun tanah. Belum mendekat sekalipun Madiarta sudah mampu merasakan aura Suluh, tak disangka memiliki aura mistis luar biasa, nyaris sama dengan milik masternya. Luka fatal Suluh sempat diatasi oleh berbagai ramuan, membawanya ke rumah. Jadi amanat yang diwasiatkan kepada Madiarta menjadi kenyataan, hanya satu hal yang harus dipastikan, kelayakan dalam menerima Pusaka Bayangan. Dengan begitu, maka keresahannya akan terselesaikan.Gerakan kaki Suluh tiba-tiba berubah cepat, berlari tepat ke arah Deandra. Terperanjat kaget, dia sama sekali tak menduga anak yang selama ini diremehkan berani melakukan serangan terlebih dahulu, menandakan bahwa Suluh benar-benar telah berubah. Bocah berambut hitam lantas melompat memutar, mendaratkan kakinya ke arah Deandra yang terbelalak. Panik, bukannya menghindar, dia malah melindungi diri dengan kedua tangan, benturan tersebut membawa Deandra menepi beberapa langkah. "Bagaimana mungkin?" batin Deandra membisu. "Kenapa dia bisa memiliki daya kekuatan seperti ini?" Lirikan mata kembali terpusat kepada Suluh, bersiap melancarkan aksi selanjutnya. "Apakah dia sudah sampai di ranah ketiga tingkat terakhir?" imbuh murid berprestasi tersebut, mencoba menangkis beberapa hantaman dari Suluh. Di tes sebelumnya, Deandra mendominasi keadaan akan tetapi saat ini keadaan berbalik sepenuhnya. Setiap teknik Suluh memandu Deandra tak bisa melakukan balasan, dipaksa berlindung di dalam ked
Membisu, Suluh benar-benar terpesona, tak dapat sesekali mengalihkan lirikannya ke lain arah. "Uh ... kamu benar, aku baru kembali," terbata-bata, dia menunduk. "Apa yang terjadi denganmu?" Aruna mendekat, semakin membuat Suluh kalang kabut sembari mundur selangkah. "Kami mencarimu ke mana-mana!" Tersenyum tipis, Suluh merasa bahagia bila masih ada yang menaruh rasa empati kepadanya meski tidak banyak. "Ah, aku ... aku tergelincir ke dalam lembah Gunung Andapan," kekehnya dalam kecanggungan. Seperti mengetahui ada sesuatu tidak beres, Aruna mencondongkan tubuh ke depan, melirik dalam-dalam ke mata Suluh dengan kecurigaan. "Benarkah?" celetuknya belum teryakinkan. "Tapi kenapa aku merasa kamu menyembunyikan sesuatu?" Terperanjat, Suluh dibuat bungkam. "Ini ulah Deandra dan kelompoknya itu, bukan?" imbuh Aruna semakin membuat laki-laki di hadapannya mati kutu. "Apa? Tidak, tentu saja tidak," ucap Suluh was-was. "Kenapa kamu berpikir demikian?" Meluruskan tubuh, Aruna menyeletuk,
Desa Jatnika berada di kaki Gunung Andapan yang kurang strategis sebagai tempat istirahat sebab ada desa Arusani dengan opsi lebih baik. Tidak hanya tempatnya mendekati area berbahaya, Jatnika tak memiliki banyak ketersediaan bahan makanan dan serba kekurangan menyebabkan saudagar enggan untuk sekadar mampir. Hal tersebut terbukti ketika Suluh baru memasuki area Arusani, terlihat berkali-kali kereta kuda lewat, memuat berbagai benda mulai dari kebutuhan utama maupun sampingan. Suara mereka menggebu memperkenalkan dagangan, beberapa dikerubungi warga yang antusias melihat-lihat maupun mencari sesuatu. "Musafir! Kau di sana, apa kau memerlukan ramuan?" salah satu saudagar memanggil Suluh, telah mempersiapkan dagangannya dengan baik dan rapi di atas meja. "Aku tahu apa yang cocok untukmu!" Bocah yang masih memakai topi rotan tersebut teralihkan, sedikit segan sebab Suluh membawa cukup ramuan di tasnya. Terlebih lagi, dia sama sekali tak memiliki koin sebagai transaksi. "Ah, sepertiny
"Tuan, ini adalah bekalku mengembara, aku tak mungkin memberikan semuanya kepadamu," suara santai tak tahu takut membuat berandal tersebut mengernyit, urat di dahinya mengerut. "Bocah, kau berani melawan aturan di sini?" lali-laki lain berambut botak mendekati, memarkan tubuh besar tanpa sehelai kain menutupi. "Aku tak bermaksud demikian, bila itu merupakan suatu keharusan, sebaiknya aku ke tempat lain saja," saat Suluh berbalik, dia dihentikan oleh anggota terakhir komplotan yang berperawakan normal, berbadan kurus, dan memakai busana ala-ala murid bela diri. "Tidak secepat itu, anak tidak tahu diri," serunya menyeringai. "Sekali kau menginjakkan kaki di sini, kau harus membayar apapun yang kami minta! Sekarang, serahkan tasmu itu atau kami akan membuatmu menyesal!" Belum memperlihatkan mukanya, Suluh tak berbicara sama sekali, terdiam sesaat sampai kedua matanya memperhatikan ke depan, menyorot tajam. "Sebaiknya tuan berhenti melakukan ini." Seperti listrik menyambar, mereka
Suluh terbelalak dengan bibir terbuka lebar, masih belum bisa mempercayai kalimat Madiarta. Reflek dia mundur selangkah, trauma dengan kejadian sebelumnya bersama sekumpulan arwah. "Jadi selama ini aku dirawat dan hidup bersama ...." Tersenyum, laki-laki berambut keperakan membalas, "Jangan takut, aku tidaklah sama dengan Bhuta." "Bhuta?" Suluh menekan kata, tak mengerti makna di baliknya. "Itulah sebutan untuk arwah yang dilandaskan dendam dan tidak menemukan ketenangan," Madiarta mendekat sembari sesekali menengok ke bangkai Uragah. "Mereka mengincarmu karena merasa kau mampu melakukannya." "Berbagai cara mereka lakukan untuk mengambil alih Prana supaya dapat hidup kembali," dia berhenti, memperhatikan energi kegelapan melumat kulit ular tersebut. "Tapi itu mustahil. Jiwa tidak akan kembali ke tubuh yang sama." "Kecuali mereka memasukkan hampir keseluruhan Prana ke suatu benda tertentu," dia meneruskan, menoleh kepada Suluh. "Maka secuil kesadaran turut bersemayam di dalamnya."
Sepi tak ada tanda-tanda kehidupan, Suluh mencari Madiarta sembari berjalan. Dedaunan tersapu oleh angin, rumah reyot tak terawat sesekali menimbulkan bunyi berdecit membuat bulu kuduk berdiri. Belum sepenuhnya terlupakan oleh teror arwah bergentayangan, Suluh memberanikan diri melangkah walaupun dilanda keresahan. "Di mana Master?" Melirik ke berbagai arah, tak ditemukan makhluk bernyawa, hanya kegelapan mendominasi segala hal. "Dan di mana Altar Bayangan berada?" Tak tahu harus ke mana, Suluh membiarkan dirinya secara acak memeriksa setiap bangunan sampai masuk ke dalam. Laba-laba barangkali menikmati keadaan saat ini, membangun istana sendiri bersama debu yang menempel di berbagai sudut. Mendapati suatu kendi khusus untuk ramuan, Suluh mengamati lebih dekat sembari menerka-nerka, "Tempat ini, bukankah ruangan ramuan?" Berdiri, Suluh lantas keluar untuk sekadar memastikan. "Tidak salah lagi, ini adalah bekas sekolahan!" Entah mengapa saat dia memperhatikan bangunan kayu kecil d