Share

Suluh Mukhalis: Pendekar Bayangan
Suluh Mukhalis: Pendekar Bayangan
Author: Alsavir

01. Murid Lemah

Author: Alsavir
last update Last Updated: 2024-04-04 03:06:36

Suara teriakan terdengar keras di suatu ruangan yang teramat luas, dihadiri oleh beberapa murid tengah duduk di sudut-sudut matras. Mereka semua memperhatikan ke depan, menyaksikan dua laki-laki beradu keahlian.

"Berdirilah!" seru Guru Mahendra kepada bocah dua belas tahun yang ambruk di atas lantai. "Buktikan bahwa kau layak berada di Cenderawasih!"

Suluh, dipenuhi determinasi membara, tak kenal menyerah. Walau tubuhnya merasakan sakit, dia berusaha bangkit untuk melawan salah satu siswa yang memiliki nilai terbaik. Ini akan sangat sulit karena Deandra sudah berkultivasi sampai ranah ketiga, menyebabkan semua serangannya kokoh bertenaga.

"Kau benar-benar keras kepala," bisik Deandra menautkan alis, semakin kesal karena harga dirinya dihabiskan untuk melawan murid seperti Suluh. "Tak ada yang dapat kau lakukan dengan tubuh lemah seperti itu!"

Memahami kendala utama, Suluh tak banyak berkomentar sebab hanya dia murid di kelasnya yang belum berkultivasi. Tidak, bahkan di usianya saat ini, Suluh barangkali adalah anak dengan tingkat kemajuan terlambat di sekolah Cenderawasih.

"Bahkan untukmu, kau masih kesulitan melawanku," sarkas Suluh memanaskan api amarah Deandra.

"Tidak tahu diri! Terimalah ini!" Anak berambut cokelat tersebut melesat, melompat lalu memutar saat di udara, mengerahkan sepakan.

Ketangkasan Suluh sama sekali tak memudar, dia meringkuk, menghindari hantaman dan melakukan serangan balik dengan telapak tangan. Kini Suluh mendominasi arus latihan, Deandra tak memiliki kesempatan apapun kecuali menahan dan menerima bogeman.

Namun, Suluh tahu betul bahwa dia harus ekstra berhati-hati untuk tidak terkena terjangan Deandra. Bagaimanapun, ranah ketiga tidak dapat disepelekan. Di tingkatan itu sendiri sudah ada yang mampu membelah batu marmer raksasa, sangat berbahaya bila mengenai makhluk bernyawa.

"Sial!" Suluh bergumam saat tangannya ditangkap oleh Deandra, ditarik dan diberikan suatu hadiah.

"Rasakan!" Deandra memekik, melancarkan sambaran yang tak bisa dihindari oleh Suluh.

Alhasil, anak berambut hitam ikal tersebut terpental dengan keras sampai memantul di atas lantai, baru berhenti tepat di hadapan barisan perempuan yang duduk rapi. Salah satu dari mereka mencerminkan keprihatinan, ingin melakukan sesuatu akan tetapi tak memiliki keberanian.

“Dasar tidak berguna, sampai kapan dia terus memalukan nama baik kelas kita?” cecar murid di antara kerumunan.

“Benar, bagaimana mungkin Guru Mahendra masih mempertahankan murid lemah sepertinya?” sahut temannya, bisikan menguar di area aula.

“Terlebih lagi, aku heran dia bahkan dapat diterima di sekolah terkemuka Cenderawasih,” makian semakin membeludak. “Dengan tidak bisa berkultivasi, ini sudah keterlaluan."

Keangkuhan tercetak di muka Deandra, melangkah mendekati Suluh. "Bagaimana? Masih belum menyerah?"

"Apakah sekarang kau telah menyadari bahwa kau tidak berguna?" imbuh Deandra, sedikit kesal menyadari bahwa Suluh berusaha berdiri walaupun kesakitan. "Pecundang! Mau berapa kali aku harus memukulmu!"

Sesaat sebelum tangan itu menyambar Suluh, aksi Deandra dihentikan oleh perempuan cantik berambut hitam legam, secepat mungkin mendorongnya sampai mundur beberapa langkah. Semuanya mendadak kaget, tak mengira situasi akan memanas.

"Hentikan! Kau sudah berlebihan!" Wajah mempesona dengan kulit seputih susu tersebut dikenali Suluh, namun, dia sama sekali tak tahu namanya. Gadis tersebut merupakan murid berprestasi dengan kecerdasan memukau, terampil dalam bela diri serta meracik ramuan.

"Cukup!" Guru Mahendra menginterupsi, membuyarkan semua murid untuk terarahkan kepadanya. "Kalian berdua kembalilah!"

Mata lentiknya masih terarahkan kepada Deandra dengan kebencian sebelum berbalik ke Guru Mahendra, membungkuk dalam-dalam dan kembali ke tempatnya. Setelah Deandra melakukan hal yang sama, laki-laki berambut putih serta kumis terjulur ke bawah itu berjalan menemui Suluh.

"Aku sudah memperingatkan ini berkali-kali," suaranya serak dan terdengar dalam. "Progresmu adalah yang terburuk dalam sejarah Cenderawasih, Suluh."

"Kami tidak bisa terus menerus menerima hal memalukan seperti ini, aib yang harus kami tutupi," Mahendra meneruskan, melihat ke arah Suluh yang berlutut. "Aku akan memberikanmu kesempatan terakhir, waktu sebulan untuk berkultivasi. Lebih dari itu, aku khawatir kami tak dapat mempertahankanmu di sini."

Tak hanya merasakan tubuh yang hampir lumpuh, Suluh dilanda tekanan mental teramat luar biasa karena menyangkut masa depannya. Dapat bersekolah di Cenderawasih adalah suatu idaman bagi semua anak yang memiliki cita-cita sebagai Pendekar, tak terkecuali Suluh, berusaha keras untuk membuktikan bahwa dia layak bertahan.

Langit sudah berubah kemerahan dan cahaya mentari tak lagi menusuk kulit. Kebanyakan murid tengah kembali ke asrama dan beberapa memilih berlatih di halaman, sebagian berada di tempat-tempat tertentu mencari ilmu yang beraneka macam. Namun, untuk Suluh sendiri, dia sepertinya tak dapat terbebas dari caci makian.

Setelah selesai terapi, dia diharuskan ke tempat ramuan untuk memberikan resep kepada tabib sekolah. Disaat itulah dia diseret ke tempat sepi, dihajar beramai-ramai, dan dipaksa keluar dari Cenderawasih. Melawan adalah tindakan tiada berguna, memilih kabur melarikan diri ke dalam hutan.

Darah mengucur dari dahi Suluh, luka lebam membekas di tangan dan kakinya. Wajah babak belur menandakan bahwa dia mengalami hari mengerikan tanpa belas kasihan, mereka sepertinya tak membiarkan Suluh menampakkan batang hidungnya lagi di sekolah.

Menembus kepekatan dedaunan, napas Suluh tak karuan. Ketegangan memuncak dengan ketakutan turut dirasakan. Beberapa kali dia memeriksa ke belakang sampai tak menyadari bahwa Suluh sampai di tepian tebing, berhenti mendadak dan nyaris terpeleset ke bawah sana.

"Sudah kukatakan," suara itu bak momok bagi telinga Suluh. "Kau tak bisa melarikan diri."

Dari balik semak-semak, Deandra muncul bersama komplotannya dengan keangkuhan, melangkah ke arah Suluh yang sudah tamat. Walaupun begitu, dia masih memiliki secuil keberanian untuk memberontak.

"Tempat ini cukup bagus untuk menjadi kuburanmu, Suluh," Deandra tertawa. "Tak ada yang mencarimu di dasar lembah."

Suluh berbalik, memperhatikan mereka lamat-lamat. "Aku tak akan mati di sini!"

"Benarkah?" Deandra menimpali. "Tidakkah kau sadar bahwa kehadiranmu di Cenderawasih hanyalah beban yang memalukan?"

"Guru Mahendra mungkin memberikanmu kesempatan," dia meneruskan. "Tapi kami sudah muak denganmu!"

"Tak ada yang menginginkanmu di sini," salah satu teman Deandra berceletuk. "Kau seperti hama, lebih baik mati daripada terus menerus mencemari nama baik kelas!"

"Ini telah selesai," Deandra maju ke depan. "Apakah kau memiliki kata-kata terakhir?"

Suluh membisu, tenaga sudah tak tersisa melainkan hanya letusan adrenalin yang membuatnya bergerak. Walaupun tubuh teramat lemah, Suluh memberanikan diri maju ke depan, lama kelamaan berlari. "Tak kubiarkan kalian menghancurkan impianku!"

Sudut bibir Deandra terangkat, mempersiapkan kedua kaki sebelum hendak meluncurkan serangan. "Saksikanlah, Tendangan Tenaga Badai!" serunya melompat memutar, mengerahkan sepakan yang menghasilkan angin kuat menyapu habis apapun di hadapan.

Nasib nahas menimpa Suluh karena dia tak dapat mengelak maupun menahan, terpental sampai terjatuh ke dalam jurang yang curam. Dia menimpa bebatuan, menggores banyak luka sampai akhirnya berhenti dengan kondisi kacau balau.

Pandangannya memudar, kesadarannya menipis, dan angan-angannya hanyalah sebatas fatamorgana semata yang tak ada artinya. Sampai semua yang ada di sekitarnya sirna, tak tersisa apa-apa.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suluh Mukhalis: Pendekar Bayangan    15. Kualitas Pendekar

    Gerakan kaki Suluh tiba-tiba berubah cepat, berlari tepat ke arah Deandra. Terperanjat kaget, dia sama sekali tak menduga anak yang selama ini diremehkan berani melakukan serangan terlebih dahulu, menandakan bahwa Suluh benar-benar telah berubah. Bocah berambut hitam lantas melompat memutar, mendaratkan kakinya ke arah Deandra yang terbelalak. Panik, bukannya menghindar, dia malah melindungi diri dengan kedua tangan, benturan tersebut membawa Deandra menepi beberapa langkah. "Bagaimana mungkin?" batin Deandra membisu. "Kenapa dia bisa memiliki daya kekuatan seperti ini?" Lirikan mata kembali terpusat kepada Suluh, bersiap melancarkan aksi selanjutnya. "Apakah dia sudah sampai di ranah ketiga tingkat terakhir?" imbuh murid berprestasi tersebut, mencoba menangkis beberapa hantaman dari Suluh. Di tes sebelumnya, Deandra mendominasi keadaan akan tetapi saat ini keadaan berbalik sepenuhnya. Setiap teknik Suluh memandu Deandra tak bisa melakukan balasan, dipaksa berlindung di dalam ked

  • Suluh Mukhalis: Pendekar Bayangan    14. Pembuktian Terakhir

    Membisu, Suluh benar-benar terpesona, tak dapat sesekali mengalihkan lirikannya ke lain arah. "Uh ... kamu benar, aku baru kembali," terbata-bata, dia menunduk. "Apa yang terjadi denganmu?" Aruna mendekat, semakin membuat Suluh kalang kabut sembari mundur selangkah. "Kami mencarimu ke mana-mana!" Tersenyum tipis, Suluh merasa bahagia bila masih ada yang menaruh rasa empati kepadanya meski tidak banyak. "Ah, aku ... aku tergelincir ke dalam lembah Gunung Andapan," kekehnya dalam kecanggungan. Seperti mengetahui ada sesuatu tidak beres, Aruna mencondongkan tubuh ke depan, melirik dalam-dalam ke mata Suluh dengan kecurigaan. "Benarkah?" celetuknya belum teryakinkan. "Tapi kenapa aku merasa kamu menyembunyikan sesuatu?" Terperanjat, Suluh dibuat bungkam. "Ini ulah Deandra dan kelompoknya itu, bukan?" imbuh Aruna semakin membuat laki-laki di hadapannya mati kutu. "Apa? Tidak, tentu saja tidak," ucap Suluh was-was. "Kenapa kamu berpikir demikian?" Meluruskan tubuh, Aruna menyeletuk,

  • Suluh Mukhalis: Pendekar Bayangan    13. Padepokan Cenderawasih

    Desa Jatnika berada di kaki Gunung Andapan yang kurang strategis sebagai tempat istirahat sebab ada desa Arusani dengan opsi lebih baik. Tidak hanya tempatnya mendekati area berbahaya, Jatnika tak memiliki banyak ketersediaan bahan makanan dan serba kekurangan menyebabkan saudagar enggan untuk sekadar mampir. Hal tersebut terbukti ketika Suluh baru memasuki area Arusani, terlihat berkali-kali kereta kuda lewat, memuat berbagai benda mulai dari kebutuhan utama maupun sampingan. Suara mereka menggebu memperkenalkan dagangan, beberapa dikerubungi warga yang antusias melihat-lihat maupun mencari sesuatu. "Musafir! Kau di sana, apa kau memerlukan ramuan?" salah satu saudagar memanggil Suluh, telah mempersiapkan dagangannya dengan baik dan rapi di atas meja. "Aku tahu apa yang cocok untukmu!" Bocah yang masih memakai topi rotan tersebut teralihkan, sedikit segan sebab Suluh membawa cukup ramuan di tasnya. Terlebih lagi, dia sama sekali tak memiliki koin sebagai transaksi. "Ah, sepertiny

  • Suluh Mukhalis: Pendekar Bayangan    12. Berandal Desa

    "Tuan, ini adalah bekalku mengembara, aku tak mungkin memberikan semuanya kepadamu," suara santai tak tahu takut membuat berandal tersebut mengernyit, urat di dahinya mengerut. "Bocah, kau berani melawan aturan di sini?" lali-laki lain berambut botak mendekati, memarkan tubuh besar tanpa sehelai kain menutupi. "Aku tak bermaksud demikian, bila itu merupakan suatu keharusan, sebaiknya aku ke tempat lain saja," saat Suluh berbalik, dia dihentikan oleh anggota terakhir komplotan yang berperawakan normal, berbadan kurus, dan memakai busana ala-ala murid bela diri. "Tidak secepat itu, anak tidak tahu diri," serunya menyeringai. "Sekali kau menginjakkan kaki di sini, kau harus membayar apapun yang kami minta! Sekarang, serahkan tasmu itu atau kami akan membuatmu menyesal!" Belum memperlihatkan mukanya, Suluh tak berbicara sama sekali, terdiam sesaat sampai kedua matanya memperhatikan ke depan, menyorot tajam. "Sebaiknya tuan berhenti melakukan ini." Seperti listrik menyambar, mereka

  • Suluh Mukhalis: Pendekar Bayangan    11. Suluh Mukhalis

    Suluh terbelalak dengan bibir terbuka lebar, masih belum bisa mempercayai kalimat Madiarta. Reflek dia mundur selangkah, trauma dengan kejadian sebelumnya bersama sekumpulan arwah. "Jadi selama ini aku dirawat dan hidup bersama ...." Tersenyum, laki-laki berambut keperakan membalas, "Jangan takut, aku tidaklah sama dengan Bhuta." "Bhuta?" Suluh menekan kata, tak mengerti makna di baliknya. "Itulah sebutan untuk arwah yang dilandaskan dendam dan tidak menemukan ketenangan," Madiarta mendekat sembari sesekali menengok ke bangkai Uragah. "Mereka mengincarmu karena merasa kau mampu melakukannya." "Berbagai cara mereka lakukan untuk mengambil alih Prana supaya dapat hidup kembali," dia berhenti, memperhatikan energi kegelapan melumat kulit ular tersebut. "Tapi itu mustahil. Jiwa tidak akan kembali ke tubuh yang sama." "Kecuali mereka memasukkan hampir keseluruhan Prana ke suatu benda tertentu," dia meneruskan, menoleh kepada Suluh. "Maka secuil kesadaran turut bersemayam di dalamnya."

  • Suluh Mukhalis: Pendekar Bayangan    10. Keris Pusaka

    Sepi tak ada tanda-tanda kehidupan, Suluh mencari Madiarta sembari berjalan. Dedaunan tersapu oleh angin, rumah reyot tak terawat sesekali menimbulkan bunyi berdecit membuat bulu kuduk berdiri. Belum sepenuhnya terlupakan oleh teror arwah bergentayangan, Suluh memberanikan diri melangkah walaupun dilanda keresahan. "Di mana Master?" Melirik ke berbagai arah, tak ditemukan makhluk bernyawa, hanya kegelapan mendominasi segala hal. "Dan di mana Altar Bayangan berada?" Tak tahu harus ke mana, Suluh membiarkan dirinya secara acak memeriksa setiap bangunan sampai masuk ke dalam. Laba-laba barangkali menikmati keadaan saat ini, membangun istana sendiri bersama debu yang menempel di berbagai sudut. Mendapati suatu kendi khusus untuk ramuan, Suluh mengamati lebih dekat sembari menerka-nerka, "Tempat ini, bukankah ruangan ramuan?" Berdiri, Suluh lantas keluar untuk sekadar memastikan. "Tidak salah lagi, ini adalah bekas sekolahan!" Entah mengapa saat dia memperhatikan bangunan kayu kecil d

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status