Dua hari terlewati, Suluh merasakan bahwa tubuhnya membaik sangat cepat. Bahkan luka sayatan dan lebam tampak memudar setelah dia membuka semua tumbuhan yang melekat di tubuhnya. Sempat terpukau oleh keahlian Madiarta dalam obat-obatan.
Bersemangat, dia keluar dari kamar, mondar mandir ke beberapa ruangan sampai keluar rumah, menoleh ke sana kemari seakan mencari sesuatu. Halaman luas menyapa, ditumbuhi rerumputan liar serta hutan yang mengitari rumah kayu sederhana. Sampai kedua iris hijau Suluh mendapati laki-laki yang tengah duduk bersila di atas batu, berlari mendekat secepat mungkin. "Master, aku sudah siap latihan hari ini!" Masih memejamkan mata, Madiarta membalas, "Bagaimana kondisimu?" "Jauh lebih baik, Master," muka Suluh terlihat berseri-seri diterpa cahaya mentari. "Jadi begitu," laki-laki tersebut lantas melompat turun. "Mari mulai dengan latihan bela diri." Suluh mengekori Madiarta sampai dia berhenti di tengah halaman, berbalik ke arah muridnya. "Sebagai siswa Cenderawasih, kerahkan seluruh kemampuanmu," ucapnya mempersiapkan kuda-kuda. "Supaya aku dapat menilai sejauh mana kau berada." Menghela napas, dada Suluh mendadak sesak sampai dia menekan keraguan serta ketakutan, menumbuhkan kepercayaan diri untuk menghadapi rintangan. "Baik, Master!” "Jangan sesekali menahan diri," tutur Madiarta kepada Suluh yang membuka kedua kaki, mengulurkan tangan ke depan. "Jauhkan rasa segan dalam dirimu." Mengatur napas sejenak, Suluh mulai bergerak. Konsentrasi sepenuhnya terarahkan kepada Madiarta yang turut mengikuti arah dia melangkah sampai akhirnya Suluh melesat, memberikan serangan cepat. Madiarta sama sekali tak terpana, ekspresinya santai dan terencana. Hantaman telapak tangan Suluh dengan mudah dihindari, bahkan bila dia mau, dia bisa melancarkan serangan balik tanpa celah. Lompatan diimbuhi tendangan, berbagai teknik dikerahkan oleh Suluh tetapi sama sekali tak memberikan dampak signifikan. Gerakan Madiarta dalam mengelak dan menepis mendekati sempurna, kesulitan ditembus yang menyebabkan Suluh kewalahan. "Masih belum," seru Madiarta tatkala menyaksikan muridnya sudah terengah-engah. "Kecepatanmu masih belum maksimal." "Itulah latihanmu kali ini," imbuhnya, masih berdiri di sana. "Memperkuat ketangkasan ke tingkatan yang lebih dalam." Suluh tak menyerah, malahan, ambisi dan semangatnya berapi-api. Menyeka keringat, dia berdiri, memantaskan hati untuk mencoba berkali-kali. Tak mau mengecewakan Madiarta yang mau menerimanya sebagai murid dan membantunya berkultivasi. Latihan antara master dan murid terus berlanjut sampai mentari lengser ke barat, walaupun tidak banyak, Suluh memperlihatkan bahwa dia sudah cukup berkembang dan membaik. Bahkan di satu kesempatan, Suluh mengerahkan tendangan ke depan begitu cepat sampai telat diantisipasi Madiarta, berhasil ditahan akan tetapi hampir kehilangan keseimbangan. "Kerja bagus, Suluh," Madiarta tersenyum lebar. "Gerakanmu lebih teratur dan akurat. Aku terkesan kau cepat beradaptasi." Pujian itu bagaikan hadiah besar yang diterima Suluh karena selama dia berada di Cenderawasih, hampir tak ada yang memberikan apresiasi kepadanya. Kecuali hanya satu, teman sekelas yang sempat menengok keadaan Suluh saat diperiksa oleh tabib. Perempuan yang namanya terlupakan olehnya. "Kita istirahat dulu," saran laki-laki berambut keperakan tersebut, melangkah ke kobaran api unggun. "Aku sudah mempersiapkan ini saat kau latihan." "Terima kasih banyak, Master!" Suluh cepat-cepat membungkuk dalam-dalam ke arah Madiarta dengan tempo teramat lama, menunjukkan apresiasi besar kepadanya. Madiarta merasa iba, memahami bagaimana Suluh diperlakukan di Cenderawasih. "Sudah kemarilah, mari kita membakar ikan-ikan ini disaat malam sudah hampir tiba." Suluh menaati, buru-buru mempersiapkan makanan yang ditaruh di dekat api. Hari berubah malam, cuacanya cerah dihiasi awan-awan sekadar melintas di angkasa. Kedua mata Suluh terpaku ke dataran yang mencuat di balik hutan, tampak dekat dan mengagumkan. "Master, apakah benar bahwa di Gunung Andapan ada arwah bergentayangan?" tanya Suluh tiba-tiba, tak diekspektasi oleh Madiarta disaat tengah makan. Terkekeh, dia merespons, "Gurumu telah memberitahu banyak hal mengenai itu, bukankah demikian?" Madiarta memakan ikan bakar. "Bahkan tak sebatas arwah, ada seekor siluman di atas sana." "Itulah mengapa aku melatihmu untuk mampu menghadapi mereka," imbuhnya, sontak menyebabkan Suluh menoleh dan terbelalak. "Maksud Master?" tanya Suluh kebingungan. "Pusaka Bayangan tersimpan di Gunung Andapan," Madiarta dapat mengerti suasana hati Suluh, dia masih membisu di tempatnya. "Jangan takut, ketakutan membuatmu merasa kecil dan lemah." "Kuasai dan dengarkan apa yang kukatakan, kau akan baik-baik saja," dia meneruskan, sedikit menenangkan Suluh meski bocah dua belas tahun itu resah. "Aku tak meragukan kemampuanmu." Suluh seakan mendapatkan harapan besar yang menyinari kehidupannya. Master Madiarta mempercayai dan tak sekalipun meragukannya, dukungan itu tak akan disia-siakan. Terutama mengetahui bahwa Suluh memiliki keterkaitan dengan sosok yang Madiarta hormati, semakin meningkatkan determinasi. Dua hari berlatih di bawah sinar mentari, keahlian Suluh bertambah. Madiarta sedikit kesulitan menahan dan mengelak semua hantaman, membuktikan Suluh kini terbentuk dengan baik. Gerakan tangan dan kakinya tumbuh cepat beserta daya kekuatan yang cukup berpotensi, akan lebih terasa bila dia sudah berkultivasi. "Semakin baik dari kemarin, kau dapat diandalkan, Suluh," kata Madiarta, mengakhiri sesi kali ini. "Karena ini masih sore, kau kuberi tugas memancing di sungai untuk makan malam, biar aku mengurus kayu bakarnya." "Baik, Master!" Suluh memberikan rasa hormat, buru-buru mengambil alat dari dalam rumah dan menuju ke sungai. "Kau tidak lupa arahnya, bukan?" laki-laki berbusana serba hitam tersebut bercanda, hanya ingin memastikan. Sementara Suluh tersenyum lebar, menggelengkan kepala. "Sama sekali tidak, Master! Serahkan kepadaku!" Kepercayaan diri telah kembali ke dalam dirinya, menerobos semak-semak dan mengikuti setapak. Suara burung berkicauan memenuhi hutan disertai angin semilir menerpa dedaunan, menenangkan Suluh setelah hari-hari berat. Tak lama kemudian dia mendengar aliran air, melangkah sedikit dan dipertemukan oleh sungai yang di sudut sana terdapat air terjun mengagumkan. "Jadi ini tempat master mencari makanan?" Suluh bergumam. "Ini sangat indah." Suluh menggelengkan kepala, menyadarkan diri dari daya tarik pemandangan yang ditawarkan. Tidak ingin membuang-buang waktu, Suluh menaruh keranjang rotan dan mulai memasangkan kail di sebuah tongkat. Baru saja dia melempar alat tersebut ke dalam sungai, Suluh mendengar sesuatu. Berbalik, dia memperhatikan lamat-lamat di balik kegelapan hutan, muncul harimau yang terlihat kurus, mulut terbuka memamerkan taringnya. Sudah dipastikan dia keroncongan, melirik Suluh dengan nafsu makan tak tertahankan. "Gawat!" anak itu terkesiap, menghunus belati yang ada di balik baju cokelatnya. "Apa dia mengikutiku sedari tadi?" Berbekal senjata kecil yang diperuntukkan keperluan dapur, Suluh mau tidak mau harus melawannya. Melarikan diri hanya akan menambah masalah sebab harimau memiliki kecepatan lari yang mampu melampauinya. "Ingatlah latihanmu!" Dia mematangkan niat, mencoba mengatur napas yang tak karuan agar tidak kalang kabut. "Kau harus selamat untuk menjadi Pendekar tangguh!" Binatang buas itu tiba-tiba terdiam, tubuhnya membungkuk, membuat ancang-ancang sebelum menerjang. Suluh tahu dan segera mengantisipasi, merentangkan tangan sembari mengacungkan belati. Jantungnya berdetak begitu kencang, khawatir bilamana ini adalah momen terakhir untuknya. Sekali hentakan, harimau di hadapan mata berlari mendekati Suluh dengan suara menyeramkan, horor yang dapat membuat manusia biasa berteriak ketakutan. Namun, amanat Madiarta meresap ke dalam lubuk hati Suluh karena rasa takut hanya akan menghentikanmu menjadi kuat. "Kau harus berani!" Adrenalin Suluh bergejolak, melompat tinggi melewati harimau yang harus memutar arah. "Kau tidak boleh mati di sini!" Suluh mendarat akan tetapi disambut oleh hewan karnivora di depan, meluncur dengan mulut menganga. Secara tangkas Suluh melayangkan tebasan dari bawah ke atas, melukai muka mengerikan harimau yang sepertinya sudah sering berkelahi. Tak cukup kuat menghentikan harimau tersebut, Suluh menghindari cakarannya, menerima serangan bertubi-tubi yang sulit dihindari maupun ditangkis. Bahkan lengannya sempat tergores dan membuahkan bercak kemerahan, melemparkan belati beserta dirinya ketika Suluh berusaha keras menahan terkaman harimau. Mendarat keras di atas kerikil, Suluh merintih, cepat-cepat meraih senjata yang berada di dekatnya saat hewan itu menyusulnya dengan nafsu memburu. Sepersekian detik tatkala taringnya hampir menyentuh Suluh, suatu energi luar biasa menjalar seperti aliran listrik, menyuruh Suluh bergerak dan dengan tepat belatinya mendarat di kepala harimau, melindungi diri dengan tangan kiri. Sempat menggeliat tak karuan, hewan buas tersebut akhirnya terdiam lemas, menyudahi kehidupannya. Suluh dapat bernapas lega, membebaskan diri karena tertimpa badan hewan dengan ukuran tiga kali lipat dari dirinya. "Suluh! Apa yang terjadi?" Madiarta berlari menuju muridnya. "Demi Prana, dia sudah sangat kelaparan sampai berkelana sejauh ini." Dia lantas menoleh ke arah Suluh. "Apakah kau tidak apa-apa?" Bocah berambut hitam ikal melihat lengannya. "Hanya luka kecil, Master." Madiarta menilik Suluh lama sekali, tak mengira bahwa dia akan tumbuh cepat sampai di level ini. Menguatkan anggapan bahwa Suluh benar-benar adalah keturunan masternya, memiliki bakat alami dalam bela diri. "Ayo kembali dan bersihkan lukamu," seru Madiarta. "Sudah saatnya kau berlatih ke tingkatan selanjutnya.”Gerakan kaki Suluh tiba-tiba berubah cepat, berlari tepat ke arah Deandra. Terperanjat kaget, dia sama sekali tak menduga anak yang selama ini diremehkan berani melakukan serangan terlebih dahulu, menandakan bahwa Suluh benar-benar telah berubah. Bocah berambut hitam lantas melompat memutar, mendaratkan kakinya ke arah Deandra yang terbelalak. Panik, bukannya menghindar, dia malah melindungi diri dengan kedua tangan, benturan tersebut membawa Deandra menepi beberapa langkah. "Bagaimana mungkin?" batin Deandra membisu. "Kenapa dia bisa memiliki daya kekuatan seperti ini?" Lirikan mata kembali terpusat kepada Suluh, bersiap melancarkan aksi selanjutnya. "Apakah dia sudah sampai di ranah ketiga tingkat terakhir?" imbuh murid berprestasi tersebut, mencoba menangkis beberapa hantaman dari Suluh. Di tes sebelumnya, Deandra mendominasi keadaan akan tetapi saat ini keadaan berbalik sepenuhnya. Setiap teknik Suluh memandu Deandra tak bisa melakukan balasan, dipaksa berlindung di dalam ked
Membisu, Suluh benar-benar terpesona, tak dapat sesekali mengalihkan lirikannya ke lain arah. "Uh ... kamu benar, aku baru kembali," terbata-bata, dia menunduk. "Apa yang terjadi denganmu?" Aruna mendekat, semakin membuat Suluh kalang kabut sembari mundur selangkah. "Kami mencarimu ke mana-mana!" Tersenyum tipis, Suluh merasa bahagia bila masih ada yang menaruh rasa empati kepadanya meski tidak banyak. "Ah, aku ... aku tergelincir ke dalam lembah Gunung Andapan," kekehnya dalam kecanggungan. Seperti mengetahui ada sesuatu tidak beres, Aruna mencondongkan tubuh ke depan, melirik dalam-dalam ke mata Suluh dengan kecurigaan. "Benarkah?" celetuknya belum teryakinkan. "Tapi kenapa aku merasa kamu menyembunyikan sesuatu?" Terperanjat, Suluh dibuat bungkam. "Ini ulah Deandra dan kelompoknya itu, bukan?" imbuh Aruna semakin membuat laki-laki di hadapannya mati kutu. "Apa? Tidak, tentu saja tidak," ucap Suluh was-was. "Kenapa kamu berpikir demikian?" Meluruskan tubuh, Aruna menyeletuk,
Desa Jatnika berada di kaki Gunung Andapan yang kurang strategis sebagai tempat istirahat sebab ada desa Arusani dengan opsi lebih baik. Tidak hanya tempatnya mendekati area berbahaya, Jatnika tak memiliki banyak ketersediaan bahan makanan dan serba kekurangan menyebabkan saudagar enggan untuk sekadar mampir. Hal tersebut terbukti ketika Suluh baru memasuki area Arusani, terlihat berkali-kali kereta kuda lewat, memuat berbagai benda mulai dari kebutuhan utama maupun sampingan. Suara mereka menggebu memperkenalkan dagangan, beberapa dikerubungi warga yang antusias melihat-lihat maupun mencari sesuatu. "Musafir! Kau di sana, apa kau memerlukan ramuan?" salah satu saudagar memanggil Suluh, telah mempersiapkan dagangannya dengan baik dan rapi di atas meja. "Aku tahu apa yang cocok untukmu!" Bocah yang masih memakai topi rotan tersebut teralihkan, sedikit segan sebab Suluh membawa cukup ramuan di tasnya. Terlebih lagi, dia sama sekali tak memiliki koin sebagai transaksi. "Ah, sepertiny
"Tuan, ini adalah bekalku mengembara, aku tak mungkin memberikan semuanya kepadamu," suara santai tak tahu takut membuat berandal tersebut mengernyit, urat di dahinya mengerut. "Bocah, kau berani melawan aturan di sini?" lali-laki lain berambut botak mendekati, memarkan tubuh besar tanpa sehelai kain menutupi. "Aku tak bermaksud demikian, bila itu merupakan suatu keharusan, sebaiknya aku ke tempat lain saja," saat Suluh berbalik, dia dihentikan oleh anggota terakhir komplotan yang berperawakan normal, berbadan kurus, dan memakai busana ala-ala murid bela diri. "Tidak secepat itu, anak tidak tahu diri," serunya menyeringai. "Sekali kau menginjakkan kaki di sini, kau harus membayar apapun yang kami minta! Sekarang, serahkan tasmu itu atau kami akan membuatmu menyesal!" Belum memperlihatkan mukanya, Suluh tak berbicara sama sekali, terdiam sesaat sampai kedua matanya memperhatikan ke depan, menyorot tajam. "Sebaiknya tuan berhenti melakukan ini." Seperti listrik menyambar, mereka
Suluh terbelalak dengan bibir terbuka lebar, masih belum bisa mempercayai kalimat Madiarta. Reflek dia mundur selangkah, trauma dengan kejadian sebelumnya bersama sekumpulan arwah. "Jadi selama ini aku dirawat dan hidup bersama ...." Tersenyum, laki-laki berambut keperakan membalas, "Jangan takut, aku tidaklah sama dengan Bhuta." "Bhuta?" Suluh menekan kata, tak mengerti makna di baliknya. "Itulah sebutan untuk arwah yang dilandaskan dendam dan tidak menemukan ketenangan," Madiarta mendekat sembari sesekali menengok ke bangkai Uragah. "Mereka mengincarmu karena merasa kau mampu melakukannya." "Berbagai cara mereka lakukan untuk mengambil alih Prana supaya dapat hidup kembali," dia berhenti, memperhatikan energi kegelapan melumat kulit ular tersebut. "Tapi itu mustahil. Jiwa tidak akan kembali ke tubuh yang sama." "Kecuali mereka memasukkan hampir keseluruhan Prana ke suatu benda tertentu," dia meneruskan, menoleh kepada Suluh. "Maka secuil kesadaran turut bersemayam di dalamnya."
Sepi tak ada tanda-tanda kehidupan, Suluh mencari Madiarta sembari berjalan. Dedaunan tersapu oleh angin, rumah reyot tak terawat sesekali menimbulkan bunyi berdecit membuat bulu kuduk berdiri. Belum sepenuhnya terlupakan oleh teror arwah bergentayangan, Suluh memberanikan diri melangkah walaupun dilanda keresahan. "Di mana Master?" Melirik ke berbagai arah, tak ditemukan makhluk bernyawa, hanya kegelapan mendominasi segala hal. "Dan di mana Altar Bayangan berada?" Tak tahu harus ke mana, Suluh membiarkan dirinya secara acak memeriksa setiap bangunan sampai masuk ke dalam. Laba-laba barangkali menikmati keadaan saat ini, membangun istana sendiri bersama debu yang menempel di berbagai sudut. Mendapati suatu kendi khusus untuk ramuan, Suluh mengamati lebih dekat sembari menerka-nerka, "Tempat ini, bukankah ruangan ramuan?" Berdiri, Suluh lantas keluar untuk sekadar memastikan. "Tidak salah lagi, ini adalah bekas sekolahan!" Entah mengapa saat dia memperhatikan bangunan kayu kecil d