Jon September, 2015 Wajahnya tertunduk muram saat ia menuju jalan masuk pekarangan. Aku pun bangkit dari dudukku di atas anak tangga beranda. Aku berjalan ke arahnya. Sedari tadi aku memutuskan sengaja menunggu Summer di depan rumahnya ketika tidak mendapati keberadaannya di setiap sudut sekolah. “Kau dari mana saja?” Ia tengadah ke arahku. Terkejut. “Sedang apa kau di sini?” “Menunggumu pulang.” “Kau tidak perlu menungguku, Jon.” Ia berjalan melewatiku dan membuka kunci pintu. Perubahan terjadi begitu drastis rupanya. Entah bagaimana bisa begitu. Summer benar-benar terlihat kacau. Acuh. Pasti ada yang tidak beres. Aku berjalan mengikutinya. “Tadi kau menghilang. Kita kan sudah sepakat akan mengantarmu pulang.” Ia acuh. Diam saja. Kuhela nafas berat. "Aku dan Kevin menunggumu di parkiran. Kau tidak muncul juga. Aku mencarimu ke setiap sudut sekolah. Kau tidak ada dimana-mana. Jadi aku mulai khawatir dan memutuskan menunggumu di depan, untuk memastikan kau benar-benar sampai
SummerAgustus, 2015Saat itu aku melihatnya. Roxie. Keterkejutanku tidak hanya sampai pada apa yang dikatakan Jon barusan, tapi juga dilanjutkan dengan kehadiran cewek itu tiba-tiba di tribun, tak jauh dari kami. Ia pasti kemari mencari Jon. Langkahnya segera terhenti saat melihat aku dan Jon di bangku penonton lapangan basket. Ia begitu syok saat Jon memelukku. Wajahnya memerah. Ia marah. Pasti sangat marah. Dan tidak lain pasti ia akan segera mengincarku. Aku pun bersikeras melepaskan diri dari Jon. Namun, tangannya terlalu kuat merengkuhku."Jangan, Sum!""Tidak, Jon! Aku harus pergi dari sini. Ada Roxie.”Rengkuhan Jon mengendur saat mendengar apa yang kubisikan. Ia sejenak mematung.Saat itu juga aku langsung mengambil kesempatan melepaskan diri darinya. "Maafkan aku Jon, aku tidak mau mengacaukan semuanya." Lalu secepat kilat menjauh dari sana.Jon meneriaki namaku, tapi aku tidak menggubrisnya.Aku berlari sekuat mungkin. Aku hanya ingin secepatnya pergi dari sumber masalah ya
JonAgustus 2015 "Summer! Jon!" Suara wanita itu menyentakku dari mimpi. Aku masih setengah sadar ketika wanita itu berbicara lantang. Berusaha membangunkan kami. Dan saat mataku menangkap bayangan Rose di hadapanku. Aku langsung terkejut dan sepenuhnya terbangun. Hampir saja aku melompat kalau saja kaki Summer tidak menahan perutku. Sementara itu, Summer masih menguap setengah sadar. "Rose?!" pekikku terkejut. Cepat-cepat kugoncangkan bahu Summer. "Sum! Sum! Ibumu sudah pulang." Summer mulai sadar sepenuhnya. "Mom? Kapan kau datang?" Rose duduk di sofa di dekat kami. Memperhatikan kami bergantian. "Kau kenapa? Jelaskan padaku ada apa dengan matamu!" wanita itu menatap tajam. "Sekarang!" perintahnya tegas. Tak pelak kami berdua langsung menegang dan duduk tegap. Oh-oh ini saatnya! batinku. Sumer mulai memegangi matanya dan gelagapan. "Ah... ini... eh... ini..." Baiklah, dia masih belum siap mengarang. Lalu apa yang harus kukatakan?! Kuputar otakku, merancang berbagai kata pen
SummerAgustus 2015 Nafasku terengah merasakan sentuhan lembut yang berbeda darinya. Aku terhanyut. Aku tak tahu apa yang tengah kupikirkan. Yang kutahu saat ini hanyalah, kehadirannya melenyapkan begitu saja rasa sakit yang menyergap hatiku. Tapi, rasanya kemudian tidak pas, ini tidak seperti yang biasa kurasakan dari Cloud, aku tidak bisa menerima ini. Ini bukan Cloud. Bahkan aku tidak bisa benar-benar mengusir bayangan Cloud saat cowok lain bersamaku, meski ini Jon sekalipun. Baru saja aku terhanyut pada sensasi itu, namun aku langsung tersadar dan langsung melepaskan diri darinya yang merengkuhku di depan jendela. Tidak. Aku tidak bisa melakukan ini. Aku juga tidak ingin mempermainkan Jon. "Summer..." "Aku tidak bisa, Jon..." Air mataku mulai menggenang. "Kau... menangis?" Ia menatapku lekat-lekat dan memegang kedua bahuku. "Summer... ya ampun, maafkan aku..." Air mataku tumpah begitu saja. Entahlah, rasanya benar-benar kacau dan tidak pas. "Ini bukan salahmu, Jon. Aku yang
SummerAgustus, 2015"Apa yang kau lakukan di sini?!" pekik cewek yang sedang memakai masker itu di depan pintu rumahnya, tatkala tahu bahwa aku yang tengah berdiri menunggunya di beranda.Aku langsung tersadar dari lamunanku dan menoleh mendengar suaranya. Ingin sekali menghambur padanya. Sesaat air mataku tumpah lagi. Sungguh payah, cengeng, dan nampak kacau. Pasti gadis di depanku ini tak segan menertawakan betapa jeleknya aku sekarang. Tapi, Rub hanya melongo. Ia maju menghampiriku. Cewek itu mengambil ujung jaketku yang bebas dan melapkannya pada pipiku yang basah. Sikapnya barusan bikin aku ingin memeluknya. Dahi di balik masker putih itu berkerut, mungkin khawatir atau masih heran. Ia menarik lenganku segera mungkin."Ayo cepat masuk!""Siapa, Rub?" suara wanita menggema dari ruang dalam. Itu pasti ibunya."Hanya Summer, Mom. Kami ada tugas kelompok. Kami langsung ke kamarku." Ruby mengeraskan suaranya agar didengar ibunya. Ia berusaha mengalahkan suara kencang tv yang menyiar
SummerSeptember 2015Pagi di minggu awal bulan ini membuatku setengah bergidik. Bisa jadi karena aku was-was jika peristiwa antara aku, Jon, dan Cloud kemarin bocor di lingkungan sekolah. Dan mungkin juga karena suhu udara yang semakin menurun. Muramnya hariku kini bertepatan dengan masuknya musim gugur. Daun-daun sudah mulai meranggas. Menguning dan berguguran. Membuat janji dengan sesama untuk merayakan pedihnya hatiku. Jika tahu begini, aku mengomel sendiri kenapa namaku tidak "Seasons" saja karena kisah hidupku silih berganti layaknya pergantian musim. Bukan summer, karena sama sekali tidak cocok.Aku menghela nafas. Pagi-pagi sekali setelah keluar dari rumah Rub, lalu merasa kedinginan mengantar koran, aku menyelinap melalui pintu belakang dengan kunciku sendiri. Aku tidak mau lewat depan karena mom belum berangkat bekerja dan jika ia melihatku, aku malas sekali berdebat dengannya.Segera aku naik ke kamarku dengan sebisa mungkin tanpa suara. Lalu mencuci muka, menggosok gigi, d
JonSeptember 2015Cemas. Tentu saja. Ini pertama kalinya aku dipanggil ke ruang kepala sekolah. Apa artinya jika bukan ada hal yang serius. Pasti tentang kekacauan yang kubuat kemarin. Tidak kupungkiri kalau aku salah. Aku tahu aku salah dan terlalu terbawa emosi. Setelah melihat kembali rekaman peristiwa kemarin yang sudah menyebar luas hingga satu sekolah sepertinya tahu, aku jadi tambah sadar kalau aku lah yang salah. Aku tidak bisa mengontrol emosi. Padahal pelatih basketku saja tidak hanya mengajariku teknik bermain, tapi juga bagaimana cara mengatur emosi. Oke. Sepertinya kali ini aku kecolongan karena masalah cewek. Tapi, bagaimana aku tidak tersulut? Aku menyayangi Summer sejak kecil, dan melihat seorang yang membuat hatinya berantakan masih berani mendekatinya, rasanya sulit diterima. Menjengkelkan.Sekarang aku duduk di hadapan Mr. Shirley. Pentolan sekolah ini yang sejujurnya ditakuti oleh semua murid. Aku tahu, setelah menghadapi pria yang tengah mengamatiku ini, persoal
JonSeptember, 2015Langkahku semakin berat ketika melewati lorong panjang menuju ke kelas. Semakin berat saat kelas sudah ada beberapa langkah di hadapanku. Aku berhenti. Menjernihkan pikiranku yang mendadak sangat ingin marah dan membanting sesuatu. Sejenak kuambil nafas panjang sembari menatap langit-langit berwarna putih itu. Lalu dengan perlahan membuang nafas dan menenangkan diri. Kusadari sekarang, kembali ke sini sendiri salah. Ini tidak tepat!Kuputar tiga ratus enam puluh derajat kakiku. Lalu secepat mungkin berlari ke arah aku datang tadi. Setiap langkah kakiku yang melayang lalu menginjak lantai, setiap itu pula pikiranku hanya padanya. Aku berharap aku belum terlambat. Nafasku memburu. Jantungku berdetak lebih cepat. Temperatur tubuhku meninggi. Aku tak peduli sekesal dan selelah apapun diriku, hanya satu yang ingin kutuju di sana. Aku berbelok ke kanan di persimpangan. Kembali berlari di lorong.Kulihat dari jauh, satu-satunya orang yang saat ini ingin kurengkuh untuk pe