Share

7

Penulis: Allein Gios
last update Terakhir Diperbarui: 2022-04-18 14:52:17

Summer

Juli, 2005

“Kau tahu, kau kelihatan berantakan sekali!” suara anak laki-laki di sebelahku menyadarkanku.

Aku kembali sadar setelah tertidur cukup lama. Dalam remang aku menyesuaikan pandangan. Aku menoleh ke sumber suara. Anak laki-laki itu sedang mengamatiku. Penasaran. Penuh rasa ingin tahu. Aku balas menatapnya. Lalu membenahi posisi dudukku. Kini kami duduk berhadapan dengan tumit sama-sama terlipat di depan. Kurasa ia beberapa tingkat di atasku.

“Apa itu sakit?”

Aku bingung. “Apanya yang sakit?”

“Itu. Memar di dahimu.”

Kedua tanganku yang terikat spontan terangkat menuju dahi. Jari-jariku meraba di sana. Saat menyentuh bagian samping kudapati rasa nyeri yang sangat menusuk. Aku merintih.

“Sudah jangan di pegang lagi!” katanya dengan terburu padaku.

Aku menurunkan kedua tanganku segera. Ia benar. Itu akan membuatku merasa sakit. Aku melihatnya lagi mencari penjelasan. “Kenapa dahiku seperti ini?”

“Kau tidak ingat?”

Aku berusaha mengingat sesuatu, tapi kepalaku menjadi pusing. Aku menggeleng.

“Semalam kau dibenturkan. Setelah itu kau kesakitan dan menangis terus. Tapi, anehnya kau tidak bersuara. Ketika aku berusaha mendekatimu kau sudah tertidur.”

Aku mencoba mengingat lagi. Samar-samar yang kuingat adalah hanya rasa takut dan aku menangis ingin pulang. Kini aku ingin menangis lagi. Air mataku mulai turun ke pipi.

“Hei, jangan menangis lagi! Aku takut mereka kembali menyakitimu,” ia berusaha membujukku.

“Kepalaku pusing. Aku ingin pulang.”

“Kemarilah!”

Aku ragu-ragu.

“Ayo sini, mendekatlah! Bersandarlah di sini. Sudah, tidak usah menangis lagi. Ada aku di sini,” ia mengedikkan bahunya.

Aku pun mendekat padanya. Kami bersisian. Aku meletakkan kepala di bahunya. Sementara itu, ia bersandar di tembok.

“Di sini menakutkan dan gelap,” kataku.

“Kau benar. Tempat ini mengerikan.”

“Padahal musim panas belum berakhir.”

“Ya. Seharusnya kita masih liburan.”

Aku membuang nafas panjang. “Aku masih ingin bermain air. Piknik dengan mom dan dad. Tiduran di rumput. Dad dan aku akan menatap awan. Terkadang kami tebak-tebakan tentang bentuk awan seperti apa. Aku ingin sekali melihat langit dan awan. Tapi, di sini tidak bisa. Gelap. Lihat! Jendalanya saja tertutup semua.“

“Seharusnya aku sedang ada di pantai. Dad menjanjikanku belajar selancar minggu ini. Hei, aku juga suka memandang langit dan awan ketika mom mengajakku ke pantai. Mom suka melukis langit dan pantai. Aku sering menemaninya.”

“Benarkah? Itu sangat menyenangkan! Aku ingin sekali melihatnya. Tapi...”aku merasa sedih lagi, “seandainya saja kita bisa pulang.”

“Bersabarlah! Kita pasti keluar dari sini.”

“Aku harap begitu. Ayahku bekerja di kepolisian. Ia pasti akan menyelamatkan kita,” aku membayangkan dad benar-benar datang mencariku.

“Kalau begitu ia pasti akan datang mencarimu. Jadi jangan khawatir!”

Kami sama-sama terdiam. Ia menyandarkan pipinya ke kepalaku.

“Apa awan itu seperti kasur?”tanyaku kepadanya.

“Tidak. Kau tidak bisa memegangnya. Awan hanya kumpulan uap air. Suatu saat ia akan turun menjadi hujan. Ketika menjadi hujan kau baru bisa merasakannya.”

Aku kecewa mendengar jawabannya. “Aku kira awan seperti kasur. Pasti sangat menyenangkan bisa tidur dan melompat-lompat di atasnya. Aku ingin sekali merasakan tidur di sana.”

Ia melirikku.

Aku mendongak menatapnya. “Jadi kita tidak bisa pergi ke awan dan tidur di sana?”

Ia menggeleng. “Kau hanya bisa melihatnya. Kalau kau ingin melihatnya lebih dekat, maka kau harus naik pesawat. Aku pernah sekali melihatnya saat naik pesawat. Seperti gumpalan permen kapas. Tapi, kau tidak bisa merasakannya.”

Aku menunduk.

“Kau sedih?”

Aku mengangguk.

“Kenapa?”

“Karna kita tidak bisa memegang awan dan tidur atau bermain di sana. Dan sekarang aku tidak bisa memandangnya lagi. Aku di sini sendiri.”

Ia terkikik. “Kau bisa tidur di sini. Bersandar padaku. Kau tidak sendirian lagi. Kau bisa melihatku bahkan ketika kau tidak bisa melihat awan,” ia tersenyum padaku.

Aku mendongak. Lalu aku tersenyum padanya. Aku mengangguk.

Ia menyuruhku bersandar padanya lagi. “Siapa namamu?”tanyanya kali ini.

“Summer Daisy Bower.”

“Nah Summer, jangan menangis lagi. Tersenyumlah! Namamu kan Summer. Kalau kau murung akan kupanggil kau dengan sebutan Snowy. Mengerti? Seperti musim salju yang murung dan dingin.”

“Juga seperti nama anjing! Aku tidak mau!”kataku padanya.

Kami pun terkikik bersama.

***

Jon

Juli, 2015

Masuk ke dalam rumah sekarang adalah resiko yang teramat besar dan aku tidak ingin melakukannya. Meninggalkan rumah hari ini adalah kesalahan terbesar. Aku lupa kalau hari ini adalah giliranku membantu bibi membereskan rumah dan memotong rumput. Tapi, aku tidak bisa meninggalkan jadwalku untuk latihan basket dan setelahnya aku harus singgah sebentar ke Spriengfield menemui ayahku. Seandainya ada satu saja anak cewek di rumah ini, kami para cowok pasti tidak perlu repot-repot mendapatkan jatah mengurus rumah seminggu sekali.

Ngomong-ngomong soal anak cewek, aku melihatnya di depan rumah tetangga depan. Ia baru saja keluar dari dalam mobil yang terparkir tepat di hadapan jalan masuk rumah. Aku memperhatikannya mengibaskan rambut ke belakang dan menutup pintu. Aku baru saja berpikir akan menemuinya. Namun, niatku untuk keluar dari mobil sejenak terhenti, saat orang lain juga keluar dari kemudi mobil hitam itu. Summer berjalan bersama cowok aneh jangkung berambut pirang bergelombang sebahu yang berpakaian serba hitam-hitam. Terlintas kata psikopat dalam kepalaku. Aku menggeleng. Ia lebih mirip Jace Wayland dalam City of Bones. Tentu saja tanpa tato aneh dan tindikan. Sepertinya aku pernah melihat cowok itu, tapi entahlah.

Cowok itu menurunkan sepeda yang dikaitkan di belakang mobil. Ia menuntunnya hingga samping beranda, sementara itu Summer sibuk meletakkan kaleng di depan pintu. Summer berjalan menghampiri cowok itu. Cowok yang sepertinya punya aura yang membuat siapa saja yang ada di sekitarnya mengambil jarak. Entah karena segan, bergidik, takut, ngeri, khawatir, atau waspada. Dan yang terakhir itu seharusnya cocok bagi Summer. Namun, ia malah semakin mempersempit jarak di antara mereka.

Cowok itu juga mendekat pada Summer dan menatapnya lekat-lekat. Ia menyentuh wajah cewek itu perlahan dan hati-hati. Aku tidak suka menyaksikan adegan itu. Namun, mataku tak juga beralih dari sana. Mereka berkata sesuatu. Summer nampak terkejut. Sangat terkejut. Ia seperti berusaha berpikir keras. Lalu tiba-tiba ia memegang kepala dengan dua tangannya, persis seperti saat di danau bulan lalu. Hampir saja ia merosot. Aku segera keluar dari mobil dan berlari ke sana saat cowok itu memapah Summer duduk di undakan beranda. Sialan!

“Sum!” aku terengah-engah menghampirinya, “Kau baik-baik saja?”

Ia mendongak. Cowok misterius itu juga menatapku. Tatapannya membuatku bergidik. Tapi, aku merasa aku pernah melihatnya beberapa kali. Entahlah.

“Yeah. Aku oke. Hanya sedikit pusing.”

“Oh Sum! Jangan berkata oke kalau kau kelihatan mau pingsan! Jangan sampai kau pingsan lagi!”

“Sumpah Jon, aku tidak akan pingsan lagi. Hanya saja kepalaku sangat sakit. Bisakah kau bukakan pintu, please?”

Aku tidak membuang-buang waktu dan segera menyambar kunci yang disodorkannya. Aku membuka pintu putih itu. Dan bergegas ikut memapah Summer ke sofa ruang tengah bersama cowok aneh yang sedari tadi tak bersuara itu. Sejenak aku berpikir jangan-jangan ia memang tak bisa bicara. Namun, pendapatku segera terbantahkan saat ia berkata pada Summer, “Kau mau minum?”

Summer mengangguk.

Cowok itu segera berlari ke dalam mencari di mana dapur.

Aku bertanya padanya, “Mau kupijit?”

“Kalau kau tidak keberatan.”

Aku pun memijit kepalanya pelan-pelan.

Cowok itu kembali lagi dengan segelas air dan satu tablet aspirin di tangannya. “Minumlah Sum!”

Aku menghentikan kegiatanku di kepala Summer.

Summer menerimanya dan langsung menegak habis air beserta tablet itu. “Terima kasih banyak, Cloud. Maaf aku merepotkanmu.”

“Kalau kau sakit memang merepotkan!”

Kata-katanya memang sedingin penampilannya. Hampir saja aku mau menghajarnya, namun terhenti tatkala melihat Summer meringis.

Cowok itu menyunggingkan senyum. Entah memang ikut senyum tulus atau senyum kecut mengejek. Sulit membedakannya. Ia berkata, “Istirahatlah! Aku akan pergi dari sini,” ia segera melangkah keluar ruangan tanpa basa-basi lagi.

“Cloud!” seru Summer padanya. Ia seakan belum rela cowok itu pergi.

Di ambang pintu si aneh bernama Cloud itu berbalik. Ia menatap Summer tajam, “Maafkan aku. Kau istirahat sekarang. Aku harus pergi.”

Sebelum Summer bersuara hendak memprotes, Cloud sudah menghilang.

Beberapa detik kemudian terdengar suara halus mesin mobil yang menjauh seketika. Cowok itu sudah lenyap dari sini. Tapi, aku masih heran dengan kelugasan dan aura mengerikannya.

“Jon?”

Aku kembali fokus pada Summer. “Ya?”

“Trims. Dua kali aku berhutang budi padamu.”

Aku tertawa. “Santai saja, aku akan menagihnya di saat yang tepat.”

Ia ikut tertawa. Aku menikmati tawanya yang indah.

“Hei, ngomong-ngomong siapa yang tadi? Pacarmu?”

Ia segera menggeleng. “Bukan.”

“Hah! Pantas saja! Tidak mungkin pacarmu akan berkata sekasar itu.”

Summer tertawa kecil. “Sepertinya memang itu cara Cloud berbicara. Tapi, ia baik hati.”

“Berapa lama kau mengenalnya?”

“Entahlah, Tiga puluh menit mungkin...”

Aku terbelalak dan protes. “Kau mengenalnya baru setengah jam dan kau bilang dia baik hati? YANG BENAR SAJA, SUMMY!”

“Dia memang baik! Aku tahu itu!”

Aku berdecak. “Bagaimana bisa kau tahu kalau kau baru saja mengenalnya selama setengah jam? Ingat tidak bagaimana kau sangat jaga jarak dan berhati-hati denganku dan Kevin? Padahal kita sering sekali bertemu dan rumah kita hanya berjarak beberapa langkah saja! Kenapa kau selalu jaga jarak dan waspada dengan orang yang baru kau kenal yang jelas-jelas tetangga baik seperti kami, sementara berdekatan dengan cowok menyeramkan itu kau malah terlihat baik-baik saja?” protesku padanya.

“Aku sendiri juga tidak tahu, Jon! Oke?” Ia menghela nafas. “Kau membuat kepalaku jadi sakit lagi. Aku istirahat di kamarku saja. Kau cerewet sekali!” ia bangkit dari sofa dan berjalan menuju tangga sambil memijit dahinya.

Aku menyesal dengan kata-kataku dan segera menyusulnya. Aku memegangi lengannya saat kami menaiki anak tangga.

“Kau mau apa?” ia bersingut.

“Aku cuma mau membantumu! Aku tidak mau kau tiba-tiba pingsan lagi dan jatuh dari tangga lalu gegar otak. Karena aku orang pertama yang ada bersamamu, pasti aku yang akan disalahkan."

“Omong kosong!”

“Kau kira aku berbohong? Aku serius, Sum! Lihatlah! Kau bersikap begitu lagi denganku, tapi tadi saat ia memapahmu kau tidak membantah!”

Ia menghela nafas lagi. “Oke. Baiklah. Aku tidak akan membantah lagi.”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Summer Pieces   46

    SummerMei 2016Tadinya aku mengira kesempatanku mendatangi pameran Cloud begitu kecil. Mengingat pada awalnya ia berkata tengah menyiapkan pameran untuk musim dingin. Benar, sekali lagi kata Jon, siapa yang bakal datang di cuaca yang gigil. Seorang seniman, demikianlah, selalu punya sisi idealisme yang tinggi, tapi kali ini sepertinya Cloud menyadari tidak selamanya bersikap idealis itu diperlukan. Ada kalanya kita butuh mempertimbangkan kondisi dan saran dari berbagai sudut. Entah apa alasannya pada awalnya ia akan menyenggelarakan agenda pentingnya itu di musim dingin, tapi pada akhirnya acara itu jatuh bertepatan ketika kami, anak-anak Pittsfield, selesai melalui akhir semester.Semester yang penuh cerita dan perjuangan. Dari kepindahan tempat tinggal dan sekolah, pergumulanku dengan mom, kepingan-kepingan masa lalu yang kembali hadir dengan jelas, perjuanganku menjadi lebih tegar, mandiri dan berani, percintaan masa SMA yang mendadak menjajah hati dan pikiranku, teman-teman baik

  • Summer Pieces   45

    SummerDesember 2015Mendung masih bergelayut di angkasa. Aku ditemani secangkir kopi hangat di sebuah cafe penuh kenangan. Sendirian. Dulu tempat ini adalah pertama kalinya di mana aku menyadari kehadiran Cloud. Siapa Cloud sebenarnya. Siapa Cloud bagiku. Kini aku tahu artinya untukku.Semenjak cincin itu melekat di jariku, Jon jadi jarang mengajakku ke Lucky or Not, katanya dengan setengah bercanda ia ingin mengenyahkan pikirannya dari para cewek. Aku tahu ia mungkin iri, aku berakhir epik, sementara ia masih berjuang menghadapi kehilangan Roxie di dekatnya. Dan aku senang ia jadi begitu fokus bermain basket sekaligus menyiapkan kelulusan. Aku merindukannya. Tapi, aku lebih merindukan Cloud.Tak masalah bagiku menjalani ini. Ia tengah berjuang di sana. Aku pun demikian di sini. Hanya saja, aku masih berat mengatakan apa yang baru saja terjadi kepada ibuku. Tentang Cloud yang mengikatku dengan cincin ini. Belum, mungkin nanti ketika lambat laun ibuku menyadarinya sendiri, atau saat na

  • Summer Pieces   44

    SummerNovember 2015Sore menjelang senja. Dingin mulai menusuk tulang lagi melalui tiupan angin yang menyerempet tubuhku. Ibuku berpesan akan terlambat pulang dan ia sudah menyimpan makan malam untukku untuk dihangatkan lagi. Aku sudah lapar dan bergegas masuk ke dalam rumah.Baru saja aku menyampirkan jaketku ke lengan sofa, terdengar ketukan pintu. Aku pun kembali melangkah ke ruang depan. Kubuka pintu. Membuatku terkejut. Seseorang sedang berdiri di sana membawa sebuah mangkuk."Jon?""Ya ini aku, siapa lagi?" ia masuk saja ke dalam, menerobosku lalu menuju dapur. Meletakkan mangkuk yang dibawanya di meja konter. "Bibi Diana hari ini membuat sup ayam banyak, ia ingin membagikannya ke beberapa tetangga."Tanpa pikir panjang kuambil mangkok kecil dan mulai mengambil sup hangat itu. "Dia baik sekali. Terima kasih.""Tahu sendiri kan, udara mulai membuat menggigil, makan sup hangat sangat bikin nyaman. Bisa melawan flu. Well, bagaimama kabarmu?""Baik. Kau?""Jauh lebih baik dari sebel

  • Summer Pieces   43

    SummerNovember 2015"Kau melamarnya?!" Rub tak percaya. Tentu saja, siapa yang akan percaya seorang pria muda mengagumkan sepertinya melamar seorang gadis yang baru akan melepaskan masa SMA-nya dalam hitungan beberapa bulan lagi.“Ya. Karna aku akan pergi sore ini,” kata Cloud tiba-tiba.Aku menatapnya, kaget. Dia tak mengatakan tentang hal itu kemarin.Rub tersambar lagi. Antara tak mengerti dan terkejut. Ia menatap Cloud tak percaya. “Pergi? Maksudmu pergi bagaimana? Ada apa?”“Ini hari terakhirku mengajar di sini. Aku akan kembali lagi ke Springfield.”“Kau mau menyusul ibumu?”“Tidak dan ya. Mr. Shirley merekomendasikanku langsung mengajar di sekolah seni. Itu akan sangat membantu karirku. Dan, ibuku memang sangat ingin aku menangani galerinya.”Ibunya. Aku begitu penasaran dengan sosok ibunya. Wanita yang sepertinya luar biasa. Seorang dosen dan seniman di Berkshire. Cloud belum pernah sekalipun menunjukkan padaku seperti apa nyonya Garret itu, walaupun ia sudah pernah mengajakk

  • Summer Pieces   42

    CLOUDNovember 2015Sedari tadi kuperhatikan ia dari balik jendela. Ia memarkirkan sepeda, dan terlihat kerepotan membawa tugas mix media dariku. Rub dengan cepat berlari mendatanginya. Mengatakan sesuatu tanpa henti sambil membantu membawa kanvasnya. Mungkin mengomel pada Summer, tapi Summer nampak lebih diam dan acuh.Ia datang. Masih belum ada satu pun murid masuk, kecuali dia dan Rub. Aku tentu saja segera berlagak menyelesaikan sesuatu di tumpukan kertas. Pura-pura merekap nilai, yang sebenarnya sudah selesai sedari tadi. Konyol bukan.“Di mana bisa kuletakkan ini?” tanyanya langsung.Aku menunjuk meja panjang di sepanjang bingkai jendela. “Di sana.”Ia meletakkan tugas itu di sana. Kulirik sekilas pekerjaan tangannya. Kusunggingkan senyum puas, sebab ia nampak lebih mahir. Ya ampun, demi apa... melihatnya mengenakan dress boho dan jaket denim sambil menenteng kanvasnya, sungguh membuatku berdesir.Sementara Rub menatapku tajam. Berdeham keras. Mencoba menarik perhatianku.Aku men

  • Summer Pieces   41

    CLOUDNovember 2015Sudah sebulan dan ia tak lagi memandangku seperti sebelumnya. Aku pun berusaha keras untuk mengabaikan. Sekeras apapun itu, setiap kali ia melewati mejaku di kelas dan keluar menuju kelas lain tanpa menatapku sama sekali, aku ingin lunglai."Sum..." panggilku saat tiap kali ia melewatiku.Ia meninggalkan senyum tipis dan berlalu.Terkadang aku masih menyimpan harap. Saat mengetahui ia berlama-lama bertahan duduk di bangkunya, memilih waktu terakhir sampai semua murid di kelas keluar, baru ia bangkit meninggalkan tempatnya. Aku sadar ia memperhatikanku, berlama-lama. Mungkin menyedot segala kesempatan untuk menatapku, sebelum akhirnya harus berjauhan. Saat aku merekahkan senyumku untuknya, ia malah menunduk dan pergi. Pupus harapku. Selalu seperti itu, kembang kempis.Atau saat ia mengumpulkan tugas-tugasnya dan berlama-lama menunggu responku. Bertanya-tanya sudahkah itu benar, apakah ada yang kurang, bagian mana yang perlu dikoreksi, saat aku mendongak fokus memper

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status