Jon
Juni, 2015“Jadi Summer, kau akan sekolah di tempat kami ya?” tanyaku padanya sembari melihat cewek itu dari kaca spion tengah.
Kesunyiannya di belakang membuatku jengah. Dan fakta bahwa hanya Kevin yang banyak bicara dari tadi membuatku bosan.
“Yeah, mom mendaftarkanku di sana.”
Sebelum aku merespon jawabannya, lagi-lagi Kevin mendahuluiku berbicara dan mulai cerewet lagi.
“Please Sum, jangan jadi murid yang menyebalkan seperti Jon dan kawan-kawannya nanti, oke?”
Oh! Dia yang mulai menyebalkan seperti biasanya!
Kulihat dahi Summer berkerut. Ia tampak geli sekaligus waspada. Ia selalu terlihat curiga.“Aku memang tidak berniat menjadi murid menyebalkan. Memangnya dia dan teman-temannya kenapa?”
Aku pun cepat-cepat memotong Kevin yang baru akan berbicara. “Jangan dengarkan dia, Sum! Dia itu sinting!”
Kevin menatap tajam padaku. Aku pun menyiratkan agar ia diam saja. Sementara kami beradu argumen tanpa suara, Summer sedikit cekikikan di belakang sana.
Kevin menelengkan kepala ke belakang. “Kau bisa tertawa juga?” ia tersenyum.
Summer menatapnya. “Memangnya kenapa? Ada masalah kalau aku tertawa?”
“Kukira dahimu hanya bisa berkerut saja!” ejeknya pada cewek manis itu.
Summer pun berdecak sebal. “Tahu tidak Kev, seperinya kau yang menyebalkan.”
Aku tertawa. “Kau dengar itu, Kev? Dia bilang kau yang menyebalkan! Memang kau yang menyebalkan! Sangat menyebalkan!”
Sekarang Kevin yang mendengus sebal. “Sekarang kau bisa bilang begitu, Sum. Tapi, lihat saja nanti setelah kau masuk sekolah atau mulai banyak bergaul dengannya,” ia meninjukku.
“Oh sudahlah, tutup mulutmu, Kevin!” seruku padanya.
“Ngomong-ngomong, kau sudah memikirkan akan mengikuti klub apa saja?” sepupu sintingku itu masih saja menghadapkan kepala ke belakang. Tak memperdulikan seruanku.
Aku memotong pembicaraannya lagi, “Kevin! Kenapa kau tidak duduk belakang saja sih? Sana! Kau berisik!”
“Diamlah Jonathan!” ia ganti membentakku.
“Kalian lucu sekali,” kata Summer sambil cekikikan lagi, “Apa begini setiap hari?”
“Begitulah..." kata Kevin.
"Menyebalkan sekaligus menyenangkan. Itu salah satu alasan kenapa aku lebih suka tinggal di rumah bibi Diana,” jelasku kepada cewek itu.
“Memangnya kenapa kalau tidak tinggal di sana?”
“Membosankan.”
Aku berharap ia menanyaiku lebih. Aku berharap ia banyak berbicara. Tapi, mengherankan dan mengesalkan karena setelah itu ia memilih bungkam kembali.
Kevin kembali mengusik Summer. “Jadi bagaimana?”
“Apanya yang bagaimana?” seru gadis itu.
”Klub? Kau harus ikut salah satu kalau tidak mau dibilang aneh. Jurnalistik saja, kujamin seru!” Dan ternyata niat terselubungnya adalah promosi klub tercintanya itu.
Aku pun berdecak.
“Akan kupikirkan hal itu nanti.”
“Guys, kita hampir sampai,” kataku saat mobil yang kukendarai melewati tikungan dan melintasi Dam Onota.
Summer mendekatkan diri ke depan, meninggalkan sandarannya. “Memangnya kita akan kemana sih?”
“Danau. Seharusnya kau suka. Banyak orang yang suka datang ke sini, terlebih musim panas. Lihatlah, indah kan? Banyak pepohonan rindang di sekelilingnya. Kita bisa bersantai di lapangan rumput di pinggiran danau, dan menikmati musik live.”
“Sepertinya kita berangkat terlalu awal, jadi kurasa bakalan masih sepi,” kata Kevin. “Tapi tidak masalah, pasti tetap menyenangkan.”
Dan yang terjadi selanjutnya adalah ia hanya terdiam. Bahkan ia masih bungkam dan terlihat mulai pucat ketika danau indah itu mulai terlihat. Dalam hati aku terheran, ada apa dengannya?
***
Summer
Juni, 2015Aku bersikeras di dalam. Namun, Kevin dan Jon menyeretku keluar dari mobil. Mereka menarikku mendekati danau. Mereka melepaskan pakaian dan menceburkan diri ke dalam. Mereka meneriakkiku. Tangan mereka mengayun menyuruhku segera turun.
“Ayo Sum! Cepatlah kemari!” teriak Kevin.
Aku berusaha tersenyum dan melangkah lebih jauh. Namun, kakiku terhenti di tepian.
Jon tersenyum lebar. “Cepatlah! Di sini sangat segar!” teriaknya kepadaku.
Ujung sepatuku bersinggungan dengan air. Aku ingin berjalan masuk, namun aku tidak bisa. Otakku memerintahkan setiap selku untuk berhenti sampai di situ. Sementara itu, Kevin dan Jon terus memanggilku. Saat kulihat kembali ke arah keduanya, wajah Jon dan Kevin yang ada di atas air bergerak-gerak mengabur.
Dadaku terasa sesak. Aku mulai merasa pusing dan mual. Rasanya setiap inci tubuhku kedinginan dan bergetar. Sekelilingku seperti berputar dan perlahan memudar. Aku takut. Dan mendadak yang kurasakan sekarang hanyalah dingin dan kegelapan.***
Jon
Juni, 2015Kami tertawa cekikikan. Aku dan Kevin sudah merasakan segarnya air di danau ini. Kami bersendau gurau. Lalu menyadari kalau Summer tidak bersama kami. Ia belum juga mengikuti kami.
“Aku menyesal tadi tidak tetap menyeretnya masuk ke dalam. Lihat ia masih berdiam diri di sana seperti patung!” seruku pada Kevin.
Kevin tertawa. “Ayolah Sum! Cepatlah kemari!” katanya sembari melambaikan tangan ke arah gadis berkuncir ekor kuda itu. “Jangan bilang kau tidak bisa berenang!”
Aku ikut melambaikan tangan padanya. Mengisyaratkan agar ia segera berenang kemari. Namun, ia hanya berdiam diri memegangi kepalanya. Sekilas ia tersenyum dan berusaha untuk melangkah.
Aku membalas senyumnya lalu berteriak, “Cepatlah! Di sini sangat segar!”Lagi-lagi ia terlihat ragu dan terdiam. Kedua tangannya kembali memegang erat sisi kepalanya. Ekspresinya mendadak berubah. Ia seperti terengah-engah. Ia menutup matanya. Membukanya lagi. Menutupnya lagi. Membukanya lagi. Wajahnya kian memucat. Dan ia terlihat seperti orang yang sedang ketakutan. Ia masih terengah-engah.
Aku mulai cemas. Aku berenang perlahan mendekat ke tepi. “Summer?” panggilku padanya.Ia tidak menjawab.
Kevin segera mengikutiku di belakang. Ia berhenti dan menatap Summer dengan ragu. “Sum, kau baik-baik saja? Kau sedang tidak bercanda kan?”
“Summer ada apa?” kataku sembari mulai berjalan melawan air ke tepi.
Ia tidak menjawab. Ia hanya menggeleng-gelengkan kepala dengan nafas memburu. Lalu sedetik kemudian matanya memejam dan ia jatuh tersungkur ke tanah.
“Sial!” pekikku, “Summer!” aku segera berlari menghampirinya.
Kevin menyusulku. “Summer!”
“Ia tidak sadarkan diri!” pekikku. Kini aku mulai kalut. Takut sekali sesuatu yang buruk terjadi padanya.
“Ya Tuhan! Ada apa sebenarnya?” kata Kevin panik.
Aku berusaha menyadarkannya, namun ia tetap terpejam.“Sepertinya kita harus bawa dia pulang sekarang,” kataku sembari mulai membopongnya.
Kevin segera berlari mengambil pakaian kami yang tercecer di atas rumput.
“Cepat buka pintunya, kunciku di saku kemeja!”
Setelah itu kami menaruhnya di jok belakang. Kami pun segera berpakaian dan kembali pulang. Dan selama mengendarai mobil, aku sama sekali tak merasa tenang. Berkali-kali kutengok ke spion tengah memeriksa Summer.
Tak pernah kurasakan secemas ini, terlebih bersama seseorang yang baru kukenal. Wajah Summer yang pucat dan dahinya yang berkerut sungguh menggoncangkan benakku. Dulu, dulu sekali, aku pernah sekali menemui perasaan yang seperti ini. Ketika seseorang yang sangat dekat denganku tak lagi bersamaku. Ketika jiwanya tak lagi ada di sisiku. Ketika ia bukan lagi dirinya yang dulu. Ketika sebuah peristiwa merenggutnya dariku.
***
Summer
Juli, 2005“Mom! Dad!” pekikku.
Yang aku tahu saat ini aku sangat takut. Tapi, mom tidak ada di sana. Hanya ada satu lengan besar mencengkeramku erat-erat. Ia menyeretku tergesa-gesa. Aku semakin tercekik oleh kerah bajuku yang sudah lusuh. Laki-laki itu membawa sebuah pistol di tangan satunya. Aku meronta-ronta, tapi ia tak melepaskanku sedetik pun. Ia berteriak menyuruhku diam. Ia mengumpat. Aku terus teriak meminta pertolongan. Yang kutahu setelahnya lelaki itu melemparkanku ke dalam sebuah perahu. Ia menyalakan mesin sebelum seorang lelaki lain mendekati kami. Lelaki lain bermantel hitam. Ia berlari kalut meneriaki namaku. Aku tahu itu suara siapa. Aku mengenal suara itu seumur hidupku.
“SUMMER, BERTAHANLAH!”
“DAAAAD!” pekikku kencang sambil menangis. Aku tahu ia akan datang. Aku tahu dad adalah superhero-ku. Aku harus yakin ia akan membawaku pergi dari sini.
Laki-laki itu mengumpat lagi. Laki-laki paling mengerikan yang pernah kutemui seumur hidupku. Setelah menyekapku dengan anak-anak yang lain, kini ia menyeretku ke danau dingin. Aku tidak tahu kenapa ia mau membawaku pergi bersamanya.
Dor.
Dor.
Dor.
Aku berteriak. Menunduk. Menutup kedua telingaku. Suara keras itu membuatku terkejut. Suara itu membuat telingaku sakit. Aku takut. Sungguh aku takut.
Tiga tembakan meletus ke arahku. Tidak. Ke arah lelaki di hadapanku. Lengan kirinya terkena tembakan ayahku. Ia mengerang lalu membalas tembakan ke arah ayahku. Aku ingin memastikan dad baik-baik saja, tapi aku terlalu takut untuk mendongak. Aku hanya bisa berteriak dengan posisi yang sama.
“Daaad!”
Entah berapa lama aku meringkuk di lantai perahu. Entah berapa banyak letusan pistol terdengar. Tiba-tiba lelaki itu sudah tersungkur di depanku dengan rintihan yang sangat lemah. Aku menjauh darinya sambil menangis histeris ketakutan. Seluruh tubuhku rasanya bergetar. Dan aku ingin berteriak.
“Tidak apa-apa, sayang. Dad di sini. Kemarilah, ayo kita pulang.”
Suara itu menghampiriku dengan tenang dan terengah-engah. Ia segera menggendongku dan melompat ke perahu lain yang dikendarainya kemari. Aku mencengkeram mantelnya sangat erat. Membenamkan wajahku di sana.
Kukira aku sudah aman, namun tiba-tiba suara letusan pistol yang lain terdengar. Tubuh ayahku bergoyang. Dan sebelum kami melangkah ke tengah perahu, tubuh ayahku oleng ke belakang dan tercebur ke air. Aku berteriak, memanggil ayahku berkali-kali. Kami basah oleh air, sementara lelaki mengerikan itu berusaha pergi dari sini dengan perahunya. Ia menjauh dari kami, entah kemana.
Beberapa saat ayahku masih menahanku berada dekat dengannya. Namun, perlahan pertahanannya mulai melemah. Ia meletakkan kedua tanganku ke pinggir perahu. Ia memegang pipi kananku erat. Ia menatapku sambil menahan sakit di dadanya yang tertembak.
“Bertahanlah, Summer! Kau anak ayah, kau kuat. Teruslah melihat ke depan!”
“Dad! Tidak! Dad!” aku takut ia melepaskanku. Aku tidak mau tidak bersamanya. Aku mau ia tetap di sini bersamaku. Aku mau kembali pulang bersama dengannya.
Ia tersenyum padaku. “Jangan khawatir!” ia mencium keningku lama, lalu ia berkata, “Dad sayang kau, Summer. Jaga dirimu baik-baik.”
Kemudian ia menutup mata dan menghilang ke dalam air.Aku menangis dan meneriakinya. Aku takut. Hampir saja aku akan menyusulnya sebelum sebuah tangan menarikku.
Tangan kecil yang kokoh. Ia berenang dan menyeretku ke tepi paling dekat. Aku meronta-ronta ingin kembali mencari ayahku, namun ia menahanku dengan kuat.
Aku kedingingan dan tenagaku melemah. Aku sudah ada di dalam pelukannya ketika aku menangis histeris dan bergetar hebat. Dan ia terus memelukku, sangat erat.
SummerMei 2016Tadinya aku mengira kesempatanku mendatangi pameran Cloud begitu kecil. Mengingat pada awalnya ia berkata tengah menyiapkan pameran untuk musim dingin. Benar, sekali lagi kata Jon, siapa yang bakal datang di cuaca yang gigil. Seorang seniman, demikianlah, selalu punya sisi idealisme yang tinggi, tapi kali ini sepertinya Cloud menyadari tidak selamanya bersikap idealis itu diperlukan. Ada kalanya kita butuh mempertimbangkan kondisi dan saran dari berbagai sudut. Entah apa alasannya pada awalnya ia akan menyenggelarakan agenda pentingnya itu di musim dingin, tapi pada akhirnya acara itu jatuh bertepatan ketika kami, anak-anak Pittsfield, selesai melalui akhir semester.Semester yang penuh cerita dan perjuangan. Dari kepindahan tempat tinggal dan sekolah, pergumulanku dengan mom, kepingan-kepingan masa lalu yang kembali hadir dengan jelas, perjuanganku menjadi lebih tegar, mandiri dan berani, percintaan masa SMA yang mendadak menjajah hati dan pikiranku, teman-teman baik
SummerDesember 2015Mendung masih bergelayut di angkasa. Aku ditemani secangkir kopi hangat di sebuah cafe penuh kenangan. Sendirian. Dulu tempat ini adalah pertama kalinya di mana aku menyadari kehadiran Cloud. Siapa Cloud sebenarnya. Siapa Cloud bagiku. Kini aku tahu artinya untukku.Semenjak cincin itu melekat di jariku, Jon jadi jarang mengajakku ke Lucky or Not, katanya dengan setengah bercanda ia ingin mengenyahkan pikirannya dari para cewek. Aku tahu ia mungkin iri, aku berakhir epik, sementara ia masih berjuang menghadapi kehilangan Roxie di dekatnya. Dan aku senang ia jadi begitu fokus bermain basket sekaligus menyiapkan kelulusan. Aku merindukannya. Tapi, aku lebih merindukan Cloud.Tak masalah bagiku menjalani ini. Ia tengah berjuang di sana. Aku pun demikian di sini. Hanya saja, aku masih berat mengatakan apa yang baru saja terjadi kepada ibuku. Tentang Cloud yang mengikatku dengan cincin ini. Belum, mungkin nanti ketika lambat laun ibuku menyadarinya sendiri, atau saat na
SummerNovember 2015Sore menjelang senja. Dingin mulai menusuk tulang lagi melalui tiupan angin yang menyerempet tubuhku. Ibuku berpesan akan terlambat pulang dan ia sudah menyimpan makan malam untukku untuk dihangatkan lagi. Aku sudah lapar dan bergegas masuk ke dalam rumah.Baru saja aku menyampirkan jaketku ke lengan sofa, terdengar ketukan pintu. Aku pun kembali melangkah ke ruang depan. Kubuka pintu. Membuatku terkejut. Seseorang sedang berdiri di sana membawa sebuah mangkuk."Jon?""Ya ini aku, siapa lagi?" ia masuk saja ke dalam, menerobosku lalu menuju dapur. Meletakkan mangkuk yang dibawanya di meja konter. "Bibi Diana hari ini membuat sup ayam banyak, ia ingin membagikannya ke beberapa tetangga."Tanpa pikir panjang kuambil mangkok kecil dan mulai mengambil sup hangat itu. "Dia baik sekali. Terima kasih.""Tahu sendiri kan, udara mulai membuat menggigil, makan sup hangat sangat bikin nyaman. Bisa melawan flu. Well, bagaimama kabarmu?""Baik. Kau?""Jauh lebih baik dari sebel
SummerNovember 2015"Kau melamarnya?!" Rub tak percaya. Tentu saja, siapa yang akan percaya seorang pria muda mengagumkan sepertinya melamar seorang gadis yang baru akan melepaskan masa SMA-nya dalam hitungan beberapa bulan lagi.“Ya. Karna aku akan pergi sore ini,” kata Cloud tiba-tiba.Aku menatapnya, kaget. Dia tak mengatakan tentang hal itu kemarin.Rub tersambar lagi. Antara tak mengerti dan terkejut. Ia menatap Cloud tak percaya. “Pergi? Maksudmu pergi bagaimana? Ada apa?”“Ini hari terakhirku mengajar di sini. Aku akan kembali lagi ke Springfield.”“Kau mau menyusul ibumu?”“Tidak dan ya. Mr. Shirley merekomendasikanku langsung mengajar di sekolah seni. Itu akan sangat membantu karirku. Dan, ibuku memang sangat ingin aku menangani galerinya.”Ibunya. Aku begitu penasaran dengan sosok ibunya. Wanita yang sepertinya luar biasa. Seorang dosen dan seniman di Berkshire. Cloud belum pernah sekalipun menunjukkan padaku seperti apa nyonya Garret itu, walaupun ia sudah pernah mengajakk
CLOUDNovember 2015Sedari tadi kuperhatikan ia dari balik jendela. Ia memarkirkan sepeda, dan terlihat kerepotan membawa tugas mix media dariku. Rub dengan cepat berlari mendatanginya. Mengatakan sesuatu tanpa henti sambil membantu membawa kanvasnya. Mungkin mengomel pada Summer, tapi Summer nampak lebih diam dan acuh.Ia datang. Masih belum ada satu pun murid masuk, kecuali dia dan Rub. Aku tentu saja segera berlagak menyelesaikan sesuatu di tumpukan kertas. Pura-pura merekap nilai, yang sebenarnya sudah selesai sedari tadi. Konyol bukan.“Di mana bisa kuletakkan ini?” tanyanya langsung.Aku menunjuk meja panjang di sepanjang bingkai jendela. “Di sana.”Ia meletakkan tugas itu di sana. Kulirik sekilas pekerjaan tangannya. Kusunggingkan senyum puas, sebab ia nampak lebih mahir. Ya ampun, demi apa... melihatnya mengenakan dress boho dan jaket denim sambil menenteng kanvasnya, sungguh membuatku berdesir.Sementara Rub menatapku tajam. Berdeham keras. Mencoba menarik perhatianku.Aku men
CLOUDNovember 2015Sudah sebulan dan ia tak lagi memandangku seperti sebelumnya. Aku pun berusaha keras untuk mengabaikan. Sekeras apapun itu, setiap kali ia melewati mejaku di kelas dan keluar menuju kelas lain tanpa menatapku sama sekali, aku ingin lunglai."Sum..." panggilku saat tiap kali ia melewatiku.Ia meninggalkan senyum tipis dan berlalu.Terkadang aku masih menyimpan harap. Saat mengetahui ia berlama-lama bertahan duduk di bangkunya, memilih waktu terakhir sampai semua murid di kelas keluar, baru ia bangkit meninggalkan tempatnya. Aku sadar ia memperhatikanku, berlama-lama. Mungkin menyedot segala kesempatan untuk menatapku, sebelum akhirnya harus berjauhan. Saat aku merekahkan senyumku untuknya, ia malah menunduk dan pergi. Pupus harapku. Selalu seperti itu, kembang kempis.Atau saat ia mengumpulkan tugas-tugasnya dan berlama-lama menunggu responku. Bertanya-tanya sudahkah itu benar, apakah ada yang kurang, bagian mana yang perlu dikoreksi, saat aku mendongak fokus memper