Tanpa aku sadari tanganku sudah meraba hendel pintu dan perlahan menariknya. Suara kepanikan beberapa orang laki-laki yang menggotong tubuh Kang Wirna kini jelas masuk ke ruang mobilku.“Bagaimana ini? Dengan apa laki-laki ini kita bawa ke rumah sakit?” Orang satu berteriak.“Kita gotong ke puskesmas saja. Biar nanti orang puskesmas yang mengambil tindakan selanjutnya.” Orang kedua menyahut.“Tapi puskesmas juga jauh dari sini..!” orang ketiga menimpali.Terdengar perdebatan ringan di antara mereka.Bla..blaa..blaa...Suara menjadi semakin bising dengan kedatangan beberapa ibu-ibu dan bapak-bapak yang ikut mengerumuni. Kini sudah puluhan orang berkumpul mengerumuni Kang Wirna. Sementara itu Haris terus saja menangis dan meratap.“Bapaaak... Bapaak.. Bangun Paak...! Huhuhu....”Dengan membuang semua rasa ragu yang mengganggu di hatiku, kukuatkan tekad untuk mendatangi orang-orang yang menggotong tubuh Kang Wirna itu. Aku sungguh sangat khawatir dengan keadaan Kang Wirna. Apakah Kang Wi
“Siapa keluarga pasien?” dokter itu bertanya.“Saya Dok! Saya istrinya..!” jawabku tegas.Kulihat Vista membuang wajah tidak suka. Dan sekilas wajah Haris tampak heran mendengar pengakuanku itu.“Uni, tidak perlu Uni mengaku sebagai istrinya segala. Malu-maluin Uni. Bilang saja tetangga atau Uni cuma kasihan melihat orang terlantar.” Vista langsung membisikiku.“Sudahlah Vista, tidak ada guna menutupi kenyataan. Seburuk-buruknya dia, dia masih suami Uni. Dia belum menceraikan Uni dan Uni belum pula minta cerai kepadanya.” jawabku tersenyum. Aku tidak marah melihat Vista terlalu membenci Kang Wirna. Aku mengerti perasaannya, karena Vista adalah saksi hidup yang melihat betapa hati dan jiwaku hancur karena ditinggalkan Kang Wirna tiga tahun yang lalu.“Tapi Un...“Ssssttt....! Sudah ya! Uni mau ke ruang Dokter dulu. Pergilah ke depan dan tunggu Mois di sana! Mungkin dia akan kebingungan mencari kita di rumah sakit yang cukup besar ini.” Lanjutku sambil sedikit mengacak rambut di kepala
“Mari Bu!” Perawat mempersilahkan aku masuk ke sebuah ruangan yang dilengkapi berbagai macam alat medis. Perempuan berwajah manis itu mulai memberikan beberapa intruksi dan melakukan tindakan. Aku hanya pasrah saja menerima apa yang ia lakukan kepadaku. Dan tidak lama kemudian darahku sudah dialirkan ke sebuah kantong khusus dengan menggunakan selang kecil.“Sudah Bu!”Entah sudah beberapa lama aku terbaring di tempat itu dan entah berapa pula darahku yang sudah dikuras. Aku segera bangkit dan menurunkan lengan bajuku dan bersiap meninggalkan ruangan itu.“Boleh saya menjenguk suami saya, Sus?” tanyaku sebelum berlalu.“Boleh Bu! Ibu silahkan masuk ke ruangan flamboyan nomor 27. Suami Ibu sudah dipindahkan kesana.” sahut sang suster dengan ramah.“Dari sini Ibu jalan lurus, nanti ada belokan ke kanan Ibu ikuti dan disanalah ruangan flamboyan 27.” Sambungnya sambil menunjuk arah yang harus aku tuju.“Baik Sus, terima kasih!” ujarku sambil meninggalkan senyuman manisku untuknya.Aku me
Vista sibuk mengetik angka-angka yang disebutkan oleh Kang Wirna. Kalau tidak salah itu adalah nomor kontak milik Tati. Aku ingat dari empat angka terakhir yang disebutkan oleh Kang Wirna karena nomor kontak itu pernah aku simpan di ponselku sebelum Kang Wirna memblokir dan menghapusnya.“Baiklah Pak, saya akan memanggil dengan panggilan video agar mereka bisa melihat langsung keadaan Pak Wirna.” ucap Vista yang dijawab anggukkan lemah kepala Kang Wirna. Aku tahu dirinya tidak begitu yakin kalau keluarganya akan memberikan perhatian lebih. Dulu sewaktu Kang Wirna masih bersamaku, dirinya pernah curhat tentang keluarganya yang tidak begitu care kepada dirinya.Namun pada kesempatan kali ini aku mau lihat langsung apakah yang diceritakan Kang Wirna itu benar atau hanya sekedar drama.Tuuut...tuuut....tuuuut...Panggilan dimulai dan aku segera mengambil jarak agar wajahku tidak tertangkap oleh kamera ponsel milik Vista.“Hallooo... Assalamulaikum...!”Kudengar Vista membuka pembicaraan de
“Hai, Mois! Maaf harus menunggu lama.” Sapaku kepada Mois begitu aku dan Vista sudah berdiri di hadapannya.Mois mengangkat wajahnya. Entah mengapa pandangan mata lelaki itu kini tidak seperti biasanya. Bahkan aku melihat bagaikan ada bara api disana. Semoga aku salah.“Hm, aku memang ditakdirkan untuk lama menunggumu, Amel! Gimana? Sudah ketemu dengan suami yang kamu nanti-nanti?” sahut Mois agak janggal di telingaku. Kali ini ucapannya berapikan cemburu. Ooh, semoga aku salah menduga. Aku tidak mau kalau Mois bermain hati denganku. Aku lelah dengan yang namanya cinta. Aku hanya ingin hidup tenang dan banyak teman saja.“Hm, pertemuan ini memang diluar dugaanku Mois. Aku tidak menyangka akan bertemu dengan Kang Wirna dalam keadaan seperti ini.” ucapku sambil menduduki sebuah kursi di depan meja Mois. Vista juga duduk di sebuah kursi di sebelahku.“Tapi kamu merindukannya bukan? Lalu bagaimana perasaanmu melihat keadaannya sekarang? Kasihan..? Senang..? Atau gimana? Yang jelas secara
POV MoisPERNIKAHAN YANG KANDASNama panggilan atau nama kerenku Mois. Padahal nama asliku cukup kuno hehhe.. Abdul Muis. Nama yang diberikan oleh ibuku sejak aku lahir ke dunia ini. Walau pun namaku tergolong kuno, tapi aku tetap berterima kasih kepada ibuku yang telah memberikan nama yang mempunyai arti sangat baik itu. Ibuku tentu menginginkan aku menjadi seorang laki-laki yang sholeh. Namun seiring berjalannya waktu, teman-temanku tidak lagi memanggil namamu ‘Muis’. Aku lebih akrab disapa ‘Mois’. Kata teman-temanku, aku tidak cocok dipanggil Muis karena sikapku yang cendrung keras.Oke wellKetika aku berumur 26 tahun.Aku mencintai seorang gadis cantik bernama Nana. Dimataku Nana begitu sempurna. Wajahnya imut dan hidungnya mancung serta kulitnya sangat putih dan bersinar benar-benar membuat aku cinta mati kepada Nana. Aku benar-benar ingin cepat-cepat mempersunting dirinya. Takut keduluan orang... 😁Tidak terlalu lama berpacaran, hanya tiga bulan lebih beberapa hari saja, aku m
POV MOISSemenjak kegagalan pernikahanku dengan Nana, aku menjadi orang yang apatis pada semua wanita. Eit, ini bukan berarti aku mendadak jadi gay ya... Hahaha.. hanya saja aku belum bisa mempercayai wanita.Apalagi setahun setelah kegagalan pernikahanku itu, ibuku meninggal dunia. Beliau sepertinya ikut syok dengan apa yang telah menimpa pernikahanku dengan Nana.Sebelum meninggal, ibu pernah menyarankan aku untuk menikahi Vista. Namun aku tidak bisa melakukan itu karena aku sudah menganggap Vista bagaikan adikku sendiri.Sepeninggal mama, Vista menjadi tangan kananku di usaha Wedding Organizer (WO) peninggalan ibu. Dialah yang bertugas mengatur segala sesuatu di dalam sementara aku bertugas untuk memasarkan dan menentukan keputusan penting. Aku semakin sibuk mengurus usaha-usahaku. Belum lagi studio gym-ku yang semakin bertambah banyak jumlahnya. Jadi aku harus pandai-pandai mengatur waktu agar semua bisa berjalan dengan baik.Pada suatu hari aku tengah berada di kantor WO peningg
POv Amelia (Uni) Suasana kaku tidak bisa dihindari. Sikap Mois yang tiba-tiba emosian membuat hatiku jadi tidak nyaman.Anak ini kenapa? Bukankah biasanya dia selalu terlihat santai bercanda denganku? Tapi malam ini Mois seperti terbakar cemburu. Huuh...Kucuri pandang ke arah Mois yang sibuk menghembuskan asap rokoknya sambil mengaduk-aduk kopinya yang tersisa separo di dalam cangkir. Semakin kupandang wajahnya, semakin sadarlah diriku bahwa ternyata Mois sangat tampan. Apalagi dalam keadaan marah seperti ini. Mois lebih terlihat macho dan jantan. Ups... Apa-apaan aku ini. Mana boleh aku berpikir sejauh itu di saat suamiku masih tergeletak di atas bangsal rumah sakit. Keadaannya sungguh memilukan. Matanya buta dan kakinya terluka. Oh Kang Wirna...Aku tersentak begitu aku teringat Kang Wirna dan aku segera bangkit dari kursi yang aku duduki. “Mau kemana?”Dengan sigap Mois menghalangi langkahku dan bertanya dengan pandangan kaku.“Mau pesan makanan.” jawabku sambil terus berlalu men