Share

Sumpah Terkutuk bab 3

Setelah menempuh perjalanan hampir dua jam lamanya, tibalah Vino di depan sebuah rumah yang nampak megah dan besar. 

Dengan hanya menekan tombol di sebuah benda kecil berwarna hitam yang ada di dekat setir, pintu gerbang pun terbuka. 

Diparkirkan mobil yang dikendarai oleh Vino di dekat sebuah mobil lain yang juga tak kalah mewahnya. Beberapa mobil keluaran terbaru pun, nampak berjejer di garasi yang sangat luas.

Di depan pintu garasi sebelah luar, nampak ada tiga buah mobil berjejer. Empat orang lelaki berada di dalam masing masing mobil.

Mereka semua adalah pengawal Vino yang hanya memantau dari jarak jauh, yang selalu siap membantu si bos bila mengalami kesulitan.

Hanya dengan menunjukkan jari telunjuk ke atas, semua pengawal itu akan langsung datang  bila mendapatkan aba-aba tersebut dari Vino.

Kejadian di kampung tadi, tentu saja diperhatikan juga oleh mereka. Namun,  karena tak mendapatkan aba-aba dari si bos, maka mereka hanya berdiam diri sambil terus mengawasi dari dalam mobil.

Setelah Vino masuk ke dalam rumah, ketiga mobil itu pun berlalu dari luar gerbang rumah tersebut.  Karena, beberapa pengawal yang berada di dalam rumah itu lah yang menjalankan kewajiban selanjutnya.

"Mau dibikinkan kopi dan sarapan, Tuan?" tanya seorang wanita separuh baya yang menyambut Vino.

"Gak perlu, Bi. Aku mau istirahat aja dulu."

"Baik, Tuan." Wanita yang merupakan salah satu pembantu di rumah Vino segera berlalu.

Di dalam kamarnya, Vino langsung menghempaskan tubuhnya di atas ranjang. Matanya terlihat merah dan kuyu. Sesaat kemudian, matanya terpejam, lalu terdengar dengkurnya.

Namun, tak sampai lima menit kemudian, Vino terlonjak dari atas tempat tidurnya. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri, seperti mencari sesuatu.

Sambil berjalan perlahan, Vino menghampiri sebuah meja yang ada di samping tempat tidurnya. Diamatinya sebuah benda yang terletak di atas meja.

"Bunga? Dari mana datangnya bunga melati ini?" gumam Vino dengan heran.

"Ah, kenapa aku tadi bermimpi aneh juga? Gadis itu ...." Vino terduduk di tepi ranjang dengan tangan kanannya masih menggenggam sekuntum bunga kecil berwarna putih.

"Bibi!" teriak Vino.

Datanglah wanita yang menyambut Vino tadi dengan tergopoh-gopoh.

"I–iya, Tuan?"

"Siapa yang masuk ke kamarku waktu aku gak ada di rumah tadi malam?"

"Tidak ada orang lain, Tuan. Hanya saya saja yang masuk untuk menutup tirai jendela kemaren sore."

"Terus, siapa yang menaruh bunga ini di atas meja itu?" 

Si pembantu terlongong, saat melihat sekuntum bunga melati di telapak tangan kanan majikannya.

"Bunga melati? Kok, bisa ada bunga itu, Tuan?" tanya wanita itu balik.

"Lha, aku tadi kan, nanya, kok malah Bibi tanya ke aku lagi?"

Wanita yang rambutnya sudah banyak uban itu menggaruk kepalanya. Kemudian, kepalanya menoleh ke segala arah.

"Cari apa, Bi? Ditanya, kok, malah clingak clinguk gak jelas, gitu!"

"Ma–maaf, Tuan ... saya kok jadi takut. Jangan jangan–"

"Jangan jangan apa, Bii ...? Vino terlihat geram dengan ulah pembantunya itu.

"Enggak, enggak ada apa-apa, Tuan. Sa–saya mau menyiapkan sarapan dulu, Tuan ...." Si pembantu langsung ngeloyor keluar dari kamar si majikan dengan tergesa-gesa.

"Dasar pembantu gak ada akhlak! Untung saja, dia sudah tua dan jelek. Kalau enggak ...."

Sembari masih menggenggam bunga melati, Vino duduk melamun. Bibirnya bergumam, "apa yang terjadi denganku? Mimpiku tadi sepeeti nyata, gadis kampung itu akan menggorok leherku. Aku, Vino si penjagal, kok akan dijagal, aneh."

Lima belas tahun yang lalu, seorang bocah lelaki sedang meringkuk di bawah meja dengan wajah penuh ketakutan.

Di hadapannya saat itu, sedang terjadi perkelahian antara seorang lelaki yang dikeroyok oleh empat lelaki lain.

Seorang lelaki yang dikeroyok itu adalah ayah dari si Vino kecil yang sedang menangis, menyaksikan lelaki yang sangat disayanginya itu sudah terlihat babak belur. 

"Ayah ...," lirih Vino.

Dia memang disuruh bersembunyi di bawah kolong sebuah meja besar yang terletak di sudut ruang tamu. Sang ayah tak mau, bila putra semata wayangnya itu ikut menjadi sasaran amukan empat orang lelaki berbadan besar itu.

Namun, dibalik wajah yang sedih, terpancar kebencian dan amarah di sepasang mata anak lelaki itu. Kedua telapak tangannya mengepal erat, seakan ingin menghajar seorang wanita yang berada di tempat itu juga.

Wanita yang berumur sekitar dua puluh lima tahun dan berwajah sangat cantik itu, berteriak-teriak dengan penuh semangat.

"Bagus! Pukul lagi terus! Hajar dia sampai mampus sekalian!"

Dengan kedua tangan bersedekap di dada, wanita berambut sebahu itu terus berteriak, untuk menyemangati empat orang lelaki berwajah sangar yang sedang memukul, menendang, dan menginjak-injak tubuh ayah Vino.

"Aku benci kamu, ibu ..." gumam Vino dengan air mata yang berlinang di kedua pipinya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status