Seorang anak lelaki yang masih berusia sepuluh tahun, harus menyaksikan perbuatan biadab yang dilakukan atas perintah seorang wanita yang sangat disayanginya selama ini.
Meskipun sikap ibunya sering menyakitkan hati, tetapi Vino kecil tetap menyayangi wanita yang telah melahirkan dirinya.
Si ibu sering memarahi Vino secara berlebihan, meskipun kesalahan yang dilakukannya hanyalah hal kecil saja. Bahkan, si ibu tak segan-segan memukuli badan Vino yang kecil.
Hanya sang ayahlah yang selalu membela putranya itu. Sehingga, membuat si ibu semakin bertambah murka.
"Sudahlah, Dewi. Itu adalah anakmu sendiri, kenapa kamu tega menyakitinya seperti itu?" bujuk lelaki yang telah menikahi Dewi selama hsmpir sebelas tahun itu.
"Aku capek, Mas! Anakmu itu tetap saja nggak pernah ngerti kalau kusuruh. Memang anak bodoh dan pembawa sial saja, dia itu."
"Dewi! Kamu gak boleh berkata seperti itu. Vino itu adalah anak kita, darah daging kita. Kalau dia bodoh, berarti kita ini juga bodoh. Sama anak, kok, gak ada sikap lembut sedikitpun."
"Dah, urus saja anakmu itu, Mas. Nanti, kita buktikan saja, apakah bocah itu bisa jadi orang sukses, atau jadi orang kere seperti ayahnya." Dewi langsung pergi keluar rumah dengan masih bersungut-sungut.
Kemudian, sang ayah mengangkat tubuh Vino, lalu dibaringkan di atas tempat tidur. Setelah itu, dengan telaten dia mengobati luka-luka di beberapa bagian tubuh putranya itu.
"Ayah, kenapa ibu selalu marah-marah kepadaku?" tanya Vino sambil memperhatikan si ayah yang membubuhkan cairan obat di atas luka-luka di tangannya.
"Mungkin, ibu sedang nggak enak hati, atau Vino yang mungkin berbuat salah besar kepada ibu," jawab sang ayah bijak.
"Tapi, aku tadi cuma lupa nutup tudung nasi, kok, Yah."
"Itu bahaya, Nak. Kalau lauknya dimakan kucing, atau dimasukin kecoak, bagaimana, coba? Makanya, lain kali jangan lupa lagi ya, Vino."
Namun, segala kesalahan sedikit saja yang diperbuat Vino, pasti membuat si ibu sangat marah. Vino sampai merasa, bahwa dia bukanlah anak kandung pasangan Dewi dan Rahmat.
"Ayah, apakah aku ini hanya anak tiri?" tanya Vino kecil suatu hari.
Sang ayah memeluk putranya dengan kasih, "siapa bilang? Vino adalah anak kandung, dari buah cinta ayah dan ibu, kok."
"Tapi ...."
"Sudahlah, Nak. Jangan dimasuki ke dalam hati, atas ucapan dan sikap ibumu itu. Mungkin, ibu capek dan banyak pikiran."
Vino pun tak bertanya lagi, meskipun di dalam hatinya, banyak sekali hal yang akan diutarakan dan ditanyakan kepada ayahnya. Tetapi, Vino juga tak sampai hati, bila sang ayah juga ikut bersedih atau banyak pikiran lagi.
Tetapi, setelah kejadian ayahnya dipukuli oleh orang-orang yang disuruh oleh ibunya, Vino merasa yakin, bahwa perempuan yang melhirkannya itu memang tak pernah menyayanginya.
Saat melihat sang ayah sudah tak berdaya akibat menerima siksaan yang bertubi-tubi di sekujur tubuhnya, Vino memberanikan diri merangkak keluar dari persembunyiannya.
Kemudian, dipeluknya kaki si ibu sambil terus memohon, agar sikaaan yang diterima ayahnya segera dihentikan.
"Ibu ... tolong hentikan. Jangan pukuli ayah lagi. Kasihan ayah, Bu."
"Heh! Kamu, bocah ingusan, jangan ikut campur, ya. Sana, lindungi ayahmu, kalau kau bisa."
Vino semakin berteriak histeris, ketika melihat ayahnya pingsan. Bocah kecil itu segera menghampiri ayahnya, dan memeluk sambil menangisi lelaki yang sangat menyayanginya itu.
Dewi pun tak tinggal diam, dia langsung menyuruh orang-orang suruhannya untuk melempar tubuh suami dan anaknya keluar rumah.
"Vino! Urus ayahmu itu, dan jangan pernah menginjakkan kaki di rumah ini lagi!" teriak Dewi dengan kedua tangan berkacak pinggang.
"Ayah ... Ayah, bangun, Yah!" Vino terus mengguncang tubuh si ayah.
Meskipun anak lelaki, tapi usianya masih sangat kecil. Air matanya terus mengalir di pipi, sambil terus berusaha membuat ayahnya tersadar dari pingsannya.
Keberanian Vino pun muncul, saat tak berhasil membangunkan ayahnya. Dia berteriak, sambil tangan kanan menunjuk ke arah ibunya.
"Ibu jahat! Apa salah ayah? Kenapa Ibu tega menyiksa ayah, Bu?"
"Tanyakan pada ayahmu sendiri nanti!" ketus Dewi, lalu dia menutup pintu rumahnya. Tak peduli lagi dengan keadaan suami dan anaknya yang dalam keadaan memprihatinkan.
Hari pun telah larut malam, sehingga tak banyak orang yang keluar rumah. Meski ada beberapa orang yang masih lalu lalang, tapi mereka tak berani menolong, karena, kekejaman Dewi serta anak buahnya sangat terkenal di kampung itu.
Bocah lelaki itu hanya bisa bersimpuh di dekat tubuh ayahnya, menunggu si ayah sampai siuman. Karena, dia sudah tak tahu lagi bagaimana caranya, untuk menyadarkannya.
Sesekali, dia memohon bantuan kepada seseorang yang lewat, tetapi orang-orang itu malah memepercepat langkah mereka.
"Ayah ... cepatlah bangun, Yah. Aku takut ...." rintih Vino, sambil membelai pipi ayahnya.
***
Entah berapa lama Vino kecil terduduk di depan sebuah rumah, yang sebelumnya adalah tempat tinggalnya itu. Di tepi jalan beraspal, yang semakin lama tak ada seorang pun yang melewatinya.Karena, selain hari telah larut malam, orang-orang tak mau melewati jalan yang baru saja terjadi keributan dari rumah Dewi tersebut.Siapa orang yang tak mengenal tentang kejahatan dan kebengisan wanita yang berwajah cantik itu. Beberapa orang memang bersikap baik kepadanya, karena memerlukan bantuan dari Dewi.Namun, lebih banyak pula orang yang sangat membenci dan takut kepada perempuan rentenir penghisap darah itu. Dengan memiliki anak buah yang berjumlah delapan orang lelaki bertubuh besar dan berwajah sangar, Dewi tak segan-segan untuk merampas semua harta milik orang yang telah berhutang kepadanya.Suami Dewi bukannya tak tahu pekerjaan si istri. Tetapi, karena rasa sayang yang berlebihlah, yang membuat ayah Vino tak bisa melarang semua kemauan i
Nada dering yang berbunyi dari telpon genggam, mengejutkan Vino yang sedangbteringat masa kecilnya dulu."Hallo! Ada apa, Tom?" tanya Vino kepada si penelpon.Setelah mendengar jawaban dari seberang telpon, Vino bergegas keluar dari kamar. Tanpa disadarinya, sekuntum bunga melati masih dalam genggamannya.Namun, ketika melewati sebuah taman yang berada di samping kamar, barulah dia tersadar, dan buru-buru dibuangnya sekuntum bunga melati itu dengan melempar sembarangan."Berapa banyak anak buah kita yang jadi korban?" tanya Vino setelah berhadapan dengan seorang lelaki berkulit putih dan bermata sipit."Ada lima orang saja, Bos. Yang lainnya bisa kabur dari kejaran polisi," jawab lelaki yang bernama Tom."Dasar Rudi penghianat. Untungnya, aku segera mengetahuinya. Kurang apa dia itu selama menjadi tangan kananku? Uang, harta dan wanita tak pernah kekurangan. Kok, bisa-bisanya mau menjadi mata-mata polisi," gerutu Vino dengan wa
Vino beserta anak buahnya kembali melanjutkan minum minuman yang telah tersedia, hingga beberapa botol telah nampak kosong.Sedangkan si perempuan tadi kembali ke mejanya lagi, dan telah mengobrol dengan seorang lelaki setengah baya. Nampaknya, mereka sangat gembira malam ini. Terlihat si perempuan lebih banyak tertawa, sambil sesekali bergelayut manja di lengan lelaki yang lebih cocok sebagai ayahnya.Tak sampai satu jam kemudian, perempuan yang tadi diminati oleh Vino keluar dari ruangan dengan dipeluk pinggangnya oleh si lelaki tua.Namun, Vino dan anak buahnya masih melanjutkan aktifitasnya, sambil sesekali bergoyang mengikuti irama music yang disajikan oleh DJ.Setelah mendapat bisikan dari Bram, Vino bergegas meninggalkan ruangan, tanpa diikuti oleh satu orang pun dari anak buahnya.Dikemudikannya kendaraan roda empat itu secara perlahan, sambil sesekali mengisap sebatang rokok yang terselip di jari-jarinya.Di sebuah tempat yang agak
Di depan sebuah bangunan yang tak cukup besar, Vino menghentikan mobilnya. Hanya dengan remote kontrol, pintu gerbang yang nampak kokoh itu langsung terbuka.Setelah memasukkan mobil di garasi, perempuan yang masih pingsan itu dibopong memasuki sebuah lorong yang menuju ke sebuah ruangan.Tak ada satu orang pun yang nampak di tempat itu selain Vino dan si perempuan yang tergolek tak berdaya di atas sebuah ranjang terbuat dari besi kokoh.Sementara itu, Vino yang bertubuh jangkung dan kekar membuka sebuah lemari yang terbuat dari besi juga. Diambilnya beberapa peralatan, yaitu benda-benda yang biasa digunakan untuk alat-alat pertukangan.Gergaji, martil, dan obeng serta yang lainnya diatur sedemikian rupa di atas sebuah meja yang cukup besar. Bahkan, golok dan gunting besar juga terdapat di paling atas barang-barang yang sudah tersusun rapi.Setelah semua peralatan yang dikehendaki berada di atas meja sebelah ranjang besi, Vino duduk di sebuah kursi
Sumpah Terkutuk bab 9Perempuan bermata bulat itu hanya bisa menganga. Sekujur tubuhnya gemetaran, melihat kapak yang tertancap tepat di samping kepala kanannya."Bos ... tolong, ampuni aku. Aku gak mau mati," rengek si perempuan.Perlahan Vino mendekati, lalu menatap tepat di wajah si petempuan."Buka semua pakaianmu," bisik Vino.Si perempuan yang juga melihat sepasang mata Vino, seperti terhipnotis. Tanpa bicara lagi, dia melucuti semua kain yang menempel di tubuhnya.Tangan kanan Vino mulai menggerayangi tubuh yang telah polos itu. Bibirnya pun menutup mulut si perempuan yang tak berontak sedikitpun.Dibimbingnya tubuh sintal itu menuju ke ranjang besi, yang hanya beralaskan spon tanpa kain penutup. Napas yang menderu terdengar dari sepasang manusia yang tengah bergulat untuk mereguk nikmat sesaat.Rupanya, si perempuan juga mengimbangi dengan apa yang dilakukan oleh Vino. Bahkan, perempuan yang sebelumnya merasakan ketakutan
Sumpah Terkutuk bab 10Bibir Vino tersunging, saat menyaksikan seorang perempuan yang tak henti-hentinya tertawa senang atas apa yang akan diperolehnya setelah ia bisa keluara dari kurungan itu."Dasar, perempuan semua sama saja! Tidak peduli dengan keselamatan nyawa dan harga dirinya, bila sudah melihat harta yang melimpah di depan matanya," gumam Vino kesal.Dia lalu teringat dengan ibu kandungnya sendiri. Ketika mendapatkan uang yang banyak dari hasil merampas hak orang lain, ibunya bisa tertawa lepas dan berwajah gembira.Lain halnya bila sang ayah yang hanya bisa memberikan uang gajinya yang tak seberapa jumlahnya. Si ibu pasti langsung murka, dan tak segan-segan memaki lelaki yang telah hidup bersamanya itu."Kalau aku gak usaha sendiri, bisa-bisa aku mati kelaparan dengan uang yang kamu berikan ini!""Tapi, itu adalah hasilku yang halal, Dik," jawab ayah Vino dengan wajah lesu."Halaah! Mau halal atau haram, yang penting
Raut wajah Vino nampak geram, lalu dia menghampiri ranjang tempat tidurnya. Dipungutnya dua kuntum bunga kecil berwarna putih. Barulah dia menyadari, kalau di ruangan itu tercium bau bunga melati.Wanita setengah baya yang diteriaki oleh Vino, datang tergopoh-gopoh."Ada apa sih, Tuan? Bibi bawa piring sampai kaget. Tuh, jadinya semua piring yang Bibi bawa pecah semua.""Jangan pikirin piring pecah, Bi! Nih, ada bunga lagi. Siapa yang naruh di atas tempat tidurku? Pasti Bibi, ya?""Eeeh ... Tuan jangan sembarangan nuduh, ya? Jelek-jelek begini, Bibi gak suka main bunga. Sukanya main pisau!" Pembantu yang sudah belasan tahun bekerja di rumah Vino itu, wataknya pun sudah ikut-ikutan tuannya. Tak takut apapun juga.Vino mengembangkan senyumnya. Dia sangat sayang kepada pembantunya yang satu itu. Bahkan, sudah dianggapnya sebagai pengganti ibunya juga.Sudah sering kali Vino melarang si bibi untuk bekerja terlalu berat. Menyediakan makanan u
Paman dan bibi Vino berusaha membujuk anak lelaki berusia sepuluh tahun itu, agar tak menangis lagi.Namun, Vino tetap menangis, karena tak ingin kehilangan lelaki yang selama ini sangat menyayanginya dengan sepenuh hati.Ibu kandungnya telah tega mengusirnya dari rumah, jadi Vino tak ingin ayahnya pergi meninggalkan dirinya."Vino, kamu sudah besar, jadi sudah bisa menjaga diri sendiri. Pesan Ayah, kelak, jadilah seorang lelaki yang tangguh. Tak mudah menyerah, dan bekerja dengan rajin, agar dirimu tak direndahkan oleh wanita manapun," ucap si ayah, yang tak terlalu dipahami oleh Vino.Dirinya masih sangat kecil untuk mencerna kata-kata ayahnya itu. Tapi, dia tetap mendengarkan dengan seksama. Tak ingin membuat ayahnya merasa kecewa kepadanya.Lalu, si ayah pun melanjutkan kata-katanya, "mungkin, saat ini Vino belum mengerti dengan yang ayah katakan tadi. Nanti, bila umurmu sudah tujuh belas tahun, tanyalah kepada bibimu, tenta