Share

3. English for Tourism and Guiding

"Aku nggak bisa yang itu. Terlalu tinggi, Gie. Yang itu saja ya?" tanya Daniel.

Daniel menunjuk buah kersen yang warnanya merah.

"Ya udah yang itu aja deh. Ada banyak yang udah matang itu," jawab Gienka.

Gienka menengadah melihat betapa ranumnya buah itu.

"Oke. Bentar!" ucap Daniel.

Daniel memanjat pohon kersen itu.

Pohon yang terletak di depan gedung fakultas teknik itu bisa dibilang cukup tinggi. Pohon itu memiliki daun yang lumayan lebat dan seakan-akan tak pernah berhenti berbuah.

Di bawah pohon itu terdapat bangku-bangku yang bisa digunakan oleh mahasiswa untuk bersantai maupun mengerjakan tugas. Tempat itu adalah salah satu tempat favorit Gienka karena berdekatan dengan gedung fakultasnya.

Fakultas sastra kebetulan terletak di samping fakultas teknik. Makannya tidak heran jika banyak diantara mereka yang bisa berteman atau bahkan berpacaran.

"Ayo, buruan deh, Niel! Bu Raisa keburu datang," ujar Feli yang berkali-kali melirik jam tangannya.

"Bawel ah, bentar dong! Masih usaha nih."

Daniel berusaha meraih buah Kersen yang berada di ranting pohon sebelah kanan menggunakan tangan kanannya sedangkan tangan kirinya berpegangan pada batang pohon.

"Gotcha!" seru Daniel.

Dia berhasil memetik buah itu.

"Yeah, that's my man!" pekik Angela sambil bertepuk tangan.

Gienka dan Feli tersenyum. Mereka sudah tak sabar ingin makan buah itu.

"Dapat berapa, Niel?" tanya Gienka.

"Sabar! Aku turun dulu," sahut Daniel.

Begitu turun, Daniel dikerubungi ketiga sahabatnya itu. Dia membagikan buah manis itu secara merata.

"Ah, ini tuh enak banget!" seru Feli.

"Iya, nggak ada duanya emang kersen ini tuh," timpal Angela sambil menggigit buah itu.

"Heh, itu Bu Raisa udah datang," teriak Daniel sambil menunjuk ke arah dosen cantik berambut pirang yang sedang berjalan sambil mengangguk kepada mahasiswa yang menyapanya.

Mereka berempat pun berlarian menuju ruang 72 yang terletak di ujung koridor.

"Welcome to Speaking II!" ucap Bu Raisa pertama kali.

***

Gienka memandang ke arah kakak-kakak tingkatnya yang sudah semester enam. Sebagian dari mereka memberi tatapan heran pada Gienka dan sebagian terlihat tak suka. Gienka makin gugup karena itu.

Hanya dia yang berasal dari semester dua. Mahasiswa semester empat pun tak ada karena mata kuliah yang akan Gienka ikuti ini jadwalnya berbarengan dengan History of England, mata kuliah semester empat. Otomatis tak ada yang bisa ambil mata kuliah ini.

Kemudian Gienka melihat ada beberapa kakak tingkat perempuannya yang mulai berbisik dan tersenyum mengejek sambil melirik Gienka.

Tenang, Gienka! batin Gienka.

Gienka hanya meremas bukunya sambil bersandar di dinding.

"Hello, Gienka!" sapa Pak Endik yang sekarang berdiri di depan Gienka.

Pak Endik tersenyum juga ke arah mahasiswanya yang lain.

"Hello, Sir!" balas Gienka. Dia tersenyum pada dosen Grammar II itu.

"Lagi nungguin Bu Natasha ya? Tourism, benar?" tanya Pak Endik ramah.

"Benar, pak," jawab Gienka sopan.

"Kamu tau ini pertama kalinya Pak Maruli membiarkan mahasiswa semester dua mengambil mata kuliah ini. Biasanya beliau selalu menolak mahasiswa tingkat satu yang ingin mengambil mata kuliah tingkat tiga," ujar Pak Endik.

"Tapi Pak, bukan saya yang mau mengambil Tourism ini. Pak Maruli lah yang justru menyarankannya," jelas Gienka.

"Nah, itu langka sekali! Pak Maruli itu yah kau mungkin juga tau, beliau terlalu strict. Jadi saat beliau kasih kamu suggestion untuk ambil mata kuliah level atas, berarti Pak Maruli percaya sama kemampuan kamu," ucap Pak Endik dan tersenyum pada Gienka.

Gienka tertegun mendengar penjelasan Pak Endik.

"Then, trust Yourself!" ucap Pak Endik berlalu meninggalkan Gienka.

"Eh, Dik. Jadi kamu ya yang dapat IP 3,95 itu?" tanya salah satu kakak tingkatnya.

"Iya, Mbak," jawab Gienka.

"Keren! Belum ada yang bisa dapat IP segitu. Setahu aku tertinggi itu Mbak Gina, semester 8. Dia dapat 3,8, lagi skripsi sekarang. Eh salah, udah mau sidang kayaknya."

Gienka tersenyum.

"Melisa," ucapnya memperkenalkan diri.

"Gienka, Mbak."

"Nggak usah pedulikan mereka. Mereka envy aja sama kamu. Cuekin aja." Melisa berbisik pelan.

***

"Hello, everyone. It's an honour for me to have you in this class. Well, welcome to English for Tourism and Guiding!"

Bu Natasha berjalan ke depan. Dia menyapukan matanya ke arah mahasiswanya dan berhenti sepersekian detik pada Gienka.

"Ah, we have a student from semester two. Gienka, aren't you?" tanya Bu Natasha pada Gienka.

Semua kontan menoleh ke arah Gienka.

"Yes, Ma'am," jawab Gienka dengan gugup.

"One thing that you have to know is that I don't care whether you are from semester two. You have to follow the course like the other students. I don't give you any exceptions. I won't give you any special treatments. Do you get it?"

Bu Natasha masih menatap Gienka dengan tatapan ingin tau.

Seberapa cerdas anak ini sampai banyak dosen membicarakannya di ruang dosen? pikir Bu Natasha.

"Yes, Ma'am."

Gienka mengingat apa yang telah dikatakan Bu Natasha tadi. Dia tidak akan diberikan kelonggaran hanya karena dia masih semester dua. Dia harus mengikuti mata kuliah ini seperti mahasiswa lainnya.

Gienka terlalu terlena dengan accent Bu Natasha yang excellent itu. Dia seperti seolah-olah mendengar seorang Native Speaker berbicara. Padahal Bu Natasha asli Jawa, bukan keturunan luar atau seorang blasteran.

"Your last task from this course is to present one of tourism objects in Java.  Do observations and many others!" ucap Bu Natasha di akhir kelas itu.

***

Gienka duduk di bawah pohon jambu air yang terdapat beberapa kursi dan meja. Dia hanya menatap bakso yang sudah dari 10 menit yang lalu diantar oleh Pak Jo, penjual bakso keliling yang selalu mangkal di depan kampusnya dari jam 9 hingga 1 siang.

"Mbak Gienka, kenapa nggak dimakan? Mau ditambahin mie atau kecapnya?" tanya Pak Jo yang sudah hafal selera Gienka.

"Udah, Pak Jo biarin aja. Lagi mumet dia," ucap Angela yang sekarang sedang menuangkan saos ke mangkuknya.

"Mumet kenapa mbak? Baru semester dua kok udah mumet saja?" tanya Pak Jo.

"I-tu pak. Tourism. Hah. Dia nye-sel ambil," sahut Feli yang kepedasan.

Gienka memberi tatapan sebal ke arah kedua sahabatnya itu.

"Wah, Mbak udah ambil itu? Hebat sekali! Itu yang bikin penelitian ke tempat wisata kan Mbak?" tanya Pak Jo yang pernah juga berkuliah di kampus itu namun harus keluar karena keterbatasan biaya. Saat itu beasiswa yang ditawarkan tak sebanyak sekarang.

Gienka mengangguk lesu.

"Aku harus gimana dong, guys. Itu tugas akhir tapi harus selesai bulan depan. Nanti per meeting bakal ada dua sampai empat orang yang presentasi. Aduh, I'm dead." Gienka sudah mau menangis.

Feli menyeruput es jeruknya.

"Ngapain bilang mati segala cuman karena satu mata kuliah. Pak Maruli dan Pak Endik aja yakin kamu bisa kok. Kenapa kamu malah meragukan dirimu sendiri? Lagian kemampuan speaking kamu juga jauh di atas kita," jelas Feli yang masih terlihat kepedasan.

"Nah, that's right! Terus nggak usah pedulikan senior kita itu juga. Mereka belum dengar aja saat kamu ngomong. Aku yakin saat mereka dengar kamu ngomong, pasti mingkem deh," imbuh Daniel yang lagi main game dari tadi.

Gienka berkaca-kaca.

"Ah, you're the best," ucap Gienka memeluk Angela dan Feli.

Angela dan Feli mengusap punggung Gienka. Daniel tersenyum tipis.

"Jangan lupa bayarin bakso kita ya!" ujar Feli sambil mengedipkan sebelah matanya.

"Kan udah dihibur," tambah Angela.

"Eh-"

**********

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status