Share

4. The God of War

Gienka sudah beberapa hari mengabaikan pesan dan telepon Nendra. Rasa kecewa sudah menguasai hatinya. Berulang kali Nendra mengingkari janjinya dan Gienka selalu memaafkannya. Namun kali ini dia tak bisa memaafkannya dengan mudah. Bukan soal uang yang Nendra pinjam, tapi ada hal lain yang membuat Gienka murka.

Dua hari yang lalu disaat Gienka sedang menemani Feli guna membeli Brem untuk adiknya, Gienka tak sengaja melihat Nendra bersama teman-temannya. Dia sedang merokok di pinggir jalan. Padahal malam sebelumnya Nendra pamit pergi ke Surabaya lagi untuk mengikuti tes kerja kembali.

Gienka merasa menjadi gadis paling bodoh selama ini karena terlalu mempercayai Nendra yang ternyata tukang kibul seperti yang mamanya katakan.

Gienka tertunduk lesu di parkiran. Kampus masih sepi. Gienka sengaja datang pagi-pagi karena Nendra memaksa untuk bertemu.

Nendra menghampiri Gienka dengan senyum terukir di wajah tampannya. Dulu senyum itu mampu membuat Gienka terpikat tapi entah kenapa sekarang Gienka tak merasakan apa-apa.

"Caramia, udah lama ya nunggunya?" tanya Nendra.

"Enggak, kok. Baru aja. Udah sarapan?" tanya Gienka balik.

"Udah tadi sama gorengan dan kopi," jawab Nendra.

Gienka tak menanggapi. Biasanya Gienka akan memarahinya jika Nendra tak sarapan dengan benar, tapi kali ini dia diam saja.

Kening Nendra mengerut.

"Kamu kenapa sih? Ada yang salah?"

Gienka menguatkan hatinya dan menjawab,

"Nggak ada yang salah. Tapi mama dan papaku semakin nggak suka sama kamu. Mereka memintaku untuk berhenti menemui kamu."

"Memang salahku apa? Kenapa mereka melarang kita pacaran? Kenapa, Gie?" tanya Nendra terkejut.

Karena kamu pembohong, jerit Gienka dalam hati.

"Katakan padaku, Gie! Apa salahku sampai mereka tidak menyukaiku? Aku sopan kok sama mereka. Aku selalu ijin juga tiap ngajak kamu keluar."

Nendra menggeram marah.

"Aku juga jaga kamu. Aku nggak menyentuh kamu. Bahkan aku menahan diriku untuk nggak mencium kamu karena kamu bilang berciuman hanya untuk orang yang sudah menikah. Aku hormati itu karena aku cinta kamu," teriak Nendra.

Gienka tercekat. Nendra benar, dia tak pernah melampaui batas.

Gienka memejamkan matanya.

Apa yang harus kulakukan sekarang? Kenapa sekarang aku yang terlihat jahat? Batin Gienka.

"Ayo, ikut aku sekarang!"

"Kemana?" tanya Gienka pelan. Tangannya ditarik kekasihnya yang sekarang wajahnya merah padam karena amarah sedang menguasainya.

"Hotel. Kamu harus hamil. Aku nggak mau kehilangan kamu," ucap Nendra.

Gienka memucat.

"Kamu nggak serius kan, Ra?"

"Aku serius. Kamu harus mengandung anak aku."

"Tapi, Ra.. Aku nggak mau." Keringat dingin mulai bercucuran.

Gienka mencoba melepaskan tangannya tapi sayangnya Nendra terlalu kuat untuknya. Air matanya mulai terjatuh.

"Hentikan. Ra, aku mohon," Gienka masih berusaha mencoba untuk kabur.

Dia ingin berteriak tapi tempat parkir di kampusnya sedang sepi.

Nendra tak menggubris isakan kekasih yang sangat dicintainya itu.

"Janendra Ardian, aku mau kita putus," ucap gadisnya dengan wajah terluka.

Nendra seketika membeku.

"Cukup, Ra. Aku udah nggak bisa lagi. Mungkin memang lebih baik kita sendiri-sendiri dulu," putus Gienka 

Wajah Nendra terlihat sendu, amarahnya tadi sudah menguap tergantikan oleh rasa takut yang kini menyelimutinya. Dia kemudian berlutut di depan Gienka.

"Maaf, aku tau aku keterlaluan. Please, jangan tinggalin aku! Aku akan lakukan apapun asalkan kita masih bisa sama-sama," pinta Nendra.

Gienka memantapkan hatinya.

"Maaf, Ra. Aku udah nggak bisa. Aku udah terlalu kecewa sama kamu."

Nendra bangkit dan emosinya muncul kembali.

"Kecewa kamu bilang? Kapan aku pernah bikin kamu kecewa? Aku selalu ada buat kamu. Bisa-bisanya kamu bilang kaya gitu," kesal Nendra 

"Kamu udah bohong. Kamu sering bohong sama aku." Gienka menjerit frustasi.

"Udahlah, Ra. Please, let me go!" tambah Gienka.

"Nggak, aku nggak mau putus dari kamu, ayo ikut aku!" Nendra menarik kembali tangan Gienka lagi. Gienka memberontak.

"Kamu mau setuju apa nggak, kita putus," ucap Gienka tegas.

"Lepasin, Ra! Aku teriak kalau kamu nggak lepasin," ancam Gienka 

"Nggak ada orang disini, percuma kamu teriak. Kurang baik apa aku sama kamu, hah? Sekarang kamu harus nurut aku," ucap Nendra tenang.

Nendra menarik Gienka lebih kencang.

Bugh!

Nendra melepaskan Gienka dan memegang kepalanya. Dia baru saja dilempar dengan sebuah buku oleh seseorang di belakangnya.

Gienka menoleh ke arah orang tersebut. Nendra langsung menatap cowok itu dengan tatapan membunuh.

"Heh, apa maksud kamu? Sengaja lempar saya buku?" kesal Nendra.

"Iya, sengaja. Kenapa?" tantang Ares.

"Kami nantang aku?" tanya Nendra sambil menunjuk ke arah muka Ares.

"Iya, sini kalau berani. Jangan sama cewek aja kamu berani. Laki kan?" Ares dengan tenangnya meletakkan tas ranselnya di lantai dan meninju Nendra tepat di dekat bibirnya.

Nendra yang tak siap dengan serangan tiba-tiba Ares, langsung jatuh tersungkur. Bibirnya berdarah.

"Bangun!" perintah Ares.

Gienka hanya diam menonton. Dia terlalu terkejut.

"Segini aja? Banci!" ejek Ares.

Nendra menyeka bibirnya dan memandang Gienka kesal. Ada tatapan kebencian disana.

Gienka mundur.

Ares yang melihat ketakutan di wajah Gienka langsug menarik kerah baju Nendra dan mengangkatnya.

"Pergi dari sini! Tindakan kamu tadi itu udah termasuk pelecehan. Kalau sampai kamu terlihat di kampus ini lagi, aku laporin kamu ke polisi. Ngerti kamu!" Ares mendorong Nendra.

"Nanti kita bicara lagi, Gienka," ucap Nendra sebelum pergi.

Sepeninggal Nendra, Gienka duduk di bebatuan dekat dengan parkiran.

Ares mengulurkan sebotol air mineral kepada Gienka,

"Drink it!" titah Ares.

Gienka menoleh dan menerimanya. Gienka langsung tau Ares pastilah satu jurusan dengannya. Namun wajahnya terlihat asing.

"Thanks," ucapnya. Gienka meminumnya. Tutup botol itu rupanya sudah dibuka oleh Ares.

"Anytime," balas Ares sambil bersandar di tembok dengan memegang tutup botol dari air mineral yang diberikannya pada Gienka.

Hening.

Ares tak menanyakan kejadian tadi. Dia tau betul itu masalah pribadi Gienka.

"Sekali lagi makasih sudah nolong saya tadi. Saya Gienka," ucap Gienka. Tangan kanannya terulur di depan Ares. Ares menyambutnya.

"Ares. Never mind!" ucap Ares.

Gienka tersenyum.

"God of War? Dewa Perang?" tanya Gienka yang teringat bahwa Ares adalah nama Dewa Yunani yang dijuluki Dewa Perang.

Ares tersenyum.

"Benar," jawab Ares 

"Mas Sasing juga kan? Tapi kok saya nggak pernah lihat mas ya?" tanya Gienka heran.

Ares mendengus. Pertanyaan yang membuatnya tidak nyaman.

"Karena saya jarang ke kampus," jawab Ares.

"Kok jarang?" Gienka mulai heran.

"Mas kerja?" tanyanya lagi.

Ares menggeleng.

"Saya semester 12. Masih skripsi. Ke kampus kalau lagi bimbingan aja."

Gienka melongo.

"Kenapa kaget begitu? Kamu pasti belum ngerti ya? Lulus dari kampus ini tuh nggak mudah."

Gienka memang pernah mendengar orang-orang berkata seperti itu ketika dia memutuskan untuk berkuliah di kampus ini.

"Mas ambil apa sih emangnya? Sesulit itu ya?" Gienka masih penasaran.

Ares tersenyum tipis.

"Literature. Hamlet. William Shakespeare," jawab Ares.

Gienka makin heran. Sepengetahuan dia, mahasiswa yang mengambil Literature untuk skripsinya lebih mudah lulus dibanding yang mengambil Linguistics atau Translation. Tapi bisa saja dia salah, dia baru semester dua. Dia mungkin belum menggali informasi lain.

"I have to go. Bimbingan sama Pak Endik mumpung masih pagi. See you!" pamit Ares.

Sebelum melenggang pergi, Ares memberikan tutup botol air mineral yang tadi Gienka minum.

*****

- Literature: Cabang ilmu yang mempelajari kesusasteraan.

- Linguistics: Cabang ilmu yang mempelajari tata bahasa.

- Translation: Cabang ilmu yang mempelajari penerjemahan.

**********

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status