Share

2. It's Always You

Gienka memegang ujung kaos panjangnya. Dia memilin baju itu sambil menahan kesal. Dia dipaksa oleh mamanya keluar kamar untuk menemani tamu Papanya.

"Gienka, itu kuenya, sayang."

Amanda menyikut lengan Gienka.

"Apa sih Ma?" sahut Gienka ogah-ogahan, melirik kue itu sekilas.

"Itu Lapis Surabaya. Kesukaan kamu. Cepat dimakan! Udah repot-repot dibawain juga sama nak Sancaka."

Amanda memberikan Gienka tatapan peringatan agar tak membuatnya malu.

Sancaka yang melihat itu hanya mengulum senyumnya. Dia tau Gienka terlihat terpaksa duduk di ruang tamu ini.

Lagian, siapa juga yang nyuruh bawa, gerutu Gienka dalam hati.

Gienka kemudian mengambil sepotong kue yang sebenarnya sangat menggoda untuk dilahap itu. Dia hanya gengsi saja di hadapan Sancaka. Dia langsung menggigit kue itu dan wajahnya menampilkan ekspresi lucu yang sangat menggemaskan bagi Sancaka.

"Kuliahnya lancar kan, Dik?" tanya Sancaka memulai obrolan dengan Gienka.

Gienka menunjuk kue yang dia pegang di tangan kanannya.

"Orang lagi makan itu nggak boleh diajak ngomong," ujar Gienka sambil mengunyah kue yang sangat disukainya.

"Aduh, Ma.. sakit." 

Gienka meringis.

Amanda mencubit lengannya.

"Makannya yang sopan sama tamu," tegur Amanda.

"Nak Sancaka, maafin Gienka ya?" ucap Amanda tersenyum malu atas kelakuan anak gadisnya.

"Nggak apa-apa, Bu. Saya ngerti."

Sancaka mengangguk sambil tersenyum.

Ih, sok kalem banget ni orang, pakai senyum lagi, batin Gienka sebal.

Gienka mengambil air putih dan meminumnya.

"Ma, Gienka bener kok. Kalau makan terus diajak bicara ya bisa tersedak lah. Iya kan, Mas?" Gienka meminta dukungan Sancaka.

"Hush, kamu ini..." Kata-kata Amanda terpotong.

"Sudah, sudah. Malah debat di depan tamu," potong Yusuf yang baru saja selesai mandi.

Sancaka bangkit dan mencium tangan Yusuf.

"Apa kabar, Pak? Sehat kan, Pak?" tanya Sancaka.

"Alhamdulillah, saya sehat seperti yang kamu lihat, nak. Bapak masih kuat. Lihat ini!" gurau Yusuf.

Yusuf memamerkan otot lengannya yang gempal sambil tertawa. Gienka malah malu melihat tingkah Papanya ini, kaya anak kecil pikirnya. Sedangkan Amanda terlihat bangga suaminya itu masih bugar di usia akhir lima puluhan. Kemudian mereka kembali duduk.

Sancaka tersenyum senang karena guru semasa SMP-nya ini terlihat bugar.

"Gimana S2 kamu? Ada kendala?" tanya Yusuf.

"Sejauh ini tidak ada, Pak. Lancar-lancar saja, Alhamdulillah," jawab Sancaka.

Yusuf manggut-manggut.

"Baiklah, lantas ada hal penting apa yang membuatmu kesini?" tanya Yusuf.

"Mau lamar Gienka ya?" tanya Amanda dengan senyum berbinar.

Uhuk.. Uhuk..

Gienka yang mendengar itu langsung tersedak.

Amanda segera menepuk punggung Gienka, sedangkan Yusuf mengambilkan segelas air putih yang tadi diminum Gienka.

"Pelan-pelan kalau makan!" ucap Yusuf.

Gienka menoleh ke arah Sancaka yang sekarang tersenyum menunduk.

"Mama apaan sih, kan Mama tau Gienka udah punya pacar, kok malah tanya Mas Sancaka kaya begitu,"

Gienka heran kenapa mamanya bertanya seperti itu.

"Gienka!" tegur Yusuf.

Gienka menutup mulutnya.

"Saya tahu kamu menaruh hati sama anak saya sejak lama, apakah benar kamu berniat melamar Gienka?" tanya Yusuf tenang.

Benarkah? Gienka membatin.

Gienka menahan napasnya menunggu jawaban Sancaka.

"Maaf, Bapak dan Ibu. Benar, saya memang menyukai Gienka dari dulu. Tapi kalau untuk melamarnya saya masih belum berani. Saya masih belum mendapatkan pekerjaan yang layak, Pak. Saya belum pantas mendampingi Gienka," jelas Sancaka.

Gienka menghembuskan napasnya pelan. Dia lega luar biasa.

Sedangkan kedua orangtuanya tersenyum kagum pada jawaban yang diberikan Sancaka. Mereka tau Sancaka adalah laki-laki yang bertanggung jawab.

"Lalu apa yang mau kamu sampaikan?" tanya Yusuf.

"Begini Pak, saya kan mengambil program magister yang double degree. Jadinya saya akan menjalani kuliah di Perancis selama satu tahun. Saya ingin pamit, Pak. Minggu depan saya akan terbang kesana," jelas Sancaka 

Gienka bengong. Dia tak menyangka, Sancaka secerdas itu. Oke, dia tau Sancaka memang pintar. Dia hanya tak menduga bahwa ternyata Sancaka mampu mendapatkan beasiswa luar negeri. Untuk beberapa detik dia kagum.

"Wah, hebat sekali, nak!" puji Amanda.

Yusuf tersenyum bangga. Iya dia bangga, pasalnya Sancaka adalah murid kesayangannya saat Sancaka masih bersekolah di sekolah Yusuf mengajar.

***

"Jaga diri baik-baik ya, Dik!" ucap Sancaka sambil memandang lekat ke arah Gienka yang sekarang sedang berdiri di depan pagar. Dia mengantar Sancaka pergi.

Gienka sebenarnya tak kuat dipandangi seperti itu oleh Sancaka yang sebenarnya sangat tampan sekali itu.

"Iya," sahut Gienka tanpa memandang ke arah Sancaka.

"Gienka," panggil Sancaka.

"Iya," sahut Gienka tetap tak menoleh.

"Lihat saya sebentar!" pinta Sancaka.

Gienka pun dengan enggan menoleh ke arah Sancaka yang masih berdiri di samping motor Maticnya.

"Saya suka kamu. Tidak. Tapi saya cinta kamu," ungkap Sancaka.

Gienka terkejut. Dia tak memperkirakan akan mendapat ungkapan cinta dari Sancaka. Mereka memang sudah saling mengenal sejak Sancaka masih SMP dan Gienka duduk di Sekolah Dasar. Tapi ini aneh.

Gienka bingung kenapa Sancaka bisa menyukainya? Selama ini mereka bisa dibilang sangat jarang berbicara. Mereka hanya bertegur sapa sekedarnya saja.

Sancaka sering datang ke rumah Gienka sejak dia masih bersekolah di tempat Yusuf mengajar, tapi itupun untuk hanya untuk kepentingan les saja. 

Saat Sancaka sudah menjadi mahasiswa pun juga dia berkunjung ke rumah Gienka namun tetap yang dia temui ya Yusuf, bukan Gienka.

Tapi tadi bahkan Yusuf tahu kalau Sancaka memiliki perasaan khusus terhadapnya.

Bagaimana bisa? tanya Gienka pada dirinya sendiri.

"Saya punya pacar, Mas. Kenapa Mas bilang seperti itu?" tanya Gienka yang bingung bagaimana meresponnya.

Sancaka tersenyum.

"Saya tahu itu, Gienka. Saya hanya mengungkapkan perasaan saya saja," ucap Sancaka.

"Nggak ada larangan untuk mengungkapkan perasaan kepada orang yang sudah memiliki pasangan, Gienka. Hal itu hanya menjadi terlarang ketika berniat merusaknya. Dan saya tidak berniat merusak hubungan kamu," jelas Sancaka.

Sancaka masih memuaskan matanya untuk menatap gadis yang sudah mengisi hatinya selama bertahun-tahun ini.

Gienka terdiam. Dia tak berani memandang Sancaka lagi.

"Saya hanya jatuh cinta sama kamu. Suatu saat jika takdir mempertemukan kita kembali dan saat itu kamu sedang tidak terikat dengan orang lain, saya yang akan mengikatmu. Bukan untuk jadi kekasih saya, tapi istri saya," lanjut Sancaka.

Setelah mengatakan itu Sancaka langsung menaiki motornya.

"Kamu akan selalu ada di sini. Di hati saya. It's always you, Gienka," ucap Sancaka.

Sancaka menunjuk dadanya ketika mengatakan itu. Kali ini dia tersenyum sangat manis pada Gienka yang menoleh ke arahnya.

Sancaka pergi.

Gienka mematung di depan pagar.

"Apa-apaan dia? Setelah menyatakan cinta terus pergi begitu saja? Dia kan mau ke Perancis, kenapa juga dia harus ungkapin perasaannya? Gunanya apa coba?" omel Gienka kesal.

***

Gienka ingin berteriak. Diliriknya lagi ponselnya yang dia taruh di nakas.

Ada satu pesan disana yang membuatnya sedikit sebal. Pesan dari Nendra,

Caramia, maaf ya. Aku belum bisa balikin uang kamu. Aku lagi sepi nih. Nanti ya..! Jangan lupa makan ya! Aku nggak mau kamu sakit.

Lagi. Begini lagi. Mau sampai kapan dia begini? Gienka tak tau harus bagaimana lagi menghadapi Nendra. Bukankah dia sudah terlalu bersabar pada Nendra. Apa memang benar apa yang di bilang Mamanya? Nendra banyak bohong. Haruskah dia menjauhi Nendra saja? Tapi bagaimana dengan hatinya? Apa hatinya sudah siap melepas Nendra?

Gienka segera memasukkan ponsel itu kedalam tasnya dan bergegas berangkat ke kampus. Dia tak mau terlambat di hari pertamanya di semester dua ini.

***********

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status