"Gimana Chandra, tanya istrimu itu, apa dia sanggup menerima syarat dari Ibu?" bu Hesti menatap seraya penuh penekanan.
"Ya Bu, kami setuju." jawab Chandra tegas.Nadira mengerutkan kening ketika suaminya memberikan jawaban tanpa bertanya dulu padanya, namun setelah memberikan jawaban Chandra dengan erat menggenggam tangan Nadira, meskipun tatapan matanya mengarah pada ibu Hesti."Oke kalau gitu, aku dan Nadira mau istirahat dulu," pamit Chandra mengajak Nadira pergi."Mau ke mana si Chandra, kok buru-buru banget. Kamu mending temenin Ibu belanja dulu ke supermarket, ya," ajak bu Hesti dengan semangat."Bu, kenapa nggak besok aja sama Mbak Anita, Mbak Anita kan di rumah terus," tolak Chandra."Chandra, kamu kenapa si? Dua hari nikah sama Nadira aja kamu udah berubah banget gitu sikapnya sama Ibu, Ibu kecewa sama kamu," mata bu Hesti menganak sungai."Bukan seperti itu Bu, tapi aku dan Nadira harus istirahat cepet karena besok pagi-pagi kami mau pergi ke kantor. Jadi kami harus istirahat lebih awal." jelas Chandra. Ia terkesan jahat karena bu Hesti tiba-tiba menangis di hadapan Nadira.Nadira menghentikan langkahnya dan menahan suaminya, tatapan Nadira seolah ingin bahwa suaminya itu menuruti keinginan sang ibu yang merengek seperti bayi, sementara Anita dan Roy hanya bisa menatap bu Hesti bingung."Bu, Chandra dan Nadira itu akan pergi ke kantor besok pagi, jadi mereka butuh waktu istirahat," ucap Roy, membantu adiknya itu lolos dari jeratan sang ibu."Tapi ini masih sore, masih ada waktu untuk mereka jika ingin istirahat, lagian sebelum Nadira menjadi istri Chandra, kita sering kan ngobrol malam di sini sampai larut," bu Hesti menimpali."Tapi sekarang sudah berbeda Bu, aku sudah memiliki istri dan aku bertanggung jawab atas perasaannya. Sudah ya Bu, tolong jangan bersikap seolah aku jahat pada Ibu." tegas Chandra nekat, ia membawa Nadira pergi menuju ke kamar.***Keesokan paginya, sebelum keluar dari kamar Nadira membersihkan tempat tidur dan juga kamar mandi yang mereka pakai, sementara Chandra sendiri menyapu lantai dan melipat baju kotor yang hendak mereka bawa ke laundry, setelah semua siap, mereka pun bergegas keluar.Bu Hesti sudah berada di depan pintu kamar Chandra, spontan kehadirannya membuat sepasang suami itu terkejut karena kedatangan sang ibu yang tiba-tiba."Ibu, kenapa Ibu ada di kamarku?" tanya Chandra heran."Ibu mau ngasih kamu ini, kamu mau ke kantor kan? Ini bekal untuk kamu," ucap bu Hesti dengan semangat memberikan sebuah kotak di tangannya."Cuma satu Bu? Buat Nadira mana?" Chandra menerima kotak itu penuh tanya."Iya cuma satu aja, soalnya Nadira di kantor itu kan jadi sekertaris, pasti dia akan makan di luar sama atasannya, jadi Ibu pikir Nadira tidak perlu bawa bekal." jawab bu Hesti dengan tanpa menatap wajah ayu Nadira.Chandra menghela nafas panjang, ingin rasanya memprotes tetapi Nadira sudah keburu menahan. Nadira masih tersenyum menanggapi ibu mertua nya yang begitu dingin padanya tetapi tidak dengan suaminya itu.Nadira mengajak Chandra untuk segera pamit, tidak mau berlama-lama menghadap ibu mertua yang terlihat sangat tidak menyukai nya itu. Di perjalanan Nadira hanya diam saja, tidak ada pembicaraan antara Chandra dengan dirinya hingga membuat Chandra merasa semakin bersalah.Chandra menggenggam erat tangan Nadira dan mengecupnya, Nadira tersenyum tipis menanggapi sentuhan sayang sang suami."Sayang, maafin sifat ibuku ya, selama ini ibu memang sangat bergantung dan manja denganku, apalagi saat mas Roy menikah dengan mbak Anita, setiap hari ibu bersikap begitu manja," ucap Chandra, rasa bersalahnya tidak bisa ia sembunyikan terhadap ibunya."Ya Mas, nggak papa kok, aku ngerti. Mungkin aku juga harus membutuhkan banyak waktu untuk bisa mendapatkan kamu sepenuhnya, aku tidak menyalahkan siapa-siapa," lirih Nadira dengan besar hati."Ya ampun, aku memang tidak salah memilih pasangan, kamu adalah wanita terbaik Nadira, aku sangat mencintaimu." Chandra mengucapkan kalimat itu dengan sungguh-sungguh.Nadira hanya membalasnya dengan senyuman, meskipun sebenarnya ia sangat terluka dengan sikap dan sindiran sang ibu mertua, namun Nadira masih berusaha tetap menghormati hubungan mereka. Tak lama kemudian mobil taksi yang membawa mereka itu akhirnya tiba di depan kantor, Chandra dan Nadira pun keluar untuk segera melakukan tugas mereka masing-masing, meskipun mereka satu kantor. Tetapi mereka tidak satu ruangan, Nadira naik ke lantai atas melalui lift karena ruangannya berada di samping ruangan pemilik perusahaan tersebut, sementara Chandra sendiri berada di lantai bawah sebagai karyawan biasa.***Saat makan siang, Nadira menuruni lift bersama beberapa teman yang mengajaknya makan siang di luar kantor, karena Nadira tidak membawa bekal seperti halnya Chandra, akhirnya Nadira pun bersedia."Aku ke ruangan mas Chandra dulu ya, mau ngajakin dia makan di luar juga," ucap Nadira pamit pada teman-temannya."Oke Nad, kita tunggu di luar ya." jawab salah satu dari mereka.Nadira melempar senyum. Dan ia pun segera menemui sang suami yang saat itu hendak membuka kotak makanan yang ia bawa dari rumah, saat mengetahui istrinya datang, Chandra dengan cepat menyambutnya."Sayang,""Mas, kamu lagi mau makan ya? Ya udah kalau gitu, kamu lanjut dulu,""Kamu mau makan bareng sama aku di sini? Yuk kita makan masakan Ibu bareng-bareng,""Tapi, apa kamu kenyang Mas kalau makan bareng sama aku,""Pasti kenyang sayang, yuk duduk."Chandra menuntun istrinya duduk di ruangan yang tidak begitu lebar itu. Saat hendak menyuapi Nadira, tiba-tiba ponsel Chandra berdering, Chandra pun mengurangkan suapan pertamanya untuk Nadira, saat ia tahu bahwa yang menelponnya adalah bu Hesti. Nadira terdiam di samping Chandra, menunggu suaminya selesai bicara pada ibunya.[Ya bu, ada apa?][Chandra, ini sudah waktunya makan siang, jangan lupa habiskan bekal yang ibu bawakan itu sendiri ya, Nadira pasti makan di luar kan sama temen-temennya? Jadi kamu habiskan bekalnya ya][I-iya bu, ya sudah kalau gitu, aku makan dulu]TuuutSambungan telepon itu dimatikan begitu saja oleh Chandra yang tidak enak hati dengan Nadira, sudah pasti Nadira mendengar ucapan ibunya, karena Chandra memang sengaja menyalakan speakernya tadi.Nadira menghela nafas, ingin melakukan adegan romantis saja bersama suami, harus gagal karena bu Hesti memerintahkan suaminya untuk menghabiskan makanannya seorang diri."Ya udah Mas, kamu makan saja, biar aku makan di luar," ucap Nadira, hendak bangkit meninggalkan Chandra."Tunggu sayang, mau ke mana? Omongan ibu jangan dimasukan ke hati ya, yuk kita makan aja, lagian ini banyak banget sayang, aku nggak habis nanti," ajak Chandra membujuk Nadira agar bersedia duduk bersamanya."Mas, aku nggak mau mengurangi jatah makan kamu, ibu pasti sudah paham banget sama porsi makan kamu, jadi nggak papa kok aku makan di luar aja ya." jawab Nadira menolak, dengan halus.Nadira menutup pintu dan dengan cepat punggung wanita yang ia cintai itu menghilang dari pandangan."Alhamdulillah pak, bu, operasinya berjalan dengan lancar meski tadi ada sedikit kendala karena ibu Nadira mengalami pendarahan tapi kami berhasil mengatasinya," ucao sang dokter."Syukurlah kalau begitu. Terima kasih banyak, dok. Terima kasih banyak atas kerja keras dokter semuanya yang sudah menangani operasi ini," ucap Wildan.Hatinya merasa sangat lega mendengar bahwa Nadira baik-baik saja. Begitu juga dengan Hesti dan juga Roy yang kini terlihat sedikit semringah."Lalu apa kita boleh melihat mereka, sok?" tanya Wildan yang sudah tak sabar untuk melihat Nadira."Emmm untuk saat ini sebaiknya jangan dijenguk dulu, ya. Kami akan memindahkan mereka ke ruangan perawatan dan nanti di sana kalian baru bisa menjenguknya," ucap sang dokter."Baik kalau begitu, dok. Sekali lagi terima kasih banyak." Roy menjabat tangan sang dokter begitupun dengan Wildan."Baik Pak sama-sama. Kalau begitu saya permisi dulu." Sang dokter pun kemudian melangkahkan kakinya pergi meninggalkan mereka.Tak lama
Nadira telah tiba di rumah sakit dan tengah bersiap untuk melakukan operasi. Ditemani oleh Hesti dan Roy, Nadira duduk di sebuah kursi tunggu menanti jadwal operasi yang akan dilaksanakan beberapa jam lagi."Wildan nggak ikut ke sini, Nadira?" tanya Roy pada Nadira.Seketika lamunan Nadira pun buyar mendengar pertanyaan dari Roy saat itu."Iya Nadira, nak Wildan kok nggak ikut menemani kamu di sini. Apa jangan-jangan dia marah karena kamu akan mendonorkan ginjal mu untuk Chandra?" tanya Hesti.Nadira pun segera meraih tangan Hesti yang saat itu berada di pangkuannya. Nadira mencoba menenangkan dan meluruskan pikiran Hesti yang sempat berpikir jauh tentang Wildan."Nggak begitu, Bu. Mas Wildan sama sekali nggak marah kok. Tadi dia bilang sedang ada urusan sebentar dan nanti dia akan kembali ke sini setelah urusannya selesai.""Kamu yakin dia tidak marah? Ibu takut dia marah. Ibu sudah sangat berhutang budi padanya. Ibu tidak ingin membuat nak Wildan kecewa," ucap Hesti."Nggak kok, Bu.
"Apa kamu serius mau mendonorkan ginjalmu pada Chandra?" tanya Hesti pada Nadira dengan kedua mata yang masih berkaca-kaca.Nadira pun mengangguk pelan. Sekilas Nadira melirik ke arah Wildan meski ia tak memberikan respon apapun."Baiklah kalau memang sudah ada pendonornya maka operasi untuk pak Chandra akan segera kami siapkan," ucap dokter yang menangani Chandra.Tak lama dokter dan perawat yang menangani Chandra pun lantas pergi meninggalkan mereka."Bu, mas Roy, aku tinggal sebentar ya. Aku mau bicara dulu dengan mas Wildan," ucap Nadira berpamitan.Setelah Hesti dan Roy mengizinkan, Nadira pun langsung berjalan menjauhi mereka bersama dengan Wildan.Sesaat Nadira masih terdiam dan belum mampu mengatakan sepatah kata apapun pada Wildan begitupun dengan Wildan yang masih terdiam.Perlahan Nadira memberanikan dirinya menggapai tangan Wildan. Kedua matanya mencoba menatap pada Wildan yang berdiri di depannya."Mas, aku mau minta izin padamu untuk mendonorkan satu ginjal ku pada mas C
Akhirnya Wildan pun keluar dan langsung disambut oleh Nadira dan juga Hesti yang sudah cukup lama menunggu di depan ruangan Chandra."Emmm M-mas, kamu sudah selesai?" tanya Nadira yang sedikit melirik ke arah Chandra dari pintu yang belum ditutup dengan sempurna oleh Wildan.Nadira merasa cukup lega saat melihat Chandra yang baik-baik dan masih duduk di atas ranjang.Meski sebenarnya Nadira tak ingin berprasangka buruk pada Wildan, tapi rasa khawatir dan cemas terus saja membelenggu di dalam hatinya saat Wildan dan Chandra berada di dalam satu ruangan yang sama."Iya aku sudah selesai. Emmm terima kasih karena kalian sudah mengizinkan aku berbicara berdua dengan Chandra," ucap Wildan."Iya santai saja, Wildan." Roy langsung menanggapi ucapan Wildan saat itu." Oh iya, Nadira, kita pulang sekarang yuk," ajak Wildan."Emmm t-tapi, Mas ...." Nadira menghentikan sejenak ucapannya."Nggak mungkin aku nolak ajakan mas Wildan pun pulang. Nanti yang ada mas Wildan malah berpikir bahwa aku leb
Chandra dan Nadira pun masuk ke dalam ruangan Chandra dan melihatnya yang tengah duduk di atas ranjang.Seketika Chandra pun menoleh ke arah Nadira dan Chandra yang mulai mendekatinya."Bagaimana kabarmu, Chandra?" tanya Wildan pada Chandra."Emmmm k-kabarku baik," jawab Chandra terbata.Ia masih tak percaya melihat kedatangan Chandra yang tiba-tiba apalagi ia datang bersama dengan Nadira.Mata Chandra pun sedikit melirik ke arah tangan Nadira yang tampak menggandeng tangan Wildan."Syukurlah kalau begitu. Aku sempat terkejut mengetahui keadaanmu yang cukup parah begini. Maaf ya karena aku baru bisa menjenguk mu," ucap Wildan lagi."I-iya, tidak apa-apa, kok. Tapi kenapa kamu datang ke sini? Apa kamu tidak bekerja?" tanya Chandra."Aku meliburkan diri untuk hari ini karena aku ingin menjenguk mu."Tak akan Wilda pun melepaskan pegangan tangan Nadira dan menoleh ke arah Nadira."Apa bisa aku bicara berdua saja dengan Chandra?" tanya Wildan pada Nadira."T-tapi, Mas." Nadira yang takut
"Sekali lagi aku tanya padamu, Nadira! Apa kamu masih mencintai Chandra?" tanya Wildan dengan nada suara bergetar.Nadira hanya bisa tertunduk di hadapan Wildan. Tangannya gemetaran dan kedua matanya berkaca-kaca.Perlahan butiran kristal dari kedua mata Nadira jatuh membasahi pipinya. "Aku minta maaf mas jika aku sudah membuatmu marah tapi aku tidak bisa membohongi perasaanku ini padamu.""Jadi maksud mu?" tanya Wildan cepat."Aku memang masih mencintai mas Wildan tapi aku sama sekali tidak pernah berpikir untuk menjalin hubungan kembali dengan mas Wildan. Aku tahu ini sangat menyakiti dirimu tapi asal kamu tahu, aku tidak pernah berniat untuk kembali dengan mas Chandra."Nadira meraih tangan Wildan perlahan. Tampak tak ada perlawanan dari Wildan saat itu. Tangan kekar Wildan kini ada digenggaman Nadira. Perlahan Nadia mengangkat tangan Wildan dan menariknya hingga ke dalam dadanya."Aku pastikan bahwa aku tidak akan kembali pada mas Chandra, Mas. Tolong kamu percaya padaku. Ini sem